"Dek, coba ke sini sebentar," panggil Safwan dari ruang tamu kepada istrinya, Arlina. Perempuan itu sedang berada di belakang rumah, mencuci baju. Di ruang tamu ada Lesti, kakak iparnya yang entah kenapa pagi-pagi sudah datang bertamu.
"Ada apa, Bang?" tanyanya ketika sudah sampai di ruang tamu. Sembari menepuk-nepukkan tangan pada baju agar kering, ia duduk di samping Safwan, berhadapan dengan Lesti.
"Ini, Dek. Kak Lesti mau pinjam uang, untuk mencukupi biaya pendaftaran Alif masuk sekolah,” sahut Safwan.
"Pinjam uang?" Seketika dahi Arlina berkerut.
"Iya, Ar. Bulan depan tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair, kakak ganti,” balas Lesti.
"Kakak gak salah pinjam uang ke kami?" Arlina menatap kakak iparnya yang sudah cantik dengan polesan make up, lengkap dengan outfit yang dikenakan. Jilbab yang hanya melilit leher, menampakkan kalungnya yang panjang melingkar. Cupingnya sedikit dikeluarkan, agar anting leluasa menjuntai. Baju yang membalut tubuh memiliki model lengan tujuh per delapan sehingga jelas terlihat susunan gelang gemerincing di tangannya.
"Kata Safwan kamu punya simpanan untuk persiapan lahiran. Kakak pakai itu dulu,” balas Lesti lagi.
Spontan Arlina mengerling pada Safwan yang duduk tenang di kursinya. Wanita itu gemas ingin mencubit sedikit saja kulit laki-laki itu pada bagian mana saja. Sudah berapa kali ia katakan jika ada yang berurusan dengan uang, bicara dulu berdua, bukan langsung dihadapkan seperti ini. Semua harus didiskusikan terlebih dahulu.
Sorot matanya pun protes, mengapa harus bercerita tentang uang itu? Bukan apa-apa, perempuan di depannya itu sudah jelek track record-nya tentang utang. Terkenal senang mengulur waktu hingga akhirnya tidak mau membayar.
Lagipula, secara pekerjaan, dia seharusnya lebih baik ekonominya. Suaminya guru bersertifikat. Sudah menjabat Kepala Sekolah. Lihat saja penampilannya, bak artis sosialita. Model baju dan tas selalu mengikuti trend artis, meskipun hanya barang KW. Namun, demikian pun harganya jauh lebih mahal dari apa yang dimiliki Arlina.
Sedangkan Arlina hanya mengandalkan jualan kue yang pesaingnya sudah menjamur. Suaminya ojek offline yang belakangan mulai sepi orderan, sudah jarang pengguna ojek di masa kendaraan bermotor bukan merupakan barang mewah seperti saat ini.
"Tapi uang itu untuk persiapan lahiranku, Kak," ucapnya memelas. Berharap perempuan di depannya mau mengerti dan mengurungkan niatnya, "Aku juga belum belanja perlengkapan bayi."
"Iya. Tahu itu untuk persiapan lahiran. Tapi perut kamu 'kan baru lima bulan. Lagi pula kakak sudah bilang, bulan depan tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair, kakak ganti uangmu." Suara Lesti meninggi. Arlina tersurut ciut, sekaligus dongkol.
"Pinjamkan saja dulu, Dek. Kan lahiran kamu masih lama," ucap Safwan tenang.
"Tapi, Bang ...."
"Kamu takut aku tidak bisa bayar? Sudah kukatakan, bulan depan tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair. Kalau tidak pun, dua bulan lagi aku dapat arisan. Get sepuluh juta." Lesti memotong ucapan Arlina.
"Memangnya Kakak mau pinjam berapa?" Wanita itu pasrah.
"Kata Safwan kamu ada lima juta."
"Itu keseluruhan tabunganku, Kak."
"Kakak pinjam semua."
"Semua?" Mata Arlina membulat, "Jangan semua, lah, Kak."
"Kalau gak semua, manalah cukup untuk biaya pendaftaran alif."
"Masa Kakak gak punya persiapan sedikit pun untuk biaya sekolah Alif. Sekolah itu 'kan bukan kebutuhan mendadak. Lagipula, pegawai negeri punya gaji tiga belas 'kan untuk keperluan anak sekolah?'
"Gaji tiga belas belum cair, ayo lah sini. Sudah siang ini. Bulan depan kakak ganti. Jangan takut."
"Kasihkan saja, Dek." Lagi-lagi Safwan bersuara yang tidak menyenangkan hati istrinya.
"Abanglah kasihkan," ucapnya menahan kesal.
