"Kamu di sini?" Grizell yang baru saja keluar dari ruangannya, berpapasan dengan Naren di depan pintu ruangannya.
Nora yang berlari mengejar langsung berhenti mendadak. Matanya tak lagi tertarik pada sosok laki-laki di depannya itu, matanya tertuju pada perempuan yang ada di depannya. Melihat Nora dengan garis alis lurus dan garis bibir tegas. "Tunggu di ruanganku!" ucap Grizell berbicara dengan Nora. Naren yang sadar perhatian Kakaknya teralihkan, mencari tahu dengan siapa ia bicara. Naren melihatnya tapi Nora tidak. Nora sudah membungkukkan badannya. "Ikut aku!" ajak Grizell, menuntun Naren. "Kenalan Bu dokter?" gumam Nora, mengangkat kepalanya setelah Grizell pergi. Sesuai instruksi, Nora masuk ke dalam ruangan. Ternyata, dia tak sendiri di sana. Ada laki-laki tua, yang usianya hampir sama seperti Ayahnya, sedang duduk menyesap kopinya sambil melihat ke arahnya bingung. "Siang Pak," salam hormat Nora, menundukkan kepalanya. Nora mengenalnya tapi laki-laki tua itu tidak tahu Nora. "Dokter Grizell sedang keluar." "Bu Dokter menyuruh saya menunggunya di sini." "Kalau begitu duduklah!" Laki-laki tua itu, direktur rumah sakit tempat Nora bekerja sekarang. Ayah dari dokter Grizell Putri Dirgantara. Cucu pertama dari Dirgantara. "Terima kasih." balas Nora, memilih duduk di kursi dibandingkan duduk di sofa yang empuk. Bukannya dia tak sopan, tapi dia menghindari hal yang membuatnya canggung, tidak tahu harus bersikap bagaimana pada sosok itu jika ia duduk di sofa. "Namamu siapa?" "Saya Nora Pak." Nora membalikkan badannya, melihat ke arah Pak Kepala. "Ohh. Sudah berapa lama kerja di sini?" "Lima tahun lebih," "Menurutmu bagaimana rumah sakit ini?" Nora merasa seperti diwawancarai ulang, sama seperti pertama kali ia masuk dulu. "Bolehkah saya berkata jujur?" tanya Nora, membuat Ayah Grizell tertegun. Keberanian yang dibungkus rasa takut yang tercermin di wajah Nora, membuatnya merasa tertarik. "Tentu saja boleh. Memang harus begitu!" ucap Ayah Grizell tertawa, kerutan di area matanya terlihat begitu jelas. "Pelayanan rumah sakit kita sangat bagus, kita memiliki alat-alat penunjang kesehatan terbaik, obat-obatan semuanya lengkap di sini. Dokter yang ada semuanya profesional. Siapa yang tidak tahu rumah sakit ini? Tapi karena itu juga banyak masyarakat yang tidak mampu, tidak berani masuk ke rumah sakit ini. Hampir semua pasien yang ada di sini adalah dari kalangan atas. Mereka yang tak punya uang memilih untuk menahan rasa sakit mereka. Berpikir rumah sakit ini hanya rumah sakit untuk orang kaya saja. Saya tahu rumah sakit butuh uang untuk bisa membeli semua yang dibutuhkan tapi mengingat tujuan kenapa harus menjadi seorang perawat, saya hanya ingin merawat mereka yang sakit, terlepas dari uang yang mereka punya. Saya rasa petugas kesehatan yang lain mungkin berpikir sama seperti saya," ucap Nora panjang lebar dengan wajah menunduk. Dia tahu dirinya begitu naif karena menyamakan pikiran orang lain dengan pikirannya. Tapi hal itu memanglah yang membuatnya merasa terganggu selama bekerja di sana, selain itu tidak ada lagi. Mendapatkan teguran dari kepala ruangan, bukanlah apa-apa baginya. "Jadi menurutmu rumah sakit ini hanya untuk orang kaya saja?" "I-ya." "Jadi