Share

Karma Pedas Sang Mantan
Karma Pedas Sang Mantan
Penulis: ohhyundo

Satu - Ayam penyet

Penulis: ohhyundo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-15 09:18:14

Rumah nenek Nadira Kamari hari itu penuh dengan kehangatan. Aroma rendang yang baru matang, ketupat yang baru saja diangkat dari rebusan, dan suara gelak tawa sanak saudara yang memenuhi ruang tengah membuat suasana terasa meriah.

Dira duduk di antara sepupu-sepupunya, sesekali ikut tertawa saat mereka membicarakan hal-hal lucu. Namun, pikirannya sesekali melayang pada ponsel yang sejak tadi tak ada tanda-tanda kehidupan dari Satria - kekasihnya.

“Tante denger abis lebaran kalian rencana mau nikah, ya?” suara salah satu tante tiba-tiba menarik perhatian.

Dira tersentak, lalu tersenyum malu-malu. “Iya, Tante. InsyaAllah.”

Serempak keluarganya langsung bersorak. Ada yang menepuk punggungnya, ada yang ikut menggoda. Dira hanya bisa tersenyum, meskipun di dalam hatinya ada sedikit rasa tak nyaman.

“Terus Satria mana, kok nggak ke sini?”

“Nggak tahu nih, udah dua hari nggak bisa dihubungi,” Dira akhirnya mengaku, suaranya terdengar sedikit lesu.

Tante Rina, salah satu saudara ibunya, ikut menimpali, “Jangan-jangan dia lagi nyiapin kejutan, Dir. Biasanya sih gitu, kalau laki-laki tiba-tiba ngilang, bisa jadi lagi nyiapin sesuatu buat ceweknya.”

Beberapa sepupu Dira langsung terkikik. “Wah, siap-siap aja abis lebaran, nih!”

Dira tersenyum tipis, tapi tetap tak bisa menghilangkan kegelisahan di hatinya. Ia ingin sekali percaya kalau Satria hanya sedang sibuk mempersiapkan kejutan, mungkin memang butuh waktu sendiri. Tapi dua hari tanpa kabar? Itu bukan Satria yang ia kenal.

Sejak mereka mulai bisnis ayam penyet bareng tiga tahun lalu, mereka hampir tak pernah lepas komunikasi. Apalagi sejak Satria berjanji untuk serius membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan setelah lebaran. Mereka bahkan sudah membicarakan cincin, gedung, dan katering yang akan digunakan. Satria bilang ingin semuanya sempurna untuk Dira.

Dira menggenggam ponselnya lebih erat. Dalam hati, ia ingin menghubungi Satria lagi, tapi entah kenapa ada rasa ragu yang menahannya. Jangan-jangan…

Tidak, tidak mungkin.

Berusaha mengusir pikiran buruk, Dira mengalihkan perhatian ke sepupunya yang masih sibuk bercanda. Namun, saat ia hendak membuka media sosial untuk menghabiskan waktu, sebuah notifikasi W******p masuk dari seorang teman kuliah

Rena: Dira, aku nggak tahu harus kasih tahu kamu atau nggak… tapi aku nggak mau kamu nggak tahu…

(1 gambar dikirim)

Dira mengernyit. Dengan hati yang berdegup cepat, ia membuka gambar itu.

Dan dunianya langsung berhenti berputar.

Satria.

Berdiri di pelaminan.

Bersanding dengan wanita lain.

Dira tidak bisa bernapas.

Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa ini hanya lelucon, atau mungkin hanya kebetulan ada orang lain yang mirip dengan Satria. Tapi semakin lama ia menatap foto itu, semakin nyata kenyataan itu menghantamnya.

Satria menikah.

Kemarin.

Tanpa memberitahunya.

Tanpa peringatan.

Tanpa penjelasan.

Tangannya gemetar hebat saat ia buru-buru mengetik pesan ke teman kampusnya.

Dira: Ini editan, kan?

