Share

7. Jarak di Antara Kami

Jarak di Antara Kami

-----

Kembali, ruang tamu menjadi hening. Kuusap kasar wajahku, sementara Rahma sibuk mengotak-atik ponselnya, seperti sedang mencari sesuatu di sana.

"Kak ... Kakak ingat ga, temanku yang satu tempat kerja dengan Bang Asrul?"

Dengan bertopang dagu, Rahma bertanya padaku.

"Hmm, Kakak ingat. Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Kenapa kakak tidak coba bertanya padanya langsung? Walau aku sudah pernah menyampaikan tentang masalah kakak padanya, akan lebih baik jika kakak juga berbicara langsung denganna."

"Begitu ya?"

"Iya, kebetulan hari ini aku ada janji ketemu dengannya. Apa sekalian saja kakak ikut?"

Tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan ajakan Rahma.

Rasa penasaran tentang penyebab perubahan sikap Bang Asrul membuatku melupakan rasa sakit hati dan kecewaku padanya.

"Rahma, maukah kamu berjanji satu hal sama kakak?" tanyaku pada Rahma sebelum kami melangkah keluar.

"Berjanji apa, Kak?" Tanyanya.

"Kakak mohon, jangan memberitahukan apa yang sedang menimpa rumah tangga kakak pada orangtuaku atau keluarga yang lain," kataku memohon.

"Kakak jangan takut soal itu, Rahma janji." Rahma berkata sambil memegang tanganku.

Mendengar jawaban Rahma, kuhela napas lega, setidaknya untuk sementara waktu, aku tidak perlu khawatir.

****

Perlahan, mobil yang dikendarai oleh Rahma memasuki tempat parkir sebuah rumah makan tak jauh dari tempat Bang Asrul bekerja.

Setelah mencari beberapa saat, Rahma menunjuk pada sebuah meja yang berada sedikit dipojokan.

Di sana terlihat seorang gadis melambaikan tangan ke arah kami.

"Itu, di sana Kak, teman Rahma."

Sambil berkata, Rahma menarik tanganku ke arah di mana gadis itu duduk.

"Ini pasti Kak Marina, iya kan ....?"

Sambut gadis itu ramah ketika kami sudah berada di depannya.

"Iya, saya Marina." Kuulurkan tanganku sebagai tanda perkenalan.

"Saya Damayanti, tapi biasa dipanggil Yanti." Dia menjawab sambil menyambut uluran tanganku.

"Yanti, masih ingatkan ... dengan apa yang aku minta tempo hari?" Rahma membuka percakapan setalah kami duduk.

"Ingat dong ... ini kan?"

Yanti menjawab sambil menyerahkan ponselnya kepada Rahma. Setelah ponsel Yanti berpindah ketangan Rahma, dengan senyum lebar dia berkata.

"Hebat kamu ...!" Rahma berkata sambil mengangkat jari jempolnya.

"Lihat Kak ...." Rahma menyerahkan ponsel Yanti padaku.

Kulihat di layar ponsel yang menyala, terpampang sebuah profil akun f******k seorang wanita.

Kuperhatikan dengan seksama wajah gadis itu, kemudian kutatap wajah Rahma dan Yanti bergantian.

"Bukankah dia ...?"

"Iya kak ... itu akun media sosial Risa." Dengan cepat Rahma memotong kalimatku.

"Mulai sekarang, kakak bisa memantaunya melalui akun media sosialnya. Aku lihat dia sangat aktif posting apapun disana." Rahma melanjutkan kalimatnya.

Kukeluarkan ponselku, dan mencoba mencari akun dengan nama tersebut.

Setelah ketemu, aku simpan tautannya, untuk mempermudah jika sewaktu-waktu ingin mencarinya.

"Yanti ... kalau ada informasi, apapun itu tentang Bang Asrul, kakak minta dengan sangat, ceritakanlah padaku," pintaku pada Yanti. Sesaat Yanti menatap mataku, sebelum akhirnya dia berbicara.

"Kak ... sebenarnya, Bang Asrul dijebak!" Yanti menjawab ragu.

"A--apa maksudnya dijebak?" tanyaku gugup.

"Menurut kabar yang aku dengar, Bang Asrul dijebak oleh gadis itu, supaya Bang Asrul bersedia menikahinya." Yanti menjelaskan.

"Dijebak bagaimana?" tanyaku lagi, karena aku masih belum bisa mencerna apa yang dikatakan Yanti.

"Bang Asrul di ajak tidur, tak lama setelahnya, mereka di gerebak."

Degh...

Lagi-lagi, aku diberi sebuah kejutan yang membuat jantungku berpacu lebih cepat.

Kejutan yang menentukan nasib dari rumah tangga yang aku coba pertahankan walau selalu dihadapkan oleh fakta yang menyakitkan.

***

Kucerna tiap kalimat yang diucapkan Damayanti.

Ingatanku kembali melayang ke kejadian beberapa tahun silam.

Ketika kami baru pindah ke kota ini.

