“Ma ..., sudah siap belum?”
Di sudut bumi yang lain, Lesti sedang mematut dirinya di depan cermin, mengaplikasikan kuas dan spons make up pada wajah, fitting beberapa stel baju. Lalu memutuskan mengenakan model terbaru yang sedang trend.
“Sebentar lagi, Pa ...!” serunya dari dalam kamar. Sementara Yusuf dan Alif sudah menunggu sejak tadi di ruang tamu.
“Lama sekali!” seru laki-laki itu tidak sabar.
“Mama ‘kan harus tampil cantik, Pa,” ucap Lesti. Wanita itu sudah berdiri di depan yusuf.
“Gimana?” tanyanya sambil bergaya memutar badan, memamerkan outfit yang dia kenakan. Gaun panjang yang pres di badan. Meskipun bawahan dan lengan panjang, tetapi model baju sempurna menunjukkan bentuk indah tubuhnya. Ditambah lagi, jilbab yang dia kenakan hanya pasmina yang melilit di leher.
“Cantik, Ma. Kayak Syahrini,” puji Alif cepat. Lesti mengangkat bibir lebar. Ia bahagia. Terlebih ketika Yusuf pun turut melemparkan pujian yang membuat hatinya berbunga-bunga.
“Mama pakai apapun selalu cantik,” ucap laki-laki itu sambil mengacungkan jempol.
Pakaian indah nan mahal. Penuh bling-bling mirip gaun artis Syahrini. Tentu saja mempercantik siapa saja yang memakainya.
“Terima kasih.” Senyum gigi geligi menghias bibir perempuan itu. Menceritakan sebahagia apa dirinya.
“Ayo berangkat, nanti terlambat. Gak enaklah, kita yang ngundang, kita yang terlambat.” Yusuf yang tampak gagah dengan celana jeans dan kemeja hitam pas body, melangkah keluar. Diikuti Alif, remaja laki-laki mereka yang akan masuk sekolah menengah pertama tahun ini.
“Papa tambahi uangku yang tadi terpakai lima ratus ribu,” ucap Lesti manja sambil mengunci pintu.
“Iya. Gampanglah, itu. Ayo,” sahut Yusuf enteng mengiringi langkahnya menuju mobil.
Bertiga, penuh senyum dan tawa bahagia mereka mengisi hari libur itu sesuai agenda yang telah direncanakan.
Mobil yang dikendarai Yusuf membelah kota kecil Ngabang, menuju sebuah tempat makan yang cukup terkenal di kota itu. Rumah makan yang menyediakan menu dengan cita rasa sangat memanjakan lidah. Sebanding dengan harga yang ditawarkan.
“Ini dia bos-nya. Baru datang,” ucap seseorang yang sudah menunggu di sana. Disambung beberapa yang lain dengan ucapan basa basi.
“Tuan rumah malah baru datang,” sindir salah satu dengan nada berkelakar.
“Maaf, sudah lama menunggu?” tanya Yusuf sambil menyalami satu persatu yang hadir.
Tampak ada lima keluarga yang hadir, duduk di kursi dan meja memanjang yang sengaja di pesan dalam formasi demikian. Lesti dan Alif juga turut menyalami, kemudian duduk pada kursi yang kosong. Semringah mereka tak henti saling bicara dan melempar tawa.
“Lumayan.”
“Sory ... sory. Maklumlah nunggu bidadari bersiap, lama,” tawa Yusuf menggema, disambut semua yang hadir.
“Makin cantik saja, Kak Lesti,” sanjung salah seorang istri yang hadir.
“Ah, bisa saja, Jeng.” Lesti menepis tangan di udara. Senyum lebar tetap bertengger di bibirnya, enggan padam. Hatinya riang bahagia.
“Happy anniversary. Semoga langgeng hingga kakek nenek. Semakin sukses,” ucap yang lainnya.
