Share

Tubuh Yang Terikat

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-04-07 20:32:27

Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong.

Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri.

Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu.

“Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan.

Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga.

Amara memalingkan wajah.

Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu.

Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru terlihat semakin maskulin. Ia masuk ke ruang makan seperti biasa—tanpa kata, tanpa ekspresi.

Amara buru-buru mengambil dua piring dan menata makanan.

“Saya enggak tahu kamu suka sarapan apa jadi saya buat ini aja,” katanya pelan sambil meletakkan satu piring di hadapan Arga.

Pria itu hanya duduk tidak merespon, mengaduk sendok tanpa banyak bicara. Hening membentang di antara mereka. Bukan keheningan nyaman—tapi asing. Kaku. Seperti dua orang yang tak mengenal satu sama lain, meski tubuh mereka baru saja saling menyatu semalam.

Arga makan perlahan tanpa memprotes meski menu sarapan paginya hanya telur dan sawi. Sesekali matanya menatap ke arah luar jendela, seperti ada beban tak kasatmata yang menekan kepalanya.

Amara lebih sering menunduk. Sesekali mencicipi makanannya sendiri, tapi tak bisa merasakan apa-apa.

“Zeno akan kirim list menu makanan yang bisa kamu buat untuk sarapan pagi dan makan malam,” ucap Arga tiba-tiba.

Amara menoleh. “Baiklah… saya akan memasak menu kesukaan favorite kamu itu.”

Arga tak menjawab. Hanya mengangkat gelas berisi air putih dan meneguknya pelan.

Setelah beberapa menit, ia bangkit dari kursi lalu menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Amara mencuci piring satu per satu. Lalu mengepel lantai, membersihkan meja, dan menyemprot ruang tamu dengan pengharum ruangan.

Ia mencoba merasa berguna. Tapi rumah itu tetap dingin.

“Tubuhku milik dia. Tapi hatiku masih milikku sendiri,” bisiknya.

Karena entah kenapa, setiap kali mengingat suara Arga semalam—napasnya, ciumannya, keterkejutannya saat tahu dirinya masih perawan—ada bagian di dada Amara yang ikut berdenyut … bingung.

“Jangan berharap,” katanya sendiri.

“Karena di rumah ini, tak ada tempat untuk hati.”

Setelah Amara selesai menyelesaikan pekerjaan rumah, Arga turun dari lantai dua dengan tubuh segar dibalut pakaian rapih yang biasa dia kenakan untuk bekerja.

“Saya pulang malam, jangan menunggu dan jangan lupa minum pil KB setiap hari untuk berjaga kalau saya sedang menginginkanmu.”

Amara memejamkan mata sekilas, demi apa itu kalimat Arga sangat menusuk di jantungnya.

“Baik.” Amara menjawab datar.

“Tentang semalam…”

Amara menahan napas menunggu kalimat Arga selanjutnya.

“Jangan bawa itu ke hati. Jangan berpikir terlalu jauh.”

Arga menoleh. Tatapannya datar. Ada bayangan aneh di mata itu—seperti keraguan yang tak jadi lahir.

“Saya enggak akan menganggap itu apa-apa,” jawab Amara pelan, tapi tegas.

Arga mengangguk sekali. Lalu mengambil kunci mobil dari gantungan.

“Pastikan semua lampu dan kompor mati juga semua pintu terkunci saat kamu tinggal.” Arga berpesan sebelum akhirnya melewati pintu dan terdengar suara pintu tertutup.

Sekali lagi, Amara berdiri sendiri. Rumah itu kembali sunyi.

Amara pergi ke kamar untuk bersiap pergi mengajar, ia mencoba melupakan apa yang terjadi tadi malam dan pagi ini, dia mencoba… merasa normal.

Tapi rasa sakit di tubuhnya, tatapan dingin Arga tadi dan suara detak jam yang nyaring membuat semua usaha itu sia-sia.

Ia mengangkat wajah ke arah langit-langit tinggi kamar itu.

Dan bertanya dalam hati, “Berapa lama aku bisa bertahan tanpa dicintai … dan tanpa jatuh cinta?”

***

Mobil sport hitam itu melaju tenang keluar dari cluster.

Arga memegang kemudi dengan satu tangan. Sedangkan tangannya yang lain meninju stir pelan, frustrasi diam-diam yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan logika.

“Dia terlalu tenang,” gumamnya dengan raut wajah kesal.

Amara tidak menangis, tidak menempel, tidak manja. Ia memasak, berbicara seperlunya, dan bahkan bisa menjawab dingin dengan wajah datar. Tapi justru itu yang membuat Arga terusik.

