Share

Tubuh Yang Terikat

Auteur: Erna Azura
last update Dernière mise à jour: 2025-04-07 20:32:27

Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong.

Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri.

Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu.

“Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan.

Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga.

Amara memalingkan wajah.

Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu.

Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru terlihat semakin maskulin. Ia masuk ke ruang makan seperti biasa—tanpa kata, tanpa ekspresi.

Amara buru-buru mengambil dua piring dan menata makanan.

“Saya enggak tahu kamu suka sarapan apa jadi saya buat ini aja,” katanya pelan sambil meletakkan satu piring di hadapan Arga.

Pria itu hanya duduk tidak merespon, mengaduk sendok tanpa banyak bicara. Hening membentang di antara mereka. Bukan keheningan nyaman—tapi asing. Kaku. Seperti dua orang yang tak mengenal satu sama lain, meski tubuh mereka baru saja saling menyatu semalam.

Arga makan perlahan tanpa memprotes meski menu sarapan paginya hanya telur dan sawi. Sesekali matanya menatap ke arah luar jendela, seperti ada beban tak kasatmata yang menekan kepalanya.

Amara lebih sering menunduk. Sesekali mencicipi makanannya sendiri, tapi tak bisa merasakan apa-apa.

“Zeno akan kirim list menu makanan yang bisa kamu buat untuk sarapan pagi dan makan malam,” ucap Arga tiba-tiba.

Amara menoleh. “Baiklah… saya akan memasak menu kesukaan favorite kamu itu.”

Arga tak menjawab. Hanya mengangkat gelas berisi air putih dan meneguknya pelan.

Setelah beberapa menit, ia bangkit dari kursi lalu menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Amara mencuci piring satu per satu. Lalu mengepel lantai, membersihkan meja, dan menyemprot ruang tamu dengan pengharum ruangan.

Ia mencoba merasa berguna. Tapi rumah itu tetap dingin.

“Tubuhku milik dia. Tapi hatiku masih milikku sendiri,” bisiknya.

Karena entah kenapa, setiap kali mengingat suara Arga semalam—napasnya, ciumannya, keterkejutannya saat tahu dirinya masih perawan—ada bagian di dada Amara yang ikut berdenyut … bingung.

“Jangan berharap,” katanya sendiri.

“Karena di rumah ini, tak ada tempat untuk hati.”

Setelah Amara selesai menyelesaikan pekerjaan rumah, Arga turun dari lantai dua dengan tubuh segar dibalut pakaian rapih yang biasa dia kenakan untuk bekerja.

“Saya pulang malam, jangan menunggu dan jangan lupa minum pil KB setiap hari untuk berjaga kalau saya sedang menginginkanmu.”

Amara memejamkan mata sekilas, demi apa itu kalimat Arga sangat menusuk di jantungnya.

“Baik.” Amara menjawab datar.

“Tentang semalam…”

Amara menahan napas menunggu kalimat Arga selanjutnya.

“Jangan bawa itu ke hati. Jangan berpikir terlalu jauh.”

Arga menoleh. Tatapannya datar. Ada bayangan aneh di mata itu—seperti keraguan yang tak jadi lahir.

“Saya enggak akan menganggap itu apa-apa,” jawab Amara pelan, tapi tegas.

Arga mengangguk sekali. Lalu mengambil kunci mobil dari gantungan.

“Pastikan semua lampu dan kompor mati juga semua pintu terkunci saat kamu tinggal.” Arga berpesan sebelum akhirnya melewati pintu dan terdengar suara pintu tertutup.

Sekali lagi, Amara berdiri sendiri. Rumah itu kembali sunyi.

Amara pergi ke kamar untuk bersiap pergi mengajar, ia mencoba melupakan apa yang terjadi tadi malam dan pagi ini, dia mencoba… merasa normal.

Tapi rasa sakit di tubuhnya, tatapan dingin Arga tadi dan suara detak jam yang nyaring membuat semua usaha itu sia-sia.

