Wanita cantik yang ada di depan cermin itu adalah Nora. Paras yang selama ini tersembunyi di balik wajah tanpa riasan. Bibir kecil yang selalu terlihat pucat, kini terlihat lebih cerah dan segar dengan olesan warna cherry. Rambut panjang yang selalu diikat kuda kini terurai panjang bergelombang. Kacamata yang selalu terkait di telinga tak lagi menutupi mata indahnya. Bola mata yang umumnya orang asia punya, kecoklatan dan bulu mata hitam panjang lentik.
"Apa ini aku?" gumam Nora, bahkan ia pun tak menyangka wanita yang ada di depan cermin itu adalah dirinya sendiri. Sudah lama sejak ia terakhir kali membubuhkan warna ke wajahnya. Terakhir, di acara pernikahan Kakaknya. "Kamu sebenarnya cantik, tapi sayang kurang dirawat aja!" celetuk laki-laki di belakangnya. Orang yang sudah berjasa mengubahnya menjadi seorang putri cantik. "Apa aku bilang. Dia cantik kan?" sahut Adisty, memajukan wajahnya ke dekat Nora. Aroma parfum yang segar dan cukup kuat, menggelitik hidung Nora. Aroma khas Adisty yang tak asing lagi bagi hidung Nora, aroma parfum yang sempat membuatnya curiga pada Danu. "Terima kasih," jawab Nora malu, pipi yang sudah diberikan warna perona semakin merona seperti tomat. Nora meletakkan tangannya di dadanya, merasakan debaran jantung yang seperti drum ditabuh. Membayangkannya saja sudah membuatnya berdebar. Apalagi nanti saat bertemu langsung dengan Danu? Sayangnya, kebahagiaan itu tak dirasakan juga oleh Adisty. Adisty memandang wajah Nora lekat. Dia tidak suka melihat wajah malu-malu Nora. Sikap polos Nora yang seperti anak kecil, baginya. "Ok. Sekarang tinggal bajunya!" ucap Adisty, menghentikan ekspresi menyebalkan itu. Memaksa Nora ikut dengannya. Adisty menarik tangan Nora hingga kursi yang di duduki Nora bergeser jauh. Suara derit kursi yang nyaring mencuri perhatian beberapa orang termasuk laki-laki yang berdiri di belakang kursi tadi. Untung saja ia cepat menghindar, kalau tidak, pastinya kaki indahnya akan membengkak karena terkena kursi. "Aku belum bayar!" Nora melihat ke belakang. Melihat laki-laki tadi yang tersenyum bangga melihat hasil karyanya sendiri. "Tenang saja. Hari ini adalah hari spesial untukmu!" "Hari spesial?" "Ucapan terima kasih karena kamu sudah mengajari aku bagaimana rasanya mencintai seseorang. Jadi hari ini aku akan mentraktir mu!" tekan Adisty dengan senyuman lebar. Entah apa maksud dari perkataannya itu, yang jelas Nora yang selalu berpikir positif, membalas ucapan Adisty itu dengan tulus. "Terima kasih." "Sama-sama," balas Adisty, saat Nora tak lagi melihat ke arahnya. Senyuman itu menghilang dari wajahnya dan terlihat begitu datar, tatapannya lurus memandangi wajah Nora yang tersenyum bahagia. Perasaan iri yang terasa begitu menyesakkan dada. Pertanyaannya, kenapa harus Nora? *** Sampai di toko, langkah kaki Nora terhenti dengan tiba-tiba. Papan nama "Lauren De Mode" yang berkilau dibawah sinar lampu anterior. Jendela besar yang memamerkan gaun-gaun indah yang tertata dengan rapi, ada satu hal yang ada di benak Nora, mahal. "Sebaiknya kita cari ditempat yang lain!" Nora menarik tangan Adisty, namun Adisty tak berpindah dari tempatnya berdiri. "Gak usah khawatir. Aku punya banyak uang!" ujar Adisty tersenyum tipis. Lagi-lagi ia memaksa