Share

Kebunku

last update Last Updated: 2021-07-16 01:53:12

Aku memarkirkan motor tepat di tepi kebun peninggalan orang tuaku. Lebih dari sebagian lahan aku gunakan menanam durian dan langsat, sementara sisanya menjadi peternakan kambing. 

 

Namun, bukan hanya aku yang mengurus kebun, masih ada Pak Itam dan Pak Wawan. Mereka berdua tangan kananku dalam urusan perkebunan dan peternakan kambing.

 

Dari jauh dapat kulihat Pak Wira sedang sibuk memandori pekerjanya. Setelah kuhampiri, kami terlibat sedikit perbincangan. 

 

"Pak Ipit, kali ini saya minta agar pembayaran dilakukan tiga kali. Setengahnya sekarang dan sisanya nanti, sebulan lagi. Maaf ya, Pak."

 

"Ok, Pak." Tak banyak kata yang keluar dari mulutku. Jarang aku begini.

 

"Eh, tumben langsung mau, Pak. Biasanya juga bakalan alot pembicaraan. Pak Ipit itu terkenal pelit bin medit bin kikir bin kedekut bin garam batu." Lengkap sekali Pak Wira menyumpahiku.

 

Kujawab dia dengan tawa kecil sebab pikiran tiba-tiba saja jauh melayang kepada Tiara yang sendirian di rumah. Bisa saja si Lee Mee Chin datang bertamu, lalu Tiara yang terpukau dengan ketampanannya akan dimanfaatkan tanpa perlawanan, hingga terjadi sesuatu yang membuat kasur springbed tua kami itu berbunyi, nyit ... nyit ... nyit .... 

 

Ah, pikiran macam apa ini? Tidak, jauhkan hamba dari prasangka buruk, ya Allah.

 

Pak Wira mengunjukkan amplop coklat yang kemudian segera kusimpan di balik baju. "Sip, ya, Pak. Setengah ini saya terima dan sisanya bulan depan. Saya juga minta beberapa buah durian dan langsat untuk dibawa pulang," ujarku.

 

"Itu sudah saya siapkan, Pak Ipit. Di sana." Pak Wira menunjuk sebuah karung besar di atas arco. "Nanti setelah selesai dimakan, kulit duriannya jangan dibuang. Tapi, tolong berikan lagi ke saya."

 

"Buat apa, Pak?" Aku penasaran dan ingin tahu.

 

"Mau saya jadikan sandal. Bagus itu buat memperlancar darah."

 

"Bukan hanya lancar, Pak. Malah bisa merembes ke lantai."

 

Ada-ada saja Pak Wira ini. Kelakuannya absurd.

 

Selang beberapa menit, aku mulai mengikat karung berisi buah ke belakang motor. Setelah mampir ke rumah Pak Itam untuk membagi sedikit bonusnya dan Pak Wawan, aku pun memacu motor dengan sangat laju. Itu demi pulang dan melihat keadaan Tiara.

 

Aku risau. Apa yang sedang dibuatnya? Makan atau malah sedang dimakan? Meracik bumbu atau jangan-jangan sedang dibumbui.

Ah, aku benci pikiranku. Benar-benar benci!

-------

 

Tiiittt ...!

 

Klakson sengaja kubunyikan terus agar siapa pun yang ada di dalam rumahku segera keluar.

 

"Baaang!" Tiara berjalan dari samping rumah sambil menutup telinganya.

 

"Adek, lagi apa?" tanyaku sambil sesekali celingak-celinguk melihat keadaan. Mana tahu ada bayangan Lee Mee Chin.

 

"Lagi jemur baju Abang, nih." Tiara kembali ke samping.

 

Kuikuti dia. "Sini, biar Abang bantu supaya cepat."

 

"Eh, tumben." Nada bicaranya seakan menyiratkan bahwa dia merasa sedikit curiga.

 

"Udah, jangan banyak protes." Satu per satu pakaian dalam baskom kujemur di tali. Begitu selesai, kutarik tangan Tiara agar ikut masuk ke rumah.

 

"Bang, yang di motor itu nggak dibawa?"

 

"Bentar lagi. Abang harus mastiin kalau Adek masuk dulu."

 

Setelah memeriksa dan yakin akan keamanan seluruh rumah, barulah aku keluar mengambil karung besar yang masih terikat di motor, kemudian membawanya ke dapur.