“Dia seperti bukan bagian dari pola.” Arga bergumam.

[FLASHBACK – tujuh tahun lalu]

Sore itu, di rooftop hotel bintang lima. Langit Jakarta berwarna oranye keemasan. Arga berdiri dengan tuksedo lengkap di sebuah pesta pernikahan sahabatnya, sementara Cassandra—wanita yang ia cintai sejak kuliah—berlutut sambil menyodorkan cincin.

“Maukah kamu menikah denganku, Arga?”

“Karena aku enggak mau menunggu kamu siap lebih lama lagi.”

Orang-orang bersorak. Para tamu pesta langsung mengangkat kamera untuk mengabadikan momen tersebut padahal bukan mereka sang pemilik pesta.

Dan Arga, yang selama ini terlalu rasional, terlalu kaku, akhirnya luluh. Ia mengangguk.

Tapi anehnya satu tahun kemudian, Cassandra kabur bersama CEO muda dari perusahaan investasi Singapura.

Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Hanya satu pesan singkat:

“Aku mencintai kamu, tapi aku enggak bisa hidup sebagai nomor dua dalam hidupmu. Maaf.”

Bayangkan bagaimana malunya Arga?

Pasalnya lamaran Cassandra itu disaksikan oleh banyak orang yang mengenalnya, belum lagi Cassandra sudah diperkenalkan kepada kedua orang tuanya yang ternyata juga mengenal kedua orang Cassandra.

Lalu tiba-tiba kabar Cassandra berpacaran dengan pengusaha muda Singapura menjadi trending Topic di circle-nya.

Arga harus mendapati tatapan iba dari orang-orang selama beberapa tahun.

Sejak itu, Arga berubah.

Ia bekerja keras mengembangkan CitraKredit yang telah dibangunnya dari nol yang rencana awalnya untuk menghidupi mereka dan anak-anak mereka di masa sekarang hingga masa depan.

Namun dengan kerja keras dan fokusnya setelah dikhianati Cassandra, hanya dalam waktu beberapa tahun saja, Arga berhasil mengembangkan perusahaan berbasis logika, sistem, angka tersebut hingga setara dengan bisnis besar lainnya di Indonesia.

Menurut Arga, cinta adalah investasi paling bodoh. Penuh harapan, tapi tanpa jaminan balik modal.

Ia tak pernah lagi membiarkan siapa pun menyentuh hatinya.

Semua hubungan adalah transaksi.

Dan semua perempuan, datang karena butuh uang.

Termasuk Amara.

“Jangan terlalu polos, Amara. Aku tahu kamu cuma ingin menyelamatkan keluargamu. Dan itu… sama saja dengan perempuan yang lain.”

***

Arga memasuki ruangannya dengan wajah datar. Ia sudah menuntaskan tiga rapat, menjawab dua puluh lima email, dan menolak dua panggilan dari Gunawan.

Tapi satu hal masih menempel di pikirannya sejak tadi pagi: Amara.

Kenapa tubuhnya masih terasa di ujung jarinya?

Kenapa wajahnya masih terbayang?

Pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan.

“Selamat siang, Tuan Baskara,” sapa Zeno dengan gaya berlebihan, satu tangan meniru pelayan kerajaan. “Saya datang bukan untuk menyerahkan laporan, tapi untuk—menanyakan malam pertama Anda!”

Arga mengerutkan kening. “Keluar lo.”

“Eits, jangan galak dulu dong. Gue cuma penasaran… lo serius semalam tidur bareng cewek yang bahkan baru lo kenal kemarin?” Zeno menarik kursi dan duduk tanpa izin di depan meja Arga.

Arga menghela napas. “Itu urusan pribadi.”

Zeno menyandarkan punggung. “Oke, fine. Tapi… gimana rasanya? Biasa aja? Atau… mindblowing?” Zeno membulatkan matanya.

Lalu dia berbisik, nakal, “Lebih oke dari Cassandra, enggak?”

Arga menegang. Wajahnya berubah seketika.

Zeno mengangkat kedua tangan. “Eh, sorry… gue becanda.”

Tapi Arga tetap mematung dengan tatapan kosong.

Ingatannya ditarik mundur ke sepuluh tahun lalu di sebuah kamar hotel.

Cassandra duduk di atas seprai putih, tertawa pelan saat Arga menyentuh pipinya. Malam itu adalah pertama kalinya mereka tidur bersama.

