"Kamu di sini?" Grizell yang baru saja keluar dari ruangannya, berpapasan dengan Naren di depan pintu ruangannya.
Nora yang berlari mengejar langsung berhenti mendadak. Matanya tak lagi tertarik pada sosok laki-laki di depannya itu, matanya tertuju pada perempuan yang ada di depannya. Melihat Nora dengan garis alis lurus dan garis bibir tegas. "Tunggu di ruanganku!" ucap Grizell berbicara dengan Nora. Naren yang sadar perhatian Kakaknya teralihkan, mencari tahu dengan siapa ia bicara. Naren melihatnya tapi Nora tidak. Nora sudah membungkukkan badannya. "Ikut aku!" ajak Grizell, menuntun Naren. "Kenalan Bu dokter?" gumam Nora, mengangkat kepalanya setelah Grizell pergi. Sesuai instruksi, Nora masuk ke dalam ruangan. Ternyata, dia tak sendiri di sana. Ada laki-laki tua, yang usianya hampir sama seperti Ayahnya, sedang duduk menyesap kopinya sambil melihat ke arahnya bingung. "Siang Pak," salam hormat Nora, menundukkan kepalanya. Nora mengenalnya tapi laki-laki tua itu tidak tahu Nora. "Dokter Grizell sedang keluar." "Bu Dokter menyuruh saya menunggunya di sini." "Kalau begitu duduklah!" Laki-laki tua itu, direktur rumah sakit tempat Nora bekerja sekarang. Ayah dari dokter Grizell Putri Dirgantara. Cucu pertama dari Dirgantara. "Terima kasih." balas Nora, memilih duduk di kursi dibandingkan duduk di sofa yang empuk. Bukannya dia tak sopan, tapi dia menghindari hal yang membuatnya canggung, tidak tahu harus bersikap bagaimana pada sosok itu jika ia duduk di sofa. "Namamu siapa?" "Saya Nora Pak." Nora membalikkan badannya, melihat ke arah Pak Kepala. "Ohh. Sudah berapa lama kerja di sini?" "Lima tahun lebih," "Menurutmu bagaimana rumah sakit ini?" Nora merasa seperti diwawancarai ulang, sama seperti pertama kali ia masuk dulu. "Bolehkah saya berkata jujur?" tanya Nora, membuat Ayah Grizell tertegun. Keberanian yang dibungkus rasa takut yang tercermin di wajah Nora, membuatnya merasa tertarik. "Tentu saja boleh. Memang harus begitu!" ucap Ayah Grizell tertawa, kerutan di area matanya terlihat begitu jelas. "Pelayanan rumah sakit kita sangat bagus, kita memiliki alat-alat penunjang kesehatan terbaik, obat-obatan semuanya lengkap di sini. Dokter yang ada semuanya profesional. Siapa yang tidak tahu rumah sakit ini? Tapi karena itu juga banyak masyarakat yang tidak mampu, tidak berani masuk ke rumah sakit ini. Hampir semua pasien yang ada di sini adalah dari kalangan atas. Mereka yang tak punya uang memilih untuk menahan rasa sakit mereka. Berpikir rumah sakit ini hanya rumah sakit untuk orang kaya saja. Saya tahu rumah sakit butuh uang untuk bisa membeli semua yang dibutuhkan tapi mengingat tujuan kenapa harus menjadi seorang perawat, saya hanya ingin merawat mereka yang sakit, terlepas dari uang yang mereka punya. Saya rasa petugas kesehatan yang lain mungkin berpikir sama seperti saya," ucap Nora panjang lebar dengan wajah menunduk. Dia tahu dirinya begitu naif karena menyamakan pikiran orang lain dengan pikirannya. Tapi hal itu memanglah yang membuatnya merasa terganggu selama bekerja di sana, selain itu tidak ada lagi. Mendapatkan teguran dari kepala ruangan, bukanlah apa-apa baginya. "Jadi menurutmu rumah sakit ini hanya untuk orang kaya saja?" "I-ya." "Jadi bagaimana?" "Ya?" Nora melongo tak mengerti maksud