Share

Bab 5. Gadis Bodoh

Author: Liliana3108
last update Huling Na-update: 2025-03-01 02:51:19

Langit terlalu kosong tanpa bintik-bintik kecil terang yang selalu ada mengisi tempat. Cuacanya pun cukup dingin tak seperti biasanya karena sudah memasuki musim penghujan. Taman kota yang biasanya ramai dikunjungi pengunjung terlihat tidak terlalu ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang yang bertahan di sana, saat angin terasa semakin kencang menyapa tubuh. Diantaranya, Naren yang berlari sendiri mengelilingi area taman. Di telinganya terpasang benda hitam kecil yang menghubungkan dia dengan seseorang.

"Kamu sedang olahraga?"

"Hmm,"

"Demi apa? Kamu nggak kedinginan?"

"Ha?"

"Oh ya, manusia dingin sepertimu mana bisa merasakan dingin,"

Laki-laki berpakaian baju tidur berwarna hitam tengah duduk di sofanya sambil menikmati kopi hangat. Di samping telinganya ada handphone yang melekat.

"Langsung saja. Aku tidak suka banyak bicara denganmu!"

"Aissssh. Jadi kamu mau tetap melanjutkan kontrak dengannya setelah tahu bagaimana kehidupan pribadinya?"

"Ya."

"Kamu serius? Bagaimana kalau itu berpengaruh sama perusahaan dan anak-anak yang lain?"

"Tak perlu khawatir. Kamu hanya perlu melakukan tugasmu di kursi itu. Sisanya aku yang urus."

"Kamu gak lagi mabuk kan?" Laki-laki itu mengerutkan keningnya dengan mata menyipit. Rasa khawatir yang sangat besar tergambar jelas dari ekspresinya. Bagaimana tidak? Perusahaan mereka baru saja berada di masa kejayaan.

"Aku tak peduli kehidupan pribadinya selama dia menghasilkan banyak uang untukku."

"Aaaa ya. Aku lupa kamu siapa," sindir laki-laki itu. Tahu betul bahwa Naren adalah orang yang paling menyukai uang, di dunia ini.

Tetesan air yang turun dari langit menghentikan langkah kaki Naren. Wajahnya yang tegas mendongak melihat langit yang semakin banyak menitikkan air. Orang-orang yang tengah bercengkrama hangat berhamburan pergi mengindari serbuan air, begitu juga dengan Naren yang memilih menghindar.

"Aku tutup!" akhiri Naren.

"Naren! Ck, dia langsung menutupnya. Apa dia sudah tahu ya? Sebaiknya tidak usah ku kasih tahu!" laki-laki itu melihat ke arah luar jendela. Langit yang sedang menangis menjadi begitu berisik saat kilatan cahaya datang menyapa.

"Pasti dia sedang berlari di tengah hujan!"

Naren berlari kencang menyusuri jalanan yang sepi dengan kepala tertutup tudung hoodie. Tak jauh dari tempatnya, ada toko serba ada yang buka 24 jam. Dia menepi ke tempat itu.

Klik.

"Ada payung?"

"Sebelah itu Mas!"

Naren mengambil payung tanpa mempertimbangkan bentuk, warna, dan ukurannya. Dia asal mengambil sesuai dengan apa yang ia butuhkan tak penting bagaimana rupanya.

"Cash?"

"Qris."

"Terima kasih Mas."

Tak membalas, Naren langsung berlenggak pergi dari sana. Naren memang seperti itu, tak suka basa-basi, yang dianggapnya tidak terlalu penting.

Berjalan di bawah payung hitam. Naren pulang dengan pakaian setengah basah. Wajahnya yang fokus tanpa ekspresi, begitu jelas. Matanya tertuju pada sosok perempuan yang berdiri di depan gedung tempat tinggalnya. Berdiri membungkuk dengan wajah mengarah bawah. Bahunya terlihat bergetar dengan kedua tangan yang saling meremas satu sama lain.

"Dia menangis?" tebak Naren. Dipikirnya Nora saat ini pasti sudah tahu pacarnya itu berselingkuh dengan Adisty. Tapi ia tak begitu peduli. Itu bukan urusannya. Dia harus cepat-cepat pulang untuk membersihkan dirinya sekarang.

Sampai depan gedung. Naren menaruh payungnya dengan sengaja di sana. Ia tak terlalu peduli Nora akan memakainya atau tidak, dia hanya ingin meletakkannya di sana karena sudah tak membutuhkannya.