“Aamiin ... Aamiin. Terima kasih.” Yusuf dan Lesti menyahut hampir berbarengan.
“Ya pasti sukseslah, lihat penampilannya. Itu mobil baru lagi?” Pandangan mereka mengarah pada mobil Kijang Innova silver yang terparkir di luar. Warnanya cling menunjukkan bahwa mobil itu masih baru.
Cengengesan, cukup bagi Yusuf menjawab tanya teman-temannya. Menunjukkan sikap yang terkesan merendah, tetapi sejatinya ia ingin pamer. Humble bragging.
“Ayo-ayo dipesan. Terserah mau pesan apa. Jangan sungkan,” ucapnya.
“Iya. Ayo silakan. Hari ini kita happy, merayakan hari bahagia,” sambung Lesti. Kemudian disambut riuh ungkapan riang dari semua yang hadir. Mereka memuji keroyalan pasangan itu.
“Alif masuk SMP tahun ini ‘kan?” Sambil menunggu pesanan, mereka mengobrol tentang apa saja.
“Iya.”
“Daftar di mana?”
“Yang pastinya sekolah terbaik, dong.”
“Wow. Bukannya di situ mahal?”
“Demi anak, apapun diusahakan untuk memberikan yang terbaik. Apalagi masalah pendidikan. Harus yang nomor satu.”
“Berapa uang pangkalnya di situ?”
“Lima juta. Belum seragam dan tetek bengeknya.”
“Ya, sebanding, sih, dengan kualitas yang ditawarkan.”
“Betul. Lulusannya selalu bersaing. Prestasinya siswanya banyak.”
Hingga akhirnya sedikit norak, mereka semua berseru antusias ketika makanan yang dipesan datang.
“Selfi dulu!” seru Lesti sambil sigap mengambil kamera, mengabadikan moment yang membahagiakan serta membanggakan untuknya. Tidak peduli di satu ruangan full AC, satu keluarga tengah berlinang air mata. Dia turut andil dalam menciptakan aliran air mata itu.
“Ridhai Arlina ya, Wan.” Suara serak ibu mertua menyadarkan laki-laki itu. Segera langkahnya turut mengiringi brankar yang didorong tergesa.
Arlina tampak memejam. Wajahnya pucat.
“Sayang,” lirihnya memanggil. Namun, sosok itu bergeming. Safwan meraih tangan Arlina yang terbebas infus, terasa dingin dan terkulai. Hatinya tersaruk. Kembali butiran kristal melesak dari sudut netranya.
“Kuat ya, Dek. Abang mohon,” pintanya.
Memasuki ruang Bedah Central, hati Safwan menciut. Berbagai bayangan buruk menyapa seketika.
“Astagfirullahal’azim,” ucapnya menepis pikiran yang dikendalikan setan barusan.
“Hasbunallah wanikmal wakil,” lirihnya menentramkan hati.
Perawat yang tadi mengantar, meninggalkan mereka di ruang yang diperkirakan Safwan sebagai ruang tunggu, lalu masuk ke ruangan lain. Tidak berapa lama muncul perawat lain dengan seragam berbeda, tidak putih-putih melainkan hijau-hijau dan menggunakan masker. Lengkap dengan kepala yang dilindungi semacam shower cap.
Setelah itu, perawat yang mengantar itu pamit dan keluar ruangan.
“Kita antri ya, Pak. Di dalam masih ada tindakan,” ucap perawat baru ramah menyapa.
“Masih lama?” Antara tegang, takut, dan cemas, Safwan bertanya. Ia ingin Arlina segera ditangani, tetapi juga takut membayangkan perut sang istri akan dibelah. Terlebih dengan kondisi yang lemah seperti itu.
“Tidak lama lagi, Pak,” jawab perawat itu dengan suara yang terdengar menenangkan. Kemudian kembali masuk ke ruang sebelumnya.
