Langit terlalu kosong tanpa bintik-bintik kecil terang yang selalu ada mengisi tempat. Cuacanya pun cukup dingin tak seperti biasanya karena sudah memasuki musim penghujan. Taman kota yang biasanya ramai dikunjungi pengunjung terlihat tidak terlalu ramai seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang yang bertahan di sana, saat angin terasa semakin kencang menyapa tubuh. Diantaranya, Naren yang berlari sendiri mengelilingi area taman. Di telinganya terpasang benda hitam kecil yang menghubungkan dia dengan seseorang.
"Kamu sedang olahraga?" "Hmm," "Demi apa? Kamu nggak kedinginan?" "Ha?" "Oh ya, manusia dingin sepertimu mana bisa merasakan dingin," Laki-laki berpakaian baju tidur berwarna hitam tengah duduk di sofanya sambil menikmati kopi hangat. Di samping telinganya ada handphone yang melekat. "Langsung saja. Aku tidak suka banyak bicara denganmu!" "Aissssh. Jadi kamu mau tetap melanjutkan kontrak dengannya setelah tahu bagaimana kehidupan pribadinya?" "Ya." "Kamu serius? Bagaimana kalau itu berpengaruh sama perusahaan dan anak-anak yang lain?" "Tak perlu khawatir. Kamu hanya perlu melakukan tugasmu di kursi itu. Sisanya aku yang urus." "Kamu gak lagi mabuk kan?" Laki-laki itu mengerutkan keningnya dengan mata menyipit. Rasa khawatir yang sangat besar tergambar jelas dari ekspresinya. Bagaimana tidak? Perusahaan mereka baru saja berada di masa kejayaan. "Aku tak peduli kehidupan pribadinya selama dia menghasilkan banyak uang untukku." "Aaaa ya. Aku lupa kamu siapa," sindir laki-laki itu. Tahu betul bahwa Naren adalah orang yang paling menyukai uang, di dunia ini. Tetesan air yang turun dari langit menghentikan langkah kaki Naren. Wajahnya yang tegas mendongak melihat langit yang semakin banyak menitikkan air. Orang-orang yang tengah bercengkrama hangat berhamburan pergi mengindari serbuan air, begitu juga dengan Naren yang memilih menghindar. "Aku tutup!" akhiri Naren. "Naren! Ck, dia langsung menutupnya. Apa dia sudah tahu ya? Sebaiknya tidak usah ku kasih tahu!" laki-laki itu melihat ke arah luar jendela. Langit yang sedang menangis menjadi begitu berisik saat kilatan cahaya datang menyapa. "Pasti dia sedang berlari di tengah hujan!" Naren berlari kencang menyusuri jalanan yang sepi dengan kepala tertutup tudung hoodie. Tak jauh dari tempatnya, ada toko serba ada yang buka 24 jam. Dia menepi ke tempat itu. Klik. "Ada payung?" "Sebelah itu Mas!" Naren mengambil payung tanpa mempertimbangkan bentuk, warna, dan ukurannya. Dia asal mengambil sesuai dengan apa yang ia butuhkan tak penting bagaimana rupanya. "Cash?" "Qris." "Terima kasih Mas." Tak membalas, Naren langsung berlenggak pergi dari sana. Naren memang seperti itu, tak suka basa-basi, yang dianggapnya tidak terlalu penting. Berjalan di bawah payung hitam. Naren pulang dengan pakaian setengah basah. Wajahnya yang fokus tanpa ekspresi, begitu jelas. Matanya tertuju pada sosok perempuan yang berdiri di depan gedung tempat tinggalnya. Berdiri membungkuk dengan wajah mengarah bawah. Bahunya terlihat bergetar dengan kedua tangan yang saling meremas satu sama lain. "Dia menangis?" tebak Naren. Dipikirnya Nora saat ini pasti sudah tahu pacarnya itu berselingkuh dengan Adisty. Tapi ia tak begitu peduli. Itu bukan urusannya. Dia harus cepat-cepat pulang untuk membersihkan dirinya sekarang. Sampai depan gedung. Naren menaruh payungnya dengan sengaja di sana. Ia tak terlalu peduli Nora akan memakainya atau tidak, dia hanya ingin meletakkannya di sana karena sudah tak membutuhkannya. Nora yang sedang