Mobil Ferrari Purosangue berwarna merah melesat cepat di jalanan melewati setiap pelintas. Tak satupun dari mereka bisa menghentikan mobil merah itu melintas. Bergerak ke kanan kiri, menguasai jalanan.
Mobil merah itu masuk ke dalam area gedung tinggi dekat perumahan HK yang sangat terkenal. Terparkir rapi di tempat yang aman. Klik. Mobil terbuka. Laki-laki jenjang keluar dengan penampilan yang menyeramkan. Darah yang menempel di seluruh pakaiannya masih terlihat segar. Begitu juga dengan darah yang menempel di wajah dan tangannya. Tatapannya dingin, wajahnya datar, Rahangnya mengetat keras. Tanpa perasaan takut ada orang yang melihatnya. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam gedung dengan cuek. Masuk ke dalam lift yang bergerak mengantarnya sampai ke lantai atas. Melintasi apartemen Adisty yang berada di sebelah kiri lift, laki-laki itu diam berhenti di tempat. Matanya mengarah pada pintu yang terbuka lebar, memperlihatkan area dalam rumah itu. Tanpa seizin pemilik rumah, laki-laki itu masuk ke dalam begitu saja. Matanya tertuju pada sepatu laki-laki yang tersusun rapi di sebelah rak sepatu. Tak ada yang tahu apa yang di pikirkan laki-laki itu. Dia masuk ke dalam tanpa melepaskan sepatunya. Matanya yang tajam seperti bilah pedang mengawasi area sekitar. Masuk semakin dalam ke dalam rumah itu. "Akhh," suara rintihan erotis terdengar sampai ke telinganya, membuat langkah kakinya terhenti. Tak banyak berpikir, laki-laki itu berbalik pergi. "Lebih banyak lagi!" suara Adisty masih terdengar sampai luar. Ekspresi laki-laki itu datar saja. Dia tahu apa yang sedang dilakukan perempuan itu sekarang, tapi dia tak terlalu peduli akan hal itu. Laki-laki itu keluar dengan menutup kembali pintunya. Dia memasuki apartemen yang berada di paling ujung kiri gedung. Nomor 56, berjarak tiga apartemen dari apartemen milik Adisty. Naren Dirgantara. Usia 29 tahun. Tinggi 187 cm. CEO star entertainment dan merupakan cucu kedua dari Dirgantara. Pengusaha terkenal yang dijuluki naga emas karena menguasai semua bidang bisnis yang ada. Naren melepaskan pakaiannya. Otot-otot kekar yang tersembunyi di balik pakaiannya terlihat dengan jelas. Garis indah dan tegas yang membentuk setiap tubuh terlihat seperti roti sobek. Keringat yang masih menempel dan sedikit berbau, terlihat seksi dan menggairahkan. Dia memang terlahir sempurna. Tak ada celah sedikitpun. Wajahnya pun seperti porselen cantik yang tidak bosan untuk dipandang. Hidung mancung, dagu tegas, bulu mata lentik, kulit mulus. Namun sayangnya dia selalu terlihat dingin. Naren berdiri di bawah shower. Membiarkan air membasahi tubuhnya. Air yang jatuh merosot di setiap garis tubuh dan turun ke bawah. Darah yang menempel di wajahnya pun ikut terbawa arus. Merubah warna lantai yang putih menjadi merah. Naren menyeka rambutnya dengan kedua tangannya. Menatap kaca yang ada di depannya. Memantulkan wajahnya yang putih kembali tanpa noda darah yang menempel. Luka yang tersembunyi di area pelipis masih mengeluarkan darah. Ia biarkan begitu saja sampai darahnya berhenti dengan sendirinya. Naren keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk yang menutupi seluruh badannya. Ia merogoh benda kecil hitam yang ada di celananya dan kemudian duduk di depan meja kerjanya. Memeriksa isi benda kecil yang