"Sekarang giliranku!" ujar Adisty dengan suara terengah-engah. Sudah satu jam lebih berlangsung tak membuat mereka berdua puas untuk melakukan ikatan intim itu.
Danu yang tadinya berada di atas memberikan kesempatan pada Adisty untuk menggantikan posisinya. Mencoba hal baru yang belum pernah ia rasakan. Saat Adisty mulia melebarkan pahanya dan memasukkan miliknya tanpa aba-aba. Semuanya masuk dalam satu tekanan yang membuat perutnya terasa hangat dan penuh. "Akhhhh," rintih Adisty, rasa sakit yang membuatnya menggila. Apalagi saat melihat wajah Danu yang terlihat menyukainya. Perasaan Adisty menjadi penuh bahagia. "Sentuh dadaku!" ujar Adisty sambil menggoyangkan pinggulnya. Tangan kekar yang tak berhenti memainkan bulatan miliknya semakin membuat Adisty dimabuk cinta. Kenikmatan yang ia rasakan yang tidak ingin ia akhiri dengan cepat. Klik. Danu dan Adisty terdiam sejenak. Gerakan pinggul yang tadinya semakin cepat tiba-tiba berhenti mendadak. "Maaf." suara yang tak asing, membuat Danu refleks mengambil selimut yang tak jauh di dekatnya. Ia segera menutupi wajahnya sebelum Nora mengetahui bahwa yang berada di bawah sahabatnya adalah dia. Nora segera pergi dari sana. Nora berlari kencang dengan degup jantung tak karuan. Nafasnya tersengal dengan kepala tak mampu berpikir secara jernih. Apa yang ia lihat tadi menodai mata dan pikirannya. Saking gugupnya ia sampai lupa memakai sepatunya dan meninggalkan pintu terbuka begitu saja. "Nora sudah pergi!" beritahu Adisty. "Turun!" Danu kehilangan semangat untuk melanjutkannya. Mendengar suara Nora tadi membuat rasa bersalah mendatangi pikirannya. "Kamu mau berhenti begitu saja?" Adisty sungguh tidak rela. Dia belum mencapai klimaksnya dan sekarang laki-laki itu ingin pergi begitu saja. "Cukup Adisty!" bentak Danu, mendorong Adisty menjauh. Danu langsung turun dari ranjang lebar yang tadi menjadi tempat berbagi kenikmatannya dengan Adisty. Bergegas mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. Dipikirannya hanya ada Nora. Apakah pacar yang sudah ia pacari selama lebih dari sepuluh tahun itu melihatnya atau tidak. "Apa No-," Danu tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Rasa bersalah yang memeluk dirinya dengan kencang membuat wajahnya semakin berkeringat. Tidak mungkin Nora tidak melihat dirinya, pikir Danu. "Dia melihatnya tapi tidak tahu itu kamu." balas Adisty sambil melihat handphonenya. Membaca chat Nora yang baru saja masuk. ("Maaf mengganggu kalian. Aku pikir kamu kesakitan karena itu aku langsung masuk.") Jika Nora tahu laki-laki itu adalah pacarnya, tentu dia tidak akan mengirim pesan seperti itu padanya, pikir Adisty masih menduga-duga. "Maksudmu?" Rahang Danu mengetat dengan tatapan menajam. "Nora mengirimiku pesan." jawab Adisty sambil mengetik. ("Tidak apa-apa. Itu salahku.") balas Adisty, membalas pesan Nora dengan menganggap Nora memang tidak tahu. Dia bertaruh kalau Nora memang tidak tahu. ("Kamu sedang sakit. Sebaiknya jangan dipaksakan.") Nora mengetik dengan wajah malu. Sebenarnya dia tidak ingin ikut campur tapi hati nuraninya tidak membiarkannya. ("Ini obat mujarab. Sakit ku langsung hilang.") balas Adisty tanpa rasa malu. Wajahnya yang tersenyum membuat