Share

Bagian 2

Satu bulan berlalu. 

"Uangnya sudah habis. Kakak pakai untuk bayar cicilan dan arisan. Terus sisanya kakak belikan AC. Soalnya kamar kakak panas," ucap Lesti santai ketika Arlina menagih. 

"Tapi, Kakak sudah janji mau bayar kalau tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair." Arlina menahan dongkol.

"Iya. Tapi uangnya sudah habis, gimana?" sahut perempuan itu bagai tak berdosa.

"Lha, itu 'kan uang aku, Kak. Aku butuh, mau belanja keperluan lahiran."

"Bulan depan saja, deh. Tunggu kakak dapat arisan."

"Kalau belum bisa full, satu juta saja dulu, Kak. Aku butuh," mohon Arlina. 

Ah, siapa yang berhutang, siapa yang memohon? Yang punya uang justru seperti pengemis. 

"Bawel amat, sih! Uangnya sudah habis, ya sudah habis," sentak Lesti kasar. Memupus harapan Arlina saat itu untuk mendapatkan uangnya kembali. 

Arlina melangkah lesu meninggalkan rumah minimalis yang tertata rapi itu. Perabot yang lengkap, dengan sofa yang empuk. Berbeda dengan rumahnya yang hanya memiliki kursi plastik.

Pot dengan bunga yang cantik tersusun rapi pada rak, indah menghias teras. Perempuan dengan perut membukit itu tahu kisaran harga bunga-bunga itu, semua lumayan mahal. 

"Dapat, Dek?" tanya Safwan ketika langkah istrinya berhenti di samping sepeda motornya. Ia sengaja menunggu di luar, membiarkan Arlina saja yang menagih.

Perempuan itu menggeleng, "Kakak kamu, tuh," ujarnya menahan tangis. Kesal, marah, sedih, bercampur baur. 

"Aku 'kan sudah bilang ...," lanjutnya. 

"Ya, sudah terlanjur," balas laki-laki itu ringan. Membuat tangis yang ditahan Arlina luruh karena jengkel yang tidak berlawan. 

"Sebal!" Wanita itu terisak, "Ayo, pulang," ucapnya setelah menghenyakkan tubuh di atas jok dengan kasar.

"Kata Kak Lesti 'kan bulan depan dapat arisan, Dek." Safwan urung menghidupkan mesin kendaraan begitu melihat tangis di mata istrinya.

"Entah! Ayo pulang!" sahutnya jengkel.

***

Bulan berikutnya.

"Uang arisan diambil Bang Yusuf, Ar. Kakak gak berani minta."

Arlina menghela napas berat. Sesak. Rasanya ingin dia berteriak agar sesak itu lepas dari dadanya. 

"Tapi aku butuh, Kak." Alih-alih berteriak, suaranya justru memelas. 

"Ya, gimana?" Lesti mengedikkan bahu. Tanpa rasa bersalah terbaca dari rautnya. 

"Jadi, kapan Kakak mau bayar?"

"Bulan depan kakak coba sisihkan dari gaji. Tapi gak bisa full."

Lelah. Untuk kedua kalinya Arlina melangkah lesu meninggalkan rumah minimalis itu. Ingin marah, mengumpat, tetapi percuma. Tidak akan uang itu seketika terganti hanya dengan dia marah. 

"Antar aku ke rumah Kak Arni, Bang. Aku mau pinjam perlengkapan bayi," ucapnya putus asa. Arni adalah kakak tertua Arlina. 

Safwan mengangguk, menjawab tanpa suara. Mengantarkan istri tercintanya ke tempat yang disebut. 

Ada rasa bersalah menelusup di hatinya. Dia yang tidak bisa memenuhi utuh kebutuhan Arlina, tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal uang itu dipinjam karena ulahnya. 

Dengan hamil besar, wanitanya masih harus membuat kue untuk membantu keuangan. Namun, justru hasil jerih payahnya dipinjam sang kakak. Teringat ketika setiap malam istrinya mengeluh sakit pinggang, mungkin karena kelelahan, hatinya semakin tidak nyaman. 

"Abang gak usah masuk, carilah tempat untuk gadaikan cincin ini. Berapapun, untuk bayar BPJS. Sudah tiga bulan menunggak," ucapnya sambil mengangsurkan cincin kawin dari jari manisnya. 

Laki-laki itu meringis perih. Bahkan BPJS yang hanya lima puluh ribu sebulan tidak terbayarkan. 

Zaman memang sedang sulit untuk mereka. Dulu, saat awal pernikahan, dia masih banyak orderan. Bahkan nyaris setiap hari mengantar pelanggan masuk kampung. 

Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, ojek dari ibukota kabupaten ke pedalaman cukup tinggi. Tiga ratus ribu rupiah sekali jalan, sangat mudah bagi mereka mengumpulkan uang kala itu. 

Jualan kue Arlina pun masih lancar, sebelum para penjual kue lain meniru produknya dan menguasai pasar. Kini, rezeki mereka sedang diuji.

***

Meskipun pesimis, setelah satu bulan berlalu, pagi ini Arlina datang kembali menemui Lesti. 

"Ini, bawalah," ucap Lesti mengulurkan sebuah bungkusan besar. Arlina menilik isinya, setumpuk pakaian bayi bekas.

Uang yang diminta? Nihil!

"Itu punya Alif. Cuma kakak belum sempat cuci," ujar perempuan itu tenang, "Ambil saja, tidak usah dikembalikan."

Arlina menerima bungkusan itu, lalu meletakkannya kembali dengan kasar. Bahkan sebagian besar pakaian itu sudah sobek dan bernoda. 

"Aku gak butuh, Kak. Punya Kak Arni jauh lebih bagus dan bersih. Saat ini aku butuh uangku untuk persalinan. Kakak mau menukar uang lima jutaku dengan pakaian bekas bernoda dan sobek ini?" tanyanya tajam, "Kakak sudah zolim. Dan kelak Kakak akan menuai akibat dari kezoliman ini."

Perempuan itu berjalan kepayahan meninggalkan rumah Lesti sambil meringis memegang perut. Bagian belakang dasternya bercap basah oleh air ketuban yang rembes sejak tadi subuh. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status