menyimpan banyak rahasia. Memasukkannya dalam laptop putih miliknya. Banyak tangkapan foto yang memperlihatkan Adisty bersama laki-laki. Naren juga tahu itu. Tapi hal ini tak boleh tersebar luas. Setelah menghapus semua isi dari benda hitam kecil itu. Naren juga mematahkannya dan membuangnya ke tong sampah di dekat meja kerjanya. "Perempuan itu?" gumam Naren teringat wajah Nora. Nora yang langsung meringkuk ketakutan saat melihatnya. Naren yakin Nora tidak akan melaporkannya karena dia sudah menghapus bukti yang membuatnya terancam. Jikapun Nora akan melaporkannya, dia bisa mengelak karena Nora tidak memiliki bukti yang kuat dan laki-laki yang ia pukuli, pastinya tidak akan melapor karena dia memegangi kelemahannya. Selain benda hitam kecil itu, Naren juga mengambil handphone milik laki-laki itu. *** Nora sedang membasahi tubuhnya di bawah shower. Ia menatap kedua tangannya dan tiba-tiba merasa mual. "Uwek. Uwek." "Nora kamu nggak apa-apa?" tanya Nadin , khawatir. Saat menjemput adiknya tadi, Nora terlihat ketakutan dan gemetaran. Ditanya kenapa tapi Nora sama sekali tak menjawab. "Nggak apa-apa Kak." balas Nora dari dalam. Ia bekerja di bidang kesehatan, melihat darah adalah hal biasa baginya. Tapi entah kenapa, ia merasa mual setiap kali teringat kejadian tadi. Wajah laki-laki yang hampir seluruh wajahnya tertutupi darah. "Aku harus minum obat," ucapnya. Norapun bergegas membersihkan badannya Sebelum suhu ruangan semakin menjadi lebih dingin. Setelah selesai mandi, Nora meneguk obatnya dan langsung tidur. Suara langkah kaki samar-samar terdengar di telinga Nora. Datang mendekat dengan langkah kaki yang semakin jelas. Nora tahu ada orang yang datang tapi ia tidak berani membuka matanya. Sampai ia merasakan tangan kekar mencoba mencekik lehernya. Nora membuka matanya lebar. Wajah penuh darah menatap dirinya dengan tatapan tajam seperti ingin membunuhnya. "Berikan handphonemu!" ucap sosok itu. Tangannya semakin kuat mencekik leher Nora. "Ja-Jangan!" hentikan Nora dengan sisa tenaganya. Ia berusaha menyingkirkan tangan sosok itu dengan kedua tangannya tapi sosok itu semakin menjadi-jadi. Matanya berubah merah dengan senyuman bibir melebar seperti joker. Dia terlihat seperti setan pembunuh. "Kamu harus mati!" ucapnya menekan leher Nora. "Jangan!!" teriak Nora bangun dari mimpi. Kedua bola matanya terbuka lebar dengan nafas tersengal. Degup jantung yang berdebar kencang meningkatkan butir air yang muncul di seluruh wajahnya. Mimpi buruk yang membuat seluruh tubuhnya gemetar. Drttt, getar handphone di samping tempat tidurnya kembali membuatnya kaget. Nora melihatnya dan segera meraihnya dengan tangan masih gemetar. "Hallo?" sapa Nora lebih dulu. Mencari benda bulat yang selalu membantunya melihat dunia. "Hallo Nora. Ini Ibu. Kamu tahu Danu dimana?" "Ibu?" Nora memakai kacamatanya dan memastikan bahwa yang sedang bicara saat ini adalah Ibu dari pacarnya. "Ya. Ini Ibu. Kamu tahu Danu ada dimana?" "Kenapa dengan Mas Danu Bu?" "Danu nggak pulang semalaman. Ibu sudah coba hubungi tapi nggak dijawab." Suara khawatir yang terdengar membuat Nora ikut terbawa. Danu tidak pernah sekalipun membuat Ibunya khawatir, kalau tidak sesuatu yang buruk pastinya terjadi. "Coba Nora telpon sekarang. Ibu jangan khawatir ya!" ucap Nora mencoba menenangkan, di saat ia