Naren baru saja tiba di kantor ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar, dan seperti biasa, ia mengabaikannya. Tapi notifikasi pesan masuk membuat jemarinya berhenti di atas layar. Naren membacanya,
("Maaf. Nomor anda di daftarkan sebagai nomor darurat. Saya ingin memberitahukan, Nona Alina Brechtje mengalami kecelakaan tunggal. Saat ini sudah dilarikan ke Rumah Sakit Harapan.")Tanpa pikir panjang, Naren berbalik, keluar dari ruangannya, dan melajukan mobil secepat mungkin ke rumah sakit. Jalanan terasa lebih panjang dari biasanya, dan pikirannya penuh oleh bayangan-bayangan masa lalu yang berusaha ia singkirkan selama bertahun-tahun.Sesampainya di rumah sakit, langkah Naren langsung terhenti ketika melihat Grizell, baru saja keluar dari ruang perawatan.“Wajahmu panik sekali,” ujar Grizell dengan senyum menggoda. “Sepertinya kamu sudah jatuh cinta pada istrimu.”Namun senyum itu lenyap seketika saat mendengar jawaNora terbangun dengan kepala yang masih terasa berat. Tatapannya mengarah pada sofa di sudut ruangan, tempat Naren tadi beristirahat. Namun kini kosong. Tak ada siapa pun di sana. Yang tersisa hanya keheningan, menyisakan sunyi yang terasa menusuk.“Kamu sudah bangun?” suara lembut namun tegas terdengar dari balik pintu. Nadin masuk dengan membawa nampan berisi makanan dari rumah sakit.“Kakak?” Nora terkejut.“Fera yang bilang ke Kakak kamu di sini,” jawab Nadin sambil menaruh makanan di meja kecil dekat tempat tidur. “Mana suamimu? Dia nggak datang?”“Dia tadi ada di sini,” jawab Nora lirih.“Kapan? Kakak sudah di sini dari tadi,” tanya Nadin curiga.“Sebelum Kakak datang,” jelas Nora pelan, matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang. Memperkirakan kapan Naren pergi, sebelum ia tertidur tadi waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Nadin mendesah panjang. “Kamu belum cerita semuanya k
Naren baru saja tiba di kantor ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar, dan seperti biasa, ia mengabaikannya. Tapi notifikasi pesan masuk membuat jemarinya berhenti di atas layar. Naren membacanya,("Maaf. Nomor anda di daftarkan sebagai nomor darurat. Saya ingin memberitahukan, Nona Alina Brechtje mengalami kecelakaan tunggal. Saat ini sudah dilarikan ke Rumah Sakit Harapan.")Tanpa pikir panjang, Naren berbalik, keluar dari ruangannya, dan melajukan mobil secepat mungkin ke rumah sakit. Jalanan terasa lebih panjang dari biasanya, dan pikirannya penuh oleh bayangan-bayangan masa lalu yang berusaha ia singkirkan selama bertahun-tahun.Sesampainya di rumah sakit, langkah Naren langsung terhenti ketika melihat Grizell, baru saja keluar dari ruang perawatan.“Wajahmu panik sekali,” ujar Grizell dengan senyum menggoda. “Sepertinya kamu sudah jatuh cinta pada istrimu.”Namun senyum itu lenyap seketika saat mendengar jawa
Seorang anak laki-laki kecil dengan mata abu-abu bersembunyi di balik lemari pakaian. Tubuhnya meringkuk, gemetar. Sesekali ia menahan isak yang nyaris pecah, memeluk lututnya sambil memejamkan mata.“Naren! Jangan main-main! Keluar!” suara keras terdengar dari luar kamar. Nada ancaman menyelinap di antara nada panggilan.Anak itu mulai menangis. Tanpa suara, hanya air mata yang mengalir bersama bisikan lirih di dalam hati kecilnya."Ibu... Ibu..." Meski tahu sang ibu tak akan datang, nama itu memberinya kekuatan. Nama yang menjadi tameng terakhir dari rasa takut yang memburu.Tiba-tiba, pintu lemari terbuka. Mata anak itu membelalak, tubuhnya membeku. Namun, yang muncul bukan sosok menakutkan—melainkan seorang anak gadis, sekitar lima tahun lebih tua darinya. Senyumnya lembut, tangannya terulur pelan.“Tidak apa-apa, Naren. Kakak ada di sini,” ucap anak gadis itu pelan, menariknya keluar dari lemari.Belum sempat Naren bernapas lega,
“Bukannya dia pacarmu?” tanya Herlina pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh kebisingan restoran. Tatapannya mengarah pada Andrew yang masih memandangi punggung Nora yang menjauh bersama Naren.Andrew mengedipkan mata, menoleh pelan ke arah wanita paruh baya itu. “Bukan,” jawabnya ringan namun cukup menusuk. “Dia istri Naren.”Seperti embun beku yang tiba-tiba menempel di dahi, wajah Herlina mengeras. Bola matanya membulat perlahan, memandangi Andrew seolah kalimat itu baru saja membenturkan pikirannya pada tembok tak kasat mata.“Istri?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya."Ya." Andrew mengangguk pelan. "Kapan dia menikah?" "Entahlah," balas Andrew, melirik ke arah Nadin yang sedang memberikan tatapan tajam padanya. "Sebaiknya kita pergi dari sini!" ucap Andrew, berdiri dari tempat duduknya. Buru-buru pergi sebelum ia menjadi sasaran Nadin. Melihat Andrew yang pergi, Nadin hanya menghela nafas panjang. Tatapannya bera