Ia mengangkat wajah ke arah langit-langit tinggi kamar itu.

Dan bertanya dalam hati, “Berapa lama aku bisa bertahan tanpa dicintai … dan tanpa jatuh cinta?”

***

Mobil sport hitam itu melaju tenang keluar dari cluster.

Arga memegang kemudi dengan satu tangan. Sedangkan tangannya yang lain meninju stir pelan, frustrasi diam-diam yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan logika.

“Dia terlalu tenang,” gumamnya dengan raut wajah kesal.

Amara tidak menangis, tidak menempel, tidak manja. Ia memasak, berbicara seperlunya, dan bahkan bisa menjawab dingin dengan wajah datar. Tapi justru itu yang membuat Arga terusik.

“Dia seperti bukan bagian dari pola.” Arga bergumam.

[FLASHBACK – tujuh tahun lalu]

Sore itu, di rooftop hotel bintang lima. Langit Jakarta berwarna oranye keemasan. Arga berdiri dengan tuksedo lengkap di sebuah pesta pernikahan sahabatnya, sementara Cassandra—wanita yang ia cintai sejak kuliah—berlutut sambil menyodorkan cincin.

“Maukah kamu menikah denganku, Arga?”

“Karena aku enggak mau menunggu kamu siap lebih lama lagi.”

Orang-orang bersorak. Para tamu pesta langsung mengangkat kamera untuk mengabadikan momen tersebut padahal bukan mereka sang pemilik pesta.

Dan Arga, yang selama ini terlalu rasional, terlalu kaku, akhirnya luluh. Ia mengangguk.

Tapi anehnya satu tahun kemudian, Cassandra kabur bersama CEO muda dari perusahaan investasi Singapura.

Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Hanya satu pesan singkat:

“Aku mencintai kamu, tapi aku enggak bisa hidup sebagai nomor dua dalam hidupmu. Maaf.”

Bayangkan bagaimana malunya Arga?

Pasalnya lamaran Cassandra itu disaksikan oleh banyak orang yang mengenalnya, belum lagi Cassandra sudah diperkenalkan kepada kedua orang tuanya yang ternyata juga mengenal kedua orang Cassandra.

Lalu tiba-tiba kabar Cassandra berpacaran dengan pengusaha muda Singapura menjadi trending Topic di circle-nya.

Arga harus mendapati tatapan iba dari orang-orang selama beberapa tahun.

Sejak itu, Arga berubah.

Ia bekerja keras mengembangkan CitraKredit yang telah dibangunnya dari nol yang rencana awalnya untuk menghidupi mereka dan anak-anak mereka di masa sekarang hingga masa depan.

Namun dengan kerja keras dan fokusnya setelah dikhianati Cassandra, hanya dalam waktu beberapa tahun saja, Arga berhasil mengembangkan perusahaan berbasis logika, sistem, angka tersebut hingga setara dengan bisnis besar lainnya di Indonesia.

Menurut Arga, cinta adalah investasi paling bodoh. Penuh harapan, tapi tanpa jaminan balik modal.

Ia tak pernah lagi membiarkan siapa pun menyentuh hatinya.

Semua hubungan adalah transaksi.

Dan semua perempuan, datang karena butuh uang.

Termasuk Amara.

“Jangan terlalu polos, Amara. Aku tahu kamu cuma ingin menyelamatkan keluargamu. Dan itu… sama saja dengan perempuan yang lain.”

***

Arga memasuki ruangannya dengan wajah datar. Ia sudah menuntaskan tiga rapat, menjawab dua puluh lima email, dan menolak dua panggilan dari Gunawan.

Tapi satu hal masih menempel di pikirannya sejak tadi pagi: Amara.

Kenapa tubuhnya masih terasa di ujung jarinya?

Kenapa wajahnya masih terbayang?

Pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan.

