Saat jam kantor berakhir, Artha bergegas untuk pulang. Di lobby dia tidak sengaja berpapasan dengan Dara yang berjalan untuk sama-sama pulang. Artha hanya berjalan tanpa ingin menoleh kearahnya, mungkin Dara pun sama.
Di parkiran Artha bergegas mengendarai motornya terlebih dahulu dari mobil Dara. Sebelum sampai rumah keluarga Jaksara, Artha memilih mampir ke warung pecel lele yang ada di pinggir jalan, berniat untuk makan. Artha juga sadar diri jika dia hanya orang asing yang numpang tidur saja, jadi dia tidak ingin merepotkan keluarga Jaksara. Dara menepikan mobilnya saat melihat Artha turun dari motornya di warung tersebut. Perempuan itu segera menghampiri Artha. "Artha?" Artha mengerutkan keningnya tercengang. "Bu Dara? Ngapain ikut kesini?" "Kamu ngapain disini?" Tanya Dara penasaran. "Saya–saya mau makan," jawab Artha gugup. Dara menghela nafasnya pelan. "Kenapa kamu gak mau makan di rumah saya?" "Makan disini lebih enak. Coba deh, Bu... saya pesenin ya?" Tawar Artha dan Dara hanya terdiam. "Udah gapapa Bu, saya traktir deh," ajak Artha lagi Dara hanya menghela nafasnya lalu dengan sangat antusias Artha menarik tangan Dara untuk duduk disampingnya. "Sini Bu, duduk.." Dara duduk disamping Artha, tapi sebelumnya laki-laki itu membersihkan meja dan kursinya agar Dara merasa nyaman. "Mas?" Panggil Artha kepada penjual itu. "Pecel lelenya tambah satu porsi lagi ya?" Pesan Artha disetujui cepat oleh pedagang itu. Dara hanya terdiam memandang Artha, sedangkan laki-laki itu hanya mengulaskan senyumnya canggung merasa bingung berada didekat Dara. "Kamu gak usah merasa tidak enak di rumah saya. Kedua orang tua saya tidak tahu rencana pernikahan kita. Mereka cuma tau jika saya menjalin hubungan sangat dekat dengan kamu sehingga saya memilih kamu untuk menjadi suami saya. Jadi kedua orang tua saya pasti akan menganggap kamu sebagai menantunya." Pada nyatanya kedua orang tua Dara tidak menerima kehadiran Artha. Tapi Artha tidak berkata yang sesungguhnya jika Pak Jaksara memperlakukannya bukan layaknya seorang menantu. Artha cuma tidak ingin Dara memikirkan hal yang tidak penting. "Iya, Bu Dara." "Tadi saya tidak melihat kamu di lobby saat pengumuman kenaikan jabatan saya. Kamu dimana?" Tanya Dara. "Saya di toilet, Bu," ucap Artha terdengar gugup. "Kamu tidak mau mengucapkan selamat untuk saya?" Awalnya Artha terdiam lalu seketika dia tersenyum dan menjabat tangan Dara begitu saja. "Selamat ya, Bu Dara... atas kenaikan jabatannya. Tolong Bu jangan galak-galak, semua karyawan ketakutan sama ibu, termasuk Karla." Dara menghela nafasnya sedikit kasar ucapan selamat apaan yang menyindir Dara dengan begitu. "Semoga ibu dapat bekerja dengan baik menggantikan Pak Jaksara," ucap Artha lagi. "Artha?" Artha berdeham. "Andai semua orang tau status kita berdua, apakah kamu malu?" Tanya Dara dan Artha terdiam. Mengapa Dara harus bertanya seperti itu? Mengapa dia tidak sadar akan keadaan? Padahal Artha sudah lama tersadar akan itu. Kasta mereka memang berbeda, bagaimana Artha tidak malu memiliki istri yang lebih tinggi jabatan daripada dirinya? "Bukankah itu semua gak akan terjadi?" Jawab Artha dengan wajah datarnya. Dara memandang laki-laki itu lekat. Wajah Artha terlihat lebih serius daripada tadi. "Bu Dara sudah berjanji akan menutupi status kita di publik. Tujuan saya hanya memberikan anak untuk Bu Dara habis itu saya pergi. Tidak perlu membahas masalah itu terus menerus Bu, saya tau pekerjaan saya." "Kamu masih tidak terima dengan ini semua?" Tanya Dara. "Meskipun saya tidak terima, saya akan melakukan ini semua demi ibu. Dan tentu saja demi uang." Dara seketika bungkam. Bukankah saat awal Artha menolak untuk menikahi Dara meskipun demi uang? Lantas mengapa Artha berubah pikiran? Mengapa dia sangat tergila-gila dengan uang? "Makan dulu, Bu, saya lapar..." ucap Artha saat melihat pedagang itu mengantarkan pesanan Artha dan Dara. "Saya gak bisa makan ikan." Dengan begitu peka, Artha menarik piring