Safwan menunggu penuh harap cemas. Ditatapnya wajah Arlina yang tampak masih memejam. Diusapnya lembut pucuk kepala perempuan itu, kemudian mengecupnya dalam.
“Kuat ya, Sayang. Abang minta maaf atas semua kesalahan abang, atas keteledoran abang. Semua ini akan abang jadikan pelajaran berharga. Abang ridha atasmu. Berjuanglah,” ucapnya bergetar.
Satu-satu air mata yang menguntai, ia biarkan semakin panjang.
“Kuat ya, Sayang.” Kali ini laki-laki itu mengusap bagian perut yang membukit.
“Berjuanglah bersama, Bunda. Ayah yakin kamu anak kuat. Kita akan bertemu sebentar lagi,” bisiknya.
Perawat yang tadi datang menghampiri, “Dokter ingin bicara dulu, Pak,” ucapnya.
Safwan mengangguk, hatinya berdebar tak karuan. Takut.
Cemas, ia melangkah mengikuti perawat itu.
Seorang dokter cukup senior terlihat menunggu di ruangan kecil. Maskernya melorot ke dagu. Rautnya sejatinya tenang, tetapi bagi Safwan tampak menegangkan.
“Silakan duduk, Pak,” sambutnya ramah.
“Terima kasih, Dok.” Tegang, Safwan mengambil posisi di depan sang dokter.
“Begini, Pak. Dengan membaca rujukan dari rumah sakit pengantar, sebelumnya kami telah melakukan pemeriksaan terhadap istri Bapak. Hasil USG menunjukkan bahwa air ketuban Ibu Arlina keruh. Bayi lemah dengan berat badan kurang. Diduga janin mengalami stres dalam kandungan. Seharusnya hal ini dapat segera terdeteksi jika setiap bulan Ibu Arlina memeriksakan diri ke dokter kandungan.”
Safwan tersandar lemas. Sejak uang itu dipinjam Lesti, tak sekalipun Arlina memeriksakan kandungan.
“Tetapi semua sudah terjadi hingga hari ini. Jadi saya minta ijin untuk melakukan tindakan darurat jika nanti diperlukan.” Dokter itu mengulurkan sebuah kertas yang harus ditandatangani Safwan.
“Lakukan yang terbaik, Dok,” sahut Safwan pasrah.
“Ya. Kami akan melakukan yang terbaik. Tolong Bapak bantu dengan doa. Karena kondisi Ibu dan janin sangat lemah.”
Safwan menyusut air mata mengantar tubuh Arlina yang didorong masuk ke ruang operasi. Hatinya luruh."Abang ridho atasmu, Sayang. Berjanjilah kamu akan kuat. Berjuanglah," lirihnya sambil mencium wajah pucat yang terpejam.Beberapa lama ia terpaku di ruang tunggu bedah central, kemudian memutuskan keluar."Saya ke sana dulu, Mak," pamitnya pada ibu mertua yang duduk di kursi lorong rumah sakit tidak jauh dari ruang bedah. Perempuan senja itu tampak tak henti mengusap pipi. Bibirnya selalu bergetar, melirihkan berbait doa untuk keselamatan putri bungsu tercinta."Ya," sahutnya sambil mengangguk lemah.Safwan melangkah gontai, netranya menatap plang penunjuk arah. Yang dia cari adalah musholla. Ia butuh bicara kepada Sang Pencipta, meminta agar Arlina baik-baik saja. Tidak dapat ia bayangkan jika wanita itu harus pergi. Hatinya tidak sanggup. Kondisi sang istri da
