"Ini rumahnya? Ya ampun, baiknya papa kamu, nak." Wulan mengusap bahu Fajar dengan penuh haru bahagia.
"Papa emang luar biasa, bu." balas Fajar dengan senyum senang.
"Sekarang di mana papa kamu? Ibu mau banyak banget bilang makasih karena sudah banyak membantu."
"Papa ya gitu, kabur - kaburan—aduh!" pekik Fajar saat mendapat cubitan dari Adisty.
"Ngaco, papa kamu kerja bukan kabur - kaburan." Adisty terlihat serius membuat Fajar terkekeh pelan.
"Ya maksudnya gitu, kerjanya ga bisa diem." ralat Fajar di akhiri cengiran.
"Kapan - kapan, apa papa kamu mau makan malam sama kita?" Wulan terlihat berharap.
"Boleh dong, bu, sebentar lagi kita jadi keluarga." Fajar mengedipkan sebelah matanya ke arah Adisty.
"Haduh, kalian udah mau serius aja." Wulan berseru bahagia, mencolek lengan Adisty sebagai godaan.
"Apa ih, Fajar ngac
"Fajar kemana?!" Qiano terlihat kaget."tanpa pamit? Kenapa?" lanjutnya dengan tidak percaya."Belum jelas, tapi dia janji kalau semua udah bisa dia tangani, dia bakalan cerita semuanya." Nata menjelaskan.Kanya mengunyah jeruk dengan alis bertaut."Aneh, Adisty juga ilang dari kemarin. Bukannya mereka pindah rumah ya? Bahkan rumah yang bakalan mereka tempati itu malah di jual." ujar Kanya terheran - heran."Jelas sih, ini ada yang ga beres." yakin Nata seraya mengotak - atik ponselnya.Sebenarnya, Nata sudah tahu semuanya. Hanya saja, Fajar ingin semua di rahasiakana dulu. Fajar punya rencananya sendiri."Semoga mereka baik - baik aja." doa Kanya dengan penuh harap dan tulus.***"Maaf kak, istri saya engga mau." Nata menggenggam tangan Kanya.
Syasya menoleh saat mendengar pintu kamar di buka, senyum pun mengembang saat tahu kalau Qiano yang datang."Ngapain?" Qiano bertanya tanpa menatap lawan bicara, dia sibuk merapihkan barang bawaannya."Semenjak di kurung Qiano, Sya cuma bisa baca buku ini." di angkatnya buku novel itu sekilas.Qiano diam, merasa di pukul oleh perkataan Syasya soal dirinya yang mengkurung Syasya.Qiano tidak peduli, yang jelas dia ingin menjaga Syasya dari Irvan meski caranya kurang manusiawi sekalipun."Makan dulu." Qiano menghampiri Syasya, membantunya turun dari kasur lalu memapahnya ke meja yang ada di sana."Masih sakit?" Qiano mendudukan Syasya, berjongkok di hadapannya seraya meraih sebelah kaki Syasya yang bengkak karena jatuh itu."Hm, masih berdenyut." aku Syasya dengan ekspresi sedih.Qiano mengusapnya sekilas."Nanti di
Nata mendesah pelan, dia terlihat jenuh sekali sedangkan Kanya terlihat asyik dengan dunianya. Nata merasa tumben Kanya suka belanja, bahkan berjam - jam."Kamu Kanya akukan? Kanya yang suka marah - marah?" tanya Nata seraya meraih pinggang Kanya agar mendekat.Kanya mendengus dengan alis bertaut heran."Kenapa lagi? Aku pake uang ayah, kamu ga punya hak ngeluh." balasnya dengan masih sibuk memilih jaket.Nata berdecak."Mau pake uang aku pun ga masalah, tapi aku aneh aja. Kamu selama ini cuma mau makan dan makan dari pada belanja kayak gini." terangnya sedikit sewot.Kanya tersenyum, mengusap pipi Nata sekilas."Kamu tahu, orang yang ga pernah marah pasti sekali marah meledak bangetkan? Nah aku kayak gitu tipenya, ga suka sering belanja tapi sekali belanja ya gini." balasnya dengan santai.Nata menghela nafas pendek, ternyata begitu. Dia baru tahu. Rasanya masih ba