Danu curiga. "Ingat janjimu. Jangan sampai Nora tahu!" tekan Danu, Rahangnya semakin mengetat dengan tatapan mengancam. "Kamu tidak perlu khawatir. Tapi apa kamu yakin mau sampai sini saja?" Adisty turun dari ranjangnya. Tubuhnya yang berkeringat belum berbalut pakaian melenggok seksi berjalan ke arah Danu yang sedang memakai pakaiannya kembali. Adisty melingkarkan lengannya di leher Danu dan menempelkan badannya ke badan Danu yang belum memakai baju. Gesekan tubuhnya yang menggeliat menggelitik batin Danu yang kembali terangsang. Sama halnya dengan Adisty, Danu pun sebenarnya belum mencapai klimaksnya. "Bagaimana kalau kita lanjutkan? Kita belum sampai puncaknya. Sayang baru setengah. Lagipula Nora juga sudah pergi. Dia tidak tahu aku tidur denganmu." bujuk Adisty, wajahnya ia letakkan di bahu Danu yang kekar. Wangi laki-laki itu masih membuatnya merasa mabuk, dia masih menginginkan laki-laki itu berada di atas tempat tidurnya. Danu terdiam sejenak. Berpikir kembali dengan tawaran Adisty tadi. "Tunggu aku membalas pesan." Danu sama sekali tidak bisa menolak. Hasratnya lebih besar dibandingkan rasa bersalah yang ada di pikirannya. Dia tahu dia sudah membuat kesalahan besar, namun hal itu tidak akan jadi masalah jika Nora tidak tahu. "Ok," jawab Adisty gembira. Dia langsung melepaskan Danu dan menunggu Danu di atas ranjangnya. Senyum di wajahnya sangat lebar. Laki-laki itu kini tidak akan lepas darinya, pikirnya. ("Maaf sayang. Aku sedang lembur di kantor.") ("Aku pikir kamu marah karena aku tiba-tiba membatalkan janji kita lagi.") ("Tidak apa-apa. Kita masih bisa ketemu kapanpun kamu mau.") ("Besok makan siang bareng bisa?") ("Bisa.") ("Ok. Jangan lupa makan. Kalau sudah pulang nanti kabarin.") ("Ok.") Usai mengetik. Nora baru menyadari dirinya masih berada di jalan tanpa alas kaki. Jalanan yang sepi dengan lampu jalan yang remang-remang membuat jalanan itu tampak seram. Seharusnya tadi dia meminta Danu untuk menjemputnya. Tapi pacarnya sedang sibuk, jadi dia tidak mungkin memintanya. "Aku cari toko saja dulu." batinnya. Dengan kaki bertelanjang, Nora berjalan menyusuri jalan. Sedikit sakit karena ada beberapa pasir kasar menusuk kakinya. Syukurnya, tidak terlalu jauh dari perumahan itu, Nora berhasil menemukan toko yang masih buka. Kring, Nora masuk ke dalam. Petugas kasir yang sedang duduk memainkan handphonenya langsung berdiri menyambut kedatangannya. "Cari apa Kak?" "Sandal jepit ada?" "Sandal?" "Ya." "Nggak ada Kak. Kita nggak jual sandal," "Air minum di sebelah mana ya?" tanya Nora. Dia membutuhkan air minum untuk menyegarkan kepalanya yang masih terkejut seperti baru saja terkena sambaran petir. "Di belakang Kak." tunjuk penjaga toko memberikan arahan. Nora berjalan mengikuti arahan. Melihat Nora yang berjalan tanpa alas kaki dengan wajah tak tenang, membuat penjaga toko tersebut merasa curiga. Dipikirnya pencuri, akhirnya penjaga toko memutuskan untuk mengikuti Nora. "Gak pakai sandal kak?" tanya penjaga penuh selidik. "I-ya," jawab Nora kikuk. Jadi teringat adegan itu kembali. Ia tidak menyangka Adisty yang sedang sakit melakukan hubungan seperti itu. "Pacarnya?" pikir Nora dalam hati. Ia tidak bisa melihat wajah laki-laki itu karena