sendiripun tidak bisa berpikir dengan tenang. "Semoga tidak terjadi apa-apa," batin Nora. Danu yang sedang dicari keberadaannya masih tertidur lelap di atas tempat tidur Adisty. Wajahnya yang tenang dan lembut membuat Adisty tak bosan memandangi wajahnya. "Kupikir setelah mendapatkannya, rasa penasaranku menghilang. Ternyata tidak," gumam Adisty mendekatkan wajahnya ke wajah Danu. Hembusan nafas hangat Danu menggelitik batin Adisty. Dia tidak bisa melepaskan laki-laki itu. Walau nyatanya laki-laki itu adalah pacar sahabatnya sendiri. "Nora sudah memiliki segalanya. Aku rasa tidak apa-apa," gumamnya lagi. Tatapan sendu, menyembunyikan segala hal rumit yang tersimpan di dalam hatinya. Adisty diam-diam kembali menempelkan bibirnya ke bibir Danu. Danu yang tersadar sontak langsung mendorong Adisty menjauh darinya. Danu terbangun sambil menatap mata Adisty dengan tatapan jijik. Ia menggosok bibirnya keras seperti menghilangkan jejak antara ia dan Adisty. Melihat reaksi Danu seperti itu, senyum wajah Adisty menjadi miring. "Kamu tidak suka aku mencium mu?" "Aku harus pulang!" Danu mengalihkan, ia melepaskan selimut yang menutupi tubuhnya. Tapi Adisty tak membiarkannya. Tubuh tanpa balutan kain itu menempel di punggung Danu. Adisty mengaitkan kedua tangannya erat di leher Danu. Tidak seperti tadi malam, kini Danu sudah tak memiliki keinginan yang menggebu lagi. Dia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan, rayuan itu tidak mempan lagi. "Ini hari Minggu. Apa kamu lupa?" bisik Adisty di telinga Danu. "Lepaskan aku. Aku harus pulang." Danu berusaha melepaskan kaitan tangan Adisty darinya. "Jahat sekali. Setelah memakai ku kau mau membuang ku begitu saja." ledek Adisty. "Membuang mu?" Danu berdiri tegap hingga membuat Adisty terhempas di atas tempat tidurnya. Tubuh Adisty yang terlihat masih begitu cantik membuat mata Danu berpaling dengan cepat. Ia tidak ingin melihatnya, jejak tanda yang ia berikan di setiap tubuh Adisty masih terlihat begitu jelas, mengingatkan hal yang sudah ia lakukan. "Kamu yang menginginkannya bukan aku." balas Danu, tangannya bergerak mengambil selimut untuk menutupi tubuh Adisty. "Benarkah? Bagaimana kalau kita tonton ulang?" "Tonton? Kamu merekamnya?" Rahang Danu mengetat. "Menurutmu?" balas Adisty bercanda. Rekaman yang ia maksud itu hanyalah kebohongan yang sengaja ia buat agar Danu mematuhi keinginannya. "Jangan macam-macam denganku!" Danu menerjang Adisty, menjatuhkan tubuh Adisty ke tempat tidur dengan mencengkram leher Adisty. Danu yang lembut dan baik hati, yang membuatnya ingin memilikinya. Bukanlah laki-laki di depannya ini. Adisty sangat kaget Danu melakukan itu padanya. Bola matanya yang bulat cantik menatap mata Danu dalam. Tatapan hangat saling memiliki yang ia lihat tadi malam sudah berubah menjadi kilatan amarah. Tidak lama, Danu sadar dengan apa yang diperbuatnya. Tangannya melonggar. "Maaf," ucap Danu menyingkirkan tangannya dari Adisty. Dia sudah sangat berlebihan menanggapi perempuan yang sudah tidur dengannya itu. "Aku hanya bercanda. Nora tidak akan pernah tahu akan hal ini," jawab Adisty lirih. Senyum simpul yang terlihat di wajahnya tidak ia buat-buat seperti biasanya. "Aku pergi!" Pamit Danu, usai memakai pakaiannya. Keluar dari apartemen Adisty, Danu tak sengaja berpapasan dengan sosok laki-laki