Nora untuk ikut masuk dengannya. Pada akhirnya, Nora pun mengikuti keinginan Adisty. Tak menanyakan keinginan Nora lebih dulu, Adisty dengan sembarang mengambil baju untuk Nora. Pakaian yang menurutnya, Nora tidak akan nyaman memakainya. "Cobalah!" pinta Adisty menyerahkan baju hasil pilihannya. Melihatnya saja Nora tahu itu bukan gayanya, tapi melihat kesungguhan Adisty untuk membantunya. Nora jadi tak enak hati menolak. Nora selalu begitu. "Y-ya," jawab Nora setengah hati. Masuk ke dalam ruang ganti. Nora memilih baju yang paling normal menurut dirinya. Gaya pertama, Nora keluar dengan baju berwarna coklat lengan panjang ketat dan rok pendek berwarna hitam seatas lutut. "Bajunya terlalu ketat dan roknya juga...," ujar Nora merasa tidak nyaman. Hembusan angin begitu terasa mengenai kakinya hingga membuatnya merinding. Bentuk tubuhnya juga terlalu terbentuk. "Cantik loh!" bujuk Adisty. "Aku ganti saja," ujar Nora tersenyum tipis, buru-buru masuk ke dalam ruang ganti sebelum banyak orang yang melihat kakinya yang polos. Mengambil baju yang lain, tidak ada satu baju pun yang sesuai dengan keinginannya. Dress berwarna maroon yang memiliki aksen mengembang dan potongan dada yang lebih rendah memperlihatkan semua bentuk tubuhnya bahkan bulatan dadanya yang tidak bisa disembunyikan secara sepenuhnya. Halter dress warna putih tulang yang cantik terlalu memperlihatkan bentuk pahanya. Backless Dress warna soft pink terlalu mengekspos punggung belakang hingga bagian pinggulnya. "Kenapa Nor?" tanya Adisty karena Nora belum juga keluar dari ruang ganti. "I-itu, boleh aku pilih baju sendiri?" ucap Nora sungkan. "Ya sudah!" ujar Adisty tak bersahabat. Dia pergi meninggalkan Nora dan berjalan ke tempat lain. Nora yang sudah mengganti pakaiannya ke pakaian awalnya, keluar dari ruang ganti dan tak menemukan Adisty di sana lagi. "Dimana Adisty?" Matanya berkeliling mencari Adisty. Nora yang terlalu perasa, mengerti Adisty mungkin bosan dengan sikapnya yang terlalu banyak memilih. Tapi dia benar-benar tidak bisa menggunakan semua pakaian tadi. Mencari pakaian tanpa ada Adisty di dekatnya. Mata Nora tidak sengaja melihat ke arah ruang ganti di sebelahnya. Sosok gadis cantik berambut sebahu keluar dengan dress model backless yang memperlihatkan punggung putih cantiknya. Dia begitu berani dan terlihat menawan dengan dress-nya. Rasa percaya diri yang terpancar membuat Nora merasa iri. Nora tidak cukup berani untuk memakai baju seperti itu. Terlalu mengagumi sampai terus melihat ke arah wanita itu. Nora tidak sadar bahwa tatapannya itu bisa membuat wanita itu melihat balik ke arahnya. Wanita itu tersenyum manis, tapi Nora dengan cepat memalingkan wajahnya. Kaget, karena dia ketahuan terus melihat. "Ck, Nora itu tidak sopan!" tegur batinnya. Sedang memilih bajunya sendiri. Nora tidak menyadari bahwa wanita tadi mendekatinya. "Ini cocok untukmu!" ujar wanita yang tadi. Mengalihkan mata Nora yang agak kaget melihat kedatangannya. "Tidak ketat, tidak terbuka, dan pasti cocok untuk wanita cantik sepertimu!" pujinya. Suara dan pembawaannya yang tenang, ramah, dan damai membuat Nora tak berhenti menatap dengan kagum. "Cobalah!" Seperti sebuah kata hipnotis. Nora langsung mengambilnya dari tangan wanita