bersembunyi di balik selimut. Tapi yang jelas, Adisty berada di atas laki-laki itu dengan tubuh polos penuh keringat. "Sudahlah. Aku harus lupain apa yang aku lihat tadi!" tekan Nora pada dirinya sendiri. Jantungnya jadi berdegup kencang lagi. Kakinya pun masih terasa lemas. Ia baru kali ini merasa sangat malu hingga hampir membuatnya mati ditempat. Menyaksikan adegan dewasa di depan matanya membuat jantungnya hampir berhenti berdetak tadi. "Kak! Kak!" "Ah ya. Aku ambil ini." ujar Nora mengambil minuman. Ia juga membeli roti untuk mengganjal perutnya. Usai membayar, Nora malu-malu meminta izin untuk menunggu di sana. "Maaf Mas. Boleh nunggu di depan kan?" "Ya Boleh." Nora pun duduk di luar sambil menyantap rotinya. Beberapa hari ini dia mungkin tidak akan bertemu dengan Adisty lagi. Itu hal yang harus ia lakukan agar bisa melupakan apa yang ia lihat tadi. "Siapa laki-laki itu? Adisty tidak pernah bercerita kalau dia punya pacar," walau begitu, Nora masih memikirkannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Jalanan di area itu sangat sepi. Nora tidak mungkin lama-lama diam disana. Nora akhirnya memutuskan untuk mengirim chat ke Kakaknya, meminta Kakaknya untuk menjemputnya di toko itu. ("Aku sedang diluar. Minta Ayah saja yang jemput.") ("Sudah malam. Ayah pasti sudah tidur.") ("Kenapa kamu baru pulang jam segini?") ("Tadi banyak pasien.") ("Kamu bisa tunggu 30 menit kan? Kakak masih ada meeting.") ("Ya.") Nora meletakkan handphonenya di atas meja. Dia fokus untuk menghabiskan rotinya yang tersisa sepotong lagi. Kacamata yang beruap karena hembusan nafas yang masih tak karuan mengganggu pengelihatannya. Nora membuka kacamatanya dan mengelapnya dengan kain pembersih kacamata khusus. Samar-samar dengan ekor matanya. Ia melihat gerak-gerik bayangan hitam yang sedang bergerak di sudut jalan jauh dari tempat duduknya. Cepat, Nora kembali memakai kacamatanya. Melihat apa yang terjadi di ujung gang yang ada di jalan itu. "Orang?" batinnya. Rasa takut yang tiba-tiba menyerangnya, membuat bulu kuduknya naik ke atas tapi dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Menajamkan matanya yang tak bisa melihat kejauhan, Nora berhasil melihat adegan aksi seseorang yang sedang memukuli orang lain. Nora berdiri dari tempat duduknya. Ia mengambil tasnya dan berlari ke seberang jalan. Lambaian tangan seperti minta tolong memicu hatinya untuk membantu. Dia seorang petugas kesehatan, dia tidak mungkin mengabaikan orang terluka di depannya. "Sudah! Sudah!" teriak laki-laki itu mengerang kesakitan, dari kepala dan mulutnya keluar darah bercucuran. Kelopak matanya membiru besar hingga tak terlihat bola matanya lagi. Tapi laki-laki jenjang yang ada di depannya tak berhenti memukulnya. Wajahnya mengeras dengan bola mata berwarna merah. Laki-laki itu terlihat ingin membunuh orang yang ada di depannya itu. "Berhenti!" teriak Nora sambil memegangi handphonenya yang tak bisa mengambil gambar dengan benar, karena tangan dan tubuhnya bergetar hebat. Hari ini dia sudah melihat banyak hal yang seharusnya tidak ia lihat. "Saya sedang merekam!" ancam Nora dengan suara bergetar. Langkah kaki yang dipaksakan untuk tetap kuat melangkah perlahan ke arah laki-laki