Empat bulan lagi melahirkan bukanlah waktu yang lama. Dia mengumpulkan uang itu tidak sebentar, sejak awal menikah satu setengah tahun lalu. Saat itu dia belum tahu kapan akan hamil. Namun, karena sadar sebagai bukan orang berada, dia harus pintar menyisihkan penghasilan untuk disimpan walaupun sedikit.
Jika pun ada saudara yang membutuhkan, tidak harus semuanya dipinjamkan. Penghasilan mereka tidak tetap setiap bulan, bukan seperti Lesti yang bekerja atau tidak, gaji suaminya terus mengalir. Dia butuh cadangan jika sewaktu-waktu tidak dapat penghasilan.
Arlina beranjak, meninggalkan dua kakak beradik itu dengan kesal.
Satu bulan berlalu."Uangnya sudah habis. Kakak pakai untuk bayar cicilan dan arisan. Terus sisanya kakak belikan AC. Soalnya kamar kakak panas," ucap Lesti santai ketika Arlina menagih."Tapi, Kakak sudah janji mau bayar kalau tunjangan sertifikasi Bang Yusuf cair." Arlina menahan dongkol."Iya. Tapi uangnya sudah habis, gimana?" sahut perempuan itu bagai tak berdosa."Lha, itu 'kan uang aku, Kak. Aku butuh, mau belanja keperluan lahiran.""Bulan depan saja, deh. Tunggu kakak dapat arisan.""Kalau belum bisa full, satu juta saja dulu, Kak. Aku butuh," mohon Arlina.Ah, siapa yang berhutang, siapa yang memohon? Yang punya uang justru seperti pengemis."Bawel amat, sih! Uangnya sudah habis, ya sudah habis," sentak Lesti kasar. Memupus harapan Arlina saat itu untuk mendapatkan uangnya kembali.Arlina melangkah lesu meninggalkan rumah minimalis yang tertata rapi itu. Perabot yang
"Bagaimana, Dek?" Safwan menatap wajah kesal istrinya penuh tanya."Apanya yang bagaimana?" jawab Arlina ketus."Kak Lesti bayar hutangnya?" tanyanya lagi. Jawaban ketus istrinya barusan menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam hatinya."Menurut, Abang?" Wanita itu menatap sinis. Rautnya masam. Hingga Safwan menelan ludah pahit karenanya."Ayo, pulang!" Arlina menghenyakkan tubuh pada jok sepeda motor dengan kesal.Tangannya meremas pelan perut yang mulai terasa sering sakit. Bibirnya mendesis. Air mata mengalir begitu saja, antara menahan sakit di perut dan sakit di hati.Setiba di rumah, ia bergegas turun. Melangkah lebar-lebar, abai dengan kondisi yang sebenarnya sangat kepayahan."Hati-hati, Dek." Safwan mengejar khawatir. Berusaha merangkul pundak istrinya untuk menuntun. Namun, perempuan itu lekas menepis."Kita
Safwan melesatkan sepeda motornya menuju rumah Lesti. Meskipun tidak yakin apakah tujuannya itu benar, tetapi dia perlu bertemu dengan kakaknya itu."Aku sudah bilang sama Arlina, uangnya sudah tidak ada," sahut Lesti ketika ia menanyakan hutangnya, "Aku memberikan pakaian bayi bekas Alif, dia malah menolak.""Pakaian bayi sudah ada, Kak. Arlina meminjam dari Kak Arni. Dia hanya butuh uangnya sekarang. Kakak janji waktu itu hanya sebulan."Safwan yang sejatinya sudah emosi karena cemas, mencoba bicara tenang."Iya. Cuma waktu itu lalu ada keperluan. Jadi uangnya terpakai.""Kakak usahakanlah, karena Arlina benar-benar butuh uangnya. Dia akan melahirkan.""Kakak bilang uangnya sudah terpakai." Suara Lesti meninggi, mulai kesal karena Safwan yang kukuh menagih."Iya. Kakak usahakan bagaimana agar uang itu ada. Pinjam atau apalah. Lagi
Safwan tercekat, menatap nanar rumah yang bagai tak berpenghuni itu. Sejenak ia terpaku, sebelum akhirnya tersadar dan tergesa menuju sepeda motornya kembali."Ada apa, Wan?" Pipit--tetangga tepat samping rumah menyapa."Mmm ... tahu mereka pada ke mana, Kak?" Safwan bertanya khawatir."Lho, kamu belum tahu? Bukannya tadi mengantar istrimu mau melahirkan?""Kemana, Kak?" Laki-laki itu panik. Apa yang terjadi pada Arlina? Jantungnya berdegup kencang. Takut sesuatu yang buruk terjadi."Bagaimana, sih? Istri melahirkan, suami tidak tahu." Bukannya menjawab, perempuan tambun itu justru berucap yang membuat panas telinga Safwan. Padahal dia sedang butuh informasi."Kakak tahu Arlina dibawa kemana?" tanyanya tidak sabar."Ya ke rumah sakitlah. Masa ke pasar. Tadi kabarnya pingsan beberapa kali. Jadi Mak Yati minta tolong suami saya mengantar ke