yang lebih tinggi darinya, di koridor. Wajah asing yang tak Danu kenal, membuat ia tak perlu untuk saling menyapa.Tapi tidak untuk laki-laki tinggi itu. Setelah Danu melewatinya, dia diam sejenak memandangi punggung Danu dan kemudian lanjut berjalan lagi. Danu membuka handphonenya, melihat banyaknya panggilan dari Nora dan beberapa chat yang masuk. ("Sayang kamu sudah pulang?") ("Kamu sudah makan belum?") ("Aku nggak bisa tidur. Bisa kita bicara?") Di akhir chatnya Nora mengirim emoticon menangis. ("Sayang kamu dimana? Kamu baik-baik aja kan?") ("Tolong jawab chatku.") ("Sayang?") Emoticon sedih memenuhi room chat mereka berdua. ("Maaf sayang. Aku baru melihat chatmu.") ("Kamu dimana? Ibu mencarimu.") Danu tersentak. Ia baru ingat ia lupa mengabari Ibunya. Ibunya pasti sangat cemas ia tidak pulang semalaman. ("Aku masih di kantor. Ini mau jalan pulang.") ("Syukurlah. Aku takut sekali kamu kenapa-kenapa.") lagi-lagi Nora mengirim emoticon sedih. ("Aku nggak kenapa-kenapa. Nanti aku hubungi lagi ya. Aku sudah mau pulang.") ("Ya. Hati-hati di jalan.") ("Ya.") akhiri Danu. Danu masuk ke dalam mobil putih yang sudah seharian terparkir di bawah gedung mewah itu. Keluar dari halaman basement dan melesat pergi dari sana. Sesampainya di rumah, Danu tersentak kaget melihat Nora yang sedang duduk bersama Ibunya. "Kapan kamu datang?" tanya Danu. Kesalahan yang ia lakukan tadi malam membuatnya gugup saat melihat Nora. "Sejak tadi. Aku datang karena Ibu bilang kamu nggak pulang-pulang!" beritahu Nora. Matanya langsung tertuju pada Danu, memastikan bahwa pacarnya itu baik-baik saja. Lengkap dan sehat tanpa kekurangan apapun. Namun ada hal yang mengganggu matanya. Dasi warna biru garis-garis yang terpasang di kerah leher baju Danu mengingatkan Nora akan dasi yang sama, yang tergeletak di bawah lantai kamar Adisty. Kemeja biru polos itu juga kemeja yang sama yang ia lihat malam itu. "Apa yang aku pikirkan?" keluh Nora dalam hati, menyingkirkan pikiran yang seharusnya tidak ia pikirkan. Tuduhan jahat untuk sang pacar yang seharusnya tidak boleh ia lakukan. Pacarnya sudah ada di depan matanya dan dalam keadaan sehat. Ia harusnya bersyukur untuk itu. "Kamu benar tidak apa-apa?" tanya Nora mendekat. Memutar tubuh Danu untuk memastikannya dengan sendiri. Tapi lagi-lagi pikirannya menjadi kacau saat aroma tubuh Danu tercium seperti aroma perempuan. "Nora!" panggil Danu menyadarkan. "Kamu masih memikirkan mimpimu?" tanya Danu lembut. Menepuk pelan kepala Nora. Agar Nora terlihat tenang kembali. "I-ya," jawab Nora, ia tidak mungkin mengatakan bahwa yang membuatnya tidak tenang adalah pikiran yang tak memiliki dasar yang benar. Danu bukanlah laki-laki seperti itu. Untuk apa ia sampai berpikir seperti itu? batinnya. "Aku mandi dulu sebentar! Setelah itu kita pergi makan bersama!" ucap Danu dengan senyuman lebarnya. "Ya." jawab Nora. Perhatiannya kembali teralihkan ke arah sepatu yang tersusun di samping rak sepatu. Sepatu yang juga pernah ia lihat di rak sepatu rumah Adisty kemarin. "Nggak. Pasti banyak yang memiliki sepatu dan baju yang sama dengan Danu." Nora menolak apa yang ada di kepalannya. Lebih mengikuti apa yang ada di dalam hatinya. Nora duduk kembali di tempatnya, menunggu Danu yang masih membersihkan dirinya. Lama berdiam diri dengan keributan yang ada