Home / Romansa / Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu / Bab 2. Hal Yang Seharusnya Tidak Dilihat

Share

Bab 2. Hal Yang Seharusnya Tidak Dilihat

Author: Liliana3108
last update Last Updated: 2025-02-21 13:13:51

"Sekarang giliranku!" ujar Adisty dengan suara terengah-engah. Sudah satu jam lebih berlangsung tak membuat mereka berdua puas untuk melakukan ikatan intim itu.

Danu yang tadinya berada di atas memberikan kesempatan pada Adisty untuk menggantikan posisinya. Mencoba hal baru yang belum pernah ia rasakan.

Saat Adisty mulia melebarkan pahanya dan memasukkan miliknya tanpa aba-aba. Semuanya masuk dalam satu tekanan yang membuat perutnya terasa hangat dan penuh.

"Akhhhh," rintih Adisty, rasa sakit yang membuatnya menggila. Apalagi saat melihat wajah Danu yang terlihat menyukainya. Perasaan Adisty menjadi penuh bahagia.

"Sentuh dadaku!" ujar Adisty sambil menggoyangkan pinggulnya. Tangan kekar yang tak berhenti memainkan bulatan miliknya semakin membuat Adisty dimabuk cinta. Kenikmatan yang ia rasakan yang tidak ingin ia akhiri dengan cepat.

Klik.

Danu dan Adisty terdiam sejenak. Gerakan pinggul yang tadinya semakin cepat tiba-tiba berhenti mendadak.

"Maaf." suara yang tak asing, membuat Danu refleks mengambil selimut yang tak jauh di dekatnya. Ia segera menutupi wajahnya sebelum Nora mengetahui bahwa yang berada di bawah sahabatnya adalah dia.

Nora segera pergi dari sana. Nora berlari kencang dengan degup jantung tak karuan. Nafasnya tersengal dengan kepala tak mampu berpikir secara jernih. Apa yang ia lihat tadi menodai mata dan pikirannya. Saking gugupnya ia sampai lupa memakai sepatunya dan meninggalkan pintu terbuka begitu saja.

"Nora sudah pergi!" beritahu Adisty.

"Turun!"

Danu kehilangan semangat untuk melanjutkannya. Mendengar suara Nora tadi membuat rasa bersalah mendatangi pikirannya.

"Kamu mau berhenti begitu saja?" Adisty sungguh tidak rela. Dia belum mencapai klimaksnya dan sekarang laki-laki itu ingin pergi begitu saja.

"Cukup Adisty!" bentak Danu, mendorong Adisty menjauh. Danu langsung turun dari ranjang lebar yang tadi menjadi tempat berbagi kenikmatannya dengan Adisty. Bergegas mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai.

Dipikirannya hanya ada Nora. Apakah pacar yang sudah ia pacari selama lebih dari sepuluh tahun itu melihatnya atau tidak.

"Apa No-," Danu tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Rasa bersalah yang memeluk dirinya dengan kencang membuat wajahnya semakin berkeringat. Tidak mungkin Nora tidak melihat dirinya, pikir Danu.

"Dia melihatnya tapi tidak tahu itu kamu." balas Adisty sambil melihat handphonenya. Membaca chat Nora yang baru saja masuk.

("Maaf mengganggu kalian. Aku pikir kamu kesakitan karena itu aku langsung masuk.")

Jika Nora tahu laki-laki itu adalah pacarnya, tentu dia tidak akan mengirim pesan seperti itu padanya, pikir Adisty masih menduga-duga.

"Maksudmu?" Rahang Danu mengetat dengan tatapan menajam.

"Nora mengirimiku pesan." jawab Adisty sambil mengetik.

("Tidak apa-apa. Itu salahku.") balas Adisty, membalas pesan Nora dengan menganggap Nora memang tidak tahu. Dia bertaruh kalau Nora memang tidak tahu.

("Kamu sedang sakit. Sebaiknya jangan dipaksakan.") Nora mengetik dengan wajah malu. Sebenarnya dia tidak ingin ikut campur tapi hati nuraninya tidak membiarkannya.