itu. "Te-terima kasih," ujar Nora gugup. "Sebenarnya rahasia berpakaian itu adalah percaya diri. Tak peduli itu bagaimana selama kamu percaya diri tidak masalah!" lanjutnya dengan senyuman manis. Nora sampai tercengang melihatnya. Wanita itu memang sangat cantik. Wanita itu berlalu pergi dan Nora masih melihatnya dengan decak kagum. Entah kapan dia bisa seperti wanita itu, memiliki kepercayaan diri yang lebih. Ting, dering handphone Nora berbunyi. Menyadarkan Nora dari lamunannya. ("Kamu dimana?") kirim Danu ke Nora melalui pesan voice. ("Aku sedang diluar. Kita langsung ketemu aja di tempatnya.") ("Kamu tahu tempatnya?") Danu terdengar meragukan. ("Nanti tinggal cari gog...,") "Sudah selesai?" potong Adisty. Nada yang terdengar malas tidak bisa disembunyikan dan Nora tahu itu. "Ya," jawab Nora tetap membalas dengan senyuman. "Tunggu sebentar!" sambung Nora cepat-cepat berganti pakaian. Di sela itu, ia menyempatkan dirinya untuk membalas Danu. ("Kirimkan lokasinya. Aku jalan sekarang.") kirim Nora. "Bagaimana?" tanya Nora tersenyum lebar berusaha memperbaiki suasana hati Adisty. Tapi percuma, Adisty tetap memperlihatkan wajah malasnya. "Tempatnya dimana?" "Tidak usah. Aku bisa pergi sendiri." "Kenapa? Kamu takut aku mengambil pacarmu?" Nora tersentak. Dia tidak mengerti apa yang terjadi dengan Adisty. Namun hal itu menyinggung perasaannya. "Apa ada masalah?" tanya Nora tetap lembut. "Hmm." "Maafkan aku. Aku-" "Sudah Nora. Jangan minta maaf terus-menerus. Kamu tinggal bilang dimana tempatnya. Aku antar kamu ke sana lalu langsung pulang!" raut wajah Adisty yang tidak mengenakkan, membuat suasana hati Nora yang sejak tadi bahagia merasa tidak senang. "Baiklah," Norapun membagikan alamat yang dikirim Danu padanya ke Adisty. "Tunggu di sini. Aku bayar dulu!" "Tenang Nor. Mungkin Adisty sedang banyak masalah!" ucap Nora memenangkan dirinya, berusaha memaklumi sikap Adisty agar dirinya tidak merasa canggung. Usai membayar ini itu. Adisty pun mengantarkan Nora ke tempat janjiannya. Sepanjang jalan Adisty sama sekali tidak bicara. Nora juga begitu. Ia tidak tahu harus menenangkan Adisty bagaimana. Biasanya Adisty tidak pernah marah padanya. Nora memang tidak pandai membujuk orang marah. "Tujuan anda ada di sebelah kanan!" suara mesin petunjuk jalan mengalihkan pikiran Nora. Dari dalam mobil, Nora bisa melihat papan nama gedung yang akan menjadi tempat ia dan Danu akan bertemu "Le Paradise." Tulisannya sangat besar hingga dari jauh masih sangat terlihat. Tempat mewah yang digadang-gadang menjadi tempat para kalangan atas menghabiskan waktu mereka. Selain tempat makan, di atas gedung juga ada tempat hiburan. Hari ini adalah hari jadi ke sebelas mereka. Danu pasti tahu itu, karena itu dia diajak ke tempat mewah seperti itu, yakini Nora. Ini adalah momen penting untuk mereka berdua. Mobil berhenti di depan gedung. "Terima kasih," ucap Nora turun dari mobil. Adisty diam tak membalas. Walau begitu, Nora tak mau mengambil pusing. Dia tidak ingin momen bahagianya terganggu dengan mood Adisty yang tiba-tiba berubah. Masuk ke dalam, Nora tak sengaja berpapasan dengan wanita yang ia temui di toko baju tadi. "Kamu!" ujar wanita cantik itu, mengenal Nora lebih dulu. "Ya," balas Nora menundukkan