itu yang kini melempar tatapan seperti bilah pedang ke arah Nora. "Tolong saya!" ucap laki-laki yang menjadi korban itu, menatap Nora dengan wajah yang sudah babak belur. Nora melihatnya dan sangat ketakutan. Bagaimana laki-laki itu bisa memukuli orang sampai seperti itu, pikirnya. "Jangan mendekat!" teriak Nora ketakutan langsung duduk meringkuk sambil memejamkan matanya. Suara langkah kaki laki-laki itu terdengar semakin mendekat. Wajah berlumuran darah, dengan tatapan membunuh seperti itu. Siapapun akan takut mendekatinya. Tak.tak.tak. Kakinya berhenti tepat di depan Nora. Nora sadar itu. "Jangan macam-macam. Saya sudah menelpon polisi. Jika saya mati di sini. Polisi akan mencari anda!" ucap Nora masih gemetar. Laki-laki itu diam tidak bicara. Pakaiannya yang bernoda darah, tangannya yang masih tertempel darah, membuat tubuhnya beraroma darah segar. "Darah," ujar Nora merasa mual menciumnya. Aromanya begitu amis, tapi bukan itu yang memicu rasa mualnya, itu karena Nora melihat bagaimana cara laki-laki itu memukul lelaki tak berdaya itu. Rasa takut yang berlebihan memicu rasa mualnya. "Dia bukan manusia," gumam Nora, melepaskan handphonenya seketika saat tangannya bersentuhan dengan tangan laki-laki jenjang itu. "Aku sud-," Nora terdiam. Langkah kaki laki-laki itu terdengar menjauh. Semakin lama semakin hilang. Nora pun memberanikan membuka matanya. Handphonenya yang terjatuh di tanah sudah dalam mode mati. "Anda tidak apa-apa?" Nora segera menghampiri laki-laki tak berdaya itu, yang wajahnya sudah tidak dapat dikenali. "To-to-long sa-ya." *** "Wiw, wiw, wiw," "Kenapa kamu balik lagi?" kedua bola mata Fera membulat besar. Kehadiran Nora sedang tidak diharapkan di ruangan ini mengingat keributan yang ia buat dengan Vivi. "A-aku. Pokoknya aku langsung pulang setelah tahu keadaan pasien itu!" ujar Nora memantapkan hati untuk tetap diam. Bagaimanapun dia adalah saksi dari kejahatan dari orang asing itu. "Kalau dokter Grizell lihat bagaimana?" tegur Fera melirik kesana-kemari jangan sampai kepala ruangan mereka melihat Nora. Itu akan membuat dia mengamuk lagi. "Aku tunggu di luar saja!" Nora keluar dari ruangan. Seperti yang ia katakan tadi, ia menunggu di luar. Memenuhi kursi pengunjung. Grizell yang sedang dibicarakan, tengah duduk dengan wajah marah. Membaca chat yang baru saja masuk membuat darahnya yang baru saja usai mendidih, mendidih lagi. ("Bantu aku rawat pasien yang baru saja datang. Kamu tidak mau rumah sakit mu ditangguhkan kan?") Tanpa basa-basi, Grizell langsung menghubungi nomor yang mengiriminya pesan itu. "Apa maksudmu? Kamu memukuli orang lagi?" teriak Grizell seperti seekor naga yang sedang mengeluarkan api dari mulutnya. Laki-laki jenjang yang sedang berada di dalam mobil itu dengan cepat menjauhkan handphonenya dari telinganya. Tidak ingin gendang telinganya pecah karena itu. "Aku tidak memukulinya dengan sengaja." balas laki-laki jenjang itu sambil mengawasi Nora yang sedang duduk di depan ruangan. Mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana bisa melihat wajah Nora secara jelas. Perempuan berkacamata yang sedang terlihat khawatir. "Jadi maksudmu, kamu tidak sengaja?" "Bisa dibilang begitu." "Bisa dibilang