("Ini obat mujarab. Sakit ku langsung hilang.") balas Adisty tanpa rasa malu. Wajahnya yang tersenyum membuat Danu curiga.

"Ingat janjimu. Jangan sampai Nora tahu!" tekan Danu, Rahangnya semakin mengetat dengan tatapan mengancam.

"Kamu tidak perlu khawatir. Tapi apa kamu yakin mau sampai sini saja?" Adisty turun dari ranjangnya. Tubuhnya yang berkeringat belum berbalut pakaian melenggok seksi berjalan ke arah Danu yang sedang memakai pakaiannya kembali. Adisty melingkarkan lengannya di leher Danu dan menempelkan badannya ke badan Danu yang belum memakai baju. Gesekan tubuhnya yang menggeliat menggelitik batin Danu yang kembali terangsang. Sama halnya dengan Adisty, Danu pun sebenarnya belum mencapai klimaksnya.

"Bagaimana kalau kita lanjutkan? Kita belum sampai puncaknya. Sayang baru setengah. Lagipula Nora juga sudah pergi. Dia tidak tahu aku tidur denganmu." bujuk Adisty, wajahnya ia letakkan di bahu Danu yang kekar. Wangi laki-laki itu masih membuatnya merasa mabuk, dia masih menginginkan laki-laki itu berada di atas tempat tidurnya.

Danu terdiam sejenak. Berpikir kembali dengan tawaran Adisty tadi.

"Tunggu aku membalas pesan." Danu sama sekali tidak bisa menolak. Hasratnya lebih besar dibandingkan rasa bersalah yang ada di pikirannya. Dia tahu dia sudah membuat kesalahan besar, namun hal itu tidak akan jadi masalah jika Nora tidak tahu.

"Ok," jawab Adisty gembira. Dia langsung melepaskan Danu dan menunggu Danu di atas ranjangnya. Senyum di wajahnya sangat lebar. Laki-laki itu kini tidak akan lepas darinya, pikirnya.

("Maaf sayang. Aku sedang lembur di kantor.")

("Aku pikir kamu marah karena aku tiba-tiba membatalkan janji kita lagi.")

("Tidak apa-apa. Kita masih bisa ketemu kapanpun kamu mau.")

("Besok makan siang bareng bisa?")

("Bisa.")

("Ok. Jangan lupa makan. Kalau sudah pulang nanti kabarin.")

("Ok.")

Usai mengetik. Nora baru menyadari dirinya masih berada di jalan tanpa alas kaki. Jalanan yang sepi dengan lampu jalan yang remang-remang membuat jalanan itu tampak seram. Seharusnya tadi dia meminta Danu untuk menjemputnya. Tapi pacarnya sedang sibuk, jadi dia tidak mungkin memintanya.

"Aku cari toko saja dulu." batinnya. Dengan kaki bertelanjang, Nora berjalan menyusuri jalan. Sedikit sakit karena ada beberapa pasir kasar menusuk kakinya. Syukurnya, tidak terlalu jauh dari perumahan itu, Nora berhasil menemukan toko yang masih buka.

Kring, Nora masuk ke dalam. Petugas kasir yang sedang duduk memainkan handphonenya langsung berdiri menyambut kedatangannya.

"Cari apa Kak?"

"Sandal jepit ada?"

"Sandal?"

"Ya."

"Nggak ada Kak. Kita nggak jual sandal,"

"Air minum di sebelah mana ya?" tanya Nora. Dia membutuhkan air minum untuk menyegarkan kepalanya yang masih terkejut seperti baru saja terkena sambaran petir.

"Di belakang Kak." tunjuk penjaga toko memberikan arahan.

Nora berjalan mengikuti arahan. Melihat Nora yang berjalan tanpa alas kaki dengan wajah tak tenang, membuat penjaga toko tersebut merasa curiga. Dipikirnya pencuri, akhirnya penjaga toko memutuskan untuk mengikuti Nora.

"Gak pakai sandal kak?" tanya penjaga penuh selidik.

"I-ya," jawab Nora kikuk. Jadi teringat adegan itu kembali. Ia tidak menyangka Adisty yang sedang sakit melakukan hubungan seperti itu.