“Selamat siang, Tuan Baskara,” sapa Zeno dengan gaya berlebihan, satu tangan meniru pelayan kerajaan. “Saya datang bukan untuk menyerahkan laporan, tapi untuk—menanyakan malam pertama Anda!”

Arga mengerutkan kening. “Keluar lo.”

“Eits, jangan galak dulu dong. Gue cuma penasaran… lo serius semalam tidur bareng cewek yang bahkan baru lo kenal kemarin?” Zeno menarik kursi dan duduk tanpa izin di depan meja Arga.

Arga menghela napas. “Itu urusan pribadi.”

Zeno menyandarkan punggung. “Oke, fine. Tapi… gimana rasanya? Biasa aja? Atau… mindblowing?” Zeno membulatkan matanya.

Lalu dia berbisik, nakal, “Lebih oke dari Cassandra, enggak?”

Arga menegang. Wajahnya berubah seketika.

Zeno mengangkat kedua tangan. “Eh, sorry… gue becanda.”

Tapi Arga tetap mematung dengan tatapan kosong.

Ingatannya ditarik mundur ke sepuluh tahun lalu di sebuah kamar hotel.

Cassandra duduk di atas seprai putih, tertawa pelan saat Arga menyentuh pipinya. Malam itu adalah pertama kalinya mereka tidur bersama.

Tapi… sekarang ketika ia ingat kembali….

Tidak ada rasa canggung.

Tidak ada hambatan.

Tidak ada… rasa sakit.

Waktu itu, ia berpikir Cassandra hanya sangat percaya diri. Tapi malam tadi dengan Amara—dengan tubuh yang gemetar, napas yang tertahan, dan darah yang menyisakan tanda—membuat Arga sadar satu hal:

“Cassandra mungkin tidak pernah jujur sejak awal.” Arga bergumam pelan.

Tangannya mengepal di atas meja. Zeno memperhatikan perubahan ekspresi itu.

“Arga? Lo kenapa?”

Arga menatap layar MacBook kosong di hadapannya, tapi pikirannya jauh ke malam sebelumnya.

Kenapa perasaan itu masih ada?

Kenapa gadis itu justru membuat semua luka lama kembali terasa?

“Gaaa!” Zeno melambaikan tangannya di depan Arga.

“Keluar Zeno, gue lagi emosi.” Arga mengatakannya dengan nada rendah tanpa menatap wajah Zeno dan sebagai sahabat Zeno tahu kalau Arga sedang marah besar, entah karena apa.

Tapi jika memang karena kesalahannya, Zeno akan meminta maaf nanti.

Untuk sekarang, Zeno haru lari terbirit-birit keluar dari ruangan Arga dulu.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Related chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

    Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru

    Dernière mise à jour : 2025-04-07
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Hanya Pernikahan Kontrak

    Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk

    Dernière mise à jour : 2025-04-11
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Menyerah Tapi Hati Melawan

    Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa

    Dernière mise à jour : 2025-04-11
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tanpa Sadar Mengkhawatirkan

    Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal

    Dernière mise à jour : 2025-04-12
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tidak Ingin Dianggap Perhatian

    Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli

    Dernière mise à jour : 2025-04-12
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Perubahan Sikap Arga

    Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in

    Dernière mise à jour : 2025-04-13
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Makan Malam Yang Membawa Bencana

    Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”

    Dernière mise à jour : 2025-04-14
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Antara Luka Lama Dan Rasa Baru

