Hari minggu, Vee bangun dari tidurnya dan langsung memberi tanda silang sebuah tanggal di kalender meja dekat tempat tidurnya. “Beberapa hari lagi.” Ia berguman.
Setelah tempo hari mendapat kesepakatan final bersama Jeffry dan Fernandez, Vee yang sebenarnya sudah menjalani misi kerja sama dengan Folltress sedikit setres.
Rose.
Wanita itu, sudah lewat berapa hari Vee belum juga memberi jawaban ajakan nikah.
Kenapa Rose mengatakan itu setelah Vee nekat membuat rencana untuk menghancurkan Foltress?
Kenapa sebelumnya wanita itu ngotot mengajukan perpisahan kalau a
Langit sore begitu berbeda dari hari-hari sebelumnya yang penuh kelabu dan mendung, semburat warna orange yang indah membuat Rose semangat untuk mendapatkan keberuntungan baik. Rose begitu tegang, mengusap peluh di kening sebelum berkonsentrasi lagi untuk memasukkan bola ke hole yang ada di depannya. Untuk pertama kalinya, Rose berhasil memasukkan bola semenjak beberapa hari menekuni bidang olahraga sederhana ini. Ia sangat senang meski enggan mengakui kepada Vee yang sejak pertama Rose tahu begitu sombong karena sudah jago. Apakah Rose tidak bekerja? Jawabannya, iya.
“Ini kunci kartu kamarnya.” Vee menyerahkan kartu ke tangan Rose saat masih di lobby, dan Rose menatap kartu itu sejenak.“Kita tidak sekamar?” Tanya Rose memastikan.Vee menggeleng meski kerlingan matanya begitu nakal. Kalau ditanya begitu, tentu saja pria itu ingin, tapi untuk menghindari hal yang iya-iya, Vee tetap harus waspada, saat ini yang berbahaya sebenarnya bukan dirinya saja, melainkan Rose juga, malam hangat tidak bisa dihindari begitu saja.Rose mengerutkan kening sembari tetap berjalan disamping Vee. “Kamu udah nggak cinta sama aku?” tanyanya lagi.Ya kan? Pertanyaan macam apa itu.
🔞NOT CHILDREN AREA❌ *** Normalnya, jika dihadapkan Rose yang begitu agresif, Vee harusnya senang-senang saja. Apalagi dalam keadaan masih cinta, sudah sewajarnya jika keduanya melakukan hal yang iya-iya. Mungkin, itu memang keinginan Rose, tapi tidak untuk Vee. Kendati hal semacam itu sangat diminati, dan hasrat tak bisa berbohong berada diujung tertinggi, kendala terjadi saat Vee masih harus mengurusi urusan yang harus dirahasiakan untuk dirinya sendiri. Dan sialnya. Vee tidak bisa terus menahan lagi jika Rose terus memandanginya dengan wajah memelas, persis seperti kucing manja minta dinina bobokkan. “Perasaan sebelum-sebelumnya kamu nolak, se
Hari minggu. Rose masih sangat ingat jika dia tinggal sendirian karena Leon dan Lily ikut dengan ayahnya. Rose juga ingat di dalam rumah ini hanya ditemani mbak Asih dan satu penjaga rumah saja, pak Anton. Jika biasanya pagi begini tak pernah ada keributan sama sekali, berbeda dengan hari ini. Disaat Rose baru saja membuka mata, samar-samar terdengar beberapa orang bercengkrama di lantai bawah. “Lily marah, Lily nggak mau tinggal bareng daddy. Lily mau sama mommy.” “Oh, Tuhan.” Rose bangkit mendengar pekikan Lily yang sampai terdengar jelas ditelinganya. Lantas, tak mau menunggu lama, dengan muka bare facenya atau mungkin masih terdapat kotoran mata juga, duh, Rose tidak perduli
Di dalam ruangan yang di dominasi warna hitam dan putih, anggota Deredolent tengah berkumpul. Jika sebelumnya tak ada yang tahu siapa saja dalam kelompok itu, maka jawabannya ini; Leon adalah ketua dengan Dilan dan Haikal sebagai anggota tetap. Leon, menetapkan jemari untuk bermain komputer sejak piyik, jika untuk manusia normal atau sepengetahuan menurut akal, hal seperti ini tampak mustahil, bayangkan saja, mana bisa dipercaya jika bocah berusia sembilan tahun itu sangat ahli dalam bidang ini, hackers kelas atas. Leon melirik Haikal yang tersumpal headphone hitam sembari tangan pria muda itu mengutak-atik komputer di depannya. Meski Haikal sudah memutuskan berhenti menjadi hacker sesaat sebelum pulang ke Indonesia, namun keputusan bulat itu ia lempar jauh-jauh, karen
“Aku tidak akan pergi.” Katanya begitu tegas, aura kelam menyelimuti dadanya, ada sedikit keraguan namun terlihat meyakinkan.“Janji?” Tanya Rose parau, dan suaranya terdengar serak menahan air mata. Dia membenci ini, membenci perasaan gelisah seperti ini, mengingatkan masa dimana ia ditinggalkan Vee.Vee menatap Rose dalam untuk beberapa waktu, seakan permintaan Rose perlu dirundingkan dalam pikiran, namun sejenak ia mendapat jawaban dan berkata, “Aku berjanji padamu sayang.”Silau dari matahari melewati jendela, mata yang baru terbuka menyambut cahayanya, “Cuma mimpi?” Rose berbisik pada dirinya sendiri.“Kenapa
Rose cemberut mendengar kata-kata Vee, bahkan setelah semua hal yang telah ia katakan dan lakukan, pria itu justru memandang Rose dengan tatapan seperti itu, tak berubah semenjak awal kedatangannya, memuja seolah Rose adalah wanita paling indah di dunia. Tidak ada tatapan jijik, menghakimi ataupun hal mengerikan lainnya atas kebodohan yang Rose buat sebelumnya. Kenapa ada pria dengan jenis seperti itu? “Karena dinner gagal, mau memasakkan makanan buatku? Aku lapar.” Mendengar itu, Rose bangkit untuk menerima perintah, membereskan kotak obat yang berserakan di ranjang untuk segera bangkit dari duduknya, namun sebelum ia benar-benar keluar dari kamar, Rose terlebih dulu mengganti gaun super hotnya menjadi baju rumahan, kepalang malu. Kini, setelah mengobati luka di kening prianya, Rose tampak sedikit lega meski saat berjalan menuju dapur dengan jantung yang masih berantakan, ya Tuhan, rasa bersalah begitu besar dan m
Entah pikiran apa yang merasuki Vee saat tubuhnya masuk hunian calon istri. Meski hati meyakinkan jangan, karena memang tak memiliki status sah sebagai istri, namun, saat mengingat bahwa dirinya butuh rengkuhan hangat, maka tak butuh waktu lama bagi Vee untuk membelokkan mobilnya. Di jam ini, hanya akan ada pak Anton, karena pembantu rumah tangga sudah Rose pulangkan. Saat Vee menyembunyikan klakson, pak Anton yang sudah bekerja bersama Vee selama bertahun-tahun itu tak ragu membukakan gerbang. “Selamat malam Tuan.” “Malam. Terimakasih pak.” Balas Vee setelah itu menurunkan kaca mobil dan memarkirkan kedaraan di dalam. Vee tak lagi m