pertanyaannya. Wajahnya terangkat sambil menatap wajah Pak Kepala yang sedang menunggu jawaban darinya. "Bagaimana kita bisa memberitahu bahwa rumah sakit kita ini menerima semua kalangan? Tidak membedakan pasien?" "Mmm, itu...," Nora menunduk kembali. Bagaimana bisa ia memberikan saran yang sesuai dengan keinginannya? Itu mungkin bukanlah sebuah saran, lebih ke keinginannya sendiri. "Mungkin kita perlu melakukan kegiatan pemeriksaan gratis di desa-desa Pak!" "Boleh juga," Ayah Grizell kembali menyeruput kopinya. Suara langkah kaki yang terdengar di depan pintu membuat perhatian Nora teralihkan. "Mba sudah di sini?" sapa Vivi tak menyadari ada kepala rumah sakit. "Ya," jawab Nora memberikan isyarat. Menyadarkan Vivi bahwa di sana ada Pak Kepala juga. "Siang Pak!" ucap Vivi salah tingkah, langsung membungkuk hormat. "Kalian sudah ada di sini?" sahut Grizell, berdiri di belakang Vivi. Vivi sampai kaget dibuatnya. "Dimana Naren?" "Dia sudah pulang." "Kalau begitu Ayah pulang dulu." "Ya." "Terima kasih masukannya." ucap Pak Kepala melempar senyuman ke arah Nora. Grizell yang tahu Ayahnya memiliki hubungan dengan banyak perempuan setelah bercerai dengan ibunya, melempar tatapan dalam ke arah Nora. Merasa curiga dengan hubungan Ayahnya dengan Nora. "Sama-sama Pak," balas Nora tersenyum biasa saja. Tapi Grizell semakin curiga. "Kenapa kamu berdiri?" tegur Grizell, walau nadanya pelan tetap saja terdengar seperti marah karena raut wajahnya sangat mendukung. Bagaimanapun hal itu sudah tidak bisa diubah. Grizell sudah terlahir dengan raut wajah seperti itu. Vivi cepat-cepat duduk di samping Nora yang langsung duduk dengan rapi. Auranya yang terlalu kuat menekan keberanian Nora dan Vivi. Karena kejadian kemarin, Nora dan Vivi langsung disidang. Tak ada yang dibenarkan, keduanya sama-sama salah di mata Grizell. Akibat kesalahan mereka, jadwal off mereka dihilangkan selama sebulan, yang berarti dalam sebulan penuh tidak ada libur untuk mereka berdua. *** "Hmm," hela Vivi panjang. Sejak keluar dari ruangan Grizell dia sudah terlihat kehilangan semangat hidupnya. "Cuma sebulan saja. Jangan terlalu dipikirkan!" sahut Nora, bicara dengan Vivi tapi pikirannya sedang memikirkan yang lain. Setelah tahu laki-laki yang ia selamatkan sadar. Nora pergi mengunjunginya di sela istirahatnya. Laki-laki itu sangat berterimakasih kepada Nora karena sudah membantunya. Namun ada hal yang membuat Nora tidak mengerti, laki-laki itu menolak untuk melaporkan orang yang sudah memukulinya. Entah apa alasannya yang jelas itu tidak masuk akal. Dia hampir mati karena dipukuli tapi dia tidak mau melaporkannya. "Akhhh!" rengek Vivi lagi. Nora yang sedang melamun jadi kaget karena suaranya. "Kenapa lagi anak ini?" tegur Fera kesal. Dia juga kaget. "Mba. Pokoknya mba harus hati-hati sama temen Mba. Jangan sampai pacar Mba diambil teman sendiri!" ujarnya menyipitkan matanya. Entah apa yang ia lihat di ponselnya tapi yang jelas dia seperti itu setelah melihat ponselnya. "Pacar. Pacar. Pacar. Apa yang ada di pikiranmu cuma laki-laki aja?" protes Fera. "Tanpa laki-laki kita tidak bisa menjadi wanita seutuhnya!" "Kata siapa?" Fera tidak terima. Mengingat kegagalan yang sudah ia alami. Sampai saat ini dia bisa hidup bahagia tanpa seorang laki-laki di