Tapi… sekarang ketika ia ingat kembali….

Tidak ada rasa canggung.

Tidak ada hambatan.

Tidak ada… rasa sakit.

Waktu itu, ia berpikir Cassandra hanya sangat percaya diri. Tapi malam tadi dengan Amara—dengan tubuh yang gemetar, napas yang tertahan, dan darah yang menyisakan tanda—membuat Arga sadar satu hal:

“Cassandra mungkin tidak pernah jujur sejak awal.” Arga bergumam pelan.

Tangannya mengepal di atas meja. Zeno memperhatikan perubahan ekspresi itu.

“Arga? Lo kenapa?”

Arga menatap layar MacBook kosong di hadapannya, tapi pikirannya jauh ke malam sebelumnya.

Kenapa perasaan itu masih ada?

Kenapa gadis itu justru membuat semua luka lama kembali terasa?

“Gaaa!” Zeno melambaikan tangannya di depan Arga.

“Keluar Zeno, gue lagi emosi.” Arga mengatakannya dengan nada rendah tanpa menatap wajah Zeno dan sebagai sahabat Zeno tahu kalau Arga sedang marah besar, entah karena apa.

Tapi jika memang karena kesalahannya, Zeno akan meminta maaf nanti.

Untuk sekarang, Zeno haru lari terbirit-birit keluar dari ruangan Arga dulu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Arah

    Zeno berdiri di tepi pagar ketika Arga mulai melajukan kendaraannya, dengan tangan bersedekap dan senyum kecil menyambut mereka yang akan berangkat menuju rumah utama.“Kalian hati-hati di jalan ya,” ujar pria itu saat mobil Arga berhenti di depannya. “Terima kasih, Mas Zeno … untuk Aryana … untuk semuanya.” Zeno terkekeh kecil. “Santaiii. Gue cuma ingin liat sahabat gue bahagia.”“Lo enggak ikut mampir ke rumah?” tanya Arga kemudian.“Gue harus balik ke kantor. Masih ada jadwal meeting sore ini.”“Titip salam buat mbak Clara ya, Mas,” ujar Amara sambil tersenyum tipis.Zeno mengangguk. “Pasti. Dia akan senang dengar kamu pulang karena selama ini Arga uring-uringan terus sewaktu nyariin kamu.”Setelah berpamitan, Arga melajukan kendaraannya kembali dan dengan satu tarikan nafas panjang, mereka pun melanjutkan perjalanan terakhir siang itu—menuju rumah mereka sendiri.***Rumah itu berdiri megah tapi bersahaja, dengan desain kontemporer bernuansa hangat. Amara sempat menghe

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Pulang

    Langit siang itu cerah, tapi udara terasa lebih lembut dari biasanya. Seolah alam pun tahu bahwa hari ini akan menjadi awal baru bagi seseorang yang telah lama bersembunyi dari dunia.Amara berdiri di ambang pintu kamar, menatap koper besar yang sudah tertutup rapat. Di sisinya, Ima sedang melipat selimut kecil dan meletakkannya ke dalam tas kain berisi kebutuhan bayi. Di sisi lain, Arga sedang berbicara lewat telepon dengan nada serius—mengatur kepergian mereka semua ke Jakarta.“Aku sudah hubungi Bayu. Dia akan datang bawa mobil dan kursi roda untuk Ibu,” ucap Arga sambil menutup telepon.Dia menghampiri Amara lalu duduk di sebelahnya.Amara hanya mengangguk pelan. Pandangannya melayang ke luar jendela, ke halaman belakang Villa Bayu yang selama enam bulan terakhir menjadi tempat persembunyiannya—tempat ia lari dari pria yang selalu menyakiti hatinya, tempat ia menangis dalam sepi, dan tempat ia belajar menerima luka.“Aku akan kangen tempat ini,” gumamnya lirih.Arga menoleh.