begitu?" "Aku sedang sibuk. Tolong rawat dia dengan baik. Kalau sudah sadar kabari aku!" Laki-laki itu mengakhiri panggilannya secara sepihak. Mobil Ferrari Purosangue berwarna merah yang baru beberapa menit terparkir bergerak pergi meninggalkan parkiran. Sementara itu, Nora dengan tangan gemetaran masih sempat mencari rekaman yang ada di handphonenya. "Tidak ada?" Kedua bola matanya membulat besar. Tangan yang masih gemetar dikuatkan untuk mencari rekaman video itu. Rekaman yang ia pikir bisa untuk menjerat sang pelaku. "Pasti dia sudah menghapusnya." ucap Nora geram. Mengingat kilas balik kejadian tadi. Dia yang langsung duduk meringkuk saat laki-laki itu berdiri mendekat. Wajahnya tidak terlihat jelas, yang diingatnya hanya wajah yang diselimuti darah mengalir dan aura yang menekan sekitarnya. Aura seseorang yang ingin membunuh. "Dia tidak akan mencari ku kan?" Nora menjadi cemas sendiri. Bisa jadi dia adalah target selanjutnya karena menyaksikan adegan itu. Adegan yang mungkin menjadi kasus pembunuhan jika pasien yang ada di dalam sekarang tidak bisa diselamatkan.Ruang kantor lantai eksekutif Star Entertainment dipenuhi dengan bisik-bisik. Beberapa staf tampak saling pandang, tak percaya dengan memo yang baru saja dikirimkan melalui email resmi perusahaan: Adisty resmi diberhentikan dari semua kerja sama dengan perusahaan, efektif mulai hari ini."Ini serius?" bisik salah satu staf."Kenapa tidak ada yang tahu sebelumnya?"Di ruang kerja utama, Andrew melangkah masuk tanpa mengetuk seperti biasa. Di tangannya ada map laporan para talent baru, tapi bukan itu yang memenuhi kepalanya."Jadi benar kamu memecat Adisty?" tanyanya, langsung ke inti.Naren yang duduk di balik meja kerjanya, hanya menjawab dengan satu anggukan kecil. Datar. Tak ada raut penyesalan.Andrew mengerutkan kening, lalu mendekat sambil mencondongkan tubuh ke meja."Jadi...kamu sudah tidur dengan Nora?" bisiknya dengan nada setengah menggoda, mengingat perjanjian konyol yang sudah Nora buat sebelumnya dengannya, imbal
Andrew sedang duduk menunggu di dalam mobil, arah matanya tertuju pada Naren yang berjalan mendekat. Langkahnya tegap dan terukur. Di tangannya ada sebuah kantong plastik kecil yang bertuliskan nama toko yang baru saja ia masuki. "Siapa yang sakit?" tanya Andrew, alisnya berkerut dengan tatapan meneliti. "Bibi pengurus!" balas Naren asal, duduk kembali di tempatnya. Ia memasukkan kantong plastik itu ke dalam laci dashboard di sampingnya, lalu menyalakan kembali mesin mobilnya. "Sejak kapan kamu peduli dengan orang di sekitarmu?" balas Andrew dengan senyum di wajahnya. Seolah itu menjadi kejutan besar yang tidak masuk di akal. Naren diam tak menjawab, hanya mata yang melirik ke arah Andrew dengan tatapan menusuk. "Aku bercanda," balas Andrew, tangannya bergerak ke arah laci dashboard. Melirik Naren yang fokus mengarahkan mobilnya ke arah jalanan. Saat terasa aman, Andrew diam-diam membukanya perlahan. Namun, Naren dengan cepat menutup