merenungi apa yang barusan saja terjadi padanya. Sama sekali tak menyadari Naren yang berjalan melewatinya. Dia hanya fokus dengan masalahnya saat ini. Slama berpacaran dengan Danu, ini pertama kalinya ia dan Danu berkelahi sampai seperti ini. Danu yang tak mau mendengarkan penjelasannya dan meninggalkannya begitu saja. Nora tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya. Rasa bersalah yang semakin dalam, menyayat hatinya hingga terasa tak bersisa. Air mata yang seharusnya tidak boleh keluar tak bisa ia bendung dan keluar tanpa bisa ia kontrol. "Hiks. Hiks." Di depan gedung itu, Nora menangis sendirian. Ditemani hujan deras dan kilatan cahaya yang beberapa kali berteriak kencang. Sedangkan Naren, dia yang baru saja selesai mandi dan saat ini sedang memakai jubah mandi, tengah berdiri di depan balkon. Menyaksikan fenomena alam itu dengan serius. "Inilah alasanku membenci wanita seperti mereka. Merengek seperti anak kecil!" gumam Naren, setelah baru saja mengingat sosok wanita yang waktu itu menangis di pelukannya karena mengetahui pacarnya berselingkuh. *** Tiga hari kemudian. Sampai hari ini Danu belum juga menghubungi Nora. Nora yang tak pandai bicara hanya diam menunggu Danu menghubunginya terlebih dahulu. Nora takut, jika ia menghubungi Danu lebih dulu, Danu yang mungkin belum reda rasa amarahnya semakin menjadi marah padanya. "Kenapa?" tanya Fera, menyadari perubahan hati Nora yang tiga hari ini terlihat lesu dan tidak tersenyum seperti biasanya. "Tidak ada," jawab Nora. Dia tidak ingin masalah pribadinya menjadi konsumsi orang-orang. Bahkan Fera yang sudah sangat dekat dengannya. "Serius?" Fera menyipitkan matanya. "Ya." balas Nora memaksa diri untuk tersenyum. Setidaknya dengan begitu Fera tidak akan bertanya lagi padanya. Tapi tatapan Fera masih tidak percaya. "Aku serius. Aku tidak apa-apa!" Nora meyakinkan. "Ya sudah kalau nggak mau cerita. Ku harap masalahmu cepat selesai." balas Fera. Tak punya alasan untuk memaksa. Kadang memang masalah itu harus disimpan sendiri. Menceritakannya hanya membuat masalah itu menjadi masalah baru untuk orang yang diceritakan. Tidak mungkin tidak dipikirkan olehnya. Jadi memang sebaiknya dipendam agar tidak semakin besar. Nora dan Fera yang sedang duduk berjaga, dihampiri oleh seorang satpam yang tengah membawa buket bunga mawar pink berukuran sedang. "Bunga siapa itu?" tanya Fera yang selalu lebih dulu tertarik dengan segala hal yang ada di depannya. "Mba Nora!" "Aku?" "Ya." Keterkejutan Nora membuat satpam berbadan besar itu kebingungan. Apakah dia salah mendengar? Setidaknya dia sudah bertanya tiga kali tadi pada kurirnya dan jawaban nama yang diberikan tetap sama. "Ya Mba." yakin satpam tersebut. Menyerahkan buket itu pada pemiliknya. "Dari siapa?" tanya Fera. Nora tak langsung menjawab. Matanya terlalu fokus untuk melihat kartu ucapan yang tergantung di buket tersebut. Nama laki-laki yang beberapa hari ini memenuhi seluruh pikirannya. Garis bibir yang terlihat lurus berubah melengkung membentuk senyuman indah. Membaca setiap kata yang ditulis tangan dengan penuh makna. Sebuah puisi yang berisi perasaan Danu. Fera pun langsung tahu. "Pacarmu?" Nora hanya mengangguk dengan bulir air mata yang mulai berkumpul di kelopak matanya. Masalah yang dianggapnya tidak akan terselesaikan akhirnya terselesaikan hari ini, pikirnya. Nora dengan cepat mengambil handphonenya dan hendak mengucapkan terima kasih kepada Danu sampai Grizell memanggilnya dan Nora tidak bisa melanjutkan rencananya. "Nora!" panggil Grizell, menggerakkan