Nora yang sedang merenungi apa yang barusan saja terjadi padanya. Sama sekali tak menyadari Naren yang berjalan melewatinya. Dia hanya fokus dengan masalahnya saat ini. Slama berpacaran dengan Danu, ini pertama kalinya ia dan Danu berkelahi sampai seperti ini. Danu yang tak mau mendengarkan penjelasannya dan meninggalkannya begitu saja. Nora tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya. Rasa bersalah yang semakin dalam, menyayat hatinya hingga terasa tak bersisa. Air mata yang seharusnya tidak boleh keluar tak bisa ia bendung dan keluar tanpa bisa ia kontrol.

"Hiks. Hiks."

Di depan gedung itu, Nora menangis sendirian. Ditemani hujan deras dan kilatan cahaya yang beberapa kali berteriak kencang.

Sedangkan Naren, dia yang baru saja selesai mandi dan saat ini sedang memakai jubah mandi, tengah berdiri di depan balkon. Menyaksikan fenomena alam itu dengan serius.

"Inilah alasanku membenci wanita seperti mereka. Merengek seperti anak kecil!" gumam Naren, setelah baru saja mengingat sosok wanita yang waktu itu menangis di pelukannya karena mengetahui pacarnya berselingkuh.

***

Tiga hari kemudian.

Sampai hari ini Danu belum juga menghubungi Nora. Nora yang tak pandai bicara hanya diam menunggu Danu menghubunginya terlebih dahulu. Nora takut, jika ia menghubungi Danu lebih dulu, Danu yang mungkin belum reda rasa amarahnya semakin menjadi marah padanya.

"Kenapa?" tanya Fera, menyadari perubahan hati Nora yang tiga hari ini terlihat lesu dan tidak tersenyum seperti biasanya.

"Tidak ada," jawab Nora. Dia tidak ingin masalah pribadinya menjadi konsumsi orang-orang. Bahkan Fera yang sudah sangat dekat dengannya.

"Serius?" Fera menyipitkan matanya.

"Ya." balas Nora memaksa diri untuk tersenyum. Setidaknya dengan begitu Fera tidak akan bertanya lagi padanya. Tapi tatapan Fera masih tidak percaya.

"Aku serius. Aku tidak apa-apa!" Nora meyakinkan.

"Ya sudah kalau nggak mau cerita. Ku harap masalahmu cepat selesai." balas Fera. Tak punya alasan untuk memaksa. Kadang memang masalah itu harus disimpan sendiri. Menceritakannya hanya membuat masalah itu menjadi masalah baru untuk orang yang diceritakan. Tidak mungkin tidak dipikirkan olehnya. Jadi memang sebaiknya dipendam agar tidak semakin besar.

Nora dan Fera yang sedang duduk berjaga, dihampiri oleh seorang satpam yang tengah membawa buket bunga mawar pink berukuran sedang.

"Bunga siapa itu?" tanya Fera yang selalu lebih dulu tertarik dengan segala hal yang ada di depannya.

"Mba Nora!"

"Aku?"

"Ya." Keterkejutan Nora membuat satpam berbadan besar itu kebingungan. Apakah dia salah mendengar? Setidaknya dia sudah bertanya tiga kali tadi pada kurirnya dan jawaban nama yang diberikan tetap sama.

"Ya Mba." yakin satpam tersebut. Menyerahkan buket itu pada pemiliknya.

"Dari siapa?" tanya Fera.

Nora tak langsung menjawab. Matanya terlalu fokus untuk melihat kartu ucapan yang tergantung di buket tersebut. Nama laki-laki yang beberapa hari ini memenuhi seluruh pikirannya. Garis bibir yang terlihat lurus berubah melengkung membentuk senyuman indah. Membaca setiap kata yang ditulis tangan dengan penuh makna. Sebuah puisi yang berisi perasaan Danu. Fera pun langsung tahu.

"Pacarmu?"

Nora hanya mengangguk dengan bulir air mata yang mulai berkumpul di kelopak matanya. Masalah yang dianggapnya tidak akan terselesaikan akhirnya terselesaikan hari ini, pikirnya. Nora dengan cepat mengambil handphonenya dan hendak mengucapkan terima kasih kepada Danu sampai Grizell memanggilnya dan Nora tidak bisa melanjutkan rencananya.

"Nora!" panggil Grizell, menggerakkan tangannya meminta Nora mengikutinya.

"Titip." ucap Nora menyerahkan bunga miliknya ke Fera.

Sampai di ruangan Grizell. Nora langsung dicecar pertanyaan.

"Kamu tahu salahmu?" tanya Grizell datar.

"Ya Dok?" Nora tidak tahu kesalahan apa yang ia maksud. Selama beberapa hari ini Grizell juga selalu menegurnya tanpa sebab. Entah apa yang ia lakukan tapi dimata Grizell dia selalu salah.

"Kamu pikir ini rumahmu?"

"Ya Dok?" Nora tambah tidak mengerti arah pembicaraan Grizell.

"Tolong profesional. Ini tempat kerja. Jangan campuri dengan urusan pribadimu! Apa pantas kamu memperlihatkan kebahagiaanmu di depan pasien dan keluarga pasien yang sedang bersedih? Coba pikirkan itu!" peringat Grizell. Nada bicaranya yang menjadi semakin tinggi dengan tatapan merendahkan, memberikan luka di hati kecil Nora. Nora tak pernah bermaksud seperti itu. Diapun tidak tahu Danu akan mengirimi bunga. Jika ia tahu dia pasti mencegahnya. Tapi nyatanya, percuma. Semua sudah terjadi.

"Maaf Dok." ucap Nora membungkuk.

"Berapa kali lagi aku harus mendengar permintaan maafmu itu? Kamu pikir itu jadi berarti setelah kamu mengucapkannya berkali-kali? Itu jadi tak berarti lagi. Keluarlah!" usir Grizell.

Nora diam tak menjawab. Sebagai pegawai yang bekerja di sana, ia tidak punya keberanian untuk melawan orang yang lebih berkuasa darinya.

"Bikin kesal saja!" gerutu Grizell duduk di tempatnya. Kata-kata Ayahnya yang mengatakan ia tertarik dengan Nora, mengartikan sesuatu hal yang lain di pikiran Grizell.

"Ck," decak Grizell kesal sendiri. Namun amarahnya itu langsung mereda, saat benda pintar miliknya itu bergetar di atas mejanya.

("Mau makan bersama?")

("Apa maksudmu? Jangan bercanda!")

("Kamu gak mau mengucapkan kata selamat datang untukku?")

("Kamu ada di sini?")

("Ya.")

("Oh ya. Apa Naren mengganti nomornya? Aku tidak bisa menghubunginya.")

("Untuk apa kamu tanya anak gila itu?")

("Aku merindukannya,")

("Jangan ganggu adikku lagi!")

("Kamu sekarang berperan jadi Kakak yang baik?") Sosok wanita cantik berambut sebahu, duduk cantik di dalam mobil dengan pakaian mewahnya. Simple dan terlihat anggun. Bibir merahnya yang cantik seperti ceri, tersenyum dengan lebarnya. Senang karena berhasil mengobrol dengan teman lamanya.

("Aku bercanda. Jangan terlalu serius. Boleh aku minta tolong ajak dia?")

("Untuk apa?")

("Aku ingin minta maaf.")

("Ku usahakan.")

("Terima kasih. Kamu memang teman terbaikku.")

("Ini balasan karena kamu sudah mau menggantikan peranku dulu. Kalau tidak, aku tidak akan mau mengiyakan permintaanmu!")

("Tempatnya di tempat biasa. Aku tunggu!")

Grizell melepaskan handphonenya di atas meja. Dia sekarang sedang bingung bagaimana cara mengajak adiknya yang gila itu. Namun hal yang paling membuatnya terpikirkan adalah reaksi adiknya jika ia tahu wanita itu sudah kembali ke negara ini.

"Bodoh ah. Mereka harus bertemu untuk menyelesaikan masalah mereka." ujar Grizell, memutuskan untuk mengajak adiknya makan bersama tanpa memberitahu kehadiran wanita itu.

Sementara itu, Nora yang baru saja kembali ke tempat jaganya, langsung dijegal dengan pertanyaan dari Fera.

"Ada apa?"

"Bukan apa-apa,"

"Wajahmu tidak memperlihatkan kamu tidak apa-apa. Apa Dokter Grizell memarahi mu lagi?"

"Bukan marah. Bu Dokter hanya memberikan saran untukku!" Itulah yang seharusnya Nora yakini. Ucapan Grizell tadi bukanlah amarah melainkan sebuah saran agar dia lebih mengerti perasaan pasien.

"Ais, bisa ya kamu berpikir seperti itu?" gerutu Fera, malah dia kesal sendiri dengan reaksi Nora yang selalu merasa dirinyalah yang memang salah.

"Lebih baik kita kerja saja. Gak enak kalau Dokter Grizell mendengarnya!" bisik Nora, menghentikan Fera yang mengomel.

"Huuu, kamu ya. Hatimu dibuat dari apa sih?"

"Dari cinta," balas Nora tersenyum senang. Dia tak boleh larut dalam kesedihan. Dia harusnya senang karena mendapatkan bunga dari Danu. Terlepas gara-gara itu dia ditegur oleh Dokter Grizell.

("Terima kasih bunganya.") kirim Nora.

("Kamu suka?")

("Ya suka sekali.")

("Syukurlah kalau begitu.")

("I-itu. Maafkan aku.")

("Apa bisa kita lupakan saja yang kemarin?")

"Apa tidak apa-apa?" gumam Nora merenung dalam hati.

("Hm,") angguk Nora dengan memberi emoticon.

("Aku ingin membicarakan hal yang sudah kita bicarakan sebelumnya. Kamu bisa datang ke tempat ini?") kirim Danu melihatkan sebuah gambar restoran.

("Datanglah ke tempat ini. Aku tunggu!")

Nora diam sejenak. Pikirannya mulai berlabuh ke tempat yang indah. Bayangan dirinya yang akan dilamar secara formal, menjadi begitu nyata.

("Ok.") balas Nora merona.

Di sela itu, ada chat masuk dari Adisty. Senyum di wajahnya menghilang sekejap. Perasaan yang tak nyaman kembali menyelimuti hatinya.

("Nora. Bisa ketemu nanti malam?")

("Maaf aku sudah ada janji.")

("Dengan Danu?")

("Ya.")

("Apa aku boleh ikut?") Biasanya Nora tidak akan merasa cemas jika Adisty menawarkan diri untuk bergabung dengan mereka berdua. Tapi sekarang dia tidak menyukainya. Terus. Apa Adisty sudah sehat?

("Bukannya kamu lagi sakit?")

("Aku akan semakin sakit kalau tidak melakukan apapun.")

("Tapi nanti kamu pasti gak nyaman. Orang-orang nanti kenal kamu. Bagaimana kalau lain kali aja? Kita cari tempat yang agak sepi dari keramaian.") Menjelaskan cukup panjang agar Adisty tidak tersinggung.

("Apa ini acara penting?")

("Maksudmu?")

("Bagaimana kalau aku membantumu merubah penampilanmu? Kamu harus terlihat cantik dan berbeda dari sebelumnya. Danu harus tahu kamu itu sangat cantik!") Kesungguhan Adisty, menyentil hati terdalam Nora. "Kenapa dia masih begitu curiga pada sahabatnya?"

("Terima kasih Adisty.") balas Nora tersenyum tipis.

***

Akhirnya, Nora berada di salon kecantikan langganan Adisty. Penampilan Nora yang terlihat culun dan biasa saja menarik semua perhatian para pegawai disana. Ini pertama kalinya mereka melihat sosok seperti Nora masuk ke dalam salon mereka.

"Ini temanku!" Adisty memperkenalkan.

"Ohh," nada bicara dan ekspresi yang tergambar jelas merendahkan Nora.

"Aku ke kamar mandi dulu!" pamit Nora tidak nyaman dengan cara mereka semua memandanginya.

Nora berjalan ke kamar mandi cepat, rasa tidak nyaman yang menggerogoti hatinya membuatnya tidak bisa berpikir tenang hingga menabrak orang di depannya.

Bruk.

Nora terlempar ke lantai dengan kedua tangan menopang tubuhnya. Laki-laki tinggi besar yang ada di depannya hanya melihatnya dengan tatapan tajam.

Deg.

Degup jantung Nora berdebar tak karuan. Tabrakan yang membuatnya tidak sengaja menempelkan badannya memicu traumanya.

"Pak Naren. Datang sama siapa?" sapa Adisty, berdiri di samping Nora.

"Kamu tidak apa-apa Nor?" tanya Adisty, mengulurkan tangannya. Membantu Nora untuk berdiri.

Naren diam tak menjawab. Perhatiannya lurus melihat ke arah Nora yang mengabaikan pandangannya.

"Ini sahabat saya. Namanya Nora!" Adisty memperkenalkan.

"Hmm," jawab Naren singkat berlalu pergi. Tak menjawab pertanyaan Adisty tadi.

"Ck, orang itu. Bikin kesal saja!" decak Adisty emosi. Memandangi punggung Naren dengan tatapan tajam.

"Kamu mengenalnya?" tanya Nora ragu.

