"Apa maksud kamu, Mas?!" Marni tersulut es mo si, peremempuan itu bahkan sampai duduk mendengar pengakuan dari Faiz.
Faiz menoleh pada Marni menatap begitu t a j a m, "Memang itu kenyataan nya, Marni. Saya tidak pernah cin-ta sama kamu," Deg. Lagi-lagi Marni tersentak kaget mendengar pengakuan yang selama ini bertolak belakang dengan tingkah juga sikapnya. "Kamu kenapa, mas? Bukan kah kamu sangat suka m3nikm4ti t u b u h ku?" katanya lagi masih menatap manik mata Faiz tidak percaya. Di tatap seperti itu oleh Marni membuat Faiz memalingkan wajahnya. Perempuan itu yakin jika lelaki di hadapan nya kini sangat menc-intai dirinya namun sukar untuk mengatakan hal tersebut. Jika memang Faiz tidak mencin-tainya tidak mungkin dia akan mempertahankan janin di dalam kand-ungan nya. "Jawab, mas!" bentak Marni membuat Faiz menatap nyalang. Dia tidak suka di teriaki seperti ini terutama oleh perempuan yang bukan siapa-siapa di hidupnya. "Sudah saya katakan kalau itu hanya n a f s u, bukan cinta." Faiz menjawab dengan tegas, ia pun keluar dari dalam ruangan setelah mengatakan hal itu. Isakan tangis terdengar begitu pilu Marni menatap nanar pada pintu masuk begitu sang kekasih hati pergi begitu saja. Tetesan demi tetesan membanjiri kedua pipi Marni yang mengembang. Ia tidak menyangka jika Faiz tega mengatakan hal itu padanya, padahal selama ini Faiz selalu saja menggaungkan nama nya ketika mereka sama-sama mencampai puncak k3nikm3tan surga dunia. "Marni,.." Ayu mencoba mengusap bahu artnya. "Kenapa, bu? Apa ibu juga akan sama seperti mas Faiz? Pergi begitu saja tanpa kejelasan?" Marni menatap Ayu penuh dengan air mata, dia memberikan banyak pertanyaan padanya. Ayu menggelengkan kepala, "Tidak Marni, justru ibu akan mendukung penuh kamu. Masalah Faiz tidak usah kamu pikirkan... Biar ibu yang bicara sama dia nanti," kata nya seolah memberikan sebuah harapan. "Ibu serius?" tanya Marni menatap Ayu. "Iya.. Pokoknya kamu harus menjaga calon cucu ibu, itu saja yang harus kamu fokuskan," Ayu mengusap perut Marni yang sedikit membuncit. Seulas senyum terpancar dari kedua nya bahkan Marni sampai memeluk sang calon mertua. ** Terdengar deru mesin mobil masuk ke halaman rumah membuat Aluna menghentikan sedikit aktifitas nya di dalam ka ma r. Perempuan itu menyibakkan gorden dalam melihat siapa yang datang ke rumahnya. "Mas Faiz? masih berani dia datang kesini!" gumam Aluna, perempuan itu segera keluar dari dalam ka ma r. "Sa yan g..." panggil Faiz, setelah pria itu masuk ke dalam rumah. "Masih berani kamu ke sini, mas!" tanpa menjawab embel-embel sa ya ng dari sang suami, Aluna pun mengatakan ketidak sukaan nya. "Suka-suka aku dong, sa ya ng... Ini 'kan rumah aku," jawab Faiz santai, dia duduk di sofa panjang bersandar pada benda empuk itu. 'Hih, enak aja kalau ini rumah nya! Liat saja apa yang akan aku lakukan!' batin Aluna merasa geram. Dering ponsel terdengar nyaring membuat Aluna segera meraih benda pipih tersebut di ata-s meja. {Halo, bu... Saya mau menyampaikan kalau ke-ua ng an perusahaan ada sedikit masalah,} kata Haris, orang kepercayaan keluarga Aluna. "Apa? Kenapa bisa begitu? Siapa dalang di balik ini, semua?" tanya Aluna, namun ta ta pa n nya tidak lepas dari Faiz. Menyadari jika sang istri menatapnya seperti itu membuat Faiz sedikit was-was. Pria itu mengubah posisi nya dengan tegak. {Tim audit masih menyelidik, bu. Tapi, ada satu orang yang memang men cur-iga kan dan terlibat.