    Aroma bawang putih yang ditumis lembut menusuk hidung Arga. Pria itu menggeliat pelan, matanya terbuka setengah, lalu terbelalak begitu melihat jam di nakasnya: 07:36.“Shit!” Arga bangkit sambil merutuki dirinya sendiri. Baru kali ini dia bangun terlambat sejak … bertahun-tahun menjadi CEO CitraKredit.Arga melangkah cepat ke kamar mandi, air menyiram wajahnya yang masih setengah kantuk, mencoba membangunkan otaknya yang berat. Beberapa menit kemudian, ia sudah rapi dengan kemeja putih bersih dan celana bahan abu gelap. Rambutnya disisir ke belakang, parfum maskulin menyelimuti tubuhnya.Arga pergi ke dapur dengan langkah panjang dan yang pertama dilihatnya adalah punggung Amara.Sang istri mengenakan apron biru muda, rambut dikuncir rendah, tangan sibuk mengaduk sup di panci.Arga mendengus panjang, dan dalam sekejap marahnya langsung meledak.“Kamu enggak belajar dari semalam, ya? Masih sempat-sempatnya masak segala!” hardiknya tajam dari ambang pintu.Amara yang sedang memo

    Dernière mise à jour : 2025-04-15

Latest chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Saat Masalah Itu Kembali

    Mentari pagi menyusup dari celah tirai kayu, menyentuh kulit Amara yang masih bersandar di dada Arga. Nafas mereka perlahan, nyaris bersatu dalam irama tidur yang damai. Seprei linen berantakan menutupi separuh tubuh mereka, sisa malam penuh keintiman yang terasa berbeda dari sebelumnya—lebih dalam, lebih bermakna.Amara membuka mata pelan. Detik pertama yang ia lihat adalah rahang Arga yang kokoh, lehernya yang hangat, dan detak jantung yang stabil di bawah telinganya.“Aku enggak mau hari ini selesai,” bisik Amara pelan, seolah takut suara bisa merusak sihir pagi itu.Arga, yang ternyata sudah bangun namun enggan beranjak, membuka matanya dan mengusap punggung Amara lembut. “Kita masih punya beberapa hari. Bahkan kalau kamu mau… kita enggak usah pulang dulu.”Amara tersenyum. “Nanti kamu bisa dipecat.”“Siapa yang mau pecat CEO?” balas Arga santai, membuat Amara terkekeh dan menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.“Lima menit lagi aja ya,” kata Amara.“Kalau lima belas meni

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Bulan Madu

    Setelah sarapan pagi keesokan harinya, Arga membawa Amara checkout dari resort itu padahal Amara masih betah, dia belum menikmati kolam renang dan kenyaman kamar di resort tersebut.Mereka cukup lama berkendara dengan jalur menanjak hingga Amara merasakan udara dingin membelai pipinya melalui jendela yang sengaja dia buka.“Jadi, dari laut kita naik ke gunung?” Amara membuka suaranya setelah lama mereka hanya diam sibuk dengan benak masing-masing.“Tadinya aku spent sampai kita pulang nanti di resort sebelumnya, tapi kayanya pegunungan cocok untuk honeymoon,” kata Arga dari balik kaca mata hitamnya yang Amara duga sedang menatapnya penuh minat.Amara memalingkan wajah ke arah lain menahan senyum.“Enggak perlu ke Bali untuk honeymoon, semenjak kita menikah—kita udah langsung honeymoon,” gumam Amara menahan senyum.Arga terkekeh, dia merangkul pundak Amara dan membawa kepala istri tercintanya itu bersandar di pundaknya.Driver yang mengemudi di depan melirik melalui kaca spion t

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Menjadi Nyata

    Gunawan mengaduk es teh lemon yang nyaris mencair, wajahnya tampak kesal karena putra sambungnya selalu membela Amara. Tidak lama setelah Cassandra kembali dari yang katanya mengangkat panggilan telepon, Gunawan buka suara lagi.“Kita ke Surabaya dulu setelah dari sini,” ujar Gunawan dengan nada yang berusaha terdengar biasa saja.“Ada rapat penting sama mitra lama kita, dan Ayah mau kamu hadir langsung. Cassandra juga ikut, kebetulan dia punya agenda pitching ke salah satu perusahaan properti digital di sana,” sambung Gunawan terdengar seperti sebuah perintah.Arga hanya mengangkat satu alis. “Zeno bisa gantiin.”Gunawan berhenti mengaduk minumannya. “Maksud kamu?”“Zeno udah tahu semua agenda meeting. Proposal pun dia yang rancang. Jadi logisnya, dia yang handle. Aku enggak bisa ikut.”Cassandra langsung menoleh cepat. “Tapi ini penting, Ga. Kamu sendiri yang bilang, proyek di Surabaya bisa jadi langkah besar untuk ekspansi.”“Benar,” jawab Arga santai. “Makanya aku percaya