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Keputusan Untuk Pulang

    Cahaya pagi menembus celah tirai kamar dan mendarat tepat di wajah Amara.Ia mengerjap perlahan, merasa hangat dan terkurung dalam pelukan yang kokoh. Nafas hangat menyentuh tengkuknya, dan ketika Amara menunduk sedikit, ia menyadari tubuhnya tak terlapisi sehelai kain pun.Kesadarannya kembali—tentang malam yang penuh desahan dan rintihan. Tentang sentuhan yang begitu familiar, tentang gairah yang meledak dan pelukan yang menenangkan setelahnya.Pelan-pelan, Amara menoleh ke belakang. Arga masih terlelap, wajahnya tampak damai dan tenang, seakan beban bertahun-tahun telah rontok bersamaan dengan malam itu. Tangan Arga masih memeluk pinggang Amara, dan kakinya terlilit di antara kaki Amara seperti berusaha memastikan perempuan itu tidak akan pergi lagi.Amara menggigit bibir bawahnya. Perasaan campur aduk menyerangnya—antara malu, bersalah, canggung, dan mungkin sedikit bahagia.Ia mencoba menarik tubuhnya perlahan, tapi Arga malah menariknya lebih erat. Suara baritonnya terdenga

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Demi Rembulan

    “Sebelum datang ke sini, saya ke rumah sakit dulu untuk menanyakan hasil tes dna dan ternyata hasilnya sudah keluar.” Arga menyimpan amplop di atas meja yang langsung Amara raih dan membukanya.Makan malam sudah selesai dan mereka pindah ke ruang televisi.Arga mengangkat Rembukan dari bouncer lalu memangkunya.Tidak ada penolakan atau gerakan gelisah meski Rembulan terus mendongak menatap Arga seakan sedang merekam baik-baik wajah yang jadi sering ada itu.“Dia memang anak kandung Rendy, hasilnya cocok.” Arga berujar kembali sebelum selesai Amara membaca seluruh tulisan di dalam kertas.“Syukurlaaaah ….” Amara mendesah lega.Ima memberikan Aryana kepada Amara. “Kamu makan dulu, Ma.” “Baik, Bu.” Amara langsung memakai apron menyusui untuk menyusui Aryana sementara ibu Sumiati menundukan kepala dengan mata terpejam di kursi rodanya seperti sedang bicara dengan sang Maha Pencipta mungkin mengucapkan banyak rasa syukur karena Aryana-cucunya bisa diselamatkan dan bisa berkumpu

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Memaafkan, Melupakan dan Melangkah Ke Depan

    “Banyak sekali masaknya, Bu …,” celetuk Ima yang sedang membantu Amara mengolah sayur dan daging untuk menjadi menu makan malam. “Pak Arga mau datang,” balas Amara pelan. “Oh … pak Bayu bilang kalau besok beliau juga mau datang ….” “Oh ya?” Amara menoleh menatap Ima sambil tersenyum. “Ih Ibu … kenapa senyumnya seperti itu?” Ima mengerucutkan bibirnya. “Sekarang kamu Bayu lebih sering chat kamu dari pada aku ….” Amara bukan sedang merajuk, senyumnya malah semakin lebar. “Saya pikir pak Bayu chat Ibu juga ….” Tampang Ima terlihat tidak nyaman. “Enggak tuh.” Amara tertawa. “Ibu lagi Happy ya? Akhir-akhir ini Ibu sering tertawa dan tawa Ibu lepas sekali.” Ima balas menggoda Amara. “Apa sih kamu, Ima.” Amara mengulum senyum. “Bu, sebenarnya saya mau ngomong tapi bukan kapasitas saya ….” Kalimat Ima menggantung. “Kamu mau ngomong apa?” Amara berubah serius. “Tentang pak Arga … saya setuju dengan ibu Sumiati … sebaiknya Ibu kembali bersama dengan pak Arga.”

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Takut Terluka Lagi

    “Bu, matahari paginya bagus … kita jemur Aryana dan Rembulan sekarang aja ya?” Ima berujar dari ambang pintu.“Oh boleh ….” Amara menggendong Rembulan lalu Ima menggendong Aryana dari box bayi.Dua bayi mungil itu sudah wangi setelah tadi Amara memandikannya secara bergantian.“Ibu mana?” Amara bertanya ketika berjalan di lorong dengan Ima setengah langkah di depannya.“Ibu sudah di depan, Bu ….” “Ooo ….” Amara bergumam.Di halaman yang luas itu, bu Sumiati duduk di kursi roda bermandikan sinar matahari yang hangat.Beliau tersenyum begitu melihat dua cucunya dibawa mendekat.Amara dan Ima duduk di kursi kayu lalu membuka pakaian bayi-bayi itu agar sinar matahari langsung mengenai kulit mereka.“Cucu Nenek … tampan dan cantik ….” Ibu Sumiati mencoba berkomunikasi.Rembulan tersenyum sembari menendang-nendang kakinya sedangkan Aryana memejamkan matanya sembari menggeliat dalam pelukan Ima.“Kayanya Aryana kekenyangan menyusu, Bu ….”Amara mengangguk. “Iya … sampai kempes i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status