di kepala dan hatinya. Nora tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. "Ibu. Nora pamit pulang!" "Nggak tunggu Danu dulu?" "Nora tiba-tiba dapat telpon dari rumah sakit." "Hari minggu juga kerja?" "Ya Ibu." jawab Nora berusaha untuk tersenyum. Dia menyalami tangan Ibu Danu dan kemudian pergi dari rumah itu. "Tidak Nor. Sepatu seperti itu pasti banyak orang yang punya. Dasi, kemeja, yah. Tidak hanya Danu yang memiliki pakaian seperti itu. Orang lain pasti punya juga." batinnya lagi. "Nora!" panggil Danu, menghentikan langkah Nora. Danu berlari mengejar Nora yang berjalan sendirian setelah diberitahu Ibunya bahwa Nora tiba-tiba pergi. "Kamu marah?" Danu menarik tangan Nora. "Apa gara-gara aku tidak balas pesanmu? Maafkan aku. Aku benar-benar sibuk sampai gak sempat membalas pesanmu." ucap Danu, tatapan Danu yang lembut dan merasa bersalah tergambar jelas di wajahnya. Nora hanya diam. Air mata yang coba ia tahan menerobos pertahanannya. Nora menangis seperti anak kecil di depan Danu. "Kenapa kamu menangis? Jangan menangis!" ucap Danu menenangkan. Ia memeluk Nora erat sambil membelai rambutnya. "Kalau kamu marah. Pukul saja aku. Jangan menangis seperti ini. Aku merasa sakit!" ujar Danu. Tatapannya sedih ketika ia mengingat dirinya yang sudah mengkhianati pacarnya. Nora yang begitu baik, perhatian, dan sangat peduli padanya. "Maafkan aku Nora. Maaf!" ucapnya sungguh-sungguh. "Yah. Danu ku tidak mungkin mengkhianati ku." Nora runtuh dalam pelukan hangat Danu. Sudah sepuluh tahun lebih ia berpacaran dengan Danu. Dia tahu Danu seperti apa. Selama ini Danu selalu mengabaikan perempuan yang mencoba mendekatinya. Danu juga tidak pernah meminta hal yang berlebihan darinya. Danu lah yang paling mengerti dan mau menerimanya. "Apa kamu tidak bosan denganku?" "Kamu bicara apa?" tegur Danu, melonggarkan pelukannya. Kedua tangannya memegangi bahu Nora, melihat wajah Nora yang basah. "Bagaimana kalau kita menikah saja?" "Menikah?" tanya Nora termenung. "Ya. Kita sudah lama berpacaran. Hubungan ini tidak mungkin terus-menerus seperti ini. Maukah kamu menikah denganku Nora Azkya Heera?" ucap Danu lembut. Ia menunggu jawaban Nora yang tampak kaget dengan lamaran secara spontan itu. "Tentu saja." jawab Nora tersenyum lebar. Menempelkan wajahnya di dada Danu yang lebar. Mungkin dengan menikah, Danu bisa memiliki Nora sepenuhnya dan membuang batasan diantara mereka. Entah kenapa setelah ia melakukan dengan Adisty, ia mendambakan melakukannya dengan Nora, orang yang ia cintai. Danu sangat penasaran bagaimana rasanya jika itu dengan Nora. "Kapan Ayahmu tidak sibuk?" "Mau ngapain?" "Tentu untuk meminta izinnya." "Ayah selalu ada dirumah." "Mau dibicarakan hari ini saja?" "Besok saja. Sekarang aku lapar." "Baik tuan putri." Danu mengaitkan jari-jarinya ke sela-sela jari Nora. Mereka berdua kembali ke rumah. Berjalan berdua sambil membicarakan hal-hal yang bisa dibicarakan. *** Naren masuk ke dalam mobil merahnya. ("Korbanmu sudah sadar.") pesan masuk dari Kakaknya. Tanpa membalas lebih dulu, Naren langsung melesat pergi dari sana. Sampai dirumah sakit. Naren tak sengaja melihat Nora bersama dengan Danu yang sedang berbicara. Senyum di wajah mereka terlihat bahagia. Tapi Naren tidak peduli akan hal itu. "Kamu di mana?" Naren keluar sambil menempelkan handphonenya