Ruangan Kepala rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara detik jam dan derit samar dari kursi yang diduduki Nora. Ia menunduk, menggenggam ujung roknya erat, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang terus menyerangnya. Di hadapannya, duduk sosok Pak Kepala—ayah Naren dengan sorot mata tajam tapi jenaka, sementara Grizell duduk di sebelahnya, tampak tidak tertarik dengan perbincangan yang terjadi.Pak Kepala terkekeh kecil, menyandarkan tubuh ke kursi. “Hahaha. Kenapa tidak mengundang Ayah di acara pernikahan kalian?” tanyanya penuh selidik, namun masih dibalut nada santai.Nora terdiam sejenak dan Grizell tertarik dengan hal lain, ia mengangkat alisnya sedikit, memperhatikan sesuatu yang lain—sebuah bayangan samar kemerahan di bawah rahang Nora. "Jadi bukan Alina.” gumam Grizell dalam hati. “Ka-kami memang tidak mengadakan acara pernikahan,” jawab Nora akhirnya, terbata. Wajahnya menegang. Ia tahu ia tak bisa jujur. Pernikahan itu bukan sesuatu yan
Ruang kantor lantai eksekutif Star Entertainment dipenuhi dengan bisik-bisik. Beberapa staf tampak saling pandang, tak percaya dengan memo yang baru saja dikirimkan melalui email resmi perusahaan: Adisty resmi diberhentikan dari semua kerja sama dengan perusahaan, efektif mulai hari ini."Ini serius?" bisik salah satu staf."Kenapa tidak ada yang tahu sebelumnya?"Di ruang kerja utama, Andrew melangkah masuk tanpa mengetuk seperti biasa. Di tangannya ada map laporan para talent baru, tapi bukan itu yang memenuhi kepalanya."Jadi benar kamu memecat Adisty?" tanyanya, langsung ke inti.Naren yang duduk di balik meja kerjanya, hanya menjawab dengan satu anggukan kecil. Datar. Tak ada raut penyesalan.Andrew mengerutkan kening, lalu mendekat sambil mencondongkan tubuh ke meja."Jadi...kamu sudah tidur dengan Nora?" bisiknya dengan nada setengah menggoda, mengingat perjanjian konyol yang sudah Nora buat sebelumnya dengannya, imbal
Andrew sedang duduk menunggu di dalam mobil, arah matanya tertuju pada Naren yang berjalan mendekat. Langkahnya tegap dan terukur. Di tangannya ada sebuah kantong plastik kecil yang bertuliskan nama toko yang baru saja ia masuki. "Siapa yang sakit?" tanya Andrew, alisnya berkerut dengan tatapan meneliti. "Bibi pengurus!" balas Naren asal, duduk kembali di tempatnya. Ia memasukkan kantong plastik itu ke dalam laci dashboard di sampingnya, lalu menyalakan kembali mesin mobilnya. "Sejak kapan kamu peduli dengan orang di sekitarmu?" balas Andrew dengan senyum di wajahnya. Seolah itu menjadi kejutan besar yang tidak masuk di akal. Naren diam tak menjawab, hanya mata yang melirik ke arah Andrew dengan tatapan menusuk. "Aku bercanda," balas Andrew, tangannya bergerak ke arah laci dashboard. Melirik Naren yang fokus mengarahkan mobilnya ke arah jalanan. Saat terasa aman, Andrew diam-diam membukanya perlahan. Namun, Naren dengan cepat menutup
Nora tertegun, matanya menatap lekat mata Naren yang dipenuhi hasrat. Wajah Naren yang memerah, napasnya yang memburu hangat, seolah tubuhnya mulai dikuasai sesuatu yang tak lagi bisa dikendalikan olehnya. Saat Naren tiba-tiba bergerak mendekatkan tubuhnya dan Nora secara refleks menahannya. Rahang Naren mengetat kencang. "Jangan Naren!" ucap Nora gemetar dengan mata ketakutan. Kedua tangannya berusaha menahan tubuh Naren yang besar dan kuat. Tubuh Naren yang terasa panas seperti api yang membara. "Walaupun kamu menangis! Aku tidak akan berhenti Nora! Ini pilihanmu karena menikah dengan laki-laki sepertiku!" tekan Naren, ada kemarahan yang tersembunyi di dalam tatapannya. Penolakan Nora, membuatnya tak bisa bersikap lembut sesuai dengan ucapannya tadi. Naren menggenggam erat tangan Nora, membawanya ke atas kepala Nora dan menahannya erat -hanya dengan satu tangannya yang kekar. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalanginya. Nora yang berada
Naren berjalan mengikuti Kakeknya ke ruang kerja. Langkah mereka sejajar dan sangat tenang, menyembunyikan segala niatan yang tersembunyi. Tiba-tiba, seorang pelayan datang menghampiri mereka. Melaporkan apa yang terjadi di kolam. Namun, rasa takut dimarahi membuatnya ragu untuk bicara, "Ada apa?" tanya laki-laki beruban itu. “Ma-af Tuan Besar. I-i-itu terjadi keributan di belakang! Istri Tuan muda jatuh ke kolam!" lapornya. Naren menoleh sesaat, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Kakeknya.“Biarkan saja,” katanya datar. Melanjutkan langkah kakinya. Kakeknya menatap dalam, ada hal yang tersimpan di wajahnya, penasaran.“Kamu tidak mau melihat istrimu?” tanyanya, suaranya tenang dengan maksud yang lainnya. “Dia tahu bagaimana cara mengurus dirinya sendiri. Tanpaku dia harus bisa berdiri dengan kakinya sendiri!" balas Naren dengan senyuman tipis penuh arti. Tapi tak lama, langkah cepat lain