} "Baik, urus semua nya dengan benar dan jang sampai mereka ka b u r." {Baik, bu} Panggilan pun terputus membuat Aluna menyimpan ponsel nya kembali tidak lepas me na tap Faiz. "Kamu kenapa, s aya ng?" demi menghilangkan rasa gugup Faiz pun bertanya. "Tidak, kenapa kamu tidak ke kantor?" "Em.. Say ang, aku semalam tidak bisa tidur, hari ini libur dulu ya?" Faiz menatap mata ca nt ik Aluna memohon. "Tidak! Kamu harus ke kantor, bukan kah masih ada beberapa proyek yang kamu pe ga ng, mas?" "I-iya sih, tapi.. Kepalaku pusing banget," keluh Faiz masih mencoba bernegosiasi dengan istrinya. "Baiklah, kalau gitu biar aku yang mengurus semuanya." Deg. Tidak mungkin jika Aluna pergi ke kantor bisa-bisa semua nya akan terbongkar, pikir Faiz. Ia pun mengikuti langkah sang istri menuju k a m a r mereka. Beberapa menit kemudian pria itu pun akhirnya pergi ke kantor Aluna ingin melihat bagaimana ketika dia di pe rik sa oleh tim audit mengenai ke u a n g a n perusahaan. PIM PIM Baru saja Aluna melangkah ma-suk lebih da la m ke rumahnya, ia mendengar klakson mobil yang akan masuk. "Aluna, buka dong gerbangnya!" teriak Ayu, perempuan itu tengah berdiri di balik gerbang besi yang menjuntai tinggi. Malas meladeni ibu mertuanya Aluna pun pergi begitu saja menuju dapur membuka pintu kulkas mencari minuman dingin di sana. "Aluna!" lagi-lagi ibu mertuanya memanggil dengan teriakan, dia pikir ini di hutan harus berteriak seperti itu pikirnya. "Apa sih, bu... Jangan teriak-teriak dong," mau tidak mau dia pun menghampirinya. "Bikinkan saya minuman segar juga makanan yang enak?" perintahnya sesuka hati, tentu saja membuat Aluna melo-ngo tidak percaya. "Apa aku tidak salah dengar, bu?" "Tidak, cepat bikin! Malah diam saja," katanya lagi seraya berkacak pinggang men-anta ng Aluna. "Kenapa harus aku, bu. Suruh aja si Marni dia pe m ban tu di sini!" "Mulai sekarang, kamu yang harus m e l a y a n i kita! Marni lagi ha mi l tidak bisa kerja berat-berat," Deg. 'Segitu nya?' batin Aluna menggelengkan kepala. "Malah bengong. Cepat bikin makanan sana!" Ayu mendorong Aluna. Melihat ibu mertuanya berpihak padanya membuat Marni tersenyum sangat puas melihat penderitaan Aluna. Tidak lama Aluna pun membawakan dua mangkuk mie rebus juga dua gelas teh dingin ke hadapan Ayu juga Marni. "Silahkan dinikamati, nyonya dan nona." ujar Aluna, segera dia melangkah menjauh dari hadapan keduanya. BRUUUTTT!! "ALUNA! Kamu sengaja m3r4cun1 saya."Beberapa tahun kemudian Faiz pun sembuh dari penyakitnya pria itu benar-benar menjaga dan juga mengkonsumsi obat herbal dan non herbal di rekomendasikan oleh dokter. Ia dan keluarganya pindah ke sebuah perkampungan dimana daerah tersebut masih asri dan juga banyak pondok pesantren. Faiz pun mulai mengikuti semua kegiatan di pondok pesantren guna mendamaikan hatinya yang belum bisa move on sepenuhnya dari Aluna. Bahkan pria itu ketika mereka masih berada di jakarta masih suka bulak balik ke klub malam demi mengusir rasa suntuk. Ayu menggiring anak serta cucunya untuk keluar dari kota tersebut demi kesembuhan keduanya. Terbukti setelah Faiz melakukan kegiatan postif ia akhirnya bisa benar-benar sembuh. "Assalamualaikum, Bang Faiz." ia menoleh melihat siapa yang datang. Pria itu pun menghentikan aktivitasnya sejenak. "Waalaikumsalam, iya dek. Ada apa?" jawab Faiz pada santri itu. "Abang di panggil pak Kiayi katanya suruh kesana." Deg. 'Ada apa ya?' batin Faiz. "Oh
Perkataan Ayu membuat pria berusia hampir memasuki kepala empat itu terdiam. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini hingga membuat Faiz menunduk dalam-dalam.Isak tangis terdengar oleh Ayu membuatnya paham jika putranya tengah menyesali perbuatannya selama ini. Bahkan tidak hanya isak tangis berganti menjadi rancuan kalimat kalimat menyakitkan keluar dari mulut Faiz."Ampuni aku ya allah....," lirih Faiz dalam sujudnya.Setelah beberapa menit Faiz keluar dengan mata yang memerah bengkak karena menangis. "Bu, apa aku bisa bertemu dengan Aluna?" tanyanya."Aluna? Ibu gak tau kabar dia sekarang Iz.. Mungkin aja dia sudah menikah lagi. Tapi, kenapa kamu tiba-tiba ingin bertemu dengannya lagi?" Ayu penasaran."Aku hanya ingin meminta maaf. Itu saja bu gak ada mksud yang lain," "Papa, nangis?" suara Putra mengalihkan semuanya. Faiz pun segera memeluk anaknya menumpahkan segala rasa yang ada di dalam dirinya.Tidak peduli dengan apa yang dokter katakan dia hanya ingin meminta orang-ora