 

Langsat kumasukkan dalam dandang besar. Durian kubelah dua buah, lalu meletakkannya di depan Tiara.

 

"Asyik!" Tiara mulai mengambil daging durian yang berwarna agak putih, sedangkan aku mengambil yang kuning.

 

"Tadi ada nggak si Bumbu Dapur datang?" tanyaku sambil menggigit daging durian.

 

"Bumbu Dapur? Siapa?"

 

"Si Micin, tetangga sebelah rumah." Kumasukkan durian yang sudah mulai kelihatan bijinya ke dalam mulut, mengulumnya.

 

"Oooh ... ada, sih, tadi."

 

"Hah?" Biji durian di mulutku terbang ke luar.

 

"Iiihh, Abang! Makannya, kok, gitu?"

 

"Ngapain Si Micin datang?"

 

"Tadi, pas Adek baru mau jemur baju, dia datang mau bantu. Lalu, nanya-nanya."

 

"Nanya apa?" Tanganku mengambil lagi durian yang masih banyak di meja. Biarpun marah, durian tetap durian. Tak bisa kutolak.

 

"Nanya kalau Abang ke mana."

 

"Apa yang Adek jawab?" Kukulum lagi biji durian dalam mulut.

 

"Adek bilang kalau Abang ke kebun sebentar, terus langsung ke toko buat beli mesin cuci sama kasur baru. Eh, dia malah nawarin diri. Katanya, biar dia aja yang beliin buat Adek."

 

"Apa?" Meloncat biji durian yang belum habis kukulum, masuk dalam kobokan.

 

"Kaaan! Abaaang!" 

 

"Si Micin nawarin Adek buat beli mesin cuci dan kasur baru?" Mataku melotot.

 

"Iya ... katanya dia bakalan beli mesin cuci yang paling bagus biar Adek nggak capek."

 

"Terus yang kasur?"

 

"Dia bakal beliin yang yang besi per-nya banyak biar Adek bisa mantul-mantul."

 

"Kurang asam tambah garam!" Durian kucomot satu lagi.

 

Kalau dibiarkan terus, Tiara bakalan tergoda juga. Aku harus ambil tindakan.

 

"Pakai baju yang bagus, Dek!"

 

"Mau ke mana, Bang?"

 

"Kita pergi beli mesin cuci dan kasur baru."

 

"Ahaaai ...! Terus gelangnya?"

 

Bah, Tiara. Dikasi hati, minta ampela.

 

"Iya! Sekalian kita beli!" Aku mengiakan walaupun agak terpaksa.

 

"Makasih, Abang Sayang." Tiara mencubit pipiku, lalu  bergegas menuju kamar setelah mencuci tangan dalam kobokan.

 

Rugi, rugilah. Tak apa, dari pada Si Micin sampai beli itu semua buat Tiara. Bisa-bisa aku ditinggalkan. Kata pujangga yang mati bujang, harta bisa merubah wanita. 

  

"Nggak! Nggak bakalan terjadi. Dia boleh merebut wanita mana pun di luar sana dengan hartanya, tapi tidak dengan Tiara-ku!" Tanganku mengepal dengan sendirinya. Maklum, terbawa emosi.

 

-------

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Katanya, Aku Pelit   Sabil

    Sepulangnya Sabil, Tiara terus melihatku dengan tatapan yang berbeda. Aku tahu dia memikirkan banyak kemungkinan. Jiwanya berkecamuk. Perang antara logika dan perasaan tak terelakkan.Aku tak ingin mengakui ataupun menyangkal, jika dia mengajukan pertanyaan tentang hubunganku bersama Sabil karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan."Kenal sama orang yang tadi?" Tiara duduk di sofa dengan tangan dan kaki yang bersilang. Dia sudah memulai untuk menggali informasi lewat interogasi."I-iya."Kenapa aku gugup? Ini bukan situasi yang tepat untuk itu."Kok gemeteran suaranya?""Le-lemes, Dek. Bolak-balik WC."Matanya kini menyipit. Dia juga menggeram. Aku tahu kalau istriku itu sedang menahan marah.Tiara bangkit dan berjalan masuk ke kamar. Pintu terhempas keras ketika ditutup olehnya. Bunyi itu membuatku terperanjat dan mela