di telinga. "Tentu saja diruangan ku." "Aku kesana." "Papa juga sedang denganku." langkah kaki Naren terhenti tiba-tiba. "Hati-hati!" ucap Nora melambaikan tangannya. "Ya," balas Danu tersenyum lebar, matanya melihat ke arah Naren yang berjalan melintas di belakang Nora. "Bisa usir dia untukku?" "Kamu bicara apa? Jangan kurang ajar!" "Aku tidak mau melihatnya." "Terserah kamu." akhiri Grizell, mengakhiri panggilan secara sepihak. Nora membalikkan badannya dan berjalan tepat di belakang Naren. "Cie yang dia antar pacar," ledek Fera. "Hmm," balas Nora tersenyum. Berada di depan Nora, membuat Naren yang memiliki pendengaran normal, mau tidak mau mendengar percakapan dua gadis itu. "Ada apa ini? Kenapa wajahmu ceria sekali?" "Tidak ada," "Yang benar?" Fera penuh selidik. "Sebenarnya tadi Danu melamar ku!" beritahu Nora. "Dasar cewek bodoh," umpat Naren. "Aku nggak salah dengar?" gumam Nora memandangi Naren yang sudah jauh berjalan darinya. "Bapak itu bilang aku bodoh?" gumam Nora menyipitkan matanya dalam. Tidak terima. Menatap laki-laki itu, Nora tiba-tiba saja teringat sesuatu. "Tidak mungkin," "Nora!" Fera memanggil Nora yang tiba-tiba berlari. Nora berlari karena teringat sosok laki-laki pembunuh malam itu. Nora sangat yakin hanya dengan melihat punggungnya saja, laki-laki di depannya itu adalah dia. "Tunggu!" panggil Nora.Naren baru saja tiba di kantor ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar, dan seperti biasa, ia mengabaikannya. Tapi notifikasi pesan masuk membuat jemarinya berhenti di atas layar. Naren membacanya,("Maaf. Nomor anda di daftarkan sebagai nomor darurat. Saya ingin memberitahukan, Nona Alina Brechtje mengalami kecelakaan tunggal. Saat ini sudah dilarikan ke Rumah Sakit Harapan.")Tanpa pikir panjang, Naren berbalik, keluar dari ruangannya, dan melajukan mobil secepat mungkin ke rumah sakit. Jalanan terasa lebih panjang dari biasanya, dan pikirannya penuh oleh bayangan-bayangan masa lalu yang berusaha ia singkirkan selama bertahun-tahun.Sesampainya di rumah sakit, langkah Naren langsung terhenti ketika melihat Grizell, baru saja keluar dari ruang perawatan.“Wajahmu panik sekali,” ujar Grizell dengan senyum menggoda. “Sepertinya kamu sudah jatuh cinta pada istrimu.”Namun senyum itu lenyap seketika saat mendengar jawa
Seorang anak laki-laki kecil dengan mata abu-abu bersembunyi di balik lemari pakaian. Tubuhnya meringkuk, gemetar. Sesekali ia menahan isak yang nyaris pecah, memeluk lututnya sambil memejamkan mata.“Naren! Jangan main-main! Keluar!” suara keras terdengar dari luar kamar. Nada ancaman menyelinap di antara nada panggilan.Anak itu mulai menangis. Tanpa suara, hanya air mata yang mengalir bersama bisikan lirih di dalam hati kecilnya."Ibu... Ibu..." Meski tahu sang ibu tak akan datang, nama itu memberinya kekuatan. Nama yang menjadi tameng terakhir dari rasa takut yang memburu.Tiba-tiba, pintu lemari terbuka. Mata anak itu membelalak, tubuhnya membeku. Namun, yang muncul bukan sosok menakutkan—melainkan seorang anak gadis, sekitar lima tahun lebih tua darinya. Senyumnya lembut, tangannya terulur pelan.“Tidak apa-apa, Naren. Kakak ada di sini,” ucap anak gadis itu pelan, menariknya keluar dari lemari.Belum sempat Naren bernapas lega,
