“Ga, aku mau ke rumah ibu … boleh?” tanya Amara setelah pintu kamar dibuka dari dalam oleh pemiliknya.Arga menatap Amara dari atas ke bawah.Sudah siap pergi dengan tas tersampir di pundak.Meski matanya sembab karena banyak pikiran dan mungkin juga sering menangis—Arga tidak tahu mana yang pasti karena sudah beberapa hari mendiamkan Amara—tapi istrinya itu masih terlihat cantik membuat Arga iba.“Aku antar … aku sekalian mau ke rumah ibuku.” Arga jujur tapi tidak memberitahu untuk alasan apa.Amara mengangguk lalu berbalik, menunggu Arga di kursi ruang tamu sambil melamun.Ketika Arga turun dengan pakaian semi formal—karena katanya sang ibu akan membuat pesta kecil yang mengundang beberapa klien—dia melihat Amara sedang menatap kosong ke luar jendela.Arga menghentikan langkah di tengah tangga menatap sendu ke arah Amara.“Kayanya gue udah enggak perlu marah sama Amara karena kata Zeno, gosip tentang pernikahan kontrak kami di sekolah tempat Amara mengajar enggak berpengaruh
Pagi itu, langit Jakarta berwarna kelabu seperti mencerminkan isi hati Amara. Langkahnya ke ruang guru terasa lebih berat dari biasanya, seperti menembus lapisan-lapisan tatapan yang menggantung di udara.Tak lagi hangat seperti biasanya. Beberapa guru hanya melemparkan senyum kecil, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan—seolah kehadirannya menjadi sesuatu yang janggal.Amara menunduk, berusaha tetap tenang. Ia baru saja meletakkan tas di kursinya saat seorang staf tata usaha menghampirinya dengan nada canggung.“Bu Amara, pak Burhan minta Ibu ke ruangannya sekarang.”Tangan Amara sedikit gemetar saat ia meraih map pelajaran yang bahkan belum sempat dibuka. Ia mengangguk lemah, lalu berjalan keluar dengan dada yang berdebar tak karuan.Setibanya di depan pintu ruang kepala sekolah, Amara menarik napas panjang sebelum mengetuk.“Masuk.”Suara berat itu familiar, tapi kini terdengar lebih dingin. Amara membuka pintu pelan. Pak Burhan duduk di balik meja kayu besar dengan raut ya
Jarum jam sudah bergerak ke angka 22.14 WIB ketika Amara masih terduduk di ranjangnya, tangan mengepal di pangkuan, mata menatap kosong ke dinding.Kepalanya dipenuhi oleh suara-suara Arga barusan—tentang Cassandra, tentang khilaf, tentang keinginan untuk “menginginkannya malam ini.”Hatinya menolak. Tapi pikirannya mengingat kembali bahwa keinginan Arga adalah bagian dari kontrak yang pernah ia tandatangani dengan tangan sendiri.“Tubuhmu menjadi jaminannya.”Kalimat itu kembali terdengar di telinganya, seperti gema yang tak pernah hilang.Perih.Tapi lebih dari itu, Amara tahu, ini bukan lagi tentang kewajiban atau kontrak. Ini tentang harga dirinya. Tentang apakah ia masih punya kendali atas tubuh dan luka yang ditimbulkan oleh orang yang diam-diam masih ia cintai.Dengan langkah pelan, Amara berdiri. Ia menarik napas panjang, meraih cardigan tipis untuk menutupi gaun tidur satin yang melekat di tubuhnya, lalu keluar kamar.Setiap langkahnya menuju kamar Arga seperti menjin
Arga : Aku pulang malam, kamu pulang dijemput driver.Pesan singkat yang Arga kirim itu membuat Amara mengembuskan nafas panjang.Tidak perlu lah Arga mengirim pesan atau pun mengirim driver untuk menjemput karena semestinya mereka sudah menjaga jarak.“Pulang Bu?” sapa Ricky yang sedang mengeluarkan motornya dari parkiran.“Eh Pak Ricky, iya Pak.” Amara tersenyum. “Sudah dijemput supir ya?” Basa-basi Ricky belum selesai.“Iya Pak … saya duluan ya.” “Amara ….” Langkah Amara terhenti tatkala namanya dipanggil oleh Ricky, panggilan tidak formal yang dilarang di lingkungan sekolah.Amara menoleh. “Semenjak kamu menikah, kamu seperti bukan kamu … bahagianya kamu enggak tulus ….”Deg.Amara membulatkan matanya.“Apa maksud Pak Ricky?”Ricky mendekat menggunakan motornya.“Aku tahu kamu hanya nikah kontrak ….” Ricky menatap Amara dingin.Kening Amara mengerut dalam, ingin melayangkan sanggahan namun kehilangan kata.“Semua guru bahkan kepala sekolah sudah tahu, Rania yang
Keesokan paginya ketika mereka bangun secara bersamaan, suasana mendadak canggung.Amara dan Arga mengurai pelukan, Arga langsung mencari pakaiannya sementara Amara membalut tubuhnya menggunakan selimut hingga menutupi kepala.Arga tersenyum melihat tingkah istrinya, dia keluar dari sana tanpa mengatakan apapun.Mereka kembali bertemu di meja makan dan hening menjadi teman mereka saat itu.“Aku antar.” Satu kalimat Arga membuat Amara mengikutinya ke garasi lalu duduk di samping kemudi.Arga cukup fokus mengemudi ketika ada motor di depan yang memotong jalan, dia langsung menginjak rem dengan satu tangan terulur ke samping menahan dada Amara agar tidak tersungkur ke depan akibat dia mengerem mendadak.“Kamu enggak apa-apa?” Arga bertanya dengan ekspresi khawatir.Amara menggelengkan kepala. Sikap manis Arga itu yang dulu sering dia dapatkan dan Amara rindukan.Akhirnya mereka sampai di sekolah tempat Amara mengajar.Arga mematikan mesin mobilnya.“Kamu masih marah?” Arga be