tangannya meminta Nora mengikutinya. "Titip." ucap Nora menyerahkan bunga miliknya ke Fera. Sampai di ruangan Grizell. Nora langsung dicecar pertanyaan. "Kamu tahu salahmu?" tanya Grizell datar. "Ya Dok?" Nora tidak tahu kesalahan apa yang ia maksud. Selama beberapa hari ini Grizell juga selalu menegurnya tanpa sebab. Entah apa yang ia lakukan tapi dimata Grizell dia selalu salah. "Kamu pikir ini rumahmu?" "Ya Dok?" Nora tambah tidak mengerti arah pembicaraan Grizell. "Tolong profesional. Ini tempat kerja. Jangan campuri dengan urusan pribadimu! Apa pantas kamu memperlihatkan kebahagiaanmu di depan pasien dan keluarga pasien yang sedang bersedih? Coba pikirkan itu!" peringat Grizell. Nada bicaranya yang menjadi semakin tinggi dengan tatapan merendahkan, memberikan luka di hati kecil Nora. Nora tak pernah bermaksud seperti itu. Diapun tidak tahu Danu akan mengirimi bunga. Jika ia tahu dia pasti mencegahnya. Tapi nyatanya, percuma. Semua sudah terjadi. "Maaf Dok." ucap Nora membungkuk. "Berapa kali lagi aku harus mendengar permintaan maafmu itu? Kamu pikir itu jadi berarti setelah kamu mengucapkannya berkali-kali? Itu jadi tak berarti lagi. Keluarlah!" usir Grizell. Nora diam tak menjawab. Sebagai pegawai yang bekerja di sana, ia tidak punya keberanian untuk melawan orang yang lebih berkuasa darinya. "Bikin kesal saja!" gerutu Grizell duduk di tempatnya. Kata-kata Ayahnya yang mengatakan ia tertarik dengan Nora, mengartikan sesuatu hal yang lain di pikiran Grizell. "Ck," decak Grizell kesal sendiri. Namun amarahnya itu langsung mereda, saat benda pintar miliknya itu bergetar di atas mejanya. ("Mau makan bersama?") ("Apa maksudmu? Jangan bercanda!") ("Kamu gak mau mengucapkan kata selamat datang untukku?") ("Kamu ada di sini?") ("Ya.") ("Oh ya. Apa Naren mengganti nomornya? Aku tidak bisa menghubunginya.") ("Untuk apa kamu tanya anak gila itu?") ("Aku merindukannya,") ("Jangan ganggu adikku lagi!") ("Kamu sekarang berperan jadi Kakak yang baik?") Sosok wanita cantik berambut sebahu, duduk cantik di dalam mobil dengan pakaian mewahnya. Simple dan terlihat anggun. Bibir merahnya yang cantik seperti ceri, tersenyum dengan lebarnya. Senang karena berhasil mengobrol dengan teman lamanya. ("Aku bercanda. Jangan terlalu serius. Boleh aku minta tolong ajak dia?") ("Untuk apa?") ("Aku ingin minta maaf.") ("Ku usahakan.") ("Terima kasih. Kamu memang teman terbaikku.") ("Ini balasan karena kamu sudah mau menggantikan peranku dulu. Kalau tidak, aku tidak akan mau mengiyakan permintaanmu!") ("Tempatnya di tempat biasa. Aku tunggu!") Grizell melepaskan handphonenya di atas meja. Dia sekarang sedang bingung bagaimana cara mengajak adiknya yang gila itu. Namun hal yang paling membuatnya terpikirkan adalah reaksi adiknya jika ia tahu wanita itu sudah kembali ke negara ini. "Bodoh ah. Mereka harus bertemu untuk menyelesaikan masalah mereka." ujar Grizell, memutuskan untuk mengajak adiknya makan bersama tanpa memberitahu kehadiran wanita itu. Sementara itu, Nora yang baru saja kembali ke tempat jaganya, langsung dijegal dengan pertanyaan dari Fera. "Ada apa?" "Bukan apa-apa," "Wajahmu tidak memperlihatkan kamu tidak apa-apa. Apa Dokter Grizell memarahi mu lagi?" "Bukan marah. Bu Dokter hanya memberikan saran untukku!" Itulah yang seharusnya Nora yakini. Ucapan Grizell tadi bukanlah amarah melainkan sebuah saran agar dia lebih mengerti perasaan pasien. "Ais, bisa ya kamu berpikir seperti itu?" gerutu Fera, malah dia kesal sendiri dengan reaksi Nora yang selalu merasa dirinyalah