kepalanya. "Kencan?" "Hmm," jawab Nora mengangguk. Dia agak kurang nyaman karena wanita itu bertindak begitu akrab dengannya. "Aku juga." jawabnya tanpa malu. "Semoga harimu menyenangkan!" Ucapnya melambaikan tangannya. "Anda juga." balas Nora. Mereka masuk secara bersamaan. Nora berbelok ke sebelah kanan dan wanita itu tetap lurus ke depan. Danu tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Nora. Degup jantung Nora jadi semakin berdegup kencang. Tatapan Danu yang melihatnya dengan takjub membuat pipinya merona dan sedikit canggung karena kedua lengannya terlihat jelas. "Tidak apa-apa Nor," ucapnya mengelus kedua lengannya yang bertelanjang. Nora berjalan sambil menyilangkan kedua tangannya, memegangi pundaknya. "Kamu cantik sekali!" puji Danu segera berdiri untuk menarik kursi agar Nora bisa duduk. "Terima kasih," jawab Nora malu. Wajahnya yang memerah seperti tomat membuat Danu yang melihatnya tak berhenti tersenyum. Bertahun-tahun pacaran dengan Nora, dia tetap merasa seperti baru pacaran dengan Nora. "Jangan melihatku seperti itu!" "Tidak bisa. Hari ini kamu sangat cantik. Mataku tidak bisa berpaling darimu!" balas Danu. Deg. Nora tertegun. Rasanya jantungnya ingin meledak setelah mendengar ucapan Danu itu. "Makanlah. Ada yang mau aku sampaikan setelah selesai makan nanti!" ujar Danu, kalau dia terus-menerus menggoda Nora, bisa-bisa mereka tidak akan menikmati makan malam mereka. "Apa aku bau? Aku belum mandi," gumam Nora baru ingat. Dari kejauhan, di meja yang berbeda. Naren yang sejak tadi diam-diam mengawasi Danu karena berpikir Danu akan bertemu dengan Adisty, agak kaget saat melihat wanita yang datang ternyata bukan Adisty. Naren sama sekali tidak mengenali Nora yang sudah beberapa kali ia temui. Tidak memakai kacamata dan gaya berpakaiannya sama sekali tak membuat Naren berpikir wanita itu adalah Nora. "Perempuan lain lagi?" ledek Naren tersenyum seperti orang yang jijik. Ia sama sekali tak menyadari bahwa ada wanita cantik yang berdiri di sampingnya, menunggu reaksinya. Grizell yang berada di samping kanan Naren, hanya bisa memperhatikan Naren dan wanita di depannya itu. "Naren!" panggil wanita itu menatap Naren lekat. Tatapannya yang dalam seperti seseorang yang sudah sangat lama menyimpan rasa rindu. Mendengar suara yang tak asing bagi memorinya, membuat wajah Naren mengeras. Naren menoleh ke samping dan melihat wanita itu, yang tersenyum senang saat melihatnya. "Kalian sudah lama tidak ketemu. Jadi silahkan bicara apa yang ingin kalian bicarakan!" ujar Grizell berbicara lebih dulu agar suasana tidak meledak secara tiba-tiba. Walau memang Naren terlihat tenang-tenang saja, tapi auranya begitu menakutkan, aura membunuhnya terasa begitu kuat. Entah kemana perginya, adek laki-laki yang manis dan manja dulu. "Sudah lama ya?" sapa wanita itu seperti tidak ada masalah diantara mereka. Grizell yang mendengarnya pun merasa sedikit heran. Kedua alisnya terangkat ke atas, seharusnya temannya itu mengucapkan permintaan maaf. Grizell beralih melihat ke arah Naren. Grizell diam menanti reaksi Naren. "Hmm," jawab Naren, berdiri dari tempat duduknya. "Kamu mau kemana?" "Ke toilet!" "Aku juga!" ucap wanita itu mengikuti Naren. Grizell yang berada diantara mereka, memberikan