Ayu tidak tahu memberi tahu seperti apa pada putranya. Apa dia lebih baik tidak memberi tahu akan hal itu? Batin Ayu bertanya-tanya, namun jika dia tidak memberi tahu Faiz sudah pasti dirinya akan semakin merasakan sakit oleh penyakit yang di deritanya.Kebimbangan yang di rasakan oleh Ayu terlihat oleh Fani yang kini tengah memperhatikan dari dalam kamar."Bu." tegur Fani."Eh, iya Fan?" Ayu menoleh, perempuan paruh baya itu menoleh lalu menghampiri Fani dan cucunya."Ada masalah?" tanya Fani lagi, namun Ayu menggelengkan kepala tersenyum pada putrinya.Biarlah ini menjadi rahasia dirinya semoga apa yang di takutkan tidak terjadi. Ayu menyembunyikan hasil lab milik Faiz dia tidak mau jika Faiz semakin terpuruk dengan keadaannya."Ibu jangan bohong. Pasti terjadi sesuatu kan sama aa?" Fani menatap manik mata Ayu. Raffa dalam gendongan Fani hanya bisa meyimak saja obrolan orang dewasa itu.Ekspresinya begitu menggemaskan seperti orang yang mengerti saja mereka membicarakan apa."Enggak
Satu minggu berlalu Faiz di kabarkan jika hasil uji lab pemeriksaan dirinya sudah keluar. Ia diminta untuk datang ke klinik tersebut bersama pendampingnya."Baik, saya akan segera kesana," saat ini Faiz tengah bekerja di sebuah proyek pembangunan gedung bertingkat di jakarta.Faiz menatap satu persatu rekan kerja nya ia bingung harus meminta izin seperti apa. Dia baru saja keterima bekerja di proyek ini beberapa hari yang lalu jika harus meminta izin tentu saja tidak enak pada atasannya.Tapi, dia sendiri merasa penasaran dengan hasil uji lab apakah penyakitnya tidak separah itu hingga dia masih bisa bebas beraktivitas dengan orang-orang di sekitarnya.Sementara Ayu wanita paruh baya itu tengah mengurusi sang cucu yang baru lahir karena Fani belum bisa beraktivitas seperti biasa."Nenek, dedek bayinya kok tidur terus sih. Aku kan mau main," celoteh Putra membuat Ayu semakin gemas."Adik Raffa masih bayi, sayang. Jadi belum bisa di ajak main sama Putra," jelas Ayu. Pria kecil di sampi
Ayu menunggu Faiz keluar ia berada di sebuah tuang tunggu salah satu klinik di jakarta."Lama banget,Iz." gerutu Ayu menggu Faiz hampir 2jam."Maaf, bu. Ada beberapa pemeriksaan lagi. Hasilnya tidak langsung juga," jawab Faiz. Keduanya berjalan menuju apoteker untuk menebus obat."Semoga gak ada yang serius lagi ya,Iz.. Kita tidak punya banyak uang." keluh Ayu."Ibu doakan saja ya," Ayu menganggukkan kepala tersenyum pada putranya."Atas nama Faiz," suara lantang apoteker tersebut memanggil satu persatu pasien yang tengah menunggu antrian obat.Faiz menghampiri apoteker tersebut lalu menjelaskan rangakaian obat yang di berikan. Ada beberapa jenis yang harus di minum oleh pria dewasa itu."Em, maaf sebelumnya pak. Untuk saat ini bapak harus pisah alat-alat makan dengan keluarga. Jadi bapak punya khusus untuk makan dan minum serta sabun dan juga pasta gigi ya, pak. ujar apoteker tersebut menjelaskan.Deg."Separah itu?" tanya Faiz."Ini hanya dugaan ya, pak. Karena kami sudah memberika
Setelah pertemuannya dengan Marni, Putra sama sekali tidak merasa bahagia. Mungkinkah lelaki kecil itu memiliki trauma yang sangat mendalam? Pikir Fiaz."Put?" panggil Ayu."Iya, nek." bocah itu menoleh. Lalu memainkan mainan mobil-mobil yang sudah tidak berbentuk itu."Mainan itu sudah rusak nak, kenapa gak kamu mainin aja yang baru dari bunda kamu." bujuk Ayu agar Putra menerima semua pemberian dari Marni."Ini juga masih bagus, nek. Jalan nya juga gak macet-macet, aku suka ini aja." jawabnya penuh tanpa dosa.Ayu dan Faiz hanya bisa menghela napas kasar biarlah biarkan Putra bermain dengan mainan lamanya hingga merasa bosan.Faiz pun menyimpan kembali mainan baru dan juga barang lainnya pemberian dari mantan istrinya itu.Aws," keluh Faiz merasa sakit."Kenapa iz?" "Gak tau bu, tiba-tiba saja aku merasa tidak enak,""Ya sudah kamu istirahat saja." Faiz pun menganggukkan kepala kemudian merebahkan tububnya di atas tempat tidur.** "Mami, Papi kemana kok gak pulang?" tanya Angle. A