yang memang salah. "Lebih baik kita kerja saja. Gak enak kalau Dokter Grizell mendengarnya!" bisik Nora, menghentikan Fera yang mengomel. "Huuu, kamu ya. Hatimu dibuat dari apa sih?" "Dari cinta," balas Nora tersenyum senang. Dia tak boleh larut dalam kesedihan. Dia harusnya senang karena mendapatkan bunga dari Danu. Terlepas gara-gara itu dia ditegur oleh Dokter Grizell. ("Terima kasih bunganya.") kirim Nora. ("Kamu suka?") ("Ya suka sekali.") ("Syukurlah kalau begitu.") ("I-itu. Maafkan aku.") ("Apa bisa kita lupakan saja yang kemarin?") "Apa tidak apa-apa?" gumam Nora merenung dalam hati. ("Hm,") angguk Nora dengan memberi emoticon. ("Aku ingin membicarakan hal yang sudah kita bicarakan sebelumnya. Kamu bisa datang ke tempat ini?") kirim Danu melihatkan sebuah gambar restoran. ("Datanglah ke tempat ini. Aku tunggu!") Nora diam sejenak. Pikirannya mulai berlabuh ke tempat yang indah. Bayangan dirinya yang akan dilamar secara formal, menjadi begitu nyata. ("Ok.") balas Nora merona. Di sela itu, ada chat masuk dari Adisty. Senyum di wajahnya menghilang sekejap. Perasaan yang tak nyaman kembali menyelimuti hatinya. ("Nora. Bisa ketemu nanti malam?") ("Maaf aku sudah ada janji.") ("Dengan Danu?") ("Ya.") ("Apa aku boleh ikut?") Biasanya Nora tidak akan merasa cemas jika Adisty menawarkan diri untuk bergabung dengan mereka berdua. Tapi sekarang dia tidak menyukainya. Terus. Apa Adisty sudah sehat? ("Bukannya kamu lagi sakit?") ("Aku akan semakin sakit kalau tidak melakukan apapun.") ("Tapi nanti kamu pasti gak nyaman. Orang-orang nanti kenal kamu. Bagaimana kalau lain kali aja? Kita cari tempat yang agak sepi dari keramaian.") Menjelaskan cukup panjang agar Adisty tidak tersinggung. ("Apa ini acara penting?") ("Maksudmu?") ("Bagaimana kalau aku membantumu merubah penampilanmu? Kamu harus terlihat cantik dan berbeda dari sebelumnya. Danu harus tahu kamu itu sangat cantik!") Kesungguhan Adisty, menyentil hati terdalam Nora. "Kenapa dia masih begitu curiga pada sahabatnya?" ("Terima kasih Adisty.") balas Nora tersenyum tipis. *** Akhirnya, Nora berada di salon kecantikan langganan Adisty. Penampilan Nora yang terlihat culun dan biasa saja menarik semua perhatian para pegawai disana. Ini pertama kalinya mereka melihat sosok seperti Nora masuk ke dalam salon mereka. "Ini temanku!" Adisty memperkenalkan. "Ohh," nada bicara dan ekspresi yang tergambar jelas merendahkan Nora. "Aku ke kamar mandi dulu!" pamit Nora tidak nyaman dengan cara mereka semua memandanginya. Nora berjalan ke kamar mandi cepat, rasa tidak nyaman yang menggerogoti hatinya membuatnya tidak bisa berpikir tenang hingga menabrak orang di depannya. Bruk. Nora terlempar ke lantai dengan kedua tangan menopang tubuhnya. Laki-laki tinggi besar yang ada di depannya hanya melihatnya dengan tatapan tajam. Deg. Degup jantung Nora berdebar tak karuan. Tabrakan yang membuatnya tidak sengaja menempelkan badannya memicu traumanya. "Pak Naren. Datang sama siapa?" sapa Adisty, berdiri di samping Nora. "Kamu tidak apa-apa Nor?" tanya Adisty, mengulurkan tangannya. Membantu Nora untuk berdiri. Naren diam tak menjawab. Perhatiannya lurus melihat ke arah Nora yang mengabaikan pandangannya. "Ini sahabat saya. Namanya Nora!" Adisty memperkenalkan. "Hmm," jawab Naren singkat berlalu pergi. Tak menjawab pertanyaan Adisty tadi. "Ck, orang itu. Bikin kesal saja!" decak Adisty emosi. Memandangi punggung Naren dengan tatapan tajam. "Kamu mengenalnya?" tanya Nora ragu. "Ya." jawab Adisty asal. "Naren. Dia orang yang waktu itu dengan