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Merasa Dihargai

    “Arga! Tunggu!” seru Cassandra, melangkah cepat menyusul Arga di lorong menuju ke kamar.Arga terus melangkah tapi Cassandra berhasil meraih pergelangan tangannya lalu pria itu menghela kasar.“Apaan sih!” serunya dengan ekspresi wajah tidak bersahabat.“Semenjak sampai di Bali kita belum bicara Arga, tadi siang kamu ngelengos gitu saja waktu ayah ibu kamu minta kita duduk berdua untuk ngobrol,” kata Cassandra melotot.“Terus kenapa? Kalau enggak ada urusan ngapain ngobrol … lagian kamu lupa sama kelakuan kamu waktu itu di kantor sampai nyaris membuat rumah tangga aku berantakan? Kamu enggak malu, Cassandra? Apa maksud kamu, hah?” Arga mengkonfrontasi sembari maju selangkah membuat Cassandra mundur selangkah.“Aku … aku hanya enggak mau kamu dimanfaatkan Amara … aku menduga, dia memberikan tubuhnya untuk membayar hutang adiknya, kan?” Pernyataan Cassandra itu membuat kening Arga mengernyit.“Kenapa kamu berpikir seperti itu?” Cassandra langsung gelagapan. “Emmm … ituuu … aku

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tidak Dianggap Menantu

    Pagi itu, langit Bali seolah mengerti semangat yang sedang tumbuh. Matahari belum terlalu tinggi, namun lapangan rumput di sisi resort sudah penuh oleh karyawan CitraKredit yang mengenakan kaus berlogo perusahaan. Tenda-tenda kecil berjajar rapi, dipenuhi aneka makanan ringan, minuman segar, dan hadiah lomba.Amara duduk di samping Arga, mengenakan celana panjang linen putih dan blus biru muda, wajahnya segar dan cerah. Arga sendiri tampil santai dalam kemeja putih lengan pendek dan celana chino navy. Meski terlihat dingin seperti biasa, pria itu tak pernah jauh dari sisi Amara.Suasana gathering meriah. Ada lomba tarik tambang, balap karung, hingga estafet antar-departemen yang mengundang tawa. Karyawan bersorak-sorai, para petinggi perusahaan duduk di tenda VIP sambil memantau—termasuk Gunawan, Laraswati, Vikram dan Lavina. Musik akustik Bali dengan irama kecapi dan gamelan modern mengalun lembut, menciptakan suasana eksklusif namun tetap santai. Aroma sate lilit dan kopi Bali m

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Pillow Talk

    Langkah mereka menyusuri lorong hotel terasa lebih sunyi dari biasanya. Seolah dunia memutuskan untuk memberi ruang hanya bagi mereka berdua. Arga berjalan setengah langkah di depan, tangannya tetap menggenggam jemari Amara—erat, hangat, tidak tergesa.Sesampainya di kamar, lampu tidak langsung dinyalakan. Cahaya remang dari balkon cukup menerangi siluet ruangan. Ombak masih terdengar samar di kejauhan, menjadi alunan latar bagi detak jantung yang mulai berpacu.Arga menutup pintu. Sunyi seketika melingkupi mereka.Amara menoleh pelan, menatap wajah Arga yang kini hanya berjarak beberapa jengkal darinya. Tatapan pria itu tidak lagi datar. Ada sesuatu yang berubah—lebih dalam, lebih nyata.“Terima kasih untuk pesta ulang tahun kecilnya, sangat berarti untuk aku, Ga …,” bisik Amara, suaranya nyaris tak terdengar.Arga tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan, menyentuh pipi Amara dengan telapak hangatnya. Sentuhan yang tidak memaksa, tapi membuat tubuh Amara merespons dengan berg