bagaimana?" "Ya?" Nora melongo tak mengerti maksud pertanyaannya. Wajahnya terangkat sambil menatap wajah Pak Kepala yang sedang menunggu jawaban darinya. "Bagaimana kita bisa memberitahu bahwa rumah sakit kita ini menerima semua kalangan? Tidak membedakan pasien?" "Mmm, itu...," Nora menunduk kembali. Bagaimana bisa ia memberikan saran yang sesuai dengan keinginannya? Itu mungkin bukanlah sebuah saran, lebih ke keinginannya sendiri. "Mungkin kita perlu melakukan kegiatan pemeriksaan gratis di desa-desa Pak!" "Boleh juga," Ayah Grizell kembali menyeruput kopinya. Suara langkah kaki yang terdengar di depan pintu membuat perhatian Nora teralihkan. "Mba sudah di sini?" sapa Vivi tak menyadari ada kepala rumah sakit. "Ya," jawab Nora memberikan isyarat. Menyadarkan Vivi bahwa di sana ada Pak Kepala juga. "Siang Pak!" ucap Vivi salah tingkah, langsung membungkuk hormat. "Kalian sudah ada di sini?" sahut Grizell, berdiri di belakang Vivi. Vivi sampai kaget dibuatnya. "Dimana Naren?" "Dia sudah pulang." "Kalau begitu Ayah pulang dulu." "Ya." "Terima kasih masukannya." ucap Pak Kepala melempar senyuman ke arah Nora. Grizell yang tahu Ayahnya memiliki hubungan dengan banyak perempuan setelah bercerai dengan ibunya, melempar tatapan dalam ke arah Nora. Merasa curiga dengan hubungan Ayahnya dengan Nora. "Sama-sama Pak," balas Nora tersenyum biasa saja. Tapi Grizell semakin curiga. "Kenapa kamu berdiri?" tegur Grizell, walau nadanya pelan tetap saja terdengar seperti marah karena raut wajahnya sangat mendukung. Bagaimanapun hal itu sudah tidak bisa diubah. Grizell sudah terlahir dengan raut wajah seperti itu. Vivi cepat-cepat duduk di samping Nora yang langsung duduk dengan rapi. Auranya yang terlalu kuat menekan keberanian Nora dan Vivi. Karena kejadian kemarin, Nora dan Vivi langsung disidang. Tak ada yang dibenarkan, keduanya sama-sama salah di mata Grizell. Akibat kesalahan mereka, jadwal off mereka dihilangkan selama sebulan, yang berarti dalam sebulan penuh tidak ada libur untuk mereka berdua. *** "Hmm," hela Vivi panjang. Sejak keluar dari ruangan Grizell dia sudah terlihat kehilangan semangat hidupnya. "Cuma sebulan saja. Jangan terlalu dipikirkan!" sahut Nora, bicara dengan Vivi tapi pikirannya sedang memikirkan yang lain. Setelah tahu laki-laki yang ia selamatkan sadar. Nora pergi mengunjunginya di sela istirahatnya. Laki-laki itu sangat berterimakasih kepada Nora karena sudah membantunya. Namun ada hal yang membuat Nora tidak mengerti, laki-laki itu menolak untuk melaporkan orang yang sudah memukulinya. Entah apa alasannya yang jelas itu tidak masuk akal. Dia hampir mati karena dipukuli tapi dia tidak mau melaporkannya. "Akhhh!" rengek Vivi lagi. Nora yang sedang melamun jadi kaget karena suaranya. "Kenapa lagi anak ini?" tegur Fera kesal. Dia juga kaget. "Mba. Pokoknya mba harus hati-hati sama temen Mba. Jangan sampai pacar Mba diambil teman sendiri!" ujarnya menyipitkan matanya. Entah apa yang ia lihat di ponselnya tapi yang jelas dia seperti itu setelah melihat ponselnya. "Pacar. Pacar. Pacar. Apa yang ada di pikiranmu cuma laki-laki aja?" protes Fera. "Tanpa laki-laki kita tidak bisa menjadi wanita seutuhnya!" "Kata siapa?" Fera tidak terima. Mengingat kegagalan yang sudah ia alami. Sampai saat ini dia bisa hidup bahagia tanpa seorang laki-laki di sisinya. Di saat dua orang itu tengah berdebat. Nora melihat ke arah handphonenya yang bergetar. Pesan masuk dari Adisty. ("Nora. Aku demam lagi. Boleh minta tolong bawakan aku obat?") ("Aku sedang kerja sekarang.") ("Kalau begitu boleh minta Danu yang membawakannya untukku?") ("Y-") Nora mengehentikan jari-jarinya. Huruf y yang sudah terketik tak bisa ia lanjutkan. Ucapan Vivi dan pikiran yang sempat terlintas di benaknya tadi, membuatnya ragu untuk mengiyakan permintaan Adisty tersebut. Nora pun menghapusnya. ("Nanti aku titipkan lewat pengantar paket saja.") balas Nora. Adisty diam membaca balasan Nora. Temannya itu tak pernah seperti ini sebelumnya. Dia tak pernah tidak mengiyakan permintaannya. "Aneh," gumam Adisty. Melempar handphonenya ke atas tempat tidur. Dia sedang berdiri di depan kaca panjang yang ada di kamarnya. Menatap tubuhnya yang tertutupi pakaian tidur berenda berwarna merah menyala. Cukup seksi hingga bulatan besar dadanya terlihat jelas. Pahanya yang mulus terekspos indah. "Sayang sekali," ucapnya tersenyum getir. "Mba! Mba Nor!" panggil Vivi mengalihkan perhatian Nora. "Ya?" jawab Nora mematikan handphonenya. Masih memikirkan balasan yang ia kirim ke Adisty tadi. Perasaannya tidak enak tapi dia tidak mengerti kenapa. "Mba udah pacaran lama kan sama pacarnya? Pernah putus nggak?" "Nggak pernah." "Pacarnya beda dari laki-laki lain." sahut Fera tersenyum mengejek. Membalas dengan ucapan yang Nora selalu katakan padanya. "Ck, hati-hati loh Mba. Sekalinya putus nanti langsung bubar loh!" "Mulutmu ya!!" bentak Fera. Vivi memang selalu begitu. Berbicara apapun yang ia inginkan tanpa menyaring lebih dulu. Tak memikirkan orang yang mendengar ucapannya itu, mungkin akan tersinggung atau marah. Sayangnya, Nora tidak marah maupun tersinggung. Kata-kata itu malah membuatnya berpikir cukup dalam mengenai hubungannya. Dia tak pernah memikirkan kemungkinan seperti itu dalam hubungannya. Pikirnya, Danu akan selalu ada bersamanya. Selama ini dia selalu yakin dan tidak pernah ragu untuk itu. Tapi entah sejak kapan keraguan itu tiba-tiba hadir menggerogoti hatinya. Mungkin sejak ia melihat pakaian Danu tadi pagi, sama seperti pakaian laki-laki yang tidur dengan Adisty malam itu. "Nora! Jangan dengarkan anak ini. Mulutnya memang gak bisa dijaga!" ujar Fera memenangkan. "Tidak apa-apa," balas Nora berdiri dari tempat duduknya dan pergi dari sana. "Kenapa Mba Nora? Biasanya ia selalu tersenyum walau kesal," Jangankan Vivi, Fera pun merasakan perubahan suasana hati Nora yang tiba-tiba menjadi begitu pendiam hari ini. "Lain kali pikir dulu sebelum bicara!" "Aku cuma kasih tahu pengalamanku!" balas Vivi tak mau kalah. Vivi tak pernah memikirkan bahwa kata-katanya itu akan menggangu Nora yang jadi tak berhenti memikirkannya. Sampai pulang pun Nora masih memikirkan kata-kata Vivi tadi. ("Sayang maaf. Aku tiba-tiba ada panggilan di kantor. Kamu bisa pulang sendiri kan?") chat dari Danu masuk. Nora diam cukup lama sampai akhirnya dia membalas chatnya. ("Ya bisa kok.") Nora memasukkan handphonenya ke dalam tas dan berjalan cepat seperti orang yang sedang dikejar. Di depan