"Pacarnya?" pikir Nora dalam hati. Ia tidak bisa melihat wajah laki-laki itu karena bersembunyi di balik selimut. Tapi yang jelas, Adisty berada di atas laki-laki itu dengan tubuh polos penuh keringat.

"Sudahlah. Aku harus lupain apa yang aku lihat tadi!" tekan Nora pada dirinya sendiri. Jantungnya jadi berdegup kencang lagi. Kakinya pun masih terasa lemas. Ia baru kali ini merasa sangat malu hingga hampir membuatnya mati ditempat. Menyaksikan adegan dewasa di depan matanya membuat jantungnya hampir berhenti berdetak tadi.

"Kak! Kak!"

"Ah ya. Aku ambil ini." ujar Nora mengambil minuman. Ia juga membeli roti untuk mengganjal perutnya.

Usai membayar, Nora malu-malu meminta izin untuk menunggu di sana.

"Maaf Mas. Boleh nunggu di depan kan?"

"Ya Boleh."

Nora pun duduk di luar sambil menyantap rotinya. Beberapa hari ini dia mungkin tidak akan bertemu dengan Adisty lagi. Itu hal yang harus ia lakukan agar bisa melupakan apa yang ia lihat tadi.

"Siapa laki-laki itu? Adisty tidak pernah bercerita kalau dia punya pacar," walau begitu, Nora masih memikirkannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Jalanan di area itu sangat sepi. Nora tidak mungkin lama-lama diam disana. Nora akhirnya memutuskan untuk mengirim chat ke Kakaknya, meminta Kakaknya untuk menjemputnya di toko itu.

("Aku sedang diluar. Minta Ayah saja yang jemput.")

("Sudah malam. Ayah pasti sudah tidur.")

("Kenapa kamu baru pulang jam segini?")

("Tadi banyak pasien.")

("Kamu bisa tunggu 30 menit kan? Kakak masih ada meeting.")

("Ya.")

Nora meletakkan handphonenya di atas meja. Dia fokus untuk menghabiskan rotinya yang tersisa sepotong lagi. Kacamata yang beruap karena hembusan nafas yang masih tak karuan mengganggu pengelihatannya. Nora membuka kacamatanya dan mengelapnya dengan kain pembersih kacamata khusus. Samar-samar dengan ekor matanya. Ia melihat gerak-gerik bayangan hitam yang sedang bergerak di sudut jalan jauh dari tempat duduknya.

Cepat, Nora kembali memakai kacamatanya. Melihat apa yang terjadi di ujung gang yang ada di jalan itu.

"Orang?" batinnya. Rasa takut yang tiba-tiba menyerangnya, membuat bulu kuduknya naik ke atas tapi dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi di sana.

Menajamkan matanya yang tak bisa melihat kejauhan, Nora berhasil melihat adegan aksi seseorang yang sedang memukuli orang lain.

Nora berdiri dari tempat duduknya. Ia mengambil tasnya dan berlari ke seberang jalan.

Lambaian tangan seperti minta tolong memicu hatinya untuk membantu. Dia seorang petugas kesehatan, dia tidak mungkin mengabaikan orang terluka di depannya.

"Sudah! Sudah!" teriak laki-laki itu mengerang kesakitan, dari kepala dan mulutnya keluar darah bercucuran. Kelopak matanya membiru besar hingga tak terlihat bola matanya lagi. Tapi laki-laki jenjang yang ada di depannya tak berhenti memukulnya. Wajahnya mengeras dengan bola mata berwarna merah. Laki-laki itu terlihat ingin membunuh orang yang ada di depannya itu.

"Berhenti!" teriak Nora sambil memegangi handphonenya yang tak bisa mengambil gambar dengan benar, karena tangan dan tubuhnya bergetar hebat. Hari ini dia sudah melihat banyak hal yang seharusnya tidak ia lihat.

"Saya sedang merekam!" ancam Nora dengan suara bergetar. Langkah kaki yang dipaksakan untuk tetap kuat melangkah perlahan ke arah laki-laki itu yang kini melempar tatapan seperti bilah pedang ke arah Nora.