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Dimiliki

    Suara dering ponsel Arga dari atas meja bar membuat Amara menoleh. Ia baru saja selesai menekan tombol start pada mesin cuci ketika Arga turun dari tangga, sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih dan celana chino abu-abu yang membuatnya tampak santai tapi tetap karismatik. Bi Eti tidak datang lagi, katanya sakit sehingga Amara yang menggantikannya mengerjakan pekerjaan rumah pagi ini. “Ra,” panggil Arga sembari meraih ponsel lalu datang menghampiri. Amara menyeka tangannya menggunakan handuk kecil, masih berdiri di depan mesin cuci. “Ya?” “Kita harus ke Bali besok pagi,” kata Arga tanpa basa-basi. Amara mengerjap. “Besok pagi?” suaranya meninggi. “Kamu serius?” Arga mengangguk singkat. “Gathering tahunan CitraKredit, sekalian ulang tahun perusahaan. Ayah dan ibu akan hadir juga. Vikram sama istrinya datang. Jadi … kamu harus ikut.” Amara menghela napas panjang, dia tahu kalau dia dikontrak untuk menemani Arga, menjadi pendamping pria itu tapi, “Kenapa baru bil

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Penjelasan

    Perlahan—dengan ragu—Amara mendekat ke sofa panjang lalu duduk di sana.Perutnya seketika berbunyi tatkala aroma ramen menyeruak masuk ke indra penciumannya.Amara melirik Arga sekilas dengan ekspresi kesal namun tak ayal dia raih juga mangkuk besar ramen dari atas meja.Arga duduk di samping Amara, dia meraih sumpit yang masih dibungkus kemudian membukanya setelah itu diberikan kepada Amara.“Kayanya udah enggak panas lagi, bisa kamu makan sekarang,” kata Arga sembari meraih mangkuk ramen miliknya.Amara makan dengan lahap tanpa banyak bicara karena perutnya memang sangat lapar, dia melewatkan makan siang dan banyak bersedih serta menangis seharian ini.Sesekali Arga melirik Amara yang tekun menghabiskan ramennya.“Kamu tahu ‘kan kalau Cassandra itu dulu mantan aku ….” Arga akhirnya buka suara.“Tahu … tapi aku enggak peduli,” balas Amara ketus.Arga mengulum senyum, dia merasa Amara cemburu dan entah kenapa rasanya menyenangkan seolah dengan cemburunya Amara itu dia jadi ta

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Bentuk Permintaan Maaf

    Kotak makan siang itu jatuh ke lantai marmer, terbuka sedikit, menumpahkan aroma ayam lada hitam yang tadi pagi dimarinasi Amara sendiri.Tapi tak ada yang memedulikan makanan itu.Arga masih duduk di sofa, matanya melebar saat melihat Amara berdiri di ambang pintu.Dan Cassandra?Sudah bangkit dari atas pangkuan Arga dengan blouse setengah terbuka, bibir merahnya membentuk senyum kecil penuh kemenangan.“Ama—”“Kamu .…” Suara Amara nyaris tak terdengar.Matanya tidak berkedip. Menatap Arga dan Cassandra yang baru saja berpisah dalam posisi yang sulit dijelaskan.Tangannya masih menggenggam paperbag kosong di sisi kanan, sementara tangan kirinya mengepal, gemetar.Amara pikir apa yang mereka lakukan selama ini begitu berarti.Ah, tidak. Mungkin hanya bagi Amara sangat berarti. Bagi Arga, Amara hanya istri kontrak.Sedangkan Cassandra adalah mantan Arga yang mungkin masih pria itu cintai.“Amara, aku bisa jelaskan.” Arga berdiri cepat, suara beratnya terdengar terburu-buru

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status