“Ma ..., sudah siap belum?”Di sudut bumi yang lain, Lesti sedang mematut dirinya di depan cermin, mengaplikasikan kuas dan spons make up pada wajah, fitting beberapa stel baju. Lalu memutuskan mengenakan model terbaru yang sedang trend.“Sebentar lagi, Pa ...!” serunya dari dalam kamar. Sementara Yusuf dan Alif sudah menunggu sejak tadi di ruang tamu.“Lama sekali!” seru laki-laki itu tidak sabar.“Mama ‘kan harus tampil cantik, Pa,” ucap Lesti. Wanita itu sudah berdiri di depan yusuf.“Gimana?” tanyanya sambil bergaya memutar badan, memamerkan outfit yang dia kenakan. Gaun panjang yang pres di badan. Meskipun bawahan dan lengan panjang, tetapi model baju sempurna menunjukkan bentuk indah tubuhnya. Ditambah lagi, jilbab yang dia kenakan hanya pasmina yang melilit di leher.“Cantik, Ma. K
Safwan menyusut air mata mengantar tubuh Arlina yang didorong masuk ke ruang operasi. Hatinya luruh."Abang ridho atasmu, Sayang. Berjanjilah kamu akan kuat. Berjuanglah," lirihnya sambil mencium wajah pucat yang terpejam.Beberapa lama ia terpaku di ruang tunggu bedah central, kemudian memutuskan keluar."Saya ke sana dulu, Mak," pamitnya pada ibu mertua yang duduk di kursi lorong rumah sakit tidak jauh dari ruang bedah. Perempuan senja itu tampak tak henti mengusap pipi. Bibirnya selalu bergetar, melirihkan berbait doa untuk keselamatan putri bungsu tercinta."Ya," sahutnya sambil mengangguk lemah.Safwan melangkah gontai, netranya menatap plang penunjuk arah. Yang dia cari adalah musholla. Ia butuh bicara kepada Sang Pencipta, meminta agar Arlina baik-baik saja. Tidak dapat ia bayangkan jika wanita itu harus pergi. Hatinya tidak sanggup. Kondisi sang istri da
Safwan melangkah gontai, beberapa kali ia mengusap wajah dengan gusar, mengusir kabut yang menyungkup netra.Kakinya terasa berat terangkat ketika memasuki area kamar jenazah. Ia mencelos saat menatap salah satu bed, satu tubuh mungil ditutup selimut putih terbujur kaku di sana. Laki-laki itu mendekat perlahan. Sontak ia tergugu."Bangun, Nak," lirihnya, "Ayah bahkan belum mendengar kamu menangis. Menangislah yang kencang, ayah tidak akan marah. Jangan diam saja."Laki-laki itu menelungkupkan wajah di samping tubuh beku yang baru saja hadir ke dunia itu. Tubuhnya berguncang. Isaknya pilu meratapi buah hati yang belum sempat melihat indahnya dunia itu. Hatinya remuk. Jiwanya nelangsa.Setelah cukup lama menangis, ia menguatkan diri mengangkat wajah. Tangannya bergetar membuka kain yang menyelimuti buah hatinya itu.Seraut wajah mungil nan damai menyambut ketika kain itu tera
Yusuf terus berkelit ketika Lesti berusaha meraih ponsel pintarnya, "Papa mau ke kamar mandi, kebelet sejak tadi," ucapnya dan begitu saja ia gegas berlalu."Masa ke kamar mandi bawa hp?" Lesti merengut kesal. Namun, Yusuf tidak memedulikan."Tuh lihat, baterainya sudah merah begini," ujarnya setelah keluar dari kamar mandi.Ia menyodorkan benda pipih persegi panjang itu pada Lesti, "Kalau dipakai pas baterai lemah, nanti cepat rusak," dalihnya."Heleh, Papa setiap triwulan juga tukar hp yang baru. Rusak pun tidak apa dan tidak akan seberapa.""Gak triwulan lagi sekarang, Ma. Caturwulan.""Beda satu bulan saja. Sinikan hp-nya. Mama pinjam."Yusuf mengulurkan gawai berbentuk persegi panjangnya itu, pun dengan sedikit kesal. Lesti kalau sudah maunya, tidak akan bisa ditahan.Sambil menyandar di pucuk r