"Tolong saya!" ucap laki-laki yang menjadi korban itu, menatap Nora dengan wajah yang sudah babak belur. Nora melihatnya dan sangat ketakutan. Bagaimana laki-laki itu bisa memukuli orang sampai seperti itu, pikirnya.

"Jangan mendekat!" teriak Nora ketakutan langsung duduk meringkuk sambil memejamkan matanya. Suara langkah kaki laki-laki itu terdengar semakin mendekat.

Wajah berlumuran darah, dengan tatapan membunuh seperti itu. Siapapun akan takut mendekatinya.

Tak.tak.tak. Kakinya berhenti tepat di depan Nora. Nora sadar itu.

"Jangan macam-macam. Saya sudah menelpon polisi. Jika saya mati di sini. Polisi akan mencari anda!" ucap Nora masih gemetar.

Laki-laki itu diam tidak bicara. Pakaiannya yang bernoda darah, tangannya yang masih tertempel darah, membuat tubuhnya beraroma darah segar.

"Darah," ujar Nora merasa mual menciumnya. Aromanya begitu amis, tapi bukan itu yang memicu rasa mualnya, itu karena Nora melihat bagaimana cara laki-laki itu memukul lelaki tak berdaya itu. Rasa takut yang berlebihan memicu rasa mualnya.

"Dia bukan manusia," gumam Nora, melepaskan handphonenya seketika saat tangannya bersentuhan dengan tangan laki-laki jenjang itu.

"Aku sud-," Nora terdiam. Langkah kaki laki-laki itu terdengar menjauh. Semakin lama semakin hilang. Nora pun memberanikan membuka matanya. Handphonenya yang terjatuh di tanah sudah dalam mode mati.

"Anda tidak apa-apa?" Nora segera menghampiri laki-laki tak berdaya itu, yang wajahnya sudah tidak dapat dikenali.

"To-to-long sa-ya."

***

"Wiw, wiw, wiw,"

"Kenapa kamu balik lagi?" kedua bola mata Fera membulat besar. Kehadiran Nora sedang tidak diharapkan di ruangan ini mengingat keributan yang ia buat dengan Vivi.

"A-aku. Pokoknya aku langsung pulang setelah tahu keadaan pasien itu!" ujar Nora memantapkan hati untuk tetap diam. Bagaimanapun dia adalah saksi dari kejahatan dari orang asing itu.

"Kalau dokter Grizell lihat bagaimana?" tegur Fera melirik kesana-kemari jangan sampai kepala ruangan mereka melihat Nora. Itu akan membuat dia mengamuk lagi.

"Aku tunggu di luar saja!" Nora keluar dari ruangan. Seperti yang ia katakan tadi, ia menunggu di luar. Memenuhi kursi pengunjung.

Grizell yang sedang dibicarakan, tengah duduk dengan wajah marah. Membaca chat yang baru saja masuk membuat darahnya yang baru saja usai mendidih, mendidih lagi.

("Bantu aku rawat pasien yang baru saja datang. Kamu tidak mau rumah sakit mu ditangguhkan kan?")

Tanpa basa-basi, Grizell langsung menghubungi nomor yang mengiriminya pesan itu.

"Apa maksudmu? Kamu memukuli orang lagi?" teriak Grizell seperti seekor naga yang sedang mengeluarkan api dari mulutnya. Laki-laki jenjang yang sedang berada di dalam mobil itu dengan cepat menjauhkan handphonenya dari telinganya. Tidak ingin gendang telinganya pecah karena itu.

"Aku tidak memukulinya dengan sengaja." balas laki-laki jenjang itu sambil mengawasi Nora yang sedang duduk di depan ruangan. Mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana bisa melihat wajah Nora secara jelas. Perempuan berkacamata yang sedang terlihat khawatir.

"Jadi maksudmu, kamu tidak sengaja?"

"Bisa dibilang begitu."

"Bisa dibilang begitu?"

"Aku sedang sibuk. Tolong rawat dia dengan baik. Kalau sudah sadar kabari aku!" Laki-laki itu mengakhiri panggilannya secara sepihak. Mobil Ferrari Purosangue berwarna merah yang baru beberapa menit terparkir bergerak pergi meninggalkan parkiran.