ikan milik Dara lalu dia memisahkan daging dan durinya, agar Dara memakannya dengan mudah. Dara sungguh tertegun atas perilaku laki-laki itu. "Makan aja Bu, durinya udah saya buang." Dara menganggukan kepalanya ragu. "Makasih Artha." ***** Saat baru saja sampai di kediaman Jaksara, Artha turun dari motor dan membukakan gerbang untuk mobil Dara yang hendak masuk ke garasi. Selain itu, banyak sekali yang Artha lakukan dengan baik untuk Dara. Sebelum tidur, Artha selalu membersihkan kamar Dara yang berantakan. Artha juga tidak pernah menyentuh barang ataupun makanan yang berada di rumah besar itu. Meskipun Dara beberapa kali berkata untuk hidup biasa saja, tapi Artha tetap hidup layaknya orang asing disana. "Kenapa Bu?" Tanya Artha saat melihat Dara yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan memegangi perutnya. "Biasa, hari pertama haid, jadi perut saya sakit." Artha mengangguk singkat. "Yaudah, Bu Dara istirahat aja. Siapa tau aja sakitnya hilang." Dara mengangguk lalu naik keatas ranjangnya bersiap untuk tidur. Artha tentu saja menyingkir, dia seperti biasa hanya tidur dibawah kasur tepatnya diatas karpet bulu dengan satu bantalnya. Artha memainkan ponselnya dengan santai karena dirinya sama sekali belum merasakan ngantuk. Beberapa kali dia mengirim pesan kepada ibunya, ibunya sama sekali tidak meresponnya sedikit pun, membuat Artha merasakan amat bersalah. "Ssshh Awwss..." Artha mendengar rintihan Dara yang kesakitan. Saat Artha melihatnya, ternyata Dara menahan rasa sakit seraya memeluk perutnya dengan mata yang terpejam. Artha beranjak ingin membangunkan Dara, tapi rasanya sangat tidak tega karena mungkin Dara begitu lelah seusai bekerja. Tapi dirinya juga bingung harus melakukan apa karena dia tidak pernah membantu perempuan yang sedang nyeri haid. Hingga sebuah ide muncul, Artha membuka browser di ponselnya dan mencari cara untuk membantu Dara meringankan rasa sakitnya. 1. Meminum obat pereda nyeri haid 2. Mengompres perut dengan air hangat 3. Perbanyak minum air putih 4. Tidur berbaring kesamping dengan menempatkan bantal dibawah leher dan diantara paha. Tanpa berpikir lama lagi, Artha langsung beranjak merampas kunci motornya untuk pergi ke apotek terdekat. Diruang keluarga dia tidak sengaja melihat Pak Jaksara duduk seraya fokus dengan laptopnya. "Mau kemana?" Tegurnya. "Saya mau ke apotek, pak." "Beli obat untuk siapa?" Tanyanya lagi. "Untuk Bu Dara. Dia sedang mengalami nyeri haid. Kasihan pak." Pak Jaksara menganggukan kepalanya tidak ingin mencegah Artha terlalu lama karena mungkin Artha ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Artha langsung bergegas pergi begitu saja, dia menaiki motornya secepat kilat menuju apotek terdekat. Seusai mendapatkan obat itu ia langsung bergegas pulang tanpa mampir ke tempat manapun. Didalam rumah, Pak Jaksara melihat Artha yang cepat sekali pulang, dia sedikit berlari kearah dapur untuk mengambil segelas air putih serta baskom yang berisi air untuk mengompres. "Ada apa Artha?" Kini Bu Jessy tidak sengaja berpapasan dengan Artha di dapur. "Ini buat kompres perut Bu Dara, dia lagi datang bulan terus perutnya sakit karena nyeri haid." "Anak manja itu susah sekali pergi berolahraga, padahal Bunda sudah menyuruhnya agar tidak sakit saat haid," gerutu Bu Jessy. Artha hanya terdiam tidak tahu yang terjadi sebelumnya dengan Dara. Bu Jessy menghela nafasnya pelan. "Yaudah sana bantu Dara. Dia pasti gak akan bisa tidur semalaman karena sakit." Artha mengangguk lalu segera membawa baskom kompres dan air minum untuk Dara menuju kamarnya kembali. Terlihat perempuan itu masih merintih seraya menggeliat kesakitan. Artha meletakkan alat kompres itu diatas nakas lalu dia berniat membangunkan Dara untuk menyuruhnya minum obat penyeri haid. "Bu Dara? Boleh bangun sebentar? Saya sudah membelikan obat pereda nyeri haid. Diminum dulu ya, Bu," ucap Artha sangat lirih. Dara perlahan membuka matanya, dia melihat wajah Artha yang terlihat