“Bukannya dia pacarmu?” tanya Herlina pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh kebisingan restoran. Tatapannya mengarah pada Andrew yang masih memandangi punggung Nora yang menjauh bersama Naren.Andrew mengedipkan mata, menoleh pelan ke arah wanita paruh baya itu. “Bukan,” jawabnya ringan namun cukup menusuk. “Dia istri Naren.”Seperti embun beku yang tiba-tiba menempel di dahi, wajah Herlina mengeras. Bola matanya membulat perlahan, memandangi Andrew seolah kalimat itu baru saja membenturkan pikirannya pada tembok tak kasat mata.“Istri?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya."Ya." Andrew mengangguk pelan. "Kapan dia menikah?" "Entahlah," balas Andrew, melirik ke arah Nadin yang sedang memberikan tatapan tajam padanya. "Sebaiknya kita pergi dari sini!" ucap Andrew, berdiri dari tempat duduknya. Buru-buru pergi sebelum ia menjadi sasaran Nadin. Melihat Andrew yang pergi, Nadin hanya menghela nafas panjang. Tatapannya bera
Ruangan Kepala rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara detik jam dan derit samar dari kursi yang diduduki Nora. Ia menunduk, menggenggam ujung roknya erat, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang terus menyerangnya. Di hadapannya, duduk sosok Pak Kepala—ayah Naren dengan sorot mata tajam tapi jenaka, sementara Grizell duduk di sebelahnya, tampak tidak tertarik dengan perbincangan yang terjadi.Pak Kepala terkekeh kecil, menyandarkan tubuh ke kursi. “Hahaha. Kenapa tidak mengundang Ayah di acara pernikahan kalian?” tanyanya penuh selidik, namun masih dibalut nada santai.Nora terdiam sejenak dan Grizell tertarik dengan hal lain, ia mengangkat alisnya sedikit, memperhatikan sesuatu yang lain—sebuah bayangan samar kemerahan di bawah rahang Nora. "Jadi bukan Alina.” gumam Grizell dalam hati. “Ka-kami memang tidak mengadakan acara pernikahan,” jawab Nora akhirnya, terbata. Wajahnya menegang. Ia tahu ia tak bisa jujur. Pernikahan itu bukan sesuatu yan
Ruang kantor lantai eksekutif Star Entertainment dipenuhi dengan bisik-bisik. Beberapa staf tampak saling pandang, tak percaya dengan memo yang baru saja dikirimkan melalui email resmi perusahaan: Adisty resmi diberhentikan dari semua kerja sama dengan perusahaan, efektif mulai hari ini."Ini serius?" bisik salah satu staf."Kenapa tidak ada yang tahu sebelumnya?"Di ruang kerja utama, Andrew melangkah masuk tanpa mengetuk seperti biasa. Di tangannya ada map laporan para talent baru, tapi bukan itu yang memenuhi kepalanya."Jadi benar kamu memecat Adisty?" tanyanya, langsung ke inti.Naren yang duduk di balik meja kerjanya, hanya menjawab dengan satu anggukan kecil. Datar. Tak ada raut penyesalan.Andrew mengerutkan kening, lalu mendekat sambil mencondongkan tubuh ke meja."Jadi...kamu sudah tidur dengan Nora?" bisiknya dengan nada setengah menggoda, mengingat perjanjian konyol yang sudah Nora buat sebelumnya dengannya, imbal
Andrew sedang duduk menunggu di dalam mobil, arah matanya tertuju pada Naren yang berjalan mendekat. Langkahnya tegap dan terukur. Di tangannya ada sebuah kantong plastik kecil yang bertuliskan nama toko yang baru saja ia masuki. "Siapa yang sakit?" tanya Andrew, alisnya berkerut dengan tatapan meneliti. "Bibi pengurus!" balas Naren asal, duduk kembali di tempatnya. Ia memasukkan kantong plastik itu ke dalam laci dashboard di sampingnya, lalu menyalakan kembali mesin mobilnya. "Sejak kapan kamu peduli dengan orang di sekitarmu?" balas Andrew dengan senyum di wajahnya. Seolah itu menjadi kejutan besar yang tidak masuk di akal. Naren diam tak menjawab, hanya mata yang melirik ke arah Andrew dengan tatapan menusuk. "Aku bercanda," balas Andrew, tangannya bergerak ke arah laci dashboard. Melirik Naren yang fokus mengarahkan mobilnya ke arah jalanan. Saat terasa aman, Andrew diam-diam membukanya perlahan. Namun, Naren dengan cepat menutup