sisinya. Di saat dua orang itu tengah berdebat. Nora melihat ke arah handphonenya yang bergetar. Pesan masuk dari Adisty. ("Nora. Aku demam lagi. Boleh minta tolong bawakan aku obat?") ("Aku sedang kerja sekarang.") ("Kalau begitu boleh minta Danu yang membawakannya untukku?") ("Y-") Nora mengehentikan jari-jarinya. Huruf y yang sudah terketik tak bisa ia lanjutkan. Ucapan Vivi dan pikiran yang sempat terlintas di benaknya tadi, membuatnya ragu untuk mengiyakan permintaan Adisty tersebut. Nora pun menghapusnya. ("Nanti aku titipkan lewat pengantar paket saja.") balas Nora. Adisty diam membaca balasan Nora. Temannya itu tak pernah seperti ini sebelumnya. Dia tak pernah tidak mengiyakan permintaannya. "Aneh," gumam Adisty. Melempar handphonenya ke atas tempat tidur. Dia sedang berdiri di depan kaca panjang yang ada di kamarnya. Menatap tubuhnya yang tertutupi pakaian tidur berenda berwarna merah menyala. Cukup seksi hingga bulatan besar dadanya terlihat jelas. Pahanya yang mulus terekspos indah. "Sayang sekali," ucapnya tersenyum getir. "Mba! Mba Nor!" panggil Vivi mengalihkan perhatian Nora. "Ya?" jawab Nora mematikan handphonenya. Masih memikirkan balasan yang ia kirim ke Adisty tadi. Perasaannya tidak enak tapi dia tidak mengerti kenapa. "Mba udah pacaran lama kan sama pacarnya? Pernah putus nggak?" "Nggak pernah." "Pacarnya beda dari laki-laki lain." sahut Fera tersenyum mengejek. Membalas dengan ucapan yang Nora selalu katakan padanya. "Ck, hati-hati loh Mba. Sekalinya putus nanti langsung bubar loh!" "Mulutmu ya!!" bentak Fera. Vivi memang selalu begitu. Berbicara apapun yang ia inginkan tanpa menyaring lebih dulu. Tak memikirkan orang yang mendengar ucapannya itu, mungkin akan tersinggung atau marah. Sayangnya, Nora tidak marah maupun tersinggung. Kata-kata itu malah membuatnya berpikir cukup dalam mengenai hubungannya. Dia tak pernah memikirkan kemungkinan seperti itu dalam hubungannya. Pikirnya, Danu akan selalu ada bersamanya. Selama ini dia selalu yakin dan tidak pernah ragu untuk itu. Tapi entah sejak kapan keraguan itu tiba-tiba hadir menggerogoti hatinya. Mungkin sejak ia melihat pakaian Danu tadi pagi, sama seperti pakaian laki-laki yang tidur dengan Adisty malam itu. "Nora! Jangan dengarkan anak ini. Mulutnya memang gak bisa dijaga!" ujar Fera memenangkan. "Tidak apa-apa," balas Nora berdiri dari tempat duduknya dan pergi dari sana. "Kenapa Mba Nora? Biasanya ia selalu tersenyum walau kesal," Jangankan Vivi, Fera pun merasakan perubahan suasana hati Nora yang tiba-tiba menjadi begitu pendiam hari ini. "Lain kali pikir dulu sebelum bicara!" "Aku cuma kasih tahu pengalamanku!" balas Vivi tak mau kalah. Vivi tak pernah memikirkan bahwa kata-katanya itu akan menggangu Nora yang jadi tak berhenti memikirkannya. Sampai pulang pun Nora masih memikirkan kata-kata Vivi tadi. ("Sayang maaf. Aku tiba-tiba ada panggilan di kantor. Kamu bisa pulang sendiri kan?") chat dari Danu masuk. Nora diam cukup lama sampai akhirnya dia membalas chatnya. ("Ya bisa kok.") Nora memasukkan handphonenya ke dalam tas dan berjalan cepat seperti orang yang sedang dikejar. Di depan rumah sakit, ia melihat sebuah taxi yang terparkir di sana. Untuk pertama kalinya, Nora memberanikan diri menaiki taxi yang supirnya adalah