Safwan melangkah gontai, beberapa kali ia mengusap wajah dengan gusar, mengusir kabut yang menyungkup netra.Kakinya terasa berat terangkat ketika memasuki area kamar jenazah. Ia mencelos saat menatap salah satu bed, satu tubuh mungil ditutup selimut putih terbujur kaku di sana. Laki-laki itu mendekat perlahan. Sontak ia tergugu."Bangun, Nak," lirihnya, "Ayah bahkan belum mendengar kamu menangis. Menangislah yang kencang, ayah tidak akan marah. Jangan diam saja."Laki-laki itu menelungkupkan wajah di samping tubuh beku yang baru saja hadir ke dunia itu. Tubuhnya berguncang. Isaknya pilu meratapi buah hati yang belum sempat melihat indahnya dunia itu. Hatinya remuk. Jiwanya nelangsa.Setelah cukup lama menangis, ia menguatkan diri mengangkat wajah. Tangannya bergetar membuka kain yang menyelimuti buah hatinya itu.Seraut wajah mungil nan damai menyambut ketika kain itu tera
Yusuf terus berkelit ketika Lesti berusaha meraih ponsel pintarnya, "Papa mau ke kamar mandi, kebelet sejak tadi," ucapnya dan begitu saja ia gegas berlalu."Masa ke kamar mandi bawa hp?" Lesti merengut kesal. Namun, Yusuf tidak memedulikan."Tuh lihat, baterainya sudah merah begini," ujarnya setelah keluar dari kamar mandi.Ia menyodorkan benda pipih persegi panjang itu pada Lesti, "Kalau dipakai pas baterai lemah, nanti cepat rusak," dalihnya."Heleh, Papa setiap triwulan juga tukar hp yang baru. Rusak pun tidak apa dan tidak akan seberapa.""Gak triwulan lagi sekarang, Ma. Caturwulan.""Beda satu bulan saja. Sinikan hp-nya. Mama pinjam."Yusuf mengulurkan gawai berbentuk persegi panjangnya itu, pun dengan sedikit kesal. Lesti kalau sudah maunya, tidak akan bisa ditahan.Sambil menyandar di pucuk r
"Ingat kata dokter. Mama jangan capek, jangan banyak pikiran," ujar Yusuf. Pagi ini dia mengenakan seragam pemda kebesarannya. Sebenarnya penampilannya sudah rapi. Namun, ia masih mematut diri di depan cermin. Tangannya masih sibuk menarik ulur bagian baju yang tampak kurang rapi, atau menyisir rambut untuk yang kesekian kali.Baju yang Yusuf kenakan press membungkus tubuh, menampilkan gurat ototnya yang atletis. Lengan baju yang menempel ketat, memperlihatkan bentukan otot tangan yang kekar. Pria itu benar-benar terlihat sangat macho di usianya yang matang.Sifat Yusuf yang mudah bergaul, supel dan luwes menambah nilai plus sosoknya di mata para rekan kerja, baik pria maupun wanita.Dia pun pandai berkelakar, hangat saat mengajar. Sehingga sampai saat ini, meskipun sudah menjabat sebagai kepala sekolah, Yusuf tetap menjadi guru idola para siswa.Hanya satu nilai negatif yang
Dada Lesti bergemuruh ketika mendapati Iriana menyambut Yusuf sembari tersenyum lebar. Meskipun dalam jarak beberapa meter, terlihat sekali perempuan itu begitu semringah. Sudut bibirnya terangkat sempurna, menampakkan giginya yang putih. Napas Lesti memburu. Iriana adalah teman yang sama bobroknya dengan dirinya. Sama-sama di-drop out saat kuliah. Bahkan lebih buruk karena tidak bisa mengontrol diri. Dia sering menghabiskan malam bersama pacarnya hingga hamil. Memasuki usia 20 tahun, perempuan itu menikah. Namun, tidak berselang lama rumah tangganya kandas. Selama ini kehidupan Iriana cukup memprihatinkan. Sebagai teman dekat, Lesti selalu ada. Tak segan ia membantu dalam hal finansial. Memberikan uang secara percuma dengan basa basi untuk jajan Kirana, putri Iriana. Sejauh itu ia berbuat untuk sahabatnya, begini balasan yang ia terima?Lesti memegang dada, merasakan nyeri yang tiba-tiba mendera di sana. Ia terkulai lemas di atas sepeda motor, menelungkup pada stang. Napasnya memb