rumah sakit, ia melihat sebuah taxi yang terparkir di sana. Untuk pertama kalinya, Nora memberanikan diri menaiki taxi yang supirnya adalah laki-laki. "Perumahan HK Pak." beritahu Nora. Entah kenapa hatinya ingin membuktikan semua kecurigaannya itu. Perasaan mencengkam yang membuatnya merasa gelisah tak menentu. Ia tidak suka perasaan penuh curiga ini. Sementara itu disana, Danu yang mengatakan dirinya sedang di kantor. Berada di bawah parkiran basement gedung apartemen Adisty. Dia segera datang ke sana setelah mendapatkan panggilan dari Adisty. Jam tangan pemberian Nora saat hari ulang tahunnya tertinggal di apartemen Adisty. Danu keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam gedung. Di depa lift, Danu tak sengaja bertemu dengan Naren. Danu masih tidak mengenal Naren, tapi Naren mengenal Danu. Naren menatap tajam dengan senyuman mengejek. Danu yang melihat senyuman itu merasa tersinggung. "Kenapa orang itu?" gumam Danu, mengalihkan matanya saat Naren baru saja melewatinya setelah keluar dari dalam lift. Berjalan keluar dari pintu utama gedung untuk berolahraga. Naren berpapasan dengan Nora yang sedang berlari ke arahnya. Nora sama sekali tak menyadari keberadaan Naren yang berhenti di tempat setelah melihatnya. Pikirnya, wanita itu mengejarnya sama seperti tadi siang saat di rumah sakit. Tapi setelah Nora melewatinya begitu saja, Naren baru sadar. Bukan dia yang sedang wanita itu cari saat ini tapi laki-laki yang ia temui tadi di depan lift. "Sungguh menarik," ujarnya tertawa mengejek. Dia tak punya rasa simpati sama sekali. Tetap fokus pada dirinya sendiri. "Sayang!" panggil Nora berhenti ditempat. Matanya terbuka lebar dengan suara nafas tersengal. Berlarian sepanjang jalan membuat nafasnya berhembus cepat. "Nora!" Danu terdiam, dia menatap Nora dalam dengan wajah cemas. Adisty yang menyaksikan reaksi cemas Danu seperti itu. Merasa sakit. Dadanya terasa diremas begitu kuat hingga membuatnya ingin berteriak. Tapi ia tak begitu tega untuk membiarkan laki-laki itu merasakan sakit yang ia rasakan. "Danu hanya datang untuk mengambil jam tangannya yang tertinggal." "Ke-ke-napa?" ujar Nora gagap. Tusukan ribuan pedang terasa menghantam jantungnya. Bibir yang selalu lancar saat bicara menjadi begitu kaku. "Nora. Aku tadi mau ke kantor tapi Adisty bilang jam tanganku tertinggal. Jadi aku datang ke sini dulu karena ini jam tangan pemberianmu!" jelas Danu cepat. Mengambil jam tangan miliknya dari Adisty kemudian berjalan mendekati Nora yang tanpa sadar mundur secara perlahan menghindari Danu. "Kamu tidak percaya padaku?" ujar Danu lirih. Penolakan Nora menjadi pukulan besar untuknya. "Kenapa jam tanganmu bisa tertinggal di sini?" "Kamu nggak ingat waktu kita makan bersama malam sebelumnya? Saat aku cuci piring aku melepaskan jam tanganku. Aku lupa memakainya lagi." terang Danu. Rasa gugup, takut, gelisah, kesal, semua bercampur menjadi satu. Dia tidak menduga, Nora akan datang. Nora mengingatnya. Malam itu dia dan Danu memang berkunjung ke rumah Adisty untuk makan malam bersama. Merayakan kesuksesan film baru Adisty. Tapi ia tak terlalu mengingat apakah jam tangan itu benar terlepas dari pergelangan Danu. "Apa aku terlalu curiga?" gumam Nora melembut. Kini