"Ya." jawab Adisty asal.

"Naren. Dia orang yang waktu itu dengan Dokter Grizell?" gumam Nora dalam hati. Nama yang disebutkan Adisty sama dengan nama yang terakhir kali ia dengar waktu itu di ruangan Dokter Grizell.

"Aku rasa Ayah menyukai salah satu pegawaiku." beritahu Grizell.

"Aku tidak perduli."

"Kamu anaknya. Bagaimana bisa kamu tidak peduli?"

"Saat kalian meninggalkanku aku sudah tidak peduli lagi dengan kalian!" ucap Naren tanpa ekspresi. Grizell sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Dasar pendendam!"

"Untuk apa kamu mengajak pendendam ini keluar?"

"I-itu. Kamu harus mentraktirku karena aku sudah membantumu!" Grizell sedikit gugup.

"Ku pikir kamu bukanlah orang yang perhitungan!" cemoh Naren.

"Kita satu darah. Jangan lupakan itu!" balas Grizell. Mengingatkan Naren bahwa semua anggota di keluarganya adalah orang-orang yang gila akan uang.

"Oh ya. Ayah memintaku untuk mengatakan ini padamu.....," oceh Grizell tak menyadari bahwa omongannya sama sekali tak dihiraukan oleh Naren yang saat ini jadi begitu tertarik dengan Nora.

"Kenapa mereka terlihat baik-baik saja? Ada apa dengan gadis bodoh itu?" cemoh Naren dengan sudut bibir naik sebelah. Nora mengingatkannya pada sosok wanita yang pernah hadir dalam hidupnya.

"Benar. Dia laki-laki itu!" gumam Nora memandangi punggung Naren yang sudah menjauh pergi. Berjalan beriringan dengan sosok yang ia kenal.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 85. Menikahlah Denganku Nora

    Naren masih berdiri mematung di tempatnya, hingga suara Nora memecah lamunannya.“Kenapa kamu masih diam di sana?! Ikut aku!” bentaknya, nada marah namun terdengar seperti perhatian yang terselubung.Naren langsung melangkah mengikuti perintah. Ia memberi isyarat halus pada dua bodyguard-nya agar tidak ikut. Mereka hanya mengangguk dan mundur menjauh.Tak jauh dari tempat itu, rumah sederhana milik Nora tampak tenang di antara rumah-rumah kecil lainnya. Naren melangkah masuk setelah dipersilakan atau lebih tepatnya, diseret oleh amarah lembut Nora.“Duduk.” perintah Nora. Naren pun duduk patuh di ruang makan, sementara Nora masuk ke dapur, menyiapkan sesuatu. Tak butuh lama, aroma telur dadar dan teh hangat mengisi ruangan. Nora meletakkan piring di depannya.“Aku tahu kamu pasti belum makan. Makanlah!” bentaknya, sambil menyodorkan sendok.Naren, seperti anak kucing yang dimarahi induknya, hanya diam dan mulai makan dengan patuh

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 84. Untuk Apa Kembali?

    Naren duduk diam di kursi menghadap jendela, sementara Dokter Hadi, pria paruh baya yang bersahaja, berdiri menyandarkan diri pada meja kerjanya. Pandangannya tertuju pada Naren dengan sorot tajam namun hangat."Jadi tujuanmu sebenarnya adalah Nora, kan?" tanyanya tanpa basa-basi.Naren terkejut. Bahunya menegang. Ia menoleh perlahan, tapi tak menjawab. Hanya sorot matanya yang berubah gelap."Kamu tidak perlu kaget," lanjut Dokter Hadi."Saat kamu koma, ayahmu selalu datang ke sini. Hampir setiap bulan. Dia menceritakan semuanya padaku tentang kamu."Naren masih diam. Seolah kata-kata Dokter Hadi menyayat bagian terdalam dari jiwanya."Jadi… kamu masih mencintai istrimu?"Naren Diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Suasana yang menjadi sunyi seketika, seperti menyembunyikan perasaan yang tak pernah bisa ia buang."Ayahmu memintaku menjaga Nora dan anakmu," ujar Dokter Hadi lebih lembut,"Karena dia ya

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 83. Tidak Benar-benar Melupakan

