Najwa merasa puas melihat beberapa kantong belanjaan yang berada ditangannya. Belum lagi, wajah yang terasa cerah dan segar setelah melakukan perawatan di sebuah salon terkenal.
Senyum tersungging di bibir wanita itu. Merasa menemukan kembali kebahagiaan hidup, setelah seminggu berkubang duka karena kepergian sang Kakek."Mulai sekarang, aku akan menikmati hidupku, Mas! Nggak ada lagi, bantuan untuk keuanganmu mulai sekarang," ucap Najwa lirih.Najwa benar-benar bertekad untuk pensiun dari segala macam hal mengenai rumah tangganya. Mulai dari pekerjaan rumah, mengatur uang untuk kebