"Aku bisa memberikan apa yang Nora tidak bisa berikan padamu." desis Adisty dengan sura lembut, berbisik pelan di telinga Danu yang mulai memerah bukan karena dinginnya ruangan melainkan karena hasrat laki-lakinya yang secara tanpa sadar menjadi memuncak.
Danu termenung dengan kepala terus berpikir. Ini bukan hal yang ia inginkan tapi bukan hal yang bisa ia tolak begitu saja. "Aku janji ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua." rayu Adisty kembali. Kali ini dia lebih berinisiatif lagi. Dia tahu Danu tidak akan pernah memulainya jika ia tidak memulai duluan. Adisty memutar tubuh Danu pelan, meraih tangan Danu yang terkepal memegangi ganggang pintu kamarnya, dan menaruhnya di atas bulatan lingkaran dadanya yang empuk. "Kamu menyukainya?" tanya Adisty lembut sedikit menekan tangan Danu hingga bentuk bulatan dadanya berubah. Wajah Danu yang mengetat karena tidak suka perlahan melonggar dengan tatapan yang masih bingung. Pikiran dan hati nuraninya masih tidak sejalan. Bayangan wajah wanita berkacamata yang sedang tersenyum membuat batinnya sulit untuk menerima anugerah yang ada di depannya. Namun, Danu sangat mendambakan momen romantis penuh gairah ini. Sesuatu yang Danu dambakan dari dulu tapi tak ia dapatkan dari sosok wanita dalam bayangannya itu. Kepalan tangan Danu perlahan terbuka. Adisty adalah wanita yang cantik dan seksi. Tanpa meminta, ia dengan sukarela memberikan dirinya sendiri. Danu tak ingin membuang kesempatan itu. Adisty tersenyum melihatnya walaupun belum ada tanda-tanda Danu bergerak mengikuti nalurinya. "Kalau begitu bagaimana kalau begini?" Adisty menggerakkan tangan Danu kembali, menggosokkannya pada dada besar miliknya secara perlahan dan membawanya semakin ke atas dan ke atas hingga tangan itu masuk ke dalam balutan baju yang menghalangi bentuk lekuk tubuh yang sesungguhnya. Suara erangan Adisty yang tidak bisa menahan rasa nikmat yang ia buat dengan sendirinya, memicu rangsangan pada diri Danu. Tangan Danu yang kini sudah berada pada dada Adisty tanpa dihalangi sehelai kain pun. Rasa kenyal dan hangat yang ia rasakan untuk pertama kalinya karena menyentuh seorang wanita, mengacaukan pikiran Danu yang menjadi tak rasional. Tanpa ia sadari tangan yang tadi hanya diam, bergerak dengan sendirinya, memainkan dengan jari-jarinya yang panjang, meremasnya pelan dan semakin kuat. "Akh," erang Adisty spontan dengan wajah memerah. Rasa haus akan sentuhan itu membuatnya menjadi gila. Adisty menginginkan lebih banyak dari Danu. "Apa satu tangan cukup?" tanya Adisty dengan wajah memelas. Dia sangat menyukai sentuhan yang membuat tubuhnya terasa meleleh. Danu terdiam. Tubuhnya terasa terbakar hingga membuat nafasnya menjadi hangat. Rasa geli yang memenuhi tubuhnya terasa tidak nyaman. Ia menjadi gila hanya karena menyentuh bagian sensitif Adisty. "Tidak apa-apa. Aku janji Nora tidak akan tahu ini." bujuk Adisty, lagi-lagi Adisty lah yang lebih dulu berinisiatif meraih tangan Danu dan memasukannya ke dalam pakaian dalamnya. "Ikuti instingmu sebagai laki-laki. Aku menyukai setiap bagian yang kamu sentuh!" ucap Adisty mendesah seksi, membangkitkan gairah Danu yang menjadi tak terkontrol. Di rumah sakit, "Tolong ya Mba Nor. Sekali ini aja." perempuan berambut pendek sebahu itu memohon pada temannya. Meminta temannya untuk menggantikan shift malamnya. "Ya," jawab perempuan berkacamata berambut panjang sepinggang itu dengan senyuman lebarnya. "Terima kasih Mba Nor. Mba memang teman yang paling baik." ujarnya, memeluk Nora kemudian berlalu pergi begitu saja. Nora hanya bisa menghela nafas panjang. Padahal dia sudah memiliki janji setelah ini tapi ia tidak bisa bilang tidak pada temannya. "Ckckck, sekali-kali bisa nggak kamu nolak?" keluh Fera berkacak pinggang di samping pintu. Fera baru saja datang untuk tugas malam. "Aku nggak tega. Katanya ini ulang tahun pacarnya." balas Nora. Nora Azkya Heera, wanita dewasa berusia 28 tahun. Berprofesi sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta. Tingginya 160 cm, anak kedua dari keluarga sederhana. Rasa sungkan yang sudah mendarah daging di dalam dirinya, menjadi sesuatu yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Orang terdekatnya kadang merasa kesal karena sifatnya itu. Nora selalu mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan dirinya sendiri. "Sudah berapa kali dia beralasan seperti itu?" keluh Fera dengan kerutan kening, mempertanyakan ingatan Nora yang pastinya tidak bermasalah karena diantara perawat yang lainnya, Noralah yang memiliki ingatan paling tajam. "Mungkin pacar baru," jawab Nora tersenyum tanpa beban, sedangkan Fera hanya bisa menghela nafas panjang karenanya. Nora mengikat rambut panjangnya dan menjepitnya dengan hairnet. Seragam putih serta rok putih panjang yang sudah dilepasnya kembali dipakainya. "Terus kamu bagaimana? Kamu nggak malam mingguan sama pacarmu?" tanya Fera dengan sebelah alis terangkat. "Kami bisa bertemu kapanpun kami mau," "Jujur. Sampai saat ini aku masih penasaran kenapa hubungan kalian bisa bertahan lama. Apa pacarmu baik-baik saja hanya berpegang tangan? Kamu bilang batasmu sampai pegangan tangan saja kan?" "Pacarku bukan laki-laki seperti itu!" Nada tegas yang keluar dari mulut Nora membuat Fera terdiam dengan kedua bola mata membesar. Nora wanita yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah, jika sudah mengeluarkan nada seperti itu berarti dia tidak suka mendengarnya. "Aku tidak bermaksud menuduh pacarmu laki-laki mesum. Aku hanya iri saja sama hubungan kalian." jawab Fera lirih. Di usianya yang sudah 28 tahun ini dia sudah menjadi seorang janda yang memiliki satu anak. Berbeda dengan Nora yang masih suci hingga saat ini. "Benar," jawab Nora diam sejenak. Kedua bola matanya berbinar terang dengan senyuman lebar di wajahnya. Kebahagiaan yang tergambar begitu jelas di wajahnya membuat Fera ikut tersenyum melihatnya. Rasa bahagia yang bisa menular ke orang terdekat. "Aku tak pernah berpikir ternyata hubungan kami bisa bertahan selama ini dengan diriku yang seperti ini. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Tidak ada laki-laki yang begitu pengertian seperti dirinya. Aku bersyukur memilikinya di dunia ini. Dia satu-satunya untukku, separuh nya-," "Ok. ok. Cukup sampai sana kamu membanggakan pacarmu yang spek dewa itu," hentikan Fera sebelum ia semakin merasa iri. "Kamu duluan aja. Aku mau ngirim pesan dulu." "Ya sudah." Fera pergi meninggalkan Nora yang sedang fokus melihat huruf-huruf kecil di layar handphonenya. Meluruskan kacamatanya agar terlihat lebih jelas. ("Sayang maaf. Aku lanjut shift lagi. Bagaimana kalau makan malamnya diganti dengan makan siang?") ketik Nora menambahkan emoticon maaf di akhir chatnya. Selain mengirim pesan ke pacarnya. Nora juga mengirim pesan ke sahabatnya. ("Adisty aku minta maaf. Aku nggak bisa jengukin kamu dulu. Aku lanjut shift malam. Obat yang tadi Danu bawa tolong diminum ya! Jangan sampai lupa!") ketik Nora cepat, kemudian mengirimnya. "Apa Danu sudah sampai ya? Seharusnya sudah sampai sih," gumam Nora, sambil berjalan ia melihat ke arah jam yang melingkar di tangannya. Setelah mendapatkan pesan dari sahabatnya, Adisty. Nora yang tak bisa meninggalkan pekerjaannya terpaksa meminta bantuan pacarnya untuk mengantarkan obat ke Adisty yang mengaku sedang sakit. "Nora!" "Ya." Nora berlari kecil menghampiri rekan-rekannya. Beberapa menit yang lalu saat ia meninggalkannya, ruangan itu baru saja kosong dan sekarang terisi kembali, bahkan lebih penuh dari sebelumnya. "Malam ini kita tidak akan bisa beristirahat," gumam Fera, lesu sebelum berperang. Di kamar Adisty, Danu terdiam, merasakan handphone yang ada di saku celananya bergetar. "Kenapa berhenti?" tanya Adisty. Bibir Danu yang tadinya melumat bibirnya secara sensual, berhenti di tengah jalan. Danu melepaskan bibirnya. Tangannya merogoh kantung celananya untuk mencari benda yang bergetar tadi. "Tunggu sebentar." ucap Danu melepaskan dirinya. Tapi Adisty tak membiarkannya begitu saja. Adisty tak mau rasa nikmat yang ia rasakan itu hilang di tengah jalan. Adisty mendorong tubuh Danu ke atas tempat tidurnya dan menindihnya dengan badannya yang sudah setengah telanjang, hanya menyisakan kain penutup bulatan dadanya yang masih terkait. "Aku tidak tahan lagi. Sejak tadi kau terus bermain dengan bibirku." protes Adisty dengan manja. Bisikan seksinya membuat saliva di tenggorokan Danu tertelan dengan lancar. "Tunggu aku balas pesan seben-." mulut Danu dibungkam Adisty. Adisty melumat bibir Danu seperti yang mereka lakukan tadi, tak membiarkan Danu lepas darinya. Adisty hanya ingin Danu fokus pada dirinya. "Bisakah kamu fokus pada diriku? Jangan pikirkan Nora!" ucap Adisty serius. Matanya menatap mata Danu yang dalam. Tangannya meraih kaitan yang menutupi bentuk bulatan dadanya yang indah. Ia melepaskannya dan membiarkan Danu melihat ke arahnya. Rasa haus yang meledak membuat badannya merasa gerah. Benda besar yang membentuk indah itu bergerak mengikuti alunan nafas yang semakin terasa meningkat. "Kalau begitu matikan lampunya!" "Aku tidak mau. Biarkan saja menyala. Aku ingin melihat wajahmu. Apa kamu tidak mau melihat wajahku?" "Bukan begitu," balas Danu memalingkan wajahnya. Melihatnya secara jelas membuatnya merasa malu. Tubuh Adisty sangat indah dan cantik, sebagai laki-laki normal Danu sulit untuk menahan dirinya untuk tidak menerkamnya lebih dulu. "Kamu yakin melakukannya denganku?" Danu masih tidak bisa percaya dengan apa yang ia lakukan sekarang ini. Ini mungkin sudah sangat lebih dari yang ia bayangkan. "Tentu saja." jawab Adisty tegas. Keyakinannya membuat Danu sejenak terpikirkan akan pacarnya. Pacarnya yang pastinya akan langsung menolak saat Danu hendak ingin mengecup bibirnya saja. "Ingat. Ini hanya menjadi rahasia kita saja!" tekan Danu, matanya kembali mengarah ke arah Adisty yang terlihat agak kecewa. Adisty tahu dia tidak akan sepenuhnya menggantikan Nora di hati Danu. "Ya." Tapi hal itu tak menjadi masalah untuk Adisty. Karena sejak awal dia memang ingin melakukan ini bersama Danu. Adisty menempelkan badannya, baju yang masih melekat di badan Danu ia buka secara perlahan. "Aku tak akan membuatmu menyesal melakukannya denganku!" ujar Adisty tersenyum senang. *** Mendapatkan jeda setelah berperang dengan banyaknya pasien yang berdatangan, Nora langsung mengambil handphonenya. "Kenapa Danu belum balas pesanku? Apa dia lagi di jalan?" gumam Nora mengerutkan keningnya. "Kamu!" panggil kepala ruangan. Nora yang tak tahu dirinya dipanggil, tetap fokus melihat layar handphonenya. "Cewek kacamata!" panggil kepala ruangan itu lagi. "Saya?" tanya Nora langsung menoleh ke belakang. "Siapa lagi selain kamu yang berkacamata di sini?" omel ibu kepala ruangan. "Ya Bu Dokter. Ada apa?" Nora meletakkan kembali handphonenya di laci meja. Menghampiri kepala ruangan yang berdiri agak jauh darinya. "Beberapa hari ini aku terus melihatmu di sini. Siapa lagi yang kamu gantikan hari ini?" Suara tegas dan datar itu membuat jantung Nora menegang. "Vivi." jawab Nora gugup. Perasaannya tidak enak. Siapapun yang ada di posisinya sekarang pasti tahu bahwa wanita di depannya itu terlihat marah. "Anak itu lagi?" bola mata yang membesar bulat dengan nada bicara yang semakin tinggi. Nora tahu dia tidak akan bai-baik saja setelah ini. "Siapa yang mengizinkan kalian bebas saling tukar?" "I-itu," "Pulang! Jangan biarkan aku melihat wajahmu lagi!" usir kepala ruangan geram. Raut wajahnya memerah dengan tatapan seperti ingin membunuh. Mengintimidasi Nora yang mematung seketika. "Dok. Terus yang-," "Kamu tidak mendengarkan perintahku?" bentaknya kencang, sampai yang lain melihat. Tatapan tajam yang mengkilat seperti Sambaran petir sontak membuat Nora langsung diam. "Baik Dok. Tapi saya gak dipecat kan?" "Aku akan pecat kamu kalau kalian saling tukar lagi tanpa izin!" "Maaf." balas Nora. Tapi kata maaf itu tidak tersampaikan dengan benar. Kepala ruangannya sudah langsung meninggalkan dirinya. Dari jauh, Nora bisa melihat wanita yang ia panggil sebagai Bu Dokter itu sedang memarahi kepala perawat. Gara-gara dia, kepala perawatnya jadi kenak omel. Nora hanya bisa berdiri lesu dengan rasa bersalah yang mulai menyelimuti dirinya. "Aku harus cepat pergi dari sini," Nora memutar tubuhnya dan berjalan pergi ke ruang ganti. Pakaiannya sudah berganti dengan pakaian formal. Jam tangan yang melingkar di tangannya baru saja menunjukkan angka sepuluh malam. Belum terlalu malam untuk ia pergi menjenguk Adisty. "Aku lihat sebentar saja lalu pulang," rencananya. Nora memesan mobil untuk mengantarnya. Seperti biasa, dia memesan mobil dengan supir wanita. Tidak lama, hanya beberapa menit, mobil yang ia pesan pun sudah ada di depan matanya. "Perumahan HK." beritahu Nora. Di sepanjang jalan, Nora mencoba menghubungi Danu. Dia berencana untuk memberi tahu pacarnya bahwa dia akan pergi ke rumah Adisty. Laporan singkat yang sering Nora lakukan untuk mengabari sang pacar. "Nomor yang anda tuju sedang sibuk." jawab operator berulang kali. "Mungkin dia sedang sibuk. Aku nggak boleh ganggu." ujarnya. Setelah berulang kali mencoba menghubungi Danu, Nora menyerah. ("Adisty. Aku sedang menuju rumahmu.") beritahu Nora memasukkan kembali handphonenya ke dalam tasnya. *** Klik. Nora terpaksa membuka pintu apartemen Adisty. Sejak tadi ia memanggil Adisty tapi tak ada jawaban dari Adisty. Nora pikir Adisty mungkin sedang kesakitan di dalam karena itu ia menerobos masuk. Rumah itu sangat gelap dan sunyi. Tidak ada tanda kehadiran siapa-siapa kecuali suara erangan yang samar-samar terdengar. "Adisty?" panggil Nora, tapi tak ada jawaban. Melepaskan sepatunya di samping rak sepatu. Nora melihat ada sepatu laki-laki di sana. "Ada orang?" gumamnya, berjalan masuk lebih dalam. Firasatnya sungguh tidak enak, Nora merasakan itu. "Adisty?" panggil Nora mendekat. Erangan itu semakin terdengar di telinganya. Suara yang tak asing di telinganya yang tidak dapat ia artikan. "Adisty? Kamu baik-baik saja?" Nora tampak ragu untuk mendekat. Dia melihat ruangan Adisty menjadi satu-satunya ruangan yang terlihat menyala lampunya disana. "Akhhhh." erang Adisty semakin kencang. Nora yang berpikir Adisty sedang berteriak kesakitan langsung masuk ke dalam. Nora mematung seketika dengan tubuh gemetar. Kedua matanya terbuka lebar dengan degup jantung berdebar kencang. "Nora." ucap Adisty menatap kaget. Saat dirinya masih berada di atas Danu dengan tubuh polosnya yang penuh keringat.Seorang anak laki-laki kecil dengan mata abu-abu bersembunyi di balik lemari pakaian. Tubuhnya meringkuk, gemetar. Sesekali ia menahan isak yang nyaris pecah, memeluk lututnya sambil memejamkan mata.“Naren! Jangan main-main! Keluar!” suara keras terdengar dari luar kamar. Nada ancaman menyelinap di antara nada panggilan.Anak itu mulai menangis. Tanpa suara, hanya air mata yang mengalir bersama bisikan lirih di dalam hati kecilnya."Ibu... Ibu..." Meski tahu sang ibu tak akan datang, nama itu memberinya kekuatan. Nama yang menjadi tameng terakhir dari rasa takut yang memburu.Tiba-tiba, pintu lemari terbuka. Mata anak itu membelalak, tubuhnya membeku. Namun, yang muncul bukan sosok menakutkan—melainkan seorang anak gadis, sekitar lima tahun lebih tua darinya. Senyumnya lembut, tangannya terulur pelan.“Tidak apa-apa, Naren. Kakak ada di sini,” ucap anak gadis itu pelan, menariknya keluar dari lemari.Belum sempat Naren bernapas lega,
“Bukannya dia pacarmu?” tanya Herlina pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh kebisingan restoran. Tatapannya mengarah pada Andrew yang masih memandangi punggung Nora yang menjauh bersama Naren.Andrew mengedipkan mata, menoleh pelan ke arah wanita paruh baya itu. “Bukan,” jawabnya ringan namun cukup menusuk. “Dia istri Naren.”Seperti embun beku yang tiba-tiba menempel di dahi, wajah Herlina mengeras. Bola matanya membulat perlahan, memandangi Andrew seolah kalimat itu baru saja membenturkan pikirannya pada tembok tak kasat mata.“Istri?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya."Ya." Andrew mengangguk pelan. "Kapan dia menikah?" "Entahlah," balas Andrew, melirik ke arah Nadin yang sedang memberikan tatapan tajam padanya. "Sebaiknya kita pergi dari sini!" ucap Andrew, berdiri dari tempat duduknya. Buru-buru pergi sebelum ia menjadi sasaran Nadin. Melihat Andrew yang pergi, Nadin hanya menghela nafas panjang. Tatapannya bera
Ruangan Kepala rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara detik jam dan derit samar dari kursi yang diduduki Nora. Ia menunduk, menggenggam ujung roknya erat, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang terus menyerangnya. Di hadapannya, duduk sosok Pak Kepala—ayah Naren dengan sorot mata tajam tapi jenaka, sementara Grizell duduk di sebelahnya, tampak tidak tertarik dengan perbincangan yang terjadi.Pak Kepala terkekeh kecil, menyandarkan tubuh ke kursi. “Hahaha. Kenapa tidak mengundang Ayah di acara pernikahan kalian?” tanyanya penuh selidik, namun masih dibalut nada santai.Nora terdiam sejenak dan Grizell tertarik dengan hal lain, ia mengangkat alisnya sedikit, memperhatikan sesuatu yang lain—sebuah bayangan samar kemerahan di bawah rahang Nora. "Jadi bukan Alina.” gumam Grizell dalam hati. “Ka-kami memang tidak mengadakan acara pernikahan,” jawab Nora akhirnya, terbata. Wajahnya menegang. Ia tahu ia tak bisa jujur. Pernikahan itu bukan sesuatu yan
Ruang kantor lantai eksekutif Star Entertainment dipenuhi dengan bisik-bisik. Beberapa staf tampak saling pandang, tak percaya dengan memo yang baru saja dikirimkan melalui email resmi perusahaan: Adisty resmi diberhentikan dari semua kerja sama dengan perusahaan, efektif mulai hari ini."Ini serius?" bisik salah satu staf."Kenapa tidak ada yang tahu sebelumnya?"Di ruang kerja utama, Andrew melangkah masuk tanpa mengetuk seperti biasa. Di tangannya ada map laporan para talent baru, tapi bukan itu yang memenuhi kepalanya."Jadi benar kamu memecat Adisty?" tanyanya, langsung ke inti.Naren yang duduk di balik meja kerjanya, hanya menjawab dengan satu anggukan kecil. Datar. Tak ada raut penyesalan.Andrew mengerutkan kening, lalu mendekat sambil mencondongkan tubuh ke meja."Jadi...kamu sudah tidur dengan Nora?" bisiknya dengan nada setengah menggoda, mengingat perjanjian konyol yang sudah Nora buat sebelumnya dengannya, imbal
Andrew sedang duduk menunggu di dalam mobil, arah matanya tertuju pada Naren yang berjalan mendekat. Langkahnya tegap dan terukur. Di tangannya ada sebuah kantong plastik kecil yang bertuliskan nama toko yang baru saja ia masuki. "Siapa yang sakit?" tanya Andrew, alisnya berkerut dengan tatapan meneliti. "Bibi pengurus!" balas Naren asal, duduk kembali di tempatnya. Ia memasukkan kantong plastik itu ke dalam laci dashboard di sampingnya, lalu menyalakan kembali mesin mobilnya. "Sejak kapan kamu peduli dengan orang di sekitarmu?" balas Andrew dengan senyum di wajahnya. Seolah itu menjadi kejutan besar yang tidak masuk di akal. Naren diam tak menjawab, hanya mata yang melirik ke arah Andrew dengan tatapan menusuk. "Aku bercanda," balas Andrew, tangannya bergerak ke arah laci dashboard. Melirik Naren yang fokus mengarahkan mobilnya ke arah jalanan. Saat terasa aman, Andrew diam-diam membukanya perlahan. Namun, Naren dengan cepat menutup
Nora tertegun, matanya menatap lekat mata Naren yang dipenuhi hasrat. Wajah Naren yang memerah, napasnya yang memburu hangat, seolah tubuhnya mulai dikuasai sesuatu yang tak lagi bisa dikendalikan olehnya. Saat Naren tiba-tiba bergerak mendekatkan tubuhnya dan Nora secara refleks menahannya. Rahang Naren mengetat kencang. "Jangan Naren!" ucap Nora gemetar dengan mata ketakutan. Kedua tangannya berusaha menahan tubuh Naren yang besar dan kuat. Tubuh Naren yang terasa panas seperti api yang membara. "Walaupun kamu menangis! Aku tidak akan berhenti Nora! Ini pilihanmu karena menikah dengan laki-laki sepertiku!" tekan Naren, ada kemarahan yang tersembunyi di dalam tatapannya. Penolakan Nora, membuatnya tak bisa bersikap lembut sesuai dengan ucapannya tadi. Naren menggenggam erat tangan Nora, membawanya ke atas kepala Nora dan menahannya erat -hanya dengan satu tangannya yang kekar. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalanginya. Nora yang berada