Sementara itu,

Nora dengan tangan gemetaran masih sempat mencari rekaman yang ada di handphonenya.

"Tidak ada?"

Kedua bola matanya membulat besar. Tangan yang masih gemetar dikuatkan untuk mencari rekaman video itu. Rekaman yang ia pikir bisa untuk menjerat sang pelaku.

"Pasti dia sudah menghapusnya." ucap Nora geram. Mengingat kilas balik kejadian tadi. Dia yang langsung duduk meringkuk saat laki-laki itu berdiri mendekat.

Wajahnya tidak terlihat jelas, yang diingatnya hanya wajah yang diselimuti darah mengalir dan aura yang menekan sekitarnya. Aura seseorang yang ingin membunuh.

"Dia tidak akan mencari ku kan?"

Nora menjadi cemas sendiri. Bisa jadi dia adalah target selanjutnya karena menyaksikan adegan itu. Adegan yang mungkin menjadi kasus pembunuhan jika pasien yang ada di dalam sekarang tidak bisa diselamatkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 85. Menikahlah Denganku Nora

    Naren masih berdiri mematung di tempatnya, hingga suara Nora memecah lamunannya.“Kenapa kamu masih diam di sana?! Ikut aku!” bentaknya, nada marah namun terdengar seperti perhatian yang terselubung.Naren langsung melangkah mengikuti perintah. Ia memberi isyarat halus pada dua bodyguard-nya agar tidak ikut. Mereka hanya mengangguk dan mundur menjauh.Tak jauh dari tempat itu, rumah sederhana milik Nora tampak tenang di antara rumah-rumah kecil lainnya. Naren melangkah masuk setelah dipersilakan atau lebih tepatnya, diseret oleh amarah lembut Nora.“Duduk.” perintah Nora. Naren pun duduk patuh di ruang makan, sementara Nora masuk ke dapur, menyiapkan sesuatu. Tak butuh lama, aroma telur dadar dan teh hangat mengisi ruangan. Nora meletakkan piring di depannya.“Aku tahu kamu pasti belum makan. Makanlah!” bentaknya, sambil menyodorkan sendok.Naren, seperti anak kucing yang dimarahi induknya, hanya diam dan mulai makan dengan patuh

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 84. Untuk Apa Kembali?

    Naren duduk diam di kursi menghadap jendela, sementara Dokter Hadi, pria paruh baya yang bersahaja, berdiri menyandarkan diri pada meja kerjanya. Pandangannya tertuju pada Naren dengan sorot tajam namun hangat."Jadi tujuanmu sebenarnya adalah Nora, kan?" tanyanya tanpa basa-basi.Naren terkejut. Bahunya menegang. Ia menoleh perlahan, tapi tak menjawab. Hanya sorot matanya yang berubah gelap."Kamu tidak perlu kaget," lanjut Dokter Hadi."Saat kamu koma, ayahmu selalu datang ke sini. Hampir setiap bulan. Dia menceritakan semuanya padaku tentang kamu."Naren masih diam. Seolah kata-kata Dokter Hadi menyayat bagian terdalam dari jiwanya."Jadi… kamu masih mencintai istrimu?"Naren Diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Suasana yang menjadi sunyi seketika, seperti menyembunyikan perasaan yang tak pernah bisa ia buang."Ayahmu memintaku menjaga Nora dan anakmu," ujar Dokter Hadi lebih lembut,"Karena dia ya

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 83. Tidak Benar-benar Melupakan

    Suasana klinik sangat ramai. Pasien silih berganti datang. Nora berdiri tenang dengan stetoskop tergantung di lehernya, memeriksa seorang pasien anak-anak dengan telaten."Tidak apa-apa, nanti Tante kasih stiker ya," ucap Nora sambil tersenyum lembut, membuat anak itu berhenti menangis. Namun, di belakang, di ruang istirahat perawat, suara begitu heboh dan bisik-bisik terdengar semakin riuh."Kamu udah lihat belum? Ini lho! Naren Dirgantara! Ganteng banget, parah!""Gila sih, itu cowok kayak keluar dari lukisan!""Katanya dia ahli waris satu-satunya, dan sekarang resmi pegang semua aset Dirgantara Grup!"Nora yang sedang menuliskan catatan medis pasien hanya mendengarkan. Nama Naren berulang kali terdengar di telinganya, menerobos masuk ke dalam pikirannya yang sudah berusaha keras untuk melupakannya."Liat deh wajahnya,""Kok bisa ya ada laki-laki setampan dan sekaya itu hidup di dunia nyata?"Beberapa perawat tertawa cekikik