Rena: Enggak, Dir… Maaf. Itu beneran…

Dira: Enggak mungkin!

Brak.

Ponsel Dira terjatuh dari tangannya. Seluruh tubuhnya melemas. Matanya panas. Tenggorokannya tercekat.

Suasana di sekitarnya mulai kabur. Suara tawa keluarganya terdengar jauh, seolah berasal dari dunia lain. Dira merasa seakan-akan oksigen di ruangan ini menghilang. Dadanya terasa sesak, sangat sesak.

“Dira?” suara ayahnya terdengar samar.

“Ndok, kamu kenapa?” suara ayahnya lembut, penuh kekhawatiran.

Dira butuh beberapa detik untuk memahami apa yang terjadi. Kepalanya terasa berat, dadanya masih terasa sesak.

Lalu, ingatan itu kembali.

Foto itu.

Satria.

Pernikahan.

Dira langsung terisak. “Ayah…Satria, yah.."

"Iyo..iyo. Satria kenapa?"

Wajah keriput sang ayah jadi bertambah dalam ketika beliau mulai mengkhawatirkan dirinya. Begitu pula dengan saudara-saudaranya yang lain, tampak mencoba untuk memberi bantuan seadanya.

"Aku mesti balik ke Surabaya sekarang, Yah! Dira mau ketemu Satria dan mastiin semuanya."

Ayahnya terdiam sejenak. Ekspresinya sulit ditebak.

Lalu, dengan suara berat, ia berkata, “Kalau itu yang kamu mau… Ayah ikut.”

Dira menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Napasnya tersendat, dadanya sesak seolah beban di hatinya terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

“Ayah…?” suaranya lirih, hampir tak terdengar di tengah isakannya yang tertahan.

“Kamu nggak bisa pergi sendiri dalam keadaan begini. Ayah temenin kamu ke Surabaya.”

Seolah tameng terakhirnya runtuh, Dira langsung terisak. Tubuhnya berguncang, seluruh perasaannya tumpah ruah dalam tangisan yang tak bisa lagi ia bendung. Ia meraih tangan ayahnya, menggenggam erat, seakan takut jika satu-satunya orang yang masih ada untuknya juga akan menghilang.

**

Perjalanan ke Surabaya terasa seperti mimpi buruk bagi Dira.

Mobil melaju di jalan tol, melewati sawah dan bangunan yang berkelebat di luar jendela. Tapi di dalam mobil, hanya ada keheningan.

Dira duduk diam, memeluk dirinya sendiri. Pandangannya kosong, pikirannya penuh dengan jutaan pertanyaan yang tidak bisa dijawab.

Kenapa?

Kenapa Satria melakukan ini padanya?

Apa salahnya?

Bukankah mereka sudah berjuang bersama? Bukankah mereka sudah merintis bisnis bersama? Bukankah mereka sudah merencanakan masa depan bersama?

Kenapa Satria menghancurkan semua itu dalam sekejap?

Air mata jatuh tanpa suara. Tangannya menggenggam baju gamisnya erat, seolah berusaha menahan perasaan yang menghancurkan dadanya.

Ayahnya tidak mengatakan apa-apa. Mungkin karena tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit yang Dira rasakan saat ini.

Tiga jam kemudian, mereka tiba di depan rumah Satria.

Dan di sanalah bukti pengkhianatan itu terpampang jelas di depan mata.

Sisa-sisa tenda pernikahan masih berdiri. Bekas dekorasi masih ada di halaman. Pintu rumah terbuka, memperlihatkan beberapa tamu yang masih bertahan, mungkin kerabat dekat yang datang dari jauh.

Dira berdiri membeku.

Namun sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, pintu rumah terbuka lebih lebar.

Dan di sanalah Satria berdiri.

Bersama istrinya.

Dira tercekat. Pandangannya kabur karena air mata yang menggenang. Dadanya sesak.

Namun, yang paling membuatnya ingin berteriak adalah tatapan Satria yang begitu tenang.

