Langit Surabaya mendung, seperti tahu ada hati yang sebentar lagi akan disayat. Di teras rumah mewah itu, Satria berdiri gagah dengan batik mahal membalut tubuhnya, seolah tak ada beban di pundaknya. Senyum kecil menghias bibirnya, tenang, nyaris tak berdosa. Di sampingnya, seorang perempuan berdiri dengan anggun, wajahnya dihias riasan tipis yang justru memperjelas kecantikannya. Tangan perempuan itu menggantung manja di lengan Satria, seolah menggenggam sesuatu yang sepenuhnya miliknya.
Dira berdiri terpaku di ambang pintu, kakinya seperti tertancap tanah. Tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Ia tak percaya apa yang dilihatnya. Satria menyapanya, seolah mereka baru saja bertemu setelah liburan panjang. “Hei, Dira. Kamu datang juga.” Nada suaranya santai, ringan. Seakan-akan tak ada luka yang menunggu untuk disayat. Suara Dira pecah, tak bisa ditahan. “Dia siapa?” Belum sempat Satria menjawab, perempuan itu sudah lebih dulu bicara dengan senyum lebar. “Aku Dinda. Istrinya Satria.” Dira seperti ditampar kenyataan. Tubuhnya bergeser mundur setapak, matanya kabur, otaknya tak bisa langsung menerima kalimat yang baru saja masuk ke telinganya. Dunia di sekitarnya terasa senyap, hanya suara degup jantung yang berdentum keras di telinganya. Ayahnya melangkah maju, suaranya gemetar menahan emosi. “Kamu gila, Sat? Tiga tahun kamu pacari anakku, bangun usaha bareng, janji nikah. Terus sekarang kamu nikah diam-diam? Sama perempuan lain?” Nada itu bukan sekadar marah, tapi dikhianati. Satria menghela napas, seperti seseorang yang ingin menyelesaikan urusan dengan cepat. “Pak, saya minta maaf. Tapi ini keputusan terbaik buat saya.” Dira menatap pria yang dulu ia cintai sepenuh hati. “Kamu bilang kamu cinta sama aku, Sat…” Senyum dingin Satria muncul. Tidak ada rasa bersalah, hanya kalkulasi. “Aku deketin kamu karena kamu pinter. Bisa bantu bangun bisnis. Tapi sekarang, aku butuh sesuatu yang lebih besar.” Matanya melirik ke Dinda, lalu melanjutkan dengan tenang, “Dinda anak pemilik lahan-lahan strategis di Gresik, Sidoarjo, Surabaya. Kita bisa buka cabang lebih banyak. Lebih cepat. Ayahnya kasih syarat: aku harus nikahin dia.” Kata-kata itu menikam seperti belati. “Jadi aku ini… cuma alat buat bantu kamu sukses?” Dira bertanya dengan suara nyaris tak terdengar, lebih kepada dirinya sendiri daripada Satria. “Iya. Dan sekarang aku udah dapet yang aku butuh.” jawabnya tanpa ragu. “Aku bukan alat, Sat!” Dira berteriak. Emosinya meledak. Tapi Satria hanya tertawa kecil, seperti mengejek kepedihan yang dirasakan Dira. “Tapi kamu udah aku pakai kayak alat, kan?” Ayah Dira tak bisa menahan diri lagi. Ia maju dengan wajah merah padam, suaranya menggelegar. “Kamu kurang ajar, Satria! Harga diri kami kamu injak-injak! Kamu anak haram!” Namun belum sempat kemarahannya tuntas, tubuhnya mendadak limbung. Wajahnya pucat, tangan mencengkeram dada. “Yah!” Dira buru-buru menangkap tubuh ayahnya yang ambruk. Kepanikan menyelimuti wajahnya. “YAH!! TOLONG! AYAH!!” Teriakannya menggema di rumah itu, tapi orang-orang hanya berdiri terpaku. Satria, yang seharusnya mengenal pria itu lebih dari siapa pun, justru ditarik masuk ke dalam oleh Dinda, seolah semua ini bukan urusannya. “Sat! Tolong, Sat!! Ayahku!!” jerit Dira, memohon. Tapi tak satu pun dari mereka bergerak. Rumah sakit terasa dingin dan