laki-laki. "Perumahan HK Pak." beritahu Nora. Entah kenapa hatinya ingin membuktikan semua kecurigaannya itu. Perasaan mencengkam yang membuatnya merasa gelisah tak menentu. Ia tidak suka perasaan penuh curiga ini. Sementara itu disana, Danu yang mengatakan dirinya sedang di kantor. Berada di bawah parkiran basement gedung apartemen Adisty. Dia segera datang ke sana setelah mendapatkan panggilan dari Adisty. Jam tangan pemberian Nora saat hari ulang tahunnya tertinggal di apartemen Adisty. Danu keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam gedung. Di depa lift, Danu tak sengaja bertemu dengan Naren. Danu masih tidak mengenal Naren, tapi Naren mengenal Danu. Naren menatap tajam dengan senyuman mengejek. Danu yang melihat senyuman itu merasa tersinggung. "Kenapa orang itu?" gumam Danu, mengalihkan matanya saat Naren baru saja melewatinya setelah keluar dari dalam lift. Berjalan keluar dari pintu utama gedung untuk berolahraga. Naren berpapasan dengan Nora yang sedang berlari ke arahnya. Nora sama sekali tak menyadari keberadaan Naren yang berhenti di tempat setelah melihatnya. Pikirnya, wanita itu mengejarnya sama seperti tadi siang saat di rumah sakit. Tapi setelah Nora melewatinya begitu saja, Naren baru sadar. Bukan dia yang sedang wanita itu cari saat ini tapi laki-laki yang ia temui tadi di depan lift. "Sungguh menarik," ujarnya tertawa mengejek. Dia tak punya rasa simpati sama sekali. Tetap fokus pada dirinya sendiri. "Sayang!" panggil Nora berhenti ditempat. Matanya terbuka lebar dengan suara nafas tersengal. Berlarian sepanjang jalan membuat nafasnya berhembus cepat. "Nora!" Danu terdiam, dia menatap Nora dalam dengan wajah cemas. Adisty yang menyaksikan reaksi cemas Danu seperti itu. Merasa sakit. Dadanya terasa diremas begitu kuat hingga membuatnya ingin berteriak. Tapi ia tak begitu tega untuk membiarkan laki-laki itu merasakan sakit yang ia rasakan. "Danu hanya datang untuk mengambil jam tangannya yang tertinggal." "Ke-ke-napa?" ujar Nora gagap. Tusukan ribuan pedang terasa menghantam jantungnya. Bibir yang selalu lancar saat bicara menjadi begitu kaku. "Nora. Aku tadi mau ke kantor tapi Adisty bilang jam tanganku tertinggal. Jadi aku datang ke sini dulu karena ini jam tangan pemberianmu!" jelas Danu cepat. Mengambil jam tangan miliknya dari Adisty kemudian berjalan mendekati Nora yang tanpa sadar mundur secara perlahan menghindari Danu. "Kamu tidak percaya padaku?" ujar Danu lirih. Penolakan Nora menjadi pukulan besar untuknya. "Kenapa jam tanganmu bisa tertinggal di sini?" "Kamu nggak ingat waktu kita makan bersama malam sebelumnya? Saat aku cuci piring aku melepaskan jam tanganku. Aku lupa memakainya lagi." terang Danu. Rasa gugup, takut, gelisah, kesal, semua bercampur menjadi satu. Dia tidak menduga, Nora akan datang. Nora mengingatnya. Malam itu dia dan Danu memang berkunjung ke rumah Adisty untuk makan malam bersama. Merayakan kesuksesan film baru Adisty. Tapi ia tak terlalu mengingat apakah jam tangan itu benar terlepas dari pergelangan Danu. "Apa aku terlalu curiga?" gumam Nora melembut. Kini hatinya balik menyerang kepalanya. Perasaan bersalah karena sudah mencurigai pacarnya yang baik hati. "Ini. Bicaralah dengan teman kantorku!" ujar Danu menghubungi temannya. "Tidak perlu. Maafkan aku," ucap Nora menundukkan kepalanya. Hatinya merasa sakit, cemas, merasa bersalah. Semuanya campur aduk. "Ada apa Nora? Kenapa kamu tiba-tiba begini?" tegur Adisty. Matanya memperlihatkan secara jelas bahwa dia sangat kecewa pada temannya itu. "Kamu pikir aku mengambil pacarmu?" tuduh Adisty. "Bu-bukan. Bukan begitu," jawab Nora gelagapan. Dia merasa lebih bersalah lagi. Namun hal yang lebih tak ia mengerti adalah ketika Danu menatapnya dengan tatapan kecewa yang bersambung dengan amarah. "Apa aku sudah berbuat kesalahan?" gumam Nora, tertegun melihat tatapan dua orang itu kepadanya. Seolah yang bersalah saat ini adalah Nora. "Aku tidak percaya kamu berpikir tentangku seperti itu," gumam Danu pergi meninggalkan Nora. "Danu!" panggil Nora mengejar Danu yang pergi meninggalkannya. Danu sebelumnya tidak pernah semarah ini sampai meninggalkannya. Apakah Nora sudah membuat kesalahan besar? pikirnya.Naren masih berdiri mematung di tempatnya, hingga suara Nora memecah lamunannya.“Kenapa kamu masih diam di sana?! Ikut aku!” bentaknya, nada marah namun terdengar seperti perhatian yang terselubung.Naren langsung melangkah mengikuti perintah. Ia memberi isyarat halus pada dua bodyguard-nya agar tidak ikut. Mereka hanya mengangguk dan mundur menjauh.Tak jauh dari tempat itu, rumah sederhana milik Nora tampak tenang di antara rumah-rumah kecil lainnya. Naren melangkah masuk setelah dipersilakan atau lebih tepatnya, diseret oleh amarah lembut Nora.“Duduk.” perintah Nora. Naren pun duduk patuh di ruang makan, sementara Nora masuk ke dapur, menyiapkan sesuatu. Tak butuh lama, aroma telur dadar dan teh hangat mengisi ruangan. Nora meletakkan piring di depannya.“Aku tahu kamu pasti belum makan. Makanlah!” bentaknya, sambil menyodorkan sendok.Naren, seperti anak kucing yang dimarahi induknya, hanya diam dan mulai makan dengan patuh
Naren duduk diam di kursi menghadap jendela, sementara Dokter Hadi, pria paruh baya yang bersahaja, berdiri menyandarkan diri pada meja kerjanya. Pandangannya tertuju pada Naren dengan sorot tajam namun hangat."Jadi tujuanmu sebenarnya adalah Nora, kan?" tanyanya tanpa basa-basi.Naren terkejut. Bahunya menegang. Ia menoleh perlahan, tapi tak menjawab. Hanya sorot matanya yang berubah gelap."Kamu tidak perlu kaget," lanjut Dokter Hadi."Saat kamu koma, ayahmu selalu datang ke sini. Hampir setiap bulan. Dia menceritakan semuanya padaku tentang kamu."Naren masih diam. Seolah kata-kata Dokter Hadi menyayat bagian terdalam dari jiwanya."Jadi… kamu masih mencintai istrimu?"Naren Diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Suasana yang menjadi sunyi seketika, seperti menyembunyikan perasaan yang tak pernah bisa ia buang."Ayahmu memintaku menjaga Nora dan anakmu," ujar Dokter Hadi lebih lembut,"Karena dia ya
Suasana klinik sangat ramai. Pasien silih berganti datang. Nora berdiri tenang dengan stetoskop tergantung di lehernya, memeriksa seorang pasien anak-anak dengan telaten."Tidak apa-apa, nanti Tante kasih stiker ya," ucap Nora sambil tersenyum lembut, membuat anak itu berhenti menangis. Namun, di belakang, di ruang istirahat perawat, suara begitu heboh dan bisik-bisik terdengar semakin riuh."Kamu udah lihat belum? Ini lho! Naren Dirgantara! Ganteng banget, parah!""Gila sih, itu cowok kayak keluar dari lukisan!""Katanya dia ahli waris satu-satunya, dan sekarang resmi pegang semua aset Dirgantara Grup!"Nora yang sedang menuliskan catatan medis pasien hanya mendengarkan. Nama Naren berulang kali terdengar di telinganya, menerobos masuk ke dalam pikirannya yang sudah berusaha keras untuk melupakannya."Liat deh wajahnya,""Kok bisa ya ada laki-laki setampan dan sekaya itu hidup di dunia nyata?"Beberapa perawat tertawa cekikik