Seolah ia sudah siap kapan saja jika Dira datang. Seolah ia tidak merasa bersalah sama sekali.

Lalu, dengan santai, Satria melingkarkan tangannya di pinggang istrinya.

Senyum puas tersungging di bibirnya.

“Hei, Dira. Kamu datang juga.”

Dan saat itu juga, sesuatu dalam diri Dira hancur berkeping-keping.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Noa
semangat diraaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan Belas - Ayam Penyet

    Aroma wangi dari dapur masih menggantung di udara saat Adrian duduk berhadapan dengan tiga piring ayam penyet yang tersaji dengan tampilan menggiurkan. Satu per satu sambel tersusun rapi di atas piring ayam goreng berwarna keemasan, lengkap dengan lalapan segar dan nasi hangat yang mengepul di mangkuk kecil.Ia mulai dengan potongan ayam pertama.Kulit ayamnya renyah keemasan, tapi ketika dipotong, dagingnya masih lembut dan juicy. Bumbunya meresap sempurna hingga ke tulang. Ungkepannya tidak sekadar asin atau pedas, tapi kompleks—aroma ketumbar, lengkuas, daun salam, dan serai saling berpadu dengan harmonis. Tekstur dagingnya empuk, tapi tetap punya gigitan yang menyenangkan.“Ini ayamnya…,” gumam Adrian, setengah tak percaya, “diungkepnya pas banget. Nggak kelembekan, nggak kering.”Dira mengangkat alis, menyembunyikan senyum puas. “Itu resep lama. Tapi aku tweak sedikit. Aku tambah takaran air kelapanya. Bikin dagingnya lebih juicy.”Adrian mengangguk pelan, kagum. Ia lalu mencelup

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh Belas - Ayam Penyet

    Sebelum berangkat ke ruko, Dira dengan mata berbinar mengajak Adrian singgah dulu ke pasar tradisional.“Aku butuh bahan-bahan segar buat eksperimen sambelku. Yuk ke pasar dulu!” ajaknya penuh semangat.Adrian hanya mengangguk, tanpa banyak tanya. Ia mengikuti Dira keluar kantor, seolah itu hal yang wajar saja—seperti suami yang setia menemani istrinya belanja kebutuhan dapur.Pasar tradisional sore itu masih ramai, meski matahari mulai turun perlahan. Bau tanah basah bercampur aroma rempah, ayam potong, dan gorengan hangat memenuhi udara. Dira melangkah cepat di antara kios-kios, membawa daftar belanja di ponselnya. Di belakangnya, Adrian berjalan tenang sambil menggendong dua kantong belanja yang sudah berat, tanpa satu pun keluhan.“Aku butuh cabai rawit, bawang putih, keju, sama daun jeruk. Oh, sama tomat juga!” ujar Dira sambil terus melangkah, tidak menyadari bahwa jalur di depannya agak becek.Adrian baru mau membuka mulut untuk memperingatkan ketika—“Dir, hati-ha—”Belum sele

  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam Belas - Ayam Penyet

    Setelah kondisinya membaik, Dira kembali melangkah masuk ke kantor. Napasnya sudah mulai stabil, meski sisa-sisa ketegangan masih tertinggal di dalam dadanya. Lala berjalan di sebelahnya, masih menatap Dira dengan tatapan khawatir tapi tidak berkata apa-apa. Begitu mereka melewati area kerja, semua mata langsung menoleh.Beberapa pura-pura kembali mengetik, yang lain hanya menunduk sambil mencuri pandang. Tapi Dira tidak lagi peduli. Ia menegakkan kepala dan berjalan lurus ke mejanya.Satria terlihat keluar dari ruangan Pak Lee dengan ekspresi seperti biasa—dingin, tenang, dan menyebalkan. Seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Seolah bukan dia yang baru saja dihujani amarah Dira di depan semua orang.Dira menahan napas, memalingkan wajah saat pria itu sempat melirik ke arahnya. Tapi Satria hanya tersenyum tipis dan berjalan pergi begitu saja. Ia bahkan sempat menyapa salah satu staf di dekat pintu, membuat suasana jadi lebih aneh.Tak lama setelah Satria menghilang dari pandangan, telepo