hatinya balik menyerang kepalanya. Perasaan bersalah karena sudah mencurigai pacarnya yang baik hati. "Ini. Bicaralah dengan teman kantorku!" ujar Danu menghubungi temannya. "Tidak perlu. Maafkan aku," ucap Nora menundukkan kepalanya. Hatinya merasa sakit, cemas, merasa bersalah. Semuanya campur aduk. "Ada apa Nora? Kenapa kamu tiba-tiba begini?" tegur Adisty. Matanya memperlihatkan secara jelas bahwa dia sangat kecewa pada temannya itu. "Kamu pikir aku mengambil pacarmu?" tuduh Adisty. "Bu-bukan. Bukan begitu," jawab Nora gelagapan. Dia merasa lebih bersalah lagi. Namun hal yang lebih tak ia mengerti adalah ketika Danu menatapnya dengan tatapan kecewa yang bersambung dengan amarah. "Apa aku sudah berbuat kesalahan?" gumam Nora, tertegun melihat tatapan dua orang itu kepadanya. Seolah yang bersalah saat ini adalah Nora. "Aku tidak percaya kamu berpikir tentangku seperti itu," gumam Danu pergi meninggalkan Nora. "Danu!" panggil Nora mengejar Danu yang pergi meninggalkannya. Danu sebelumnya tidak pernah semarah ini sampai meninggalkannya. Apakah Nora sudah membuat kesalahan besar? pikirnya.Nora terbangun dengan kepala yang masih terasa berat. Tatapannya mengarah pada sofa di sudut ruangan, tempat Naren tadi beristirahat. Namun kini kosong. Tak ada siapa pun di sana. Yang tersisa hanya keheningan, menyisakan sunyi yang terasa menusuk.“Kamu sudah bangun?” suara lembut namun tegas terdengar dari balik pintu. Nadin masuk dengan membawa nampan berisi makanan dari rumah sakit.“Kakak?” Nora terkejut.“Fera yang bilang ke Kakak kamu di sini,” jawab Nadin sambil menaruh makanan di meja kecil dekat tempat tidur. “Mana suamimu? Dia nggak datang?”“Dia tadi ada di sini,” jawab Nora lirih.“Kapan? Kakak sudah di sini dari tadi,” tanya Nadin curiga.“Sebelum Kakak datang,” jelas Nora pelan, matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang. Memperkirakan kapan Naren pergi, sebelum ia tertidur tadi waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Nadin mendesah panjang. “Kamu belum cerita semuanya k
Naren baru saja tiba di kantor ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar, dan seperti biasa, ia mengabaikannya. Tapi notifikasi pesan masuk membuat jemarinya berhenti di atas layar. Naren membacanya,("Maaf. Nomor anda di daftarkan sebagai nomor darurat. Saya ingin memberitahukan, Nona Alina Brechtje mengalami kecelakaan tunggal. Saat ini sudah dilarikan ke Rumah Sakit Harapan.")Tanpa pikir panjang, Naren berbalik, keluar dari ruangannya, dan melajukan mobil secepat mungkin ke rumah sakit. Jalanan terasa lebih panjang dari biasanya, dan pikirannya penuh oleh bayangan-bayangan masa lalu yang berusaha ia singkirkan selama bertahun-tahun.Sesampainya di rumah sakit, langkah Naren langsung terhenti ketika melihat Grizell, baru saja keluar dari ruang perawatan.“Wajahmu panik sekali,” ujar Grizell dengan senyum menggoda. “Sepertinya kamu sudah jatuh cinta pada istrimu.”Namun senyum itu lenyap seketika saat mendengar jawa
