Home / Lainnya / Katanya, Aku Pelit / Belanja Mesin Cuci

Share

Belanja Mesin Cuci

last update Last Updated: 2021-07-16 01:54:05

Setelah hampir sejam bermotor, akhirnya kami sampai di kawasan toko yang biasa menjual barang elektronik. Memang agak lama tadi di jalan karena aku sengaja bawa pelan. Abisnya, Tiara meluk erat banget. Nempel begitu. Kan enak.

 

"Belinya jangan yang mahal, Dek," pesanku padanya sebelum masuk ke toko.

 

"Ah, Abang suka gitu," gerutunya.

 

Kami yang baru saja melangkah masuk, langsung disambut oleh seorang lelaki berbaju kaos ketat dan celana pendek sepaha, serta bando tanduk rusa di kepala. Yang semuanya berwarna pink.

 

"Selamat datang, Ciin," sambutnya sambil melempar senyum dan kedipan mata yang diarahkan padaku.

 

"Mesin cuci ada?" tanya Tiara.

 

"Jangankan mesin cuci, Ciin, mesin pesawat kita juga ada, kok."

 

"Beneran?"

  

"Beneran dong, Ciin. Angel nggak mungkin boong."

  

Tiara menoleh ke arahku. "Boleh, Bang?"

 

"Emangnya mau dipasang dimana?Bawah kuali?!" Ada-ada saja si Tiara. Suka sekali memancing emosiku.

 

"Kan Adek cuma bergurau. Namanya juga suami-istri. Kalau bukan sama Abang, sama siapa lagi Adek harus bergurau?" Tiara meraih tanganku untuk dia genggam, kemudian dia angkat dan dia cium.

 

"Iiiiiiihh ...." Si lelaki yang mengaku bernama Angel--walau sebenarnya lebih pas dipanggil Devil--mengipas matanya dengan jari-jemari yang merentang panjang seperti milik Nang Nak, kuntilanaknya Thailand.

 

"Eike tuh suka emo kalo ngeliat keluarga harmonis. Padahal, tadinya si Abang mau eike rebut. Tapi, setelah ngeliat Mbaknya yang cinta banget, eike urungkan, deh."

 

"Ooi, Sotong Bakar! Kau pikir aku mau?!"

 

"Ya udah, yuk! Kita pergi lihat mesin cuci," ucapnya tanpa mengindahkan kalimatku barusan.

 

Aku dan Tiara mengikuti si Angel dari belakang. Dia berjalan dengan pantat yang bergeol ke kanan-kiri. Mirip bebek Shanghai.

 

"Taraaaaa ...." Angel berdiri di depan sebuah mesin cuci dengan gaya bak model. Tak malu dengan kumisnya.

 

"Waaaah ...!" Sepertinya Tiara begitu kagum pada mesin cuci berbentuk jajar limas itu. Mulutnya saja sampai menganga lebar. Awas masuk lalat, Tiara.

 

"Ini mesin cuci merek Cicak Mesir," ujar Angel.

 

"Mpreeeet!" ejekku.

 

"Ini bukan sembarang mesin cuci, Ciin. Mesin cuci ini juga bisa dijadikan ...." Angel memulas pegangan di mesin cuci.

 

"Kompor?" Tiara shock melihat api yang menyala.

 

"Benar. Jadi, kalau yei lagi nyuci terus perut mencubit dari dalam karena lapar, yei tinggal nyalain kompornya dan goreng-goreng makanan."

 

"Baru ntar minyaknya tumpah lagi ke cucian," celetukku.

 

"Eh, betul juga ya, Bang." Tiara yang awalnya melihat dengan mata berbinar, mulai ragu.

 

"Nggak mau, Ciin?" Angel Sotong memandangku sinis.

 

Tiara menggeleng. Menolak tanpa kata.

 

 "Nggak apa-apa. Eike masih bisa kasi tunjuk mesin kedua." Angel berjalan lagi beberapa langkah ke depan. Kami berdua tetap mengikuti.

 

"Ini keluaran terbaru di jaman millenialll." Lidah si Angel menjulur keluar. Persis Kadal Tunisia.

 

"Apa kehebatannya?" Tiara sungguh bersemangat.

 

"Mesin cuci merek Gorilla Ngebul ini bisa juga berfungsi sebagai ...."

 

"Kulkas?" Bisa-bisanya Tiara shock lagi, setelah melihat Angel membuka pintu di bagian kiri mesin cuci.

 

"Seratyuus! So, kalau yei nanti pas nyuci terus haus, nggak usah ke mana-mana. Cukup buka pintunya dan ambil semua minuman yang sudah yei dinginkan." Angel mengangkat tangan seolah menang.

 

"Mantap!" Tiara ikut-ikutan mengangkat tangan.

 

"Terus kulkas yang di rumah buat apa? Dijadikan lemari baju?" Aku komen dengan nada menyindir.

 

"Eh, iya juga ya, Bang. Kita kan udah punya kulkas. Empat pintu lagi."

 

"Empat pintu, Ciin?" Mata Angel membulat.