asing. Dira duduk di ruang tunggu dengan tangan gemetar. Gamis yang ia pakai sudah kusut, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya kehilangan warna. Di balik pintu IGD, dokter dan perawat sibuk berjuang menyelamatkan seseorang yang sangat berarti baginya. Tapi jauh di lubuk hati, Dira tahu… Saat pintu terbuka dan seorang dokter keluar, Dira berdiri refleks, berharap ada keajaiban. “Dok… gimana ayah saya?” Dokter itu menunduk, wajahnya menunjukkan penyesalan yang dalam. “Kami sudah lakukan yang terbaik. Tapi serangannya terlalu parah. Maaf… beliau tidak bisa diselamatkan.” Dunia Dira runtuh. “Ayah…?” Ia jatuh terduduk di lantai, tubuhnya berguncang hebat. Tangisnya tak lagi bisa ditahan. Ia memeluk lututnya, berusaha menahan rasa sakit yang meledak di dadanya. Napasnya tercekat, tenggorokannya perih. Ayahnya, satu-satunya tempat ia bersandar, kini telah pergi. Semua karena luka yang ditorehkan oleh Satria. Besoknya.. Pemakaman berjalan cepat, terlalu cepat untuk seseorang yang begitu berarti. Tak banyak orang yang datang. Dira berdiri membisu di samping nisan yang baru ditanam. Di sebelahnya, nisan lain milik ibunya. Dua batu itu kini menjadi simbol kehilangan yang tak bisa tergantikan. Ia duduk bersimpuh, memeluk nisan ayahnya, seakan ingin menarik kembali waktu. Air matanya tak berhenti mengalir, tapi suaranya habis. Dunia di sekelilingnya sunyi, hanya isak pelan dan angin sore yang membelai rambutnya yang kusut. Langkah pelan terdengar mendekat. “Dira…” Suara itu familiar—lembut, penuh kasih. Bibik Ratna. Kakak almarhumah ibunya. Bu Lik Ratna duduk di sampingnya, merangkul pundaknya perlahan. “Kamu kudu kuat, Le. Ayahmu udah tenang. Sekarang tinggal kamu yang kudu bertahan.” Dira hanya membalas dengan pelukan pada nisan ayahnya yang semakin erat. “Mama ninggalin aku pas aku SMA. Sekarang Ayah juga…” suaranya pecah, “Aku ora nduwe sopo-sopo, Bu Lik…” Bu Lik mengusap rambutnya, mencoba meredam luka yang menganga. “Masih ono Bibik, sepupumu, pamanmu. Keluarga kita isih lengkap, Le. Kamu nggak sendiri.” Tapi Dira tak bisa melihatnya seperti itu. Ia menatap dua nisan di depannya, mengusapnya dengan gemetar. Hatinya perih, seakan dunia benar-benar menarik semua hal yang ia cintai. “Rasanya kayak aku sendirian di dunia ini, Bu Lik…” Bu Lik hanya diam, memeluknya lebih erat, membiarkannya meresapi kesunyian yang menggigit. Dan di tengah gerimis kecil yang mulai membasahi tanah pemakaman, Dira menyadari satu hal: meskipun ia masih dikelilingi orang-orang, ia tahu dirinya telah benar-benar sendirian. Tapi kesendirian itu tak bertahan lama. Bu Lik Ratna menarik napas dalam, lalu menepuk-nepuk pelan bahu Dira. “Cukup, Le… Ayo bangun. Jangan terus meratap di sini.” Dira masih diam, memeluk nisan ayahnya seolah tak sanggup melepas. Tapi tangan Bu Lik kini menggenggam lengannya lebih kuat. “Kamu nggak boleh terus jatuh begini. Ayahmu nggak akan tenang kalau lihat kamu habis dirusak sama satu orang brengsek. Kamu masih hidup, Dira. Masih ada yang harus kamu lakukan.” Suara Bu Lik bergetar, tapi penuh keteguhan. “Kamu harus kuat lebih dulu. Karena cuma dengan jadi kuat, kamu bisa balas semuanya. Balas perbuatan Satria yang udah ninggalin kamu, ninggalin ayahmu… ninggalin tanggung jawab yang harusnya dia pikul.” Perlahan, Dira mengangkat kepalanya. Matanya merah dan sembab, tapi di balik