waktu untuk mereka tanpa ikut campur. Padahal sebenarnya dengan mengajak Naren tanpa memberitahu pun sudah dianggap ikut campur. "Kamu ganti nomor ya? Aku menghubungimu berulang kali tapi nomormu tidak aktif." "Kamu mau membersihkan milikku?" Naren berhenti di depan kamar mandi laki-laki. Ucapannya yang terlalu vulgar tanpa disaring mengagetkan Alina. Di belakang ada Nora juga yang langsung mematung setelah menjadi orang ketiga diantara mereka. "Pe-rmisi!" ucap Nora gugup, menyela diantara mereka berdua. "Kalau kamu mengizinkannya boleh juga!" balas Alina tanpa malu, malah membuat Naren semakin kesal. "Haaa, kamu jadi tambah tidak tahu malu setelah bercerai!" sindir Naren masuk ke dalam kamar mandi. Nora yang dalam setengah perjalanan, mendengar semuanya secara jelas. "Pantas saja. Mereka ternyata sepasang suami istri," gumam Nora. Hampir saja ia mengutuk perkataan laki-laki tadi. Namun setelah mendengar keseluruhan, dia memakluminya. Sementara itu di sana. Adisty yang sejak tadi masih diam di dalam mobil. Keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam gedung. Matanya langsung mencari keberadaan Danu, yang kebetulan saat itu sedang mengeluarkan kotak segiempat berwarna merah kecil. Wajah senangnya menyulut emosi Adisty. Adisty berjalan cepat dan langsung merebut kotak merah itu dari tangan Danu. "Kamu!" ucap Danu dengan kedua bola mata membesar. Walau Adisty sudah memakai penutup wajah. Danu masih mengenali sosok itu. Mungkin karena aromanya yang khas. "Kamu mau menikahi Nora setelah apa yang sudah kita lakukan berdua?" teriak Adisty kencang. Orang-orang mulai melihat ke arah mereka. "Tenanglah. Orang-orang melihat kita!" tegur Danu lembut. Wajahnya mulai cemas, takut jika Nora datang. Danu mendekati Adisty dengan tenang. Ia tidak bisa melawan Adisty yang keras hati dengan keras juga, karena itu percuma. "Kita bicara diluar!" bujuk Danu memegangi pundak Adisty. "Aku tidak mau!" "Kenapa kamu bersikap seperti ini?" tanya Danu masih berusaha tetap tenang. "Kamu tanya aku kenapa? Tentu saja karena aku mencintaimu." "Mencintaiku?" balas Danu dengan tawa mengejek. Nora yang baru saja selesai menyemprotkan parfum ke seluruh pakaiannya, keluar dengan bahagianya. Malam ini adalah malam bahagianya, di tidak ingin terganggu dengan aroma tubuh yang asam. "Kamu pikir aku mau tidur denganmu kalau aku tidak menyukaimu?" balas Adisty. "Diam lah!" bentak Danu serius. "Kenapa? Kamu takut Nora tahu kalau kita sudah melakukan hubungan intim?" balas Adisty dengan senyuman kesal. "Sekarang kamu mau membuang ku setelah kau meniduri ku?" lanjut Adisty tersulut emosi semakin dalam. "Biar aku beritahu sekarang. Aku penasaran bagaimana reaksinya. Apakah dia akan menerima cincinmu ini atau tidak!" ancam Adisty. Adisty berjalan pergi dan Danu segera menghentikannya. Danu menarik tangan Adisty kuat, tapi ternyata itu sudah terlambat. Nora berdiri di belakang mereka dengan tatapan kosong. Tubuhnya diam mematung seperti mayat hidup. "Nora," panggil Danu pelan. Nora berbalik pergi. Dia tak tahu harus bagaimana. Dunia yang sudah ia bangun sangat lama runtuh dalam semalam. Membuat kepalanya tidak mampu berpikir. Yang ia inginkan adalah melampiaskannya. Nora berhenti berjalan. Laki-laki di depannya