 

"Ho-oh. Pintu kanan, pintu kiri, pintu depan, sama pintu darurat."

 

"Aje gile, Ciin!" decak Angel.

 

"Ada yang lain lagi, nggak? Kalo nggak, kita balik, nih," ancamku.

 

"Eits, nanti dulu Alejandro. Eike masih punya satu barang yang yei berdua nggak bakal komplain."

  

Kami bertiga menyusuri lorong sebelah.

 

"Ini adalah penemuan termutakhir abad ini!" Suara Angel membahana dalam toko yang tidak ada pengunjungnya selain aku dan Tiara.

 

"Apa keunggulannya, Ngel?" Sok akrab sekali Tiara.

 

"Mesin cuci ini dilengkapi dengan sistem finger print, kamera beresolusi tinggi, serta pemutar lagu online yang akan mengupdate lagu terbaru setiap saat ketika terhubung dengan wifi. Harganya pun murah, cuma tiga puluh lima juta."

 

"Waaaah!" Tiara terpesona dengan presentasi si Angel Sotong. Aku tahu, sebab lubang hidung sebelah kirinya lebih kembang dari sebelah kanan.

 

"Tiga puluh lima juta kau kata 'cuma'?" Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Ajib-ajib-an.

 

"Ini aja, Bang. Bisa buat tik-tok-an." Tiara menggoyang-goyangkan badanku. Dia mulai merayu dan memelas.

 

Angel tersenyum tipis. Mungkin mengira kemenangan sudah ada di tangannya.

 

"Tik-tok-an? No ...! Jangan harap Abang belikan kalo gitu. Mana mungkin Abang rela Adek joget sana, joget sini, nampak bentuk badan, bentuk kaki, dan segala yang berbentuk lainnya. Adek rekam, lalu di-upload. Dilihat oleh orang ramai. Mampos Abang ditarik sama yang jaga neraka, Dek."

 

Tiara Diam membisu. Dia menunduk, mungkin memandang sepatuku yang berwarna biru abu-abu.

 

"Beli barang biar sesuai dengan keperluan kita," sambungku menasihatinya.

 

"Iyalah, Bang," jawab Tiara lemah.

 

"Mesin cuci biasa kau nggak ada jual, kah, Sotong ... eh, Angel?"

 

"Ada, sih. Tapi, cuma bisa nyuci sama ngeringin aja, Ciin."

 

 "Itulah yang kami cari. Mana barangnya?"

 

"Itu!" Angel menunjuk mesin cuci besar di tepi dinding dengan bibirnya.

 

"Berapa harganya?"

 

"Itu empat jetong."

 

"Mahal! Kau nak jualan atau nak merampok?"

 

"Emang harganya segitu, Ciin."

 

"Otak kau dimakan kuman! Aku tau lah ... mesin cuci berlogo Kecoa Bunting itu nggak mahal. Palingan satu setengah. Aku dulu yang nelli-nya pas barang diangkut keluar kapal!" Suaraku naik dua oktaf.

 

"Apaan? Itu harga modalnya aja satu delapan ya, Ciin!" Urat leher si sotong mulai bermunculan. Banyak dan besar-besar. Sepertinya dia farises di leher.

 

"Ya udah, aku beli satu sembilan!" Wajahku mulai menegang.

 

"Oh, nggak bisa Ciin!" Angel tak kalah tinggi suaranya. Boleh kali kami berdua nyanyi duet sesekali.

 

"Satu tujuh!"

 

"Nehi ya, bo!"

 

"Satu enam! Kalo nggak mau, kau kusunat!" Kuulurkan tangan dengan wajah tetap menegang.

 

"Ok! Deal!" Angel menyambut uluran tanganku dengan wajah sok seram. Tapi, gagal karena bulu hidungnya offside dan melambai-lambai.

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Katanya, Aku Pelit   Sabil

    Sepulangnya Sabil, Tiara terus melihatku dengan tatapan yang berbeda. Aku tahu dia memikirkan banyak kemungkinan. Jiwanya berkecamuk. Perang antara logika dan perasaan tak terelakkan.Aku tak ingin mengakui ataupun menyangkal, jika dia mengajukan pertanyaan tentang hubunganku bersama Sabil karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan."Kenal sama orang yang tadi?" Tiara duduk di sofa dengan tangan dan kaki yang bersilang. Dia sudah memulai untuk menggali informasi lewat interogasi."I-iya."Kenapa aku gugup? Ini bukan situasi yang tepat untuk itu."Kok gemeteran suaranya?""Le-lemes, Dek. Bolak-balik WC."Matanya kini menyipit. Dia juga menggeram. Aku tahu kalau istriku itu sedang menahan marah.Tiara bangkit dan berjalan masuk ke kamar. Pintu terhempas keras ketika ditutup olehnya. Bunyi itu membuatku terperanjat dan mela