begitu panik. Artha membantu Dara untuk meminum obatnya. Setelah Dara meminumnya, Ia kembali merebahkan dirinya diatas kasur. "Maaf Bu, boleh saya bantu kompres perut Bu Dara? Saya tau dari browser katanya mengompres perut bisa meredakan rasa sakit pada nyeri haid." Awalnya Dara terlihat ragu karena dia belum terbiasa disentuh oleh laki-laki manapun. Tapi berhubung Artha adalah suaminya akhirnya Dara mengizinkannya, lagi pula tujuan mereka menikah memang untuk bersentuhan hingga Dara hamil. "Sekali lagi saya minta maaf ya Bu." Dengan perasaan yang sangat tidak enak hati Artha perlahan menaikan baju Dara hingga terbuka setengah perut saja. Dara terlihat hanya pasrah seraya beberapa kali meringis memijit pinggangnya yang terasa pegal. Artha perlahan mengompres perut Dara dengan kain kecil disana dengan perlahan. "Semoga setelah ini Bu Dara gak merasakan sakit lagi ya," tutur Artha dianggukan pelan oleh Dara. Tangan Artha begitu lihai sekali membuat Dara nyaman, bahkan Dara tidak protes sedikitpun mengenai Artha yang berani memegang perutnya. Dara juga mengakui jika sakit di perutnya perlahan reda. "Artha?" Artha seketika terdiam saat Dara menahan tangannya begitu saja. Tatapan mereka saling bertemu satu sama lain. Artha melepaskan tangan Dara begitu saja. "Iya Bu? Masih sakit ya perutnya?" Dara menggelengkan kepalanya. "Udah baikan kok." Artha menghela nafasnya lega seraya tersenyum. "Alhamdulilah akhirnya malam ini ibu bisa tidur dengan tenang." "Makasih ya, Artha... kamu sudah berperan aktif menjadi suami saya." Artha mengangguk pelan lalu ia menghela nafasnya sedikit kasar. "Sekarang Bu Dara lebih baik lanjut tidurnya ya, pasti capek karena bekerja kan?" Dara menganggukan kepalanya. Artha beranjak bangkit lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh Dara agar dapat tidur dengan nyenyak. Dara melihat wajah Artha begitu dekat dengannya. "Selamat tidur Bu Dara," ucapnya dengan tersenyum.Dara berjalan tertatih menuju ruang ICU, ia berharap Artha berada disana. Saat dirinya hendak masuk kedalam, tiba-tiba seorang dokter keluar bersama beberapa perawat mendorong brankar sorong yang terdapat seseorang tertutupi kain putih."Stop!" Teriak Dara memberhentikan perawat itu yang membawa seorang tertutup kain putih tersebut.Dara melangkah mendekat meskipun rasanya terasa berat. Nafasnya memburu cepat, air matanya sudah berdesakan keluar, serta perasaan berkecamuk terus ia rasakan.Saat Dara berdiri tepat disamping pasien yang tertutup kain putih itu, ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya perlahan membuka kain tersebut. Tak ada larangan dari dokter, mungkin Dara juga ingin melihatnya."Artha–" Mata Dara melotot saat orang yang ia lihat ternyata bukan Artha melainkan pasien lain dengan wajah penuh luka."Maaf Bu, apakah pasien ini keluarga ibu? Dia mengalami kecelakaan tunggal dan tidak ada pihak keluarga yang bisa kami hubungi," Tanya Dokter tersebut kepada Dara.Dara kembal
Dara saat ini mencoba bersabar dan memperluas dirinya untuk berdoa kepada sang kuasa. Cuma itu yang bisa Dara lakukan untuk menolong Artha karena dia sudah tidak tahu harus berbuat apalagi.Setiap kali Dara bersujud pasti wajah Artha yang selalu terbayang dipikirkannya, ia cuma ingin laki-laki itu sembuh dan menjadi imam yang sesungguhnya untuk Dara.Setelah melakukan kegiatan rutinnya sholat lima waktu dan berdoa untuk kesembuhan Artha. Sore ini Dara turun dari kamarnya dengan hati-hati karena ia merasa lapar. Lagi pula tak mungkin Dara merepotkan ibunya terus menerus untuk mengantarkan makanan ke kamar Dara."Bunda?" Panggil Dara."Ayah?" Panggilnya gantian karena Dara merasa rumahnya sangat sepi padahal mereka berjanji untuk menemani Dara dirumah sampai Dara melahirkan.Drrtt...drttt...Suara ponsel rumah Dara berdering, Dara yang ingin melangkahkan kakinya ke dapur menjadi mengurungkan niatnya dan memilih mengangkat telfon tersebut."Halo?""Dara ini ibu."Tubuh Dara seketika mene