  • Katanya, Aku Pelit   Makan Daging

    "Mau belanja apa hari ini, Dek?" tanyaku kepada wanita berdaster biru dan rambut berikat satu yang sedang duduk sambil membaca buku."Nggak perlu belanja, Adek nggak masak," jawabnya dengan nada datar."Kenapa pula?""Panci bocor, kualinya bonyok.""Kaaan! Itu jadinya kalo nurutin marah.""Abisnya, Abang, sih." Dia menaruh buku, lalu memanyunkan bibir. Minta dicipok kali."Bukan Abang yang lempar-lempar panci sama kuali," kilahku."Tapi, itu gara-gara Abang yang nggak mau beli dispenser baru."Aku menghela napas. Susah menangnya kalau sudah berdebat sama istri. Yang benar bisa salah, yang salah bisa benar."Oke, lah. Kita makan di luar aja sambil cari dispenser baru.""Kuali sama panci gimana?""Iya, sekalian!" Pandai sekali dia mencari kesempatan."Asyik

  • Katanya, Aku Pelit   Adit dan Angga

    Lembayung fajar melengkung menyisir langit. Indahnya tak memupus kisahku yang perit. Di dalam, hati mengalami pergolakan sengit. Oleh karena sikap dirinya yang sedikit rumit.---------Beberapa hari berlalu, rumah tangga kami kembali dengan lika-likunya. Suaraku memecah sunyi nestapa, memanggil Tiara. Ternyata, gadis yang kuperawani itu berada di samping rumah. Dia menyahut panggilanku dengan satu kata: oi."Oi, ai, oi, ai, oi ... jawabnya yang bener dong." Kepalaku melongok keluar jendela.Seperti biasa, setiap dikasi tahu hanya ekor matanya yang bergerak. Aku pun segera berusaha mencairkan suasan dengan sedikit berbasa-basi. "Ngapain di situ pagi-pagi, Dek?""Ngaduk semen," ucapnya tanpa beban."Iya, iya. Abang yang salah. Udah tau Adek lagi ngambil air ujan, masih aja Abang nanya."

  • Katanya, Aku Pelit   Malam Pertama

    "Ayo, kita ke masjid sekarang. Pak Penghulu mungkin masih ada di sana," ajak Tiara bersemangat."Tunggu dulu. Orang tua Adek nggak dikasi tau?" Tumben ada orang cantik yang ngebet banget nikah sama orang jelek, yaitu aku."Saya hidup sebatang kara, Bang. Udah nggak ada keluarga." Wajah ayu nan elok itu menunduk lemah. Raut kesedihan mulai menjalar naik."Keluarga yang lain?" Aku coba memastikan keadaan. Dia menggeleng sambil memilin ujung kerudung.Bunyi helaan napas berat dariku memecah keheningan yang tercipta sesaat. "Ayo, lah," ajakku.Tiara menaikkan pandangannya. Mungkin sedang mencari kejujuran lidah ini. Sebelum akhirnya dia mengangguk dengan buliran kecil yang bergerak perlahan di sudut matanya.*******"Saaaaah ...." Suara kawan-kawan yang ha

  • Katanya, Aku Pelit   Awal Perjumpaan

    Sepulang dari membayar si tukang martabak, aku merasa kepala agak berat, ngenyut di belakang. Perut juga mual, pengen muntah.Jangan-jangan aku hamil? Eh ....Pintu kamar kuketuk pelan. Tiara membukanya dengan wajah yang masam dan kusut, kayak bulu ketiak yang kelamaan dikepit. Paham, kan?"Apa, sih, Dek? Kecut gitu mukanya?"Jodoh yang katanya cerminan diriku itu pun duduk bersolek di depan kaca tanpa menjawab. Masih marah agaknya."Ingat, lho, Dek ... istri shaleha itu kalau suaminya pulang akan menyambut dengan wajah yang menyenangkan," lanjutku mengingatkan. "Meruntuhkan semua beban." .Makhluk secantik bidadari yang kutegur, melirik. Ekor matanya bergerak pelan seakan-akan ingin menepis kebenaran kata-kataku barusan.Tubuh ini jatuh menelentang di atas springbed. Tanpa sengaja, adegan cicak