Naren berjalan mengikuti Kakeknya ke ruang kerja. Langkah mereka sejajar dan sangat tenang, menyembunyikan segala niatan yang tersembunyi. Tiba-tiba, seorang pelayan datang menghampiri mereka. Melaporkan apa yang terjadi di kolam. Namun, rasa takut dimarahi membuatnya ragu untuk bicara, "Ada apa?" tanya laki-laki beruban itu. “Ma-af Tuan Besar. I-i-itu terjadi keributan di belakang! Istri Tuan muda jatuh ke kolam!" lapornya. Naren menoleh sesaat, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Kakeknya.“Biarkan saja,” katanya datar. Melanjutkan langkah kakinya. Kakeknya menatap dalam, ada hal yang tersimpan di wajahnya, penasaran.“Kamu tidak mau melihat istrimu?” tanyanya, suaranya tenang dengan maksud yang lainnya. “Dia tahu bagaimana cara mengurus dirinya sendiri. Tanpaku dia harus bisa berdiri dengan kakinya sendiri!" balas Naren dengan senyuman tipis penuh arti. Tapi tak lama, langkah cepat lain
Nora keluar dengan langkah pelan, tumitnya yang gemetar seolah mengukir ketegangan di tiap langkahnya. Di depan sana, Naren sudah berdiri dengan satu tangan di saku celana, postur santai namun tak bisa disangkal, dialah penguasa ruangan itu.Begitu melihatnya, pandangan Naren langsung tertuju padanya, menyapu dari kepala hingga kaki. Tidak kagum, tidak ada pujian, hanya sebatas penilaian yang tak memiliki rating apapun. Matanya seperti bilah tipis yang mengupas niat dan keraguan sekaligus. Ia tidak berkata apa-apa selama beberapa detik yang terasa sangat panjang."Kenapa dia melihatku seperti itu?" batin Nora yang mulai resah. Menutupi belahan dadanya yang terpapar cahaya lampu, dengan sebelah tangannya. Kemudian, suara Naren terdengar. Rendah, berat, tapi tajam seperti perintah.“Bagus,” katanya singkat. Nora menahan diri untuk tidak bereaksi. Ia tahu apa yang ingin coba Naren lakukan padanya. Peringatan bahwa ia sudah begitu berani m
Tatapan Nora tertuju pada kamar Naren. Setelah yakin tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Nora berdiri pelan, berjalan sedikit demi sedikit, sebisa mungkin tidak ada suara langkah yang terdengar di lantai selama ke kamar mandi. Pakaiannya yang masih basah, ia masukkan ke dalam mesin cuci dan kemudian di keringkannya. Berkat bantuan handphone pintar yang dia miliki, ia berhasil menggunakan mesin cuci yang terlihat sangat asing. Tidak lama, hanya dua puluh menitan sampai semuanya beres. Setelah selesai, Nora menjemurnya di sisi pintu. Berharap akan kering dengan cepat. Sekarang dia harus kembali lagi ke tempatnya. Nora melangkah pelan ke arah sofa. Duduk kembali dengan memeluk lututnya yang sedikit basah karena terkena air saat mencuci. Menaruh kepalanya di senderan sofa, mata Nora terus mengarah ke arah kamar Naren. Dia memejamkan matanya pelan kemudian beberapa detik membukanya. Dia sudah terbiasa tidur seperti itu, memejamkan mata sejenak lal