Nora tertegun, matanya menatap lekat mata Naren yang dipenuhi hasrat. Wajah Naren yang memerah, napasnya yang memburu hangat, seolah tubuhnya mulai dikuasai sesuatu yang tak lagi bisa dikendalikan olehnya. Saat Naren tiba-tiba bergerak mendekatkan tubuhnya dan Nora secara refleks menahannya. Rahang Naren mengetat kencang. "Jangan Naren!" ucap Nora gemetar dengan mata ketakutan. Kedua tangannya berusaha menahan tubuh Naren yang besar dan kuat. Tubuh Naren yang terasa panas seperti api yang membara. "Walaupun kamu menangis! Aku tidak akan berhenti Nora! Ini pilihanmu karena menikah dengan laki-laki sepertiku!" tekan Naren, ada kemarahan yang tersembunyi di dalam tatapannya. Penolakan Nora, membuatnya tak bisa bersikap lembut sesuai dengan ucapannya tadi. Naren menggenggam erat tangan Nora, membawanya ke atas kepala Nora dan menahannya erat -hanya dengan satu tangannya yang kekar. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalanginya. Nora yang berada
Naren berjalan mengikuti Kakeknya ke ruang kerja. Langkah mereka sejajar dan sangat tenang, menyembunyikan segala niatan yang tersembunyi. Tiba-tiba, seorang pelayan datang menghampiri mereka. Melaporkan apa yang terjadi di kolam. Namun, rasa takut dimarahi membuatnya ragu untuk bicara, "Ada apa?" tanya laki-laki beruban itu. “Ma-af Tuan Besar. I-i-itu terjadi keributan di belakang! Istri Tuan muda jatuh ke kolam!" lapornya. Naren menoleh sesaat, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Kakeknya.“Biarkan saja,” katanya datar. Melanjutkan langkah kakinya. Kakeknya menatap dalam, ada hal yang tersimpan di wajahnya, penasaran.“Kamu tidak mau melihat istrimu?” tanyanya, suaranya tenang dengan maksud yang lainnya. “Dia tahu bagaimana cara mengurus dirinya sendiri. Tanpaku dia harus bisa berdiri dengan kakinya sendiri!" balas Naren dengan senyuman tipis penuh arti. Tapi tak lama, langkah cepat lain
Nora keluar dengan langkah pelan, tumitnya yang gemetar seolah mengukir ketegangan di tiap langkahnya. Di depan sana, Naren sudah berdiri dengan satu tangan di saku celana, postur santai namun tak bisa disangkal, dialah penguasa ruangan itu.Begitu melihatnya, pandangan Naren langsung tertuju padanya, menyapu dari kepala hingga kaki. Tidak kagum, tidak ada pujian, hanya sebatas penilaian yang tak memiliki rating apapun. Matanya seperti bilah tipis yang mengupas niat dan keraguan sekaligus. Ia tidak berkata apa-apa selama beberapa detik yang terasa sangat panjang."Kenapa dia melihatku seperti itu?" batin Nora yang mulai resah. Menutupi belahan dadanya yang terpapar cahaya lampu, dengan sebelah tangannya. Kemudian, suara Naren terdengar. Rendah, berat, tapi tajam seperti perintah.“Bagus,” katanya singkat. Nora menahan diri untuk tidak bereaksi. Ia tahu apa yang ingin coba Naren lakukan padanya. Peringatan bahwa ia sudah begitu berani m
Tatapan Nora tertuju pada kamar Naren. Setelah yakin tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Nora berdiri pelan, berjalan sedikit demi sedikit, sebisa mungkin tidak ada suara langkah yang terdengar di lantai selama ke kamar mandi. Pakaiannya yang masih basah, ia masukkan ke dalam mesin cuci dan kemudian di keringkannya. Berkat bantuan handphone pintar yang dia miliki, ia berhasil menggunakan mesin cuci yang terlihat sangat asing. Tidak lama, hanya dua puluh menitan sampai semuanya beres. Setelah selesai, Nora menjemurnya di sisi pintu. Berharap akan kering dengan cepat. Sekarang dia harus kembali lagi ke tempatnya. Nora melangkah pelan ke arah sofa. Duduk kembali dengan memeluk lututnya yang sedikit basah karena terkena air saat mencuci. Menaruh kepalanya di senderan sofa, mata Nora terus mengarah ke arah kamar Naren. Dia memejamkan matanya pelan kemudian beberapa detik membukanya. Dia sudah terbiasa tidur seperti itu, memejamkan mata sejenak lal