Waktu berlalu dengan cepatnya. Setelah Noah dinyatakan sembuh total, mereka kembali ke rumah. 2 TAHUN BERLALU, Langit gelap bergemuruh. Hujan turun perlahan sebelum berubah menjadi deras. Payung-payung hitam terbuka di antara orang-orang berpakaian gelap yang berdiri dalam diam dan duka.Noah berdiri tegak sambil menggenggam tangan ibunya erat. Wajahnya kecil, tapi tajam. Sorot matanya menyiratkan kecerdasan dan keberanian yang belum pantas dimiliki anak seusianya.Tiba-tiba petir menyambar dari langit, kilat itu menyinari bola matanya yang berwarna abu-abu keperakan. Mata yang familiar, mata dari seorang Dirgantara.Semua orang menoleh. Seolah dunia diam hanya untuk menatap anak itu.“Kenapa kita harus ke sini, Ibu?” tanya Noah pelan. Nada suaranya dewasa.Nora menunduk dan membelai rambut Noah dengan lembut.“Karena kita keluarga.” jawabnya lirih. Mata Nora tetap mengarah pada liang lahat di kejauhan, tempat tubu
“Stabil! Detak jantungnya kembali!”“Sambungkan ke mesin bantu. Lanjutkan penyesuaian implan!” ucap Dokter yang bertanggung jawab atas operasi Noah. Ruangan itu kembali tenang, tapi mencekam. Nora nyaris jatuh bersimpuh di lantai. Grizell yang melihat hendak mendekat, tapi langsung berhenti saat melihat seorang perawat keluar dan memegang bahu Nora. “Bu, operasinya belum selesai. Tapi kami berhasil mengatasi krisisnya.” beritahunya. Grizell merasa lega. Nora hanya bisa menangis. Tangis yang membuncah karena terlalu lama ia tahan. Ia menunduk, menyentuh lantai rumah sakit dan memejamkan matanya dalam sujud syukur.6 jam sudah berlalu, Nora tak berhenti menatap ruangan. Saat lampu operasi akhirnya padam. Pintu ruang operasi terbuka perlahan. Seorang dokter dengan pakaian bedah masih lengkap keluar dengan senyum lelah tapi tulus. Grizell dan Nora langsung berdiri.“Operasinya berhasil,” ujar sang dokter.Nora membek
Di rumah sakit. Nora duduk diam di sisi ranjang sambil menggenggam tangan Noah yang sedang tertidur lemah. Selang infus terpasang di tangannya. Nafasnya sudah lebih stabil dari sebelumnya, tapi suara alat bantu di samping terus berbunyi, seolah mengingatkan penyakit Noah belum benar-benar pergi.Nora menunduk lesu, memijat pelipisnya yang berdenyut. Matanya sembab, wajahnya pucat. Di depannya, map-map laporan medis dan brosur dari berbagai rumah sakit berserakan. Semua tentang implan jantung anak-anak. Semua dengan satu kesimpulan, mahal, rumit, tidak ada, dan harus segera.Sepuluh hari ia berjuang sendiri. Bertanya kepada teman-teman lamanya, dokter kenalan, yayasan sosial, bahkan mencoba mencari daftar donor. Tapi semua jawabannya sama, waktu yang ia miliki terlalu sempit. Dan itu membuat Nora merasa seperti terperangkap dalam ruang sempit tanpa jalan keluar.Dengan tangan gemetar, Nora menunduk, mencium punggung tangan Noah yang mulai hangat. Air m