Safwan memapah Arlina turun dari ambulans, lalu membantunya berjalan masuk ke rumah Mak Yati. Mereka baru saja tiba dari rumah sakit."Aku bisa sendiri," ucap Arlina keras kepala sambil menepis tangan Safwan. Namun, lelaki itu bersikeras. Ia khawatir wanita itu terjatuh. Apalagi ketika dilihatnya istrinya berjalan masih terbungkuk-bungkuk karena menahan sakitnya akibat luka bekas caesar."Diamlah, Dek. Abang bantu. Kamu masih kepayahan," ucap Safwan sabar. Dia sadar kesalahannya fatal. Jadi harus banyak-banyak bersabar. Arlina terpaksa menurut."Di mana, Mak?" tanya Safwan ketika sampai di dalam. Ia bertanya ke mana kamar yang akan ditempati Arlina."Di sini, Safwan. Sudah kakak bersihkan." Arni yang menjawab. Selama mereka di rumah sakit, Arni sudah membersihkan rumah Mak Yati yang berantakan saat ditinggal."Iya, Kak," sahut Safwan. Ia mengiring Arlina masuk, membantu Arlina duduk dan berbaring di atas kasur kapuk yang ada di kamar."Abang akan datang setiap hari," ujarnya lembut pa
Sementara itu di kediaman Kirana."Saya terima nikahnya dan dan kawinnya Kirana Lestari Binti Iriana dengan mas kawin sebuah rumah, dibayar tunai."Kemudian seruan sah dari Iriana, juga dua orang saksi yang Yusuf undang menggema. Pernikahan siri yang diwalikan hakim itu terjadi. Lesti yang memaksa hadir, menangis tergugu. Hatinya tersaruk-saruk, pilu. Dia benar-benar tidak menyangka lelaki yang dikiranya mencintainya sungguh-sungguh itu mendua. Bahkan memilih perempuan yang pantas menjadi putrinya, perempuan yang adalah anak sahabatnya sendiri, dan itu menambah luka menjadi berlipat-lipat pedihnya.Napas Lesti tergeragap akibat isak, ia meremas-remas dadanya yang sesak. Kehidupan royal yang menjadi faktor Iriana, sahabat yang sangat dipercayanya mengkhianatinya. Dia benar-benar tidak menyangka. Padahal untuk tetap bisa royal, tak jarang dia harus meminjam.Jika menurutkan rasa sakit, ingin perempuan itu melaporkan perilaku Yusuf yang sangat tidak terpuji itu kepada dinas pendidikan
Safwan turun dari sepeda motornya dengan langkah lebar. Panas menguasai hatinya. Napasnya memburu. Rahangnya mengeras. Rautnya merah padam. Dengan tangan menggenggam kencang, ia mendekat menuju pintu rumah Lesti."Kak!" serunya lantang. Tangannya sontak menggedor pintu dengan keras. Kekesalan yang yang terlalu lama dipendam, memang akan menimbulkan ledakan dahsyat apabila sudah mencapai limitnya. Ia sudah lama bersabar terhadap kakak angkatnya itu. Bagaimana pun perlakuan Lesti yang tidak pernah menyukainya, ia selalu diam. Selalu kasih sayang yang ia tawarkan. Selalu rasa percaya yang ia punya. Dia berikan pinjaman kepada sang kakak dengan penuh rasa percaya, tetapi khianat yang ia dapat. Begitu salahkah dia dengan segala sikap percayanya? Bukankah yang berhutang yang seharusnya tahu diri? Berpikir bahwa yang dipinjam itu harus dikembalikan. Si pengutang harusnya menjaga kepercayaan penuh yang orang berikan. Hati Safwan sudah cukup perih atas kepergian Safna, juga kesedihan Arl