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 82. Tidak Berharap Lagi

    Waktu berlalu dengan cepatnya. Setelah Noah dinyatakan sembuh total, mereka kembali ke rumah. 2 TAHUN BERLALU, Langit gelap bergemuruh. Hujan turun perlahan sebelum berubah menjadi deras. Payung-payung hitam terbuka di antara orang-orang berpakaian gelap yang berdiri dalam diam dan duka.Noah berdiri tegak sambil menggenggam tangan ibunya erat. Wajahnya kecil, tapi tajam. Sorot matanya menyiratkan kecerdasan dan keberanian yang belum pantas dimiliki anak seusianya.Tiba-tiba petir menyambar dari langit, kilat itu menyinari bola matanya yang berwarna abu-abu keperakan. Mata yang familiar, mata dari seorang Dirgantara.Semua orang menoleh. Seolah dunia diam hanya untuk menatap anak itu.“Kenapa kita harus ke sini, Ibu?” tanya Noah pelan. Nada suaranya dewasa.Nora menunduk dan membelai rambut Noah dengan lembut.“Karena kita keluarga.” jawabnya lirih. Mata Nora tetap mengarah pada liang lahat di kejauhan, tempat tubu

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 81. Noah Yang Baru

    “Stabil! Detak jantungnya kembali!”“Sambungkan ke mesin bantu. Lanjutkan penyesuaian implan!” ucap Dokter yang bertanggung jawab atas operasi Noah. Ruangan itu kembali tenang, tapi mencekam. Nora nyaris jatuh bersimpuh di lantai. Grizell yang melihat hendak mendekat, tapi langsung berhenti saat melihat seorang perawat keluar dan memegang bahu Nora. “Bu, operasinya belum selesai. Tapi kami berhasil mengatasi krisisnya.” beritahunya. Grizell merasa lega. Nora hanya bisa menangis. Tangis yang membuncah karena terlalu lama ia tahan. Ia menunduk, menyentuh lantai rumah sakit dan memejamkan matanya dalam sujud syukur.6 jam sudah berlalu, Nora tak berhenti menatap ruangan. Saat lampu operasi akhirnya padam. Pintu ruang operasi terbuka perlahan. Seorang dokter dengan pakaian bedah masih lengkap keluar dengan senyum lelah tapi tulus. Grizell dan Nora langsung berdiri.“Operasinya berhasil,” ujar sang dokter.Nora membek

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 80. Noah

    Di rumah sakit. Nora duduk diam di sisi ranjang sambil menggenggam tangan Noah yang sedang tertidur lemah. Selang infus terpasang di tangannya. Nafasnya sudah lebih stabil dari sebelumnya, tapi suara alat bantu di samping terus berbunyi, seolah mengingatkan penyakit Noah belum benar-benar pergi.Nora menunduk lesu, memijat pelipisnya yang berdenyut. Matanya sembab, wajahnya pucat. Di depannya, map-map laporan medis dan brosur dari berbagai rumah sakit berserakan. Semua tentang implan jantung anak-anak. Semua dengan satu kesimpulan, mahal, rumit, tidak ada, dan harus segera.Sepuluh hari ia berjuang sendiri. Bertanya kepada teman-teman lamanya, dokter kenalan, yayasan sosial, bahkan mencoba mencari daftar donor. Tapi semua jawabannya sama, waktu yang ia miliki terlalu sempit. Dan itu membuat Nora merasa seperti terperangkap dalam ruang sempit tanpa jalan keluar.Dengan tangan gemetar, Nora menunduk, mencium punggung tangan Noah yang mulai hangat. Air m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status