    Suasana klinik sangat ramai. Pasien silih berganti datang. Nora berdiri tenang dengan stetoskop tergantung di lehernya, memeriksa seorang pasien anak-anak dengan telaten."Tidak apa-apa, nanti Tante kasih stiker ya," ucap Nora sambil tersenyum lembut, membuat anak itu berhenti menangis. Namun, di belakang, di ruang istirahat perawat, suara begitu heboh dan bisik-bisik terdengar semakin riuh."Kamu udah lihat belum? Ini lho! Naren Dirgantara! Ganteng banget, parah!""Gila sih, itu cowok kayak keluar dari lukisan!""Katanya dia ahli waris satu-satunya, dan sekarang resmi pegang semua aset Dirgantara Grup!"Nora yang sedang menuliskan catatan medis pasien hanya mendengarkan. Nama Naren berulang kali terdengar di telinganya, menerobos masuk ke dalam pikirannya yang sudah berusaha keras untuk melupakannya."Liat deh wajahnya,""Kok bisa ya ada laki-laki setampan dan sekaya itu hidup di dunia nyata?"Beberapa perawat tertawa cekikik

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 82. Tidak Berharap Lagi

    Waktu berlalu dengan cepatnya. Setelah Noah dinyatakan sembuh total, mereka kembali ke rumah. 2 TAHUN BERLALU, Langit gelap bergemuruh. Hujan turun perlahan sebelum berubah menjadi deras. Payung-payung hitam terbuka di antara orang-orang berpakaian gelap yang berdiri dalam diam dan duka.Noah berdiri tegak sambil menggenggam tangan ibunya erat. Wajahnya kecil, tapi tajam. Sorot matanya menyiratkan kecerdasan dan keberanian yang belum pantas dimiliki anak seusianya.Tiba-tiba petir menyambar dari langit, kilat itu menyinari bola matanya yang berwarna abu-abu keperakan. Mata yang familiar, mata dari seorang Dirgantara.Semua orang menoleh. Seolah dunia diam hanya untuk menatap anak itu.“Kenapa kita harus ke sini, Ibu?” tanya Noah pelan. Nada suaranya dewasa.Nora menunduk dan membelai rambut Noah dengan lembut.“Karena kita keluarga.” jawabnya lirih. Mata Nora tetap mengarah pada liang lahat di kejauhan, tempat tubu

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 81. Noah Yang Baru

    “Stabil! Detak jantungnya kembali!”“Sambungkan ke mesin bantu. Lanjutkan penyesuaian implan!” ucap Dokter yang bertanggung jawab atas operasi Noah. Ruangan itu kembali tenang, tapi mencekam. Nora nyaris jatuh bersimpuh di lantai. Grizell yang melihat hendak mendekat, tapi langsung berhenti saat melihat seorang perawat keluar dan memegang bahu Nora. “Bu, operasinya belum selesai. Tapi kami berhasil mengatasi krisisnya.” beritahunya. Grizell merasa lega. Nora hanya bisa menangis. Tangis yang membuncah karena terlalu lama ia tahan. Ia menunduk, menyentuh lantai rumah sakit dan memejamkan matanya dalam sujud syukur.6 jam sudah berlalu, Nora tak berhenti menatap ruangan. Saat lampu operasi akhirnya padam. Pintu ruang operasi terbuka perlahan. Seorang dokter dengan pakaian bedah masih lengkap keluar dengan senyum lelah tapi tulus. Grizell dan Nora langsung berdiri.“Operasinya berhasil,” ujar sang dokter.Nora membek

  • Kau Ambil Pacarku, Kunikahi Bosmu   Bab 80. Noah

    Di rumah sakit. Nora duduk diam di sisi ranjang sambil menggenggam tangan Noah yang sedang tertidur lemah. Selang infus terpasang di tangannya. Nafasnya sudah lebih stabil dari sebelumnya, tapi suara alat bantu di samping terus berbunyi, seolah mengingatkan penyakit Noah belum benar-benar pergi.Nora menunduk lesu, memijat pelipisnya yang berdenyut. Matanya sembab, wajahnya pucat. Di depannya, map-map laporan medis dan brosur dari berbagai rumah sakit berserakan. Semua tentang implan jantung anak-anak. Semua dengan satu kesimpulan, mahal, rumit, tidak ada, dan harus segera.Sepuluh hari ia berjuang sendiri. Bertanya kepada teman-teman lamanya, dokter kenalan, yayasan sosial, bahkan mencoba mencari daftar donor. Tapi semua jawabannya sama, waktu yang ia miliki terlalu sempit. Dan itu membuat Nora merasa seperti terperangkap dalam ruang sempit tanpa jalan keluar.Dengan tangan gemetar, Nora menunduk, mencium punggung tangan Noah yang mulai hangat. Air m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status