Seorang anak laki-laki kecil dengan mata abu-abu bersembunyi di balik lemari pakaian. Tubuhnya meringkuk, gemetar. Sesekali ia menahan isak yang nyaris pecah, memeluk lututnya sambil memejamkan mata.“Naren! Jangan main-main! Keluar!” suara keras terdengar dari luar kamar. Nada ancaman menyelinap di antara nada panggilan.Anak itu mulai menangis. Tanpa suara, hanya air mata yang mengalir bersama bisikan lirih di dalam hati kecilnya."Ibu... Ibu..." Meski tahu sang ibu tak akan datang, nama itu memberinya kekuatan. Nama yang menjadi tameng terakhir dari rasa takut yang memburu.Tiba-tiba, pintu lemari terbuka. Mata anak itu membelalak, tubuhnya membeku. Namun, yang muncul bukan sosok menakutkan—melainkan seorang anak gadis, sekitar lima tahun lebih tua darinya. Senyumnya lembut, tangannya terulur pelan.“Tidak apa-apa, Naren. Kakak ada di sini,” ucap anak gadis itu pelan, menariknya keluar dari lemari.Belum sempat Naren bernapas lega,
“Bukannya dia pacarmu?” tanya Herlina pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh kebisingan restoran. Tatapannya mengarah pada Andrew yang masih memandangi punggung Nora yang menjauh bersama Naren.Andrew mengedipkan mata, menoleh pelan ke arah wanita paruh baya itu. “Bukan,” jawabnya ringan namun cukup menusuk. “Dia istri Naren.”Seperti embun beku yang tiba-tiba menempel di dahi, wajah Herlina mengeras. Bola matanya membulat perlahan, memandangi Andrew seolah kalimat itu baru saja membenturkan pikirannya pada tembok tak kasat mata.“Istri?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya."Ya." Andrew mengangguk pelan. "Kapan dia menikah?" "Entahlah," balas Andrew, melirik ke arah Nadin yang sedang memberikan tatapan tajam padanya. "Sebaiknya kita pergi dari sini!" ucap Andrew, berdiri dari tempat duduknya. Buru-buru pergi sebelum ia menjadi sasaran Nadin. Melihat Andrew yang pergi, Nadin hanya menghela nafas panjang. Tatapannya bera
Ruangan Kepala rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara detik jam dan derit samar dari kursi yang diduduki Nora. Ia menunduk, menggenggam ujung roknya erat, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang terus menyerangnya. Di hadapannya, duduk sosok Pak Kepala—ayah Naren dengan sorot mata tajam tapi jenaka, sementara Grizell duduk di sebelahnya, tampak tidak tertarik dengan perbincangan yang terjadi.Pak Kepala terkekeh kecil, menyandarkan tubuh ke kursi. “Hahaha. Kenapa tidak mengundang Ayah di acara pernikahan kalian?” tanyanya penuh selidik, namun masih dibalut nada santai.Nora terdiam sejenak dan Grizell tertarik dengan hal lain, ia mengangkat alisnya sedikit, memperhatikan sesuatu yang lain—sebuah bayangan samar kemerahan di bawah rahang Nora. "Jadi bukan Alina.” gumam Grizell dalam hati. “Ka-kami memang tidak mengadakan acara pernikahan,” jawab Nora akhirnya, terbata. Wajahnya menegang. Ia tahu ia tak bisa jujur. Pernikahan itu bukan sesuatu yan
Ruang kantor lantai eksekutif Star Entertainment dipenuhi dengan bisik-bisik. Beberapa staf tampak saling pandang, tak percaya dengan memo yang baru saja dikirimkan melalui email resmi perusahaan: Adisty resmi diberhentikan dari semua kerja sama dengan perusahaan, efektif mulai hari ini."Ini serius?" bisik salah satu staf."Kenapa tidak ada yang tahu sebelumnya?"Di ruang kerja utama, Andrew melangkah masuk tanpa mengetuk seperti biasa. Di tangannya ada map laporan para talent baru, tapi bukan itu yang memenuhi kepalanya."Jadi benar kamu memecat Adisty?" tanyanya, langsung ke inti.Naren yang duduk di balik meja kerjanya, hanya menjawab dengan satu anggukan kecil. Datar. Tak ada raut penyesalan.Andrew mengerutkan kening, lalu mendekat sambil mencondongkan tubuh ke meja."Jadi...kamu sudah tidur dengan Nora?" bisiknya dengan nada setengah menggoda, mengingat perjanjian konyol yang sudah Nora buat sebelumnya dengannya, imbal