Tok …Tok …Amara menoleh ke pintu, dia menatapnya sebentar sebelum akhirnya bangkit dari kursi meja rias.Dengan langkah gontai, Amara sampai ke pintu.Dia tahu siapa yang mengetuk dan sebenarnya enggan bersosialisasi dengan pria itu setelah tadi Arga menjemputnya ke sekolah lalu perjalanan pulang dan makan malam yang hening.Ceklek …Namun karena masih terikat kontrak karena adik sialannya, Amara mau tak mau membuka pintu.Sosok tampan Arga yang baru saja mandi dengan rambut masih basah dan pakaian tidur nyaman berdiri di sana.“Kamu udah mandi?” Pria itu bertanya basa-basi sembari mendorong pintu agar terbuka lebar kemudian melangkah masuk membuat Amara mundur beberapa langkah.Sebenarnya hanya pertanyaan basa-basi karena saat ini Arga bisa melihat Amara sudah berganti pakaian dengan tubuh dan wajah segar bahkan rambutnya masih diikat bun belum sempat sisiran.“Udah.” Tapi Amara menjawab juga.“Mata kamu ….” Arga mengangkat tangan untuk memeriksa mata Amara yang tidak di
“Cassandra gagal,” gumam Laraswati pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.Gunawan tidak langsung menanggapi. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh. “Itu sudah bisa ditebak. Seharusnya kita tidak menggantungkan harapan pada anak seperti itu.”“Padahal aku pikir, karena masa lalu mereka… mungkin Arga masih punya celah simpati.” Laraswati menyentuh gagang cangkirnya, lalu mengangkatnya pelan. “Tapi ternyata bukan simpati yang tersisa, justru dendam dan kehampaan.”Gunawan membalik tubuh sepenuhnya, mendekat ke arah istrinya. “Berarti saatnya kembali ke rencana awal. Alena.”Laraswati mengangkat wajahnya, alisnya terangkat. “Kamu yakin? Dia masih terlalu muda.”“Tapi lebih cerdas dari Cassandra. Lebih tenang. Dan jauh lebih mudah diarahkan.” Gunawan duduk di kursi seberang Laraswati, menatap istrinya lekat. “Alena punya ambisi yang diselimuti kelembutan. Tipikal calon istri yang bisa membuat Arga terlihat sempurna di depan publik.”Laraswati mengangguk pelan, mengingat kem
“Aku buatkan teh ya, Ga ….” Amara melepaskan genggaman tangan Arga yang menuntunnya masuk ke dalam rumah.“Enggak usah, kamu istirahat aja ….” Meski dingin tapi nada suara Arga rendah tidak seketus biasa.“Aku udah enggak apa-apa … ‘kan udah dokter obatin ….” Amara tampak senang sekali atas kepulangan Arga, tidak peduli akan ultimatum pria itu dalam panggilan video call malam lalu.Tanpa mau menuruti ucapan Arga untuk istirahat, Amara pergi ke dapur membuatkan teh.“Ga, mau makan malam apa? Aku buatkan sapo tahu sama fuyunghai ya?” Amara berteriak dari dapur.Arga menderapkan langkah ke dapur. “Amara!” serunya lebih tegas kali ini.“Aku udah pesan makan malam,” kata Arga manatap Amara lekat.“Oh ….” Amara melangkah mendekat membawa cangkir teh.“Ya udah, kamu minum teh dulu ….” Arga mengembuskan nafas panjang, dia memutar tubuh tanpa mengambil alih cangkir dari tangan Amara agar istrinya itu mengikutinya ke living room.Amara tentu saja mengikuti Arga, pria itu harus menikm
Amara seperti orang linglung, dia banyak melamun, raut wajahnya tampak sendu. “Amara.” Rania menepuk pundak Amara singkat. “Eh Nia ….” Amara menyembunyikan kesedihannya dengan tersenyum manis menyapa Rania. “Kamu ada masalah lagi sama Arga?” Rania bertanya. Amara sudah bosan menceritakan masalahnya kepada Rania, karena kalau dipikir-pikir—sepertinya hanya dia saja yang memiliki masalah hidup sementara Rania tampak lurus-lurus saja hidupnya. Dia tidak ingin menjadi beban bagi Rania jadi menjawab, “Enggak … aku lagi kangen dia, sudah tiga hari dia melakukan perjalanan bisnis ke Surabaya.” “Oooh, ya ampun … dasar ya pengantin baru.” Rania menyenggol lengan Amara. Amara pura-pura tersipu. “Eh … tapi udah mau setahun ya, Ra?” Dan pertanyaan Rania itu mengingatkan Amara dengan kalimat Arga ketika melakukan video call malam lalu. Sekuat tenaga Amara menyembunyikan pahit perasaan yang tengah membelenggunya. “Iya … tiga bulan lagi,” kata Amara. “Setelah itu kamu bebas apa