  • Katanya, Aku Pelit   Makan Daging

    "Mau belanja apa hari ini, Dek?" tanyaku kepada wanita berdaster biru dan rambut berikat satu yang sedang duduk sambil membaca buku."Nggak perlu belanja, Adek nggak masak," jawabnya dengan nada datar."Kenapa pula?""Panci bocor, kualinya bonyok.""Kaaan! Itu jadinya kalo nurutin marah.""Abisnya, Abang, sih." Dia menaruh buku, lalu memanyunkan bibir. Minta dicipok kali."Bukan Abang yang lempar-lempar panci sama kuali," kilahku."Tapi, itu gara-gara Abang yang nggak mau beli dispenser baru."Aku menghela napas. Susah menangnya kalau sudah berdebat sama istri. Yang benar bisa salah, yang salah bisa benar."Oke, lah. Kita makan di luar aja sambil cari dispenser baru.""Kuali sama panci gimana?""Iya, sekalian!" Pandai sekali dia mencari kesempatan."Asyik

  • Katanya, Aku Pelit   Adit dan Angga

    Lembayung fajar melengkung menyisir langit. Indahnya tak memupus kisahku yang perit. Di dalam, hati mengalami pergolakan sengit. Oleh karena sikap dirinya yang sedikit rumit.---------Beberapa hari berlalu, rumah tangga kami kembali dengan lika-likunya. Suaraku memecah sunyi nestapa, memanggil Tiara. Ternyata, gadis yang kuperawani itu berada di samping rumah. Dia menyahut panggilanku dengan satu kata: oi."Oi, ai, oi, ai, oi ... jawabnya yang bener dong." Kepalaku melongok keluar jendela.Seperti biasa, setiap dikasi tahu hanya ekor matanya yang bergerak. Aku pun segera berusaha mencairkan suasan dengan sedikit berbasa-basi. "Ngapain di situ pagi-pagi, Dek?""Ngaduk semen," ucapnya tanpa beban."Iya, iya. Abang yang salah. Udah tau Adek lagi ngambil air ujan, masih aja Abang nanya."

  • Katanya, Aku Pelit   Malam Pertama

    "Ayo, kita ke masjid sekarang. Pak Penghulu mungkin masih ada di sana," ajak Tiara bersemangat."Tunggu dulu. Orang tua Adek nggak dikasi tau?" Tumben ada orang cantik yang ngebet banget nikah sama orang jelek, yaitu aku."Saya hidup sebatang kara, Bang. Udah nggak ada keluarga." Wajah ayu nan elok itu menunduk lemah. Raut kesedihan mulai menjalar naik."Keluarga yang lain?" Aku coba memastikan keadaan. Dia menggeleng sambil memilin ujung kerudung.Bunyi helaan napas berat dariku memecah keheningan yang tercipta sesaat. "Ayo, lah," ajakku.Tiara menaikkan pandangannya. Mungkin sedang mencari kejujuran lidah ini. Sebelum akhirnya dia mengangguk dengan buliran kecil yang bergerak perlahan di sudut matanya.*******"Saaaaah ...." Suara kawan-kawan yang ha

  • Katanya, Aku Pelit   Awal Perjumpaan

    Sepulang dari membayar si tukang martabak, aku merasa kepala agak berat, ngenyut di belakang. Perut juga mual, pengen muntah.Jangan-jangan aku hamil? Eh ....Pintu kamar kuketuk pelan. Tiara membukanya dengan wajah yang masam dan kusut, kayak bulu ketiak yang kelamaan dikepit. Paham, kan?"Apa, sih, Dek? Kecut gitu mukanya?"Jodoh yang katanya cerminan diriku itu pun duduk bersolek di depan kaca tanpa menjawab. Masih marah agaknya."Ingat, lho, Dek ... istri shaleha itu kalau suaminya pulang akan menyambut dengan wajah yang menyenangkan," lanjutku mengingatkan. "Meruntuhkan semua beban." .Makhluk secantik bidadari yang kutegur, melirik. Ekor matanya bergerak pelan seakan-akan ingin menepis kebenaran kata-kataku barusan.Tubuh ini jatuh menelentang di atas springbed. Tanpa sengaja, adegan cicak

  • Katanya, Aku Pelit   Martabak

    Bulan mengadu sendu pada malam, gelap telah menyakitinya sangat dalam sehingga cahayanya mulai temaram dan langit pun menjadi kelam.Kupanggil manja si dia yang mengambil keperjakaanku."Apa, sih, Bang?" Tiara melihat ke arahku sebentar, sebelum kembali fokus ke layar pipih yang harganya lebih mahal dari milikku.Melantai aku di dekatnya. Perlahan, tangan bergerak memegangi ujung daster berumbai itu, mencoba menyingkapnya."Aigooo ...!" Kepalaku digetok Tiara yang matanya membulat seperti mau melompat, sedangkan bibir bawah dia gigiti.Tak terima, badan berlemak ini pun bergoyang tak tentu arah. Wajah pas-pasan kupasang mengiba, suara merengek mulai keluar. Reaksiku sudah persis anak kecil yang minta dibelikan Kinderjo*, tetapi tak dikasi."Apa sih?" ujarnya, yang mungkin mulai merisau dengan ketidakjela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status