  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima Belas - Ayam Penyet

    Suasana kantor yang semula sudah tegang kini seperti retak di ujung jurang. Tidak ada satu pun yang berani bersuara saat Satria melempar sindiran itu, seolah semua napas menahan diri, takut menyulut percikan lebih besar.Dira mendekap tangannya di dada, berusaha keras menahan emosi. Tapi itu sia-sia. Ketika Satria melangkah lebih dekat, dengan senyum setengah mencemooh, Dira merasa dadanya seperti akan meledak.“Dulu, siapa yang tiap hari ngintilin aku? Ke mana aku pergi, kamu pasti ada di belakangku. Sekarang malah…,” Satria mengangkat bahu, suaranya dibuat seolah santai. “Mungut orang lain buat bantu kamu jalanin hidup?”Dira mengepalkan tangannya kuat-kuat. Semua bisik-bisik rekan kerja di sekitarnya makin menekan pikirannya. Rasa malu, marah, kecewa—semuanya bercampur jadi satu.Adrian masih berdiri di tempatnya, tetap tenang, seakan tidak terusik sama sekali oleh hinaan itu. Tapi Dira tidak bisa. Tidak kali ini.Dengan langkah lebar, Dira mendekat. Suara sepatunya berderap lantan

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat Belas - Ayam Penyet

    Sadar situasi mulai terlalu aneh, Dira cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Adrian. Wajahnya memanas, bukan hanya karena sabun yang masih menetes dari jemarinya, melainkan juga karena kedekatan tadi yang sukses membuat hatinya berdebar tak karuan.“Eh… Ini, desainnya,” Dira mengalihkan perhatian, membuka topik sambil pura-pura sibuk membilas piring. “Kamu mau bahas sekarang?”Adrian menggeleng cepat. “Udah malem, Dir. Besok aja. Sekarang kamu udah capek, aku juga.”Dira mengangguk lega. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan dirinya dari kecanggungan yang lebih parah.Setelah tumpukan piring bersih mengering di rak, Adrian buru-buru membereskan meja dan menutup seluruh bagian ruko. Dira mengambil tasnya, bersiap pamit.“Aku pulang, ya. Makasih udah dibolehin bantu,” ucap Dira ringan.Namun Adrian langsung menghalangi langkahnya. “Aku anter.”“Nggak usah, Adrian. Aku bisa sendiri.”“Tetep harus dianter.” Tanpa banyak kata, Adrian mengambil helm cadangan yang tergantung di belakang p

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tiga Belas - Ayam Penyet

    Sore itu, Dira berlari tergesa-gesa ke arah sebuah ruko sederhana bertuliskan “Ayam Penyet Berkah” di depannya. Nafasnya tersengal, keringat kecil membasahi pelipisnya. Ruko itu, yang biasanya sepi, hari ini justru ramai dipenuhi pelanggan.Begitu sampai di depan meja gorengan, Dira berdiri sebentar, membenahi napasnya. Dengan deham pelan, ia menarik perhatian Adrian yang masih sibuk membolak-balik ayam di wajan besar.Adrian melirik sekilas. Tanpa berkata apa-apa.Dira menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri bicara, “Maaf… aku telat. Tadi ada kerjaan mendadak.”Tak ada balasan. Adrian hanya menunduk, kembali fokus mengangkat ayam-ayam goreng ke atas tampah. Tapi Dira bisa melihat jelas dari raut wajahnya—kesal, capek, dan sedikit… bingung.Melihat itu, Dira spontan menawarkan diri, “Aku bantu, ya?”Adrian menoleh, menahan ucapan, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah. Ini urusan—”Belum selesai Adrian menolak, suara pelanggan memanggil dari meja, “Mbak, pesanannya, ya!”Dira tanpa pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status