Andrew sedang duduk menunggu di dalam mobil, arah matanya tertuju pada Naren yang berjalan mendekat. Langkahnya tegap dan terukur. Di tangannya ada sebuah kantong plastik kecil yang bertuliskan nama toko yang baru saja ia masuki. "Siapa yang sakit?" tanya Andrew, alisnya berkerut dengan tatapan meneliti. "Bibi pengurus!" balas Naren asal, duduk kembali di tempatnya. Ia memasukkan kantong plastik itu ke dalam laci dashboard di sampingnya, lalu menyalakan kembali mesin mobilnya. "Sejak kapan kamu peduli dengan orang di sekitarmu?" balas Andrew dengan senyum di wajahnya. Seolah itu menjadi kejutan besar yang tidak masuk di akal. Naren diam tak menjawab, hanya mata yang melirik ke arah Andrew dengan tatapan menusuk. "Aku bercanda," balas Andrew, tangannya bergerak ke arah laci dashboard. Melirik Naren yang fokus mengarahkan mobilnya ke arah jalanan. Saat terasa aman, Andrew diam-diam membukanya perlahan. Namun, Naren dengan cepat menutup
Nora tertegun, matanya menatap lekat mata Naren yang dipenuhi hasrat. Wajah Naren yang memerah, napasnya yang memburu hangat, seolah tubuhnya mulai dikuasai sesuatu yang tak lagi bisa dikendalikan olehnya. Saat Naren tiba-tiba bergerak mendekatkan tubuhnya dan Nora secara refleks menahannya. Rahang Naren mengetat kencang. "Jangan Naren!" ucap Nora gemetar dengan mata ketakutan. Kedua tangannya berusaha menahan tubuh Naren yang besar dan kuat. Tubuh Naren yang terasa panas seperti api yang membara. "Walaupun kamu menangis! Aku tidak akan berhenti Nora! Ini pilihanmu karena menikah dengan laki-laki sepertiku!" tekan Naren, ada kemarahan yang tersembunyi di dalam tatapannya. Penolakan Nora, membuatnya tak bisa bersikap lembut sesuai dengan ucapannya tadi. Naren menggenggam erat tangan Nora, membawanya ke atas kepala Nora dan menahannya erat -hanya dengan satu tangannya yang kekar. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalanginya. Nora yang berada
Naren berjalan mengikuti Kakeknya ke ruang kerja. Langkah mereka sejajar dan sangat tenang, menyembunyikan segala niatan yang tersembunyi. Tiba-tiba, seorang pelayan datang menghampiri mereka. Melaporkan apa yang terjadi di kolam. Namun, rasa takut dimarahi membuatnya ragu untuk bicara, "Ada apa?" tanya laki-laki beruban itu. “Ma-af Tuan Besar. I-i-itu terjadi keributan di belakang! Istri Tuan muda jatuh ke kolam!" lapornya. Naren menoleh sesaat, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Kakeknya.“Biarkan saja,” katanya datar. Melanjutkan langkah kakinya. Kakeknya menatap dalam, ada hal yang tersimpan di wajahnya, penasaran.“Kamu tidak mau melihat istrimu?” tanyanya, suaranya tenang dengan maksud yang lainnya. “Dia tahu bagaimana cara mengurus dirinya sendiri. Tanpaku dia harus bisa berdiri dengan kakinya sendiri!" balas Naren dengan senyuman tipis penuh arti. Tapi tak lama, langkah cepat lain