  • Katanya, Aku Pelit   Martabak

    Bulan mengadu sendu pada malam, gelap telah menyakitinya sangat dalam sehingga cahayanya mulai temaram dan langit pun menjadi kelam.Kupanggil manja si dia yang mengambil keperjakaanku."Apa, sih, Bang?" Tiara melihat ke arahku sebentar, sebelum kembali fokus ke layar pipih yang harganya lebih mahal dari milikku.Melantai aku di dekatnya. Perlahan, tangan bergerak memegangi ujung daster berumbai itu, mencoba menyingkapnya."Aigooo ...!" Kepalaku digetok Tiara yang matanya membulat seperti mau melompat, sedangkan bibir bawah dia gigiti.Tak terima, badan berlemak ini pun bergoyang tak tentu arah. Wajah pas-pasan kupasang mengiba, suara merengek mulai keluar. Reaksiku sudah persis anak kecil yang minta dibelikan Kinderjo*, tetapi tak dikasi."Apa sih?" ujarnya, yang mungkin mulai merisau dengan ketidakjela

  • Katanya, Aku Pelit   Nikahan Adit

    Cakrawala menyapa rindu pada arunika, setelah setengah hari tak berjumpa.Tanpa memedulikan Tiara, aku melangkah keluar kamar setelah membuka pintu. Sesak di dada kutahan sebisa mungkin. Harga diri suami sedang dipertaruhkan.Aku melewati jalanan berdebu aspal dengan kecepatan tinggi, membawa diri untuk menyepi. Menyadari diri ini bukanlah sosok yang dia cintai, hanya membuatku semakin sakit hati. Inikah rasanya dikhianati?Aku berhenti di ujung sebuah bukit. Hamparan pemandangan indah di atas jurang kupandangi dalam. Dersik pun menjadi kawan."Tiaraaa!" teriakku. Gemanya terdengar berkali-kali. "Kenapa kau berkhianaaat?!"Namun, tiba-tiba saja kepalaku seperti ada yang ngegeplak. Badanku sontak berbalik ingin melihat siapa gerangan yang berani berbuat demikian. Seorang lelaki tua berdiri dengan berkacak pinggang.

  • Katanya, Aku Pelit   Sakit Hatiku

    Sesampainya di rumah, aku langsung memanggil Tiara. Barang-barang pesanannya kuletakkan ke atas meja.Tak lama, Tiara berjalan dari arah dapur. Menghampiri, lalu mencubit pipiku yang membulat macam bakpao. "Makasih, Abang. Tapi, ini kenapa basah?" Tiara menunjuk bajuku."Oh, tadi kena air pas nyuci muka. Cuaca panas," kilahku.Tiara langsung kembali ke dapur. Aku menyusul. Hening tercipta karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Maka dari itu, aku pun berinisiatif mencairkan suasana."Hmmm." Tiara menjawab dengan gumaman sesaat setelah kutegur.Kupeluk dia dari belakang. "Abang boleh kawin lagi nggak?""Apaaa?!" Suaranya yang menggelegar mungkin saja terdengar sampai ke Arktik (Kutub Utara)."Bergurau, Dek ... kan Adek yang bilang kalo suami-istri itu harus sering

  • Katanya, Aku Pelit   Pengakuan Renata

    Permintaan Tiara semakin hari semakin banyak dan semakin mengada-ada saja. Pulang kampung? Untuk apa? Itu malah membuat kami mengeluarkan duit pada hal-hal yang tidak perlu. Pemborosan. Padahal, dulu dia tak pernah protes dengan apapun yang kuberikan, tak juga meminta untuk dibelikan. Dia berubah setelah mulai membaca cerita di grup kepenulisan. Aku semakin yakin, kalau emak-emak di sana, lah, yang mengajarinya, menjadi mentornya.Awas kalian, emak-emak. Tunggu pembalasan Gerandong."Bang, beliin Adek kapas bersayap, dong." Tiara menghampiriku yang sedang asyik membaca surat kabar lama. Aku memang lebih memilih membeli surat kabar yang telah lewat masanya dalam jumlah banyak sekaligus. Dihitung perkilo. Harganya lebih murah jika dibandingkan harus membeli yang baru tiap hari. Sudah mahal, dapatnya cuma satu lagi."Apaan?" Aku melepaskan kacamata."Pem-

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status