Keputusan yang kami ambil, karena jarak tempat kerja Bang Asrul dari rumah lumayan jauh.

Karena tidak ingin membiarkan suamiku sendirian di kota ini, kami memutuskan membeli sepetak tanah kosong yang kemudian kami bangun rumah secara bertahap, hingga jadi seperti saat ini.

Dan untuk itu, aku juga tidak tinggal diam.

Kugunakan uang tabunganku untuk membantu membuat rumah kami.

Uang yang aku kumpulkan sejak masih gadis dari pekerjaanku sebagai penjahit.

Jika kini tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa Bang Asrul suamiku, mempunyai wanita lain, haruskah aku bertahan?

Sementara aku yang mendampinginya selama bertahun-tahun seolah tak dihargai lagi.

Bahkan aku harus mendengarnya dari orang lain.

"Kak Marina, maaf jika apa yang aku sampaikan ini membuat kakak jadi tak enak hati." Damayanti berkata sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.

"Tidak apa-apa, aku justru harus berterimakasih padamu, karena sudah membantuku mencari informasi tentang Bang Asrul," jawabku.

"Kak ... sebenarnya, Kakak bisa bertanya pada Bang Nizar.

Karena, selain teman kerja, dia adalah teman dekat Bang Asrul, bukan? Bahkan saat terjadi penggerebekan saat itu, dia juga datang untuk menjemput Bang Asrul."

"Bang Nizar ...?"

"Iya, Bang Nizar!" Damayanti menegaskan.

Ah ... rupanya Bang Nizar pun sudah tahu semuanya.

Aku jadi ingat beberapa hari yang lalu sempat menghubunginya untuk menanyakan hal ini.

Namun tak satu informasipun kudapat dari dia.

Mungkin Bang Nizar tidak ingin hubungan persahabatannya dengan Bang Asrul hancur, dengan memilih untuk tidak ikut campur dalam masalah ini.

Atau mungkin ada alasan lain?

****

Setelah makan siang selesai, Rahma mengantarku kembali kerumah.

Sebelum pulang, aku berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Yanti atas segala informasi yang dia berikan.

Aku juga meminta padanya, untuk tetap memberiku informasi, apa saja yang berhubungan dengan Bang Asrul dan Risa.

Sepanjang perjalanan pulang, baik Rahma maupun aku memilih untuk diam.

Tak banyak yang kami bicarakan.

Namun dari sudut mataku, bisa kulihat Rahma berkali-kali menghela nafas dalam, kemudian menghembuskan pelan.

"Kak ... apa tidak sebaiknya masalah kakak dan Bang Asrul dibicarakan dengan dengan orang tua? Siapa tau mereka punya jalan keluar."

Rahma berkata tanpa menoleh padaku, dan tetap fokus mengemudi.

"Tidak Rahma. Aku tidak ingin ada orang lain yang mengetahui masalah yang menimpaku. Ini sebuah aib bagiku, jika sampai ada yang tau perbuatan Bang Asrul."

"Tapi Kak ..."

"Rahma ... Kakak mohon, sekali ini saja. Biarkan Kakak coba untuk menyelesaikan masalah ini sendiri," ucapku memotong kalimat Rahma.

Kulihat ada rasa kecewa di wajahnya. Namun kurasa, ini harus aku lakukan.

Bagaimanapun, perselingkuhan dan kabar penggerebekan Bang Asrul adalah sebuah aib, dan sebisa mungkin aku harus menutupnya rapat-rapat. Bagiku, aib Bang Asrul adalah aibku juga.

****

Di luar rumah, terdengar suara motor berhenti.

Kusibak gorden, terlihat Bang Asrul turun dari motornya.

Baru aku sadar, ternyata Bang Asrul lebih kurus.

Terlihat jelas tulang pipinya sedikit menonjol dengan mata sedikit cekung. Apakah karena masalah yang sedang dia hadapi?

"Sudah pulang, Bang ...?" Sapaku ketika Bang Asrul sudah memasuki rumah.

"Hmmm." jawabnya singkat.

"Abang mau Marina siapkan makan?"

"Tidak usah ... tadi sudah makan di tempat kerja."

Tolak Bang Asrul sambil berjalan menuju kamar. Sementara, aku mengekor di belakangnya.

"Mau Marina buatkan kopi?" tanyaku lagi, sehalus mungkin. Walau masih ada rasa sesak di dada.

"Tidak usah ... Abang mau mandi dan istirahat sebentar," jawab Bang Asrul sambil membalikkan tubuhnya, sehingga kami berdiri berhadap-hadapan.

Dan benar saja, semakin jelas kulihat bahwa Bang Asrul lebih kurus dari sebelumnya. Kutatap lekat wajahnya dengan penuh kerinduan.

Jauh di lubuk hati yang dalam, aku merindukan masa dimana kami bisa bercengkerama membahas apa saja, sambil bersandar di dada bidangnya.

Namun kini, antara aku dan Bang Asrul seolah ada sekat tak terlihat yang menghalangi kami berdua.

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
amymende
yaah begitulah dan sampai disini saja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status