"Seafood pedas manis favorit Dara sudah siap."Dara melihat makanan itu terjejer rapih diatas meja makan. Sungguh, saat ia tau makanan itu menyakiti Artha, Dara menjadi sangat membencinya. Buktinya, saat ini Dara lebih memilih mengambil tempe goreng dan sayur soup saja.Pak Jaksara dan Bu Jessy saling lirik merasa heran dengan anaknya itu."Dara gak suka masakan Bunda ya?" Tegur Bu Jessy.Dara menoleh kearah Bu Jessy. "Mulai sekarang bunda gak usah mengingat makanan favorit Dara ya. Seafood bukan makanan favorit Dara lagi. Dara membencinya karena makanan itu sudah menyakiti Artha."Bu Jessy mengangguk pasrah, sepertinya ia sangat mengerti dengan perasaan Dara sekarang. "Yaudah, makanan ini bunda berikan ke bibi aja ya.""Bibi?" Panggil Bu Jessy dan seorang Art datang menghampirinya."Ada seafood untuk bibi, nanti dibawa pulang aja ya Bi," ujar Bu Jessy dianggukan oleh Art itu dengan senang."Terimakasih ya Bu, pak, non," ucap Art itu kepada mereka.Setelah itu, Bu Jessy duduk disana i
Tiga bulan kemudian...Kini kandungan Dara sudah memasuki bulan kelahiran. Tapi dia sama sekali tidak ada semangat sedikitpun untuk menyambut kehadiran sang bayi.Hari-hari Dara rasanya telah berubah setelah Artha dinyatakan kritis pada tiga bulan lalu. Laki-laki itu meskipun masih bisa tertolong, tapi tidak kunjung sadar dari komanya. Dan Dokter malah menambah pengawasan di ruang ICU karena Artha bisa sewaktu-waktu kritis kembali, bahkan dokter berkata jika tidak ada penanganan lagi yang bisa dilakukan jika Artha tidak kunjung sadar.Dara tidak bisa menjaga Artha seperti biasanya pasalnya dokter hanya mengizinkan untuk menjenguknya untuk beberapa menit saja dan itu hanya dilakukan satu orang bergantian.Seperti saat ini, Dara hanya terduduk didepan ruang ICU menunggu gilirannya dengan Bu Hanna seraya memegangi sebuah sarung tangan bayi yang dibelikan Bu Hanna untuk cucunya itu. Dara hanya terdiam, bahkan untuk bersedih saja dia sudah merasa begitu lelah.Tak lama pintu ruangan itu te
Hari berganti hari, Dara masih setia menjaga suaminya yang sudah dua minggu ini tidak sadar dari koma. Meskipun sedang hamil, Dara ingin dirinya selalu ada didekat Artha. Hidupnya terasa sepi saat wajah Artha tidak lagi ia lihat dirumahnya.Soal pekerjaan? Dara menghandle semua pekerjaan Artha. Meskipun pak Jaksara telah melarangnya dan dia sendiri yang akan mengerjakannya. Tapi bukan Dara namanya jika tidak keras kepala. Dara juga tidak ingin menyusahkan Pak Jaksara yang sedang sakit. Alhasil dia yang bekerja dalam kondisi hamil.Pagi sampai sore dia berada di kantor. Dan malamnya, Dara pasti akan menghampiri Artha dirumah sakit dan terkadang ia menginap disana."Permisi, mau minta tanda tangan."Dara yang tidak sengaja tertidur dengan tangan sebagai bantalan diatas mejanya seketika terbangun saat mendengar seseorang memasuki ruangannya."Kalo kecapekan lebih baik istirahat dirumah, Dara," ucap Karla karena seseorang itu adalah dirinya.Dara menandatangani dokumen milik Karla seraya
Dara membuka matanya perlahan-lahan, ia sudah tersadar di ruang rawat dengan selang infus yang menancap di tangannya. Erick duduk setia menunggu Dara."Dara?" Erick sedikit panik lalu berlari memanggil seorang perawat.Seorang perawat datang untuk segera memeriksa kondisi Dara. Erick sedikit panik karena Dara hendak bergegas bangkit tapi untung saja ia langsung melarangnya."Ra, kamu mau kemana?" Tegur Erick."Aku harus menemani Artha. Dia kasihan sendirian," ucap Dara dengan tubuh yang masih terlihat lemas dan wajah yang pucat."Artha baik-baik aja, dia sudah dipindah keruang perawatan vvip oleh ayah kamu. Gak usah khawatir ya," tutur Erick.Dara menghela nafas lega memandang Erick dengan mata berkaca-kaca masih merasakan sedih. "Aku gak tau kalo dia sakit. Selama ini dia menyembunyikan itu semuanya dari aku."Erick mengangguk pelan merasa kasihan dengan Dara yang sangat mengkhawatirkan Artha. Mungkin perempuan itu sudah nyaman kepada Artha atau bahkan sudah memiliki perasaan kepadan