Dokter Grizell?" gumam Nora dalam hati. Nama yang disebutkan Adisty sama dengan nama yang terakhir kali ia dengar waktu itu di ruangan Dokter Grizell. "Aku rasa Ayah menyukai salah satu pegawaiku." beritahu Grizell. "Aku tidak perduli." "Kamu anaknya. Bagaimana bisa kamu tidak peduli?" "Saat kalian meninggalkanku aku sudah tidak peduli lagi dengan kalian!" ucap Naren tanpa ekspresi. Grizell sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. "Dasar pendendam!" "Untuk apa kamu mengajak pendendam ini keluar?" "I-itu. Kamu harus mentraktirku karena aku sudah membantumu!" Grizell sedikit gugup. "Ku pikir kamu bukanlah orang yang perhitungan!" cemoh Naren. "Kita satu darah. Jangan lupakan itu!" balas Grizell. Mengingatkan Naren bahwa semua anggota di keluarganya adalah orang-orang yang gila akan uang. "Oh ya. Ayah memintaku untuk mengatakan ini padamu.....," oceh Grizell tak menyadari bahwa omongannya sama sekali tak dihiraukan oleh Naren yang saat ini jadi begitu tertarik dengan Nora. "Kenapa mereka terlihat baik-baik saja? Ada apa dengan gadis bodoh itu?" cemoh Naren dengan sudut bibir naik sebelah. Nora mengingatkannya pada sosok wanita yang pernah hadir dalam hidupnya. "Benar. Dia laki-laki itu!" gumam Nora memandangi punggung Naren yang sudah menjauh pergi. Berjalan beriringan dengan sosok yang ia kenal.Pria tua itu menatap Naren sejenak, seolah mencoba membaca kebohongan atau kebenaran di balik ucapannya. Tapi akhirnya ia mundur perlahan, dan melangkah pergi, meski pandangannya tetap tertinggal di mobil mereka.Begitu bayangan pria itu tak lagi terlihat, Naren kemudian menyibak jas yang menutupi kepala Nora. Nora duduk terpaku. Tubuhnya masih gemetar, pandangannya kosong, seolah jiwanya belum kembali ke dalam dirinya. Bibirnya kelu, tak ada suara, tak ada warna.Naren hanya menatapnya, bingung harus berbuat apa. Dengan tangan yang masih dingin, ia mengangkat dagu Nora perlahan, menelusuri pipi pucat itu dengan jemarinya. Sentuhannya yang terasa dingin, menggerakkan mata Nora yang bergerak pelan, menatapnya. Tapi tatapan itu terlihat hampa. Bukan Nora yang biasanya menatapnya tajam, bukan Nora yang pura-pura terlihat berani. Bukan juga wanita yang pura-pura terlihat baik di depan orang tercintanya. “Dia sudah pergi!” beritahu Naren. "Sudah pergi?" b
Naren menarik Nora ke dekatnya dengan gerakan cepat, membuat tubuh perempuan itu terhuyung, terperangkap dalam genggaman yang tak sempat ia tolak. Dalam satu tarikan napas, posisi mereka berubah. Kini, Nora yang tertindih di bawah tubuh Naren, di atas sofa panjang yang dingin dan sempit. Nafas mereka bertemu, terlalu dekat, terlalu panas.Naren menatap dalam-dalam, memaku pandangannya pada mata Nora yang bergetar. Bola mata wanita itu tampak terkejut, namun tak juga menghindar. Ia membeku, tubuhnya menegang saat Naren menunduk perlahan."Ketenanganku terusik," ucap Naren dengan nada rendah, dingin seperti biasanya. Matanya menusuk, menuntut, seolah mencari jawaban dari tatapan Nora yang kini mulai menghindar.Wajah Naren turun perlahan, napasnya hangat menyapu kulit halus di leher Nora. Tangan yang semula menggenggam kuat kini melemah, entah karena lelah atau karena sesuatu yang tak bisa ia lawan. Nora menggigit bibirnya, hendak mendorong tubuh Naren, tapi