Naren melemparkan selimut tipis dari jok belakang ke arah Nora, tanpa menoleh sedikit pun.“Pakai ini. Jangan sampai tubuhmu yang basah mengotori lantai,” ucapnya dingin, terdengar seperti perintah yang tidak boleh dibantah. Nora menangkap selimutnya, tangannya gemetar dengan bibir yang mulai membiru. Ia menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Naren. Awalnya ia ingin marah, tapi melihat tubuhnya yang basah kuyup membasahi hampir seluruh bagian mobil, Nora tidak jadi bicara. Ia tahu diri untuk tidak memulai menyulut api. Klik. Pintu terbuka dengan Naren yang turun lebih dulu. Laki-laki itu berjalan pergi tanpa membukakan Nora pintu lebih dulu. Membuka pintu mobil, Nora terlihat ragu untuk menyelimuti tubuhnya. Pandangannya jauh mengarah ke arah Naren. Aroma selimut yang sedikit menyengat, menggelitik hidungnya, membuat pipinya memanas. Aroma yang asing dan dingin, seperti pemiliknya. Nora menyusul pelan, mas
Naren berdiri tenang di sisi lift, menatap Danu yang kini berdiri lebih dekat ke arah Nora. Pandangannya datar, tanpa reaksi. Tidak ada amarah yang meledak, tidak pula kecemburuan yang mendesak keluar. Hanya sorot mata kosong yang dingin. "Ayo bicara!" ucap Danu, tegas namun penuh tekanan.Nora melirik Naren cepat. Tapi Naren tidak mengatakan apa-apa. Tidak bergerak. Tidak menghalangi. Ia hanya memandang lurus ke depan, seolah percakapan itu tak penting untuk didengar."Untuk apa bicara lagi?" balas Nora, suaranya tenang tapi terdesak cemas. Ekor matanya tak berhenti menangkap bayangan Naren yang berdiri tak jauh darinya."Jangan di sini Nora. Aku tidak ingin ada orang asing ikut campur masalah kita!" seru Danu melirik Naren, yang tersenyum dengan dingin. Nora melihatnya dan sulit mengartikan maksud senyuman itu. Pikirannya kalut seperti benang kusut. Terjebak pilihan yang sulit untuk diputuskan dan waktu terus mendesaknya. Haruskah ia
Adisty mengamuk. Ia membuang semua barangnya yang ada di atas meja. Ingatan saat Nora berhasil mengalahkannya membuat kemarahannya meledak.Pena, kertas, dan gelas kaca berhamburan ke lantai, sebagian pecah menjadi serpihan tajam. Nafasnya memburu, matanya basah bukan oleh air mata, tapi oleh amarah yang nyaris membutakannya. Tangannya terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih."Kenapa selalu dia?" teriaknya memecah keheningan, menggema di setiap sudut ruangan. Kecemburuannya membakar sampai ke tulang-tulangnya. Ia berjalan kesana-kemari, mondar-mandir sembari merenggut rambutnya yang acak. “Kamu tidak akan pernah bisa mengalahkan aku Nora! Tidak akan pernah! Ini belum selesai!" gumamnya penuh tekad. Matanya menyala karena amarah—ada dendam yang mulai tumbuh, menyala perlahan, dan semakin membesar dalam dirinya. ***Di rumah sakit. Grizell sedang berjalan di koridor rumah sakit. Matanya fokus menatap layar handpho