kabut air mata, ada api yang mulai menyala. Nafasnya berat, tapi kini tak lagi rapuh. Ada sesuatu yang mengeras di dalam dirinya—tekad yang baru saja lahir dari luka yang dalam. Wajah Satria terbayang jelas dalam pikirannya. Senyum dingin itu. Tatapan penuh perhitungan. Kalimat-kalimat tajam yang menusuk harga dirinya. Dira mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Matanya tak lagi hanya berisi kesedihan, tapi juga kebencian. Kemarahan. Amarah yang tak akan padam sebelum semua yang ia rasakan hari ini terbalaskan. Satria telah menghancurkan hidupnya. Dan Dira bersumpah dalam hati, suatu hari… ia akan membalas semuanya.Aroma wangi dari dapur masih menggantung di udara saat Adrian duduk berhadapan dengan tiga piring ayam penyet yang tersaji dengan tampilan menggiurkan. Satu per satu sambel tersusun rapi di atas piring ayam goreng berwarna keemasan, lengkap dengan lalapan segar dan nasi hangat yang mengepul di mangkuk kecil.Ia mulai dengan potongan ayam pertama.Kulit ayamnya renyah keemasan, tapi ketika dipotong, dagingnya masih lembut dan juicy. Bumbunya meresap sempurna hingga ke tulang. Ungkepannya tidak sekadar asin atau pedas, tapi kompleks—aroma ketumbar, lengkuas, daun salam, dan serai saling berpadu dengan harmonis. Tekstur dagingnya empuk, tapi tetap punya gigitan yang menyenangkan.“Ini ayamnya…,” gumam Adrian, setengah tak percaya, “diungkepnya pas banget. Nggak kelembekan, nggak kering.”Dira mengangkat alis, menyembunyikan senyum puas. “Itu resep lama. Tapi aku tweak sedikit. Aku tambah takaran air kelapanya. Bikin dagingnya lebih juicy.”Adrian mengangguk pelan, kagum. Ia lalu mencelup
Sebelum berangkat ke ruko, Dira dengan mata berbinar mengajak Adrian singgah dulu ke pasar tradisional.“Aku butuh bahan-bahan segar buat eksperimen sambelku. Yuk ke pasar dulu!” ajaknya penuh semangat.Adrian hanya mengangguk, tanpa banyak tanya. Ia mengikuti Dira keluar kantor, seolah itu hal yang wajar saja—seperti suami yang setia menemani istrinya belanja kebutuhan dapur.Pasar tradisional sore itu masih ramai, meski matahari mulai turun perlahan. Bau tanah basah bercampur aroma rempah, ayam potong, dan gorengan hangat memenuhi udara. Dira melangkah cepat di antara kios-kios, membawa daftar belanja di ponselnya. Di belakangnya, Adrian berjalan tenang sambil menggendong dua kantong belanja yang sudah berat, tanpa satu pun keluhan.“Aku butuh cabai rawit, bawang putih, keju, sama daun jeruk. Oh, sama tomat juga!” ujar Dira sambil terus melangkah, tidak menyadari bahwa jalur di depannya agak becek.Adrian baru mau membuka mulut untuk memperingatkan ketika—“Dir, hati-ha—”Belum sele
Setelah kondisinya membaik, Dira kembali melangkah masuk ke kantor. Napasnya sudah mulai stabil, meski sisa-sisa ketegangan masih tertinggal di dalam dadanya. Lala berjalan di sebelahnya, masih menatap Dira dengan tatapan khawatir tapi tidak berkata apa-apa. Begitu mereka melewati area kerja, semua mata langsung menoleh.Beberapa pura-pura kembali mengetik, yang lain hanya menunduk sambil mencuri pandang. Tapi Dira tidak lagi peduli. Ia menegakkan kepala dan berjalan lurus ke mejanya.Satria terlihat keluar dari ruangan Pak Lee dengan ekspresi seperti biasa—dingin, tenang, dan menyebalkan. Seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Seolah bukan dia yang baru saja dihujani amarah Dira di depan semua orang.Dira menahan napas, memalingkan wajah saat pria itu sempat melirik ke arahnya. Tapi Satria hanya tersenyum tipis dan berjalan pergi begitu saja. Ia bahkan sempat menyapa salah satu staf di dekat pintu, membuat suasana jadi lebih aneh.Tak lama setelah Satria menghilang dari pandangan, telepo
Suasana kantor yang semula sudah tegang kini seperti retak di ujung jurang. Tidak ada satu pun yang berani bersuara saat Satria melempar sindiran itu, seolah semua napas menahan diri, takut menyulut percikan lebih besar.Dira mendekap tangannya di dada, berusaha keras menahan emosi. Tapi itu sia-sia. Ketika Satria melangkah lebih dekat, dengan senyum setengah mencemooh, Dira merasa dadanya seperti akan meledak.“Dulu, siapa yang tiap hari ngintilin aku? Ke mana aku pergi, kamu pasti ada di belakangku. Sekarang malah…,” Satria mengangkat bahu, suaranya dibuat seolah santai. “Mungut orang lain buat bantu kamu jalanin hidup?”Dira mengepalkan tangannya kuat-kuat. Semua bisik-bisik rekan kerja di sekitarnya makin menekan pikirannya. Rasa malu, marah, kecewa—semuanya bercampur jadi satu.Adrian masih berdiri di tempatnya, tetap tenang, seakan tidak terusik sama sekali oleh hinaan itu. Tapi Dira tidak bisa. Tidak kali ini.Dengan langkah lebar, Dira mendekat. Suara sepatunya berderap lantan
Sadar situasi mulai terlalu aneh, Dira cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Adrian. Wajahnya memanas, bukan hanya karena sabun yang masih menetes dari jemarinya, melainkan juga karena kedekatan tadi yang sukses membuat hatinya berdebar tak karuan.“Eh… Ini, desainnya,” Dira mengalihkan perhatian, membuka topik sambil pura-pura sibuk membilas piring. “Kamu mau bahas sekarang?”Adrian menggeleng cepat. “Udah malem, Dir. Besok aja. Sekarang kamu udah capek, aku juga.”Dira mengangguk lega. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan dirinya dari kecanggungan yang lebih parah.Setelah tumpukan piring bersih mengering di rak, Adrian buru-buru membereskan meja dan menutup seluruh bagian ruko. Dira mengambil tasnya, bersiap pamit.“Aku pulang, ya. Makasih udah dibolehin bantu,” ucap Dira ringan.Namun Adrian langsung menghalangi langkahnya. “Aku anter.”“Nggak usah, Adrian. Aku bisa sendiri.”“Tetep harus dianter.” Tanpa banyak kata, Adrian mengambil helm cadangan yang tergantung di belakang p
Sore itu, Dira berlari tergesa-gesa ke arah sebuah ruko sederhana bertuliskan “Ayam Penyet Berkah” di depannya. Nafasnya tersengal, keringat kecil membasahi pelipisnya. Ruko itu, yang biasanya sepi, hari ini justru ramai dipenuhi pelanggan.Begitu sampai di depan meja gorengan, Dira berdiri sebentar, membenahi napasnya. Dengan deham pelan, ia menarik perhatian Adrian yang masih sibuk membolak-balik ayam di wajan besar.Adrian melirik sekilas. Tanpa berkata apa-apa.Dira menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri bicara, “Maaf… aku telat. Tadi ada kerjaan mendadak.”Tak ada balasan. Adrian hanya menunduk, kembali fokus mengangkat ayam-ayam goreng ke atas tampah. Tapi Dira bisa melihat jelas dari raut wajahnya—kesal, capek, dan sedikit… bingung.Melihat itu, Dira spontan menawarkan diri, “Aku bantu, ya?”Adrian menoleh, menahan ucapan, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah. Ini urusan—”Belum selesai Adrian menolak, suara pelanggan memanggil dari meja, “Mbak, pesanannya, ya!”Dira tanpa pi