menghalangi langkah gusarnya. Nora mendongak ke atas tanpa tahu siapa itu. Wajahnya tidak jelas. Tanpa ia sadari, tubuhnya bergerak dengan sendiri. Cup! Nora menempelkan bibir kecilnya ke bibir laki-laki asing di depannya itu dengan kaki berjinjit. Tatapannya yang kosong terarah pada sosok laki-laki yang menatapnya dengan tatapan kaget dan bercampur amarah. "He," tawa laki-laki itu lirih. Kesal karena dijadikan pelampiasan. Namun, mengingat Alina juga ada disana, Naren merasa tertantang. "Tidak baik membuang kesempatan yang bagus," batinnya sembari tersenyum mengejek. Naren mendekap kepala Nora dekat ke arahnya. Mengajarkan wanita polos itu arti ciuman yang sebenarnya, bukan sekedar menempelkan bibir seperti yang dilakukannya saat ini.Pria tua itu menatap Naren sejenak, seolah mencoba membaca kebohongan atau kebenaran di balik ucapannya. Tapi akhirnya ia mundur perlahan, dan melangkah pergi, meski pandangannya tetap tertinggal di mobil mereka.Begitu bayangan pria itu tak lagi terlihat, Naren kemudian menyibak jas yang menutupi kepala Nora. Nora duduk terpaku. Tubuhnya masih gemetar, pandangannya kosong, seolah jiwanya belum kembali ke dalam dirinya. Bibirnya kelu, tak ada suara, tak ada warna.Naren hanya menatapnya, bingung harus berbuat apa. Dengan tangan yang masih dingin, ia mengangkat dagu Nora perlahan, menelusuri pipi pucat itu dengan jemarinya. Sentuhannya yang terasa dingin, menggerakkan mata Nora yang bergerak pelan, menatapnya. Tapi tatapan itu terlihat hampa. Bukan Nora yang biasanya menatapnya tajam, bukan Nora yang pura-pura terlihat berani. Bukan juga wanita yang pura-pura terlihat baik di depan orang tercintanya. “Dia sudah pergi!” beritahu Naren. "Sudah pergi?" b
Naren menarik Nora ke dekatnya dengan gerakan cepat, membuat tubuh perempuan itu terhuyung, terperangkap dalam genggaman yang tak sempat ia tolak. Dalam satu tarikan napas, posisi mereka berubah. Kini, Nora yang tertindih di bawah tubuh Naren, di atas sofa panjang yang dingin dan sempit. Nafas mereka bertemu, terlalu dekat, terlalu panas.Naren menatap dalam-dalam, memaku pandangannya pada mata Nora yang bergetar. Bola mata wanita itu tampak terkejut, namun tak juga menghindar. Ia membeku, tubuhnya menegang saat Naren menunduk perlahan."Ketenanganku terusik," ucap Naren dengan nada rendah, dingin seperti biasanya. Matanya menusuk, menuntut, seolah mencari jawaban dari tatapan Nora yang kini mulai menghindar.Wajah Naren turun perlahan, napasnya hangat menyapu kulit halus di leher Nora. Tangan yang semula menggenggam kuat kini melemah, entah karena lelah atau karena sesuatu yang tak bisa ia lawan. Nora menggigit bibirnya, hendak mendorong tubuh Naren, tapi
Di ruang makan, suasana begitu canggung. Naren duduk tegak, tangannya rapi di pangkuan, matanya menyapu meja makan tanpa benar-benar melihat. Ayah Nora duduk di hadapannya dengan ekspresi kaku. Nadin di samping mereka, berusaha menjaga senyum."Ini Nora yang masak!" ujar Nadin tiba-tiba, mencoba memecah keheningan yang menggantung.Nora hanya melirik cepat ke arah Naren, dan tanpa disangka, Naren juga melirik padanya. Pandangan mereka bertemu. Naren diam memandangi, tidak menyangka Nora bisa memasak. Ia diam sejenak sampai perhatiannya teralihkan oleh pertanyaan Ayah mertuanya, "Apa kamu mencintai putriku?" Nora refleks menoleh ke arah Ayahnya. Jantungnya berdetak kencang, takut jika Naren menjawab hal yang tidak seharusnya diketahui oleh Ayahnya. Namun yang paling mengejutkannya adalah reaksi Naren yang malah tersenyum. Senyum itu... Nora mengenalnya. Bukan senyum hangat, tapi senyum formal dengan niat tersembunyi. "Tentu saja. Kalau tidak