Nora tertegun, matanya menatap lekat mata Naren yang dipenuhi hasrat. Wajah Naren yang memerah, napasnya yang memburu hangat, seolah tubuhnya mulai dikuasai sesuatu yang tak lagi bisa dikendalikan olehnya. Saat Naren tiba-tiba bergerak mendekatkan tubuhnya dan Nora secara refleks menahannya. Rahang Naren mengetat kencang. "Jangan Naren!" ucap Nora gemetar dengan mata ketakutan. Kedua tangannya berusaha menahan tubuh Naren yang besar dan kuat. Tubuh Naren yang terasa panas seperti api yang membara. "Walaupun kamu menangis! Aku tidak akan berhenti Nora! Ini pilihanmu karena menikah dengan laki-laki sepertiku!" tekan Naren, ada kemarahan yang tersembunyi di dalam tatapannya. Penolakan Nora, membuatnya tak bisa bersikap lembut sesuai dengan ucapannya tadi. Naren menggenggam erat tangan Nora, membawanya ke atas kepala Nora dan menahannya erat -hanya dengan satu tangannya yang kekar. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalanginya. Nora yang berada
Naren berjalan mengikuti Kakeknya ke ruang kerja. Langkah mereka sejajar dan sangat tenang, menyembunyikan segala niatan yang tersembunyi. Tiba-tiba, seorang pelayan datang menghampiri mereka. Melaporkan apa yang terjadi di kolam. Namun, rasa takut dimarahi membuatnya ragu untuk bicara, "Ada apa?" tanya laki-laki beruban itu. “Ma-af Tuan Besar. I-i-itu terjadi keributan di belakang! Istri Tuan muda jatuh ke kolam!" lapornya. Naren menoleh sesaat, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Kakeknya.“Biarkan saja,” katanya datar. Melanjutkan langkah kakinya. Kakeknya menatap dalam, ada hal yang tersimpan di wajahnya, penasaran.“Kamu tidak mau melihat istrimu?” tanyanya, suaranya tenang dengan maksud yang lainnya. “Dia tahu bagaimana cara mengurus dirinya sendiri. Tanpaku dia harus bisa berdiri dengan kakinya sendiri!" balas Naren dengan senyuman tipis penuh arti. Tapi tak lama, langkah cepat lain
Nora keluar dengan langkah pelan, tumitnya yang gemetar seolah mengukir ketegangan di tiap langkahnya. Di depan sana, Naren sudah berdiri dengan satu tangan di saku celana, postur santai namun tak bisa disangkal, dialah penguasa ruangan itu.Begitu melihatnya, pandangan Naren langsung tertuju padanya, menyapu dari kepala hingga kaki. Tidak kagum, tidak ada pujian, hanya sebatas penilaian yang tak memiliki rating apapun. Matanya seperti bilah tipis yang mengupas niat dan keraguan sekaligus. Ia tidak berkata apa-apa selama beberapa detik yang terasa sangat panjang."Kenapa dia melihatku seperti itu?" batin Nora yang mulai resah. Menutupi belahan dadanya yang terpapar cahaya lampu, dengan sebelah tangannya. Kemudian, suara Naren terdengar. Rendah, berat, tapi tajam seperti perintah.“Bagus,” katanya singkat. Nora menahan diri untuk tidak bereaksi. Ia tahu apa yang ingin coba Naren lakukan padanya. Peringatan bahwa ia sudah begitu berani m