Kanya melirik Nata yang terlihat asyik dengan ponselnya."Ngapain kamu? Aku perhatiin dari tadi sibuk ngetik sama cengengesan natap ponsel, selingkuh kita cerai ya." celetuk Kanya.Nata sontak berdecak tak suka."Hati - hati, ucapan adalah doa sayang. Aku mana bisa cari yang lain, kamu aja udah sangat cukup." balasnya agak senewen."Ululuh—" Kanya mengunyel kedua pipi Nata yang tengah cemberut itu."becanda, abis kamu asyik sama ponsel." keluhnya.Nata mendekat, mengecup pipi Kanya sekilas."Aku asyik di grup cowok di kampus, aku cuma lagi berbaur sama mereka." jelasnya."Cowok - cowok yang bawel - bawel itu? Kamu betah sama mereka?" Kanya bersandar di bahu Nata."Betah kayaknya, mereka baik - baik." jawabnya santai."Siapa sih namanya lupa.""Burhan, Bagas, Sarip, Haris sama Kevin."Kanya mangut - mangut."Baha
Qiano menatap kepergian Irvan dengan senyum tipis penuh kelegaan, dia merasa berhasil menjinakan Irvan yang selalu brutal. Dering ponselnya membuat Qiano tersentak pelan, di tatapnya ponsel yang menyala itu. Qiano tersenyum tipis saat sadar kalau yang meneleponnya itu Syasya. "Hal—" "Qiano di mana? Sya bosen, kita main monopoli lagi. Jadi, cepetan pulang." potong Syasya dengan super cepat. "Iyah, sekarang pulang. Mau titip sesuatu? Kamu apalagi mau makan sesuatu?" Qiano mulai membawa langkahnya ke parkiran, menuju motornya yang terparkir. "Hm—" suara Syasya beberapa saat hanya itu."itu, beli mie ayam aja tapi sambalnya di pisah ya Qiano." lanjutnya dengan riang. "Siap." Qiano tersenyum tipis, naik ke motornya dengan masih fokus pada suara Syasya di ponsel. "Sama jusnya juga, sama cemilan kalau bi
Nata dan Kanya terlihat cerah, ada Syasya dan Qiano di sebrang mereka. Ceritanya mereka bertemu sekalian Syasya jalan - jalan."Sayangnya Fajar ga bisa ikut kumpul, tapi dia udah ucapin selamat semalem." kata Kanya memulai percakapan."Emang Fajar kemana?" tanya Syasya dengan polosnya.Qiano melirik Syasya."Kan waktu itu udah di kasih tahu, dia keluar negeri kuliah." serobotnya.Syasya menepuk keningnya."Oh iyah, aduh Sya pikun." balasnya dengan lucu, mengundang tawa Nata dan Kanya."Anak kita lahir ga akan terlalu jauh, kalau sepasang kita jodohin yuk." riang Kanya pada Syasya."Mau - mau, nantikan unyu." balas Syasya agak heboh.Nata dan Qiano saling lirik lalu menggeleng pelan."Biarin anak - anak pilih jodoh mereka masing - masinglah." Nata bersuara, membuat kehebohan keduanya berhenti."Ya ga di b
Dentingan jarum jam terus berputar, berulang seiring berjalannya waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun.Hingga kini usia anak Syasya dan Kanya sudah memasuki tahun ke 6. Kedua anak itu akan sekolah ke sekolah dasar."Apa ga 7 tahun aja?" Kanya terlihat bimbang, sedangkan sang anak sudah srmangat."Normal kok, 6 tahun masuk sekolah dasar. Anak kita pinter sayang." kata Nata seraya menatap gadis manis dengan rambut di ikat dua."No no no, itu kotor Elsa." suara Rafa mengalun tenang namun penuh peringatan, begitu lucu. Rafa terlihat dewasa sebelum waktunya.Qiano tersenyum tipis."Jangan berantem,
Nata memeluk Fajar, merasa tidak percaya ada sahabatnya yang sudah lama hilang."Papa - papa, om kasih Elsa uang, boleh beli boneka?" Elsa menarik lengan Nata sekilas.Pelukan mereka terurai, Nata mengusap kepala Elsa."Tanya mama, kalau mama bolehin, papa juga bolehin, boneka kamu udah banyak, baby." gemasnya seraya mencubit manja pipi Elsa.Fajar mengusap kepala Elsa, menatapnya dengan gemas."Yah, mama ga kasih izin." sedihnya."Minta lagi ke mama gih, papa mau ngobrol sama om, oke?"Elsa mengangguk namun menengadahkan sebelah tangannya."Minta uang dulu, baru Elsa ke mama."Nata terkekeh, merogoh sakunya."Nih, jangan bilang - bilang mama." bisik Nata setelah memberi uang 50 ribu."Siap! Dah - dah - dah." riangnya dengan membawa langkahnya berlalu.Nata menatap Fajar dengan senyum hangat."Lo kem