Di ruang makan, suasana begitu canggung. Naren duduk tegak, tangannya rapi di pangkuan, matanya menyapu meja makan tanpa benar-benar melihat. Ayah Nora duduk di hadapannya dengan ekspresi kaku. Nadin di samping mereka, berusaha menjaga senyum."Ini Nora yang masak!" ujar Nadin tiba-tiba, mencoba memecah keheningan yang menggantung.Nora hanya melirik cepat ke arah Naren, dan tanpa disangka, Naren juga melirik padanya. Pandangan mereka bertemu. Naren diam memandangi, tidak menyangka Nora bisa memasak. Ia diam sejenak sampai perhatiannya teralihkan oleh pertanyaan Ayah mertuanya, "Apa kamu mencintai putriku?" Nora refleks menoleh ke arah Ayahnya. Jantungnya berdetak kencang, takut jika Naren menjawab hal yang tidak seharusnya diketahui oleh Ayahnya. Namun yang paling mengejutkannya adalah reaksi Naren yang malah tersenyum. Senyum itu... Nora mengenalnya. Bukan senyum hangat, tapi senyum formal dengan niat tersembunyi. "Tentu saja. Kalau tidak
Nora berdiri di depan pintu gedung. Matanya sesekali menatap ke arah jalan, menunggu kedatangan Nadin, yang berjanji akan menjemput.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pria muda dengan pakaian rapi dan wajah familiar berhenti tepat di hadapannya."Hallo, Mba Perawat. Anda masih ingat saya?" sapanya sambil tersenyum ramah.Nora sempat bingung beberapa detik, namun matanya menyipit saat meneliti sosok di hadapannya. Di leher pria itu tergantung kartu identitas dengan logo media terkenal."Saya laki-laki yang pernah Mba tolong, malam itu di depan toko. Saya reporter,” jelasnya sambil tersenyum, menunjukkan kartu identitasnya. Nora langsung teringat. "Bagaimana keadaan Anda sekarang?" tanya Nora hangat.“Saya baik-baik saja, berkat Anda,” jawab pria itu tulus. Kemudian, matanya melirik ke arah gedung di belakang Nora. “Anda tinggal di sini?”“Iya…” jawab Nora sedikit canggung, memutar b
Naren kembali masuk ke ruangan pesta dengan langkah berat. Matanya langsung menelusuri kerumunan, mencari sosok pria yang tadi dengan lancang menyentuh Nora.Begitu melihatnya tertawa bersama rekan-rekannya, amarah Naren meledak. Ia menghampiri tanpa aba-aba, lalu menarik tangan pria itu dan memutarnya dengan kasar.“Krekk!”“Aghhh, tanganku! Tanganku!” pekik pria itu kesakitan. Wajahnya memucat, tubuhnya gemetar. Beberapa tamu di sekitar terkejut. Musik berhenti seketika. Semua mata tertuju pada Naren.“Aku sudah memperingatkan dia. Aku bilang wanita itu datang denganmu!” ujar seorang rekan pria itu dengan panik, mencoba menjelaskan dan menyelamatkan diri.Naren tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tatapannya tajam, dingin, dan penuh ancaman. Setelah memastikan pria itu cukup menderita, ia melepas tangannya dan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan keributan kecil di tengah pesta.Andrew yang melihat semua itu, berdiri membeku
“Tidak ada gunanya aku tetap di sini,” ucap Nora, lantang tapi bergetar. “Keberadaan ku hanya akan menghambat hubunganmu dengan Alina. Bukankah kamu ingin kembali padanya? Jadi mari akhiri hubungan ini. Untuk kerugianmu, aku berjanji akan membayarnya. Aku tidak bohong. Aku tidak akan lari!” sambung Nora, suaranya terdengar tegar meski masih bergetar. Naren hanya menatapnya. Wajahnya datar, tapi matanya menajam. Ia melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. Dengan tangan dingin tapi mantap, Naren mengangkat dagu Nora dan memegangi wajah kecil itu dengan tekanan yang tidak menyakitkan, tapi cukup untuk membuat Nora menahan napas.“Apa kamu sudah selesai bicara?” tanya Naren pelan, nyaris seperti bisikan tapi mengandung ancaman halus di balik tenangnya.Nora tak menjawab. Sorot matanya tetap kuat menatap Naren.“Apa kamu tidak paham dengan perkataanku? Dengarkan ini baik-baik. Setelah kamu berani masuk, jangan harap bisa keluar begi