Nora berdiri di depan pintu gedung. Matanya sesekali menatap ke arah jalan, menunggu kedatangan Nadin, yang berjanji akan menjemput.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pria muda dengan pakaian rapi dan wajah familiar berhenti tepat di hadapannya."Hallo, Mba Perawat. Anda masih ingat saya?" sapanya sambil tersenyum ramah.Nora sempat bingung beberapa detik, namun matanya menyipit saat meneliti sosok di hadapannya. Di leher pria itu tergantung kartu identitas dengan logo media terkenal."Saya laki-laki yang pernah Mba tolong, malam itu di depan toko. Saya reporter,” jelasnya sambil tersenyum, menunjukkan kartu identitasnya. Nora langsung teringat. "Bagaimana keadaan Anda sekarang?" tanya Nora hangat.“Saya baik-baik saja, berkat Anda,” jawab pria itu tulus. Kemudian, matanya melirik ke arah gedung di belakang Nora. “Anda tinggal di sini?”“Iya…” jawab Nora sedikit canggung, memutar b
Naren kembali masuk ke ruangan pesta dengan langkah berat. Matanya langsung menelusuri kerumunan, mencari sosok pria yang tadi dengan lancang menyentuh Nora.Begitu melihatnya tertawa bersama rekan-rekannya, amarah Naren meledak. Ia menghampiri tanpa aba-aba, lalu menarik tangan pria itu dan memutarnya dengan kasar.“Krekk!”“Aghhh, tanganku! Tanganku!” pekik pria itu kesakitan. Wajahnya memucat, tubuhnya gemetar. Beberapa tamu di sekitar terkejut. Musik berhenti seketika. Semua mata tertuju pada Naren.“Aku sudah memperingatkan dia. Aku bilang wanita itu datang denganmu!” ujar seorang rekan pria itu dengan panik, mencoba menjelaskan dan menyelamatkan diri.Naren tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tatapannya tajam, dingin, dan penuh ancaman. Setelah memastikan pria itu cukup menderita, ia melepas tangannya dan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan keributan kecil di tengah pesta.Andrew yang melihat semua itu, berdiri membeku
“Tidak ada gunanya aku tetap di sini,” ucap Nora, lantang tapi bergetar. “Keberadaan ku hanya akan menghambat hubunganmu dengan Alina. Bukankah kamu ingin kembali padanya? Jadi mari akhiri hubungan ini. Untuk kerugianmu, aku berjanji akan membayarnya. Aku tidak bohong. Aku tidak akan lari!” sambung Nora, suaranya terdengar tegar meski masih bergetar. Naren hanya menatapnya. Wajahnya datar, tapi matanya menajam. Ia melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya sejengkal. Dengan tangan dingin tapi mantap, Naren mengangkat dagu Nora dan memegangi wajah kecil itu dengan tekanan yang tidak menyakitkan, tapi cukup untuk membuat Nora menahan napas.“Apa kamu sudah selesai bicara?” tanya Naren pelan, nyaris seperti bisikan tapi mengandung ancaman halus di balik tenangnya.Nora tak menjawab. Sorot matanya tetap kuat menatap Naren.“Apa kamu tidak paham dengan perkataanku? Dengarkan ini baik-baik. Setelah kamu berani masuk, jangan harap bisa keluar begi