Dua minggu pasca siuman, keadaan Ibu semakin membaik. Hari ini Ibu sudah di perbolehkan pulang oleh, Dokter. Tak henti kami mengucap syukur atas nikmat dan keajaiban yang telah diberikan oleh, Tuhan.
Sengaja aku dan Mas Yas merahasiakan kehamilanku pada Ibu, aku ingin membuat kejutan untuk Ibu. Aku yakin, Ibu akan senang mendengar kabar baik ini."Makasih ya, Fi ... sudah menjaga Ibu," ucap Ibu tulus, matanya di penuhi oleh genangan air."Sama-sama, Ibu. Kalau perlu sesuatu, jangan sungkan ya. Bilang saja sama Fio," balasku sambil mengulas senyum."Gimana kabar, Ayahmu Fi? Kamu sudah mengabari hari ini akan pulang, khawatir Ayahmu datang, kami semua sudah tidak ada disini.""Oh iya ... Fio telpon sekarang," aku langsung merogoh saku depan, mengambil ponsel.Suara panggilan terdengar, namun belum juga di respon dari, Ayah. Sejak kepergian Ayah saat itu, Ayah sudah tidak lagi datang menjengukku. Sepertinya Ayah masih maTanpa menunggu persetujuanku, Ayah langsung memutuskan panggilan. Membuat aku menangis tergugu pilu, hati ini sakit melebihi sakitnya di khianati. Nafasku kembali sesak, pandanganku menjadi buram. Perlahan semua pandangan menjadi gelap seketika.***OfdKepala berdenyut ngilu, perlahan mata terbuka pelan. Di sampingku sudah ada, Ibu dengan raut begitu khawatir. Belaian tangannya menyentuh rambutku dengan lembut."Buk ..." lirihku bersuara."Iya, Nak. Kamu baik-baik saja?" tanyanya cemas.Aku hanya mengangguk, seraya memegangi kepala."Kalau kecapaian besok di batalkan saja acaranya ya." ucap Ibu.Aku menggelengkan kepala, mencoba untuk bangkit. Dengan sigap Ibu membantu, mengambil bantal di sampingku dan menaruhnya di belakang punggungku."Minum, Fi ..." Ibu mendekatkan gelas berisi air putih dibibirku. Aku meneguk pelan, lalu menyenderkan tubuh."Lemas?" tanya Ibu. Aku mengangguk pelan. "Ya sudah Fio istirahat, Ibu sudah
Tubuhku bergetar, air mata mengalir saat Ayah memeluk tubuhku kedalam dekapannya."Kenapa menangis, apa Ayah sudah terlambat?"Aku tak bisa berkata, lidahku kelu. Kueratkan pelukkan, membakar rasa rindu dan bersalah diwaktu yang bersamaan."Cup ... cup, sudah ah." Ayah melonggarkan pelukkan, menyentuh dagu dan mengangkat kepalaku."Kenapa?" tanyanya."Maaf ... maafkan Fiona kalau ada salah sama Ayah," sahutku disela isak tangis. Tubuhku begitu lemas, Ayah menuntunku berjalan menuju sofa. Kulihat Ibu tersenyum haru, dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Istirahat, sudah jangan menangis kasihan yang ada di dalam perut," ucap Ayah berusaha menenangkanku. Mas Yasir mendekat dan mencium tangan, Ayah."Buatkan minuman hangat untu
Ayah tersenyum miring lalu menggelengkan kepalanya. "Jangan terlalu percaya diri. Aku kesini demi anak dan cucuku. Kau tidak termasuk didalamnya," jawab Ayah dengan sinis.Ibu memejamkan mata, wajahnya sungguh dipenuhi binar kepedihan dan penyesalan.Aku hanya menghela nafas, terdiam ditempat. Tak tahu harus berbuat apa setelah mengetahui masalah mereka yang sebenarnya."Andai saat itu kau berhasil mengusik Fiona, sudah aku pastikan kau tidak akan hidup dengan tenang. Bagiku harta bukan segalanya, yang terpenting Fiona masih disisiku. Itu lebih dari cukup," ucap Ayah terdengar perih ditelinga. Aku tersenyum getir, terharu, Ayah memang sangat menyayangiku.Yah ... aku jadi mengingat ucapan Ibu kemarin, yang mengatakan ingin membawa aku ikut pergi dengannya."Pergilah ... sebelum aku lepas kendali.
Pov Ayah Gunadi.Lima tahun sebelumnya.***Suara ketukan pintu terdengar bertubi-tubi, seirama dengan suara bel yang bersahut-sahutan.Dengan terpaksa aku membuka mata yang baru saja terpejam, karna suara gaduh itu membuat kepalaku berdenyut ngilu.Sambil mengucak mata, aku membuka pintu sosok laki-laki berbadan kekar berkulit sawo matang berdiri tegap dibalik pintu."Tuan.""Hm ... masuk Jef," ucapku sambil melebarkan pintu memberinya jalan lalu duduk disofa ruang tamu."Ada apa Jef?" tanyaku sambil menguap."Tuan ... Non Fiona.""Fiona kenapa?" sahutku tak sabar, Jefry seolah ragu untuk meneruskan kalimat.Jefry menatap lekat kearahku, seakan meyakinkan dirinya sendiri."Apa!" sentakku. Tidak tahu kepala lagi pusing, bikin marah saja."Non Fiona ditahan di sel tahanan, Tuan," jelasnya kemudian."Ditahan?" Jefry menganggukkan kepala."Di penjara maksudnya?" tanyaku memastikan.
Tercenung seorang diri, memandangi sekumpulan ikan mas koi yang berenang bebas di dalam kolam. Suara gemericik air menenangkan fikiran, hembusan angin alam menampar wajah dengan lembut.Pelan aku menghembuskan nafas, rasa sesak masih terasa meski aku coba melupakan segalanya. Ucapan Fiona selalu terngiang-ngiang dikepala. Yang mengatakan Ibu mertua adalah, Ibu kandungnya.Sekonyol itu Dunia. Tak habis fikir, sosok itu kembali hadir bahkan dia menjelma sebagai besanku. Benar-benar gilak!Memaafkannya sama saja dengan mengoyak harga diriku. Biarlah seperti ini terus, tidak berguna pula berbaik hati dengan perempuan murahan itu."Permisi, Tuan ..." Bik Ijah datang membawa nampan beraroma kopi menggugah selera.Aku hanya menoleh, lalu mengangkat dagu."Ini kopinya," ucapnya seraya menaruh kopi beserta singkong rebus pesananku."Tuan ....""Mm?" sahutku sambil meraih singkong rebus yang ma
Fiona is back"Hai Fi ... sini sarapan," ucap Ibu sambil menaruh nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi diatasnya. Ibu tidak menatapku, pandangannya lurus ke bawah. Sambil mengunyah santapannya.Sekilas mata Ibu jelas terlihat sembab."Makasih, Buk ..." Ibu tersenyum sekilas kearahku, lalu kembali sibuk dengan sarapannya."Ridwan dan Putri, belum sarapan?""Hari libur, biasanya mereka akan keluar kamar agak siang." jawab Ibu.Kami menikmati makanan dalam diam, sibuk dengan santapannya masing-masing."Buk ... hari ini, Fio mau kerumah, Ayah." ucapku sambil mengusap sudut bibir menggunakan tisu."Oh ya ..." Ibu terlihat gugup."Iya ... rencana Fiona akan melahirkan disana," sahutku sambil menatap lurus kearah, Ibu."Kamu mau lahiran disana?""Iya ... sekalian menemani Ayah, kasihan dia selalu sendiri." jawabku. Ibu menganggukkan kepala, raut wajahnya terlihat ke
"Sudah pembukaan empat ya?" ucapnya pada Mas Yas.Mas Yas menatap haru padaku, mata beningnya sudah berkaca-kaca. Aku terisak, air mata mengalir. Sebentar lagi akan lahir Fiona jenior kedalam Dunia."Masya Alloh ... Alhamdulillah," tak henti Mas Yas menganggungkan kalimat Tuhan. Membuat rasa haru semakin dalam, saat mengikuti kalimatnya."Sayang semangat ya, Mas temani." ucapnya lembut sambil membelai keningku. Aku hanya mengangguk kecil, tak kuasa membalas ucapannya."Saya pasang selang infus ya, karna air ketubannya sudah pecah. Takut si Mbak kekurangan cairan. Itu bahaya untuk janin," jelas Suster. Tanganku dioleskan kapas yang sudah diberi alkohol, saat Suster ingin menusuk kulitku kontraksi tiba-tiba datang menyerang."Ssss ..." Aku meringis menahan nafas, tubuhku menegang menahan sakit serangan itu."Ya ... ambil nafas, buang ..." titah Suster. Aku mengikuti. "Ambil nafas lagi, buang ..." ucapnya lagi.
Trimakasih ya Rabb ... kau telah mempermudah jalan kebahagiaan untukku. Semoga kelak anak ini akan menjadi anak yang sholeh. Tak hanya menyejukkan mata, namun menyejukkan hati kedua orangtuanya."Sayang ..." Mas Yas menatap hangat lalu mencium keningku."Trimakasih, sudah melahirkan anak kita," ucapnya begitu lembut, membuat nyaman sanubari."Istirahat ya ... si Dedek biar Mas dan Ayah yang jaga." sambungnya sambil membelai rambutku.Aku mengangguk lemas, lalu memejamkan mata karna rasa lelah yang begitu berat.***OfdEntah berapa lama aku terpejam, suara Ayah samar-samar terdengar ditelinga."Tuh ... Ayah bilang juga apa? Jagoan kan.""Iya, Yah ... Ayah hebat ya, bisa tahu." sahut Mas Yasir.Aku membuka mata, kulihat Ayah sedang menggendong bayiku dengan posisi duduk tak jauh dari tempatku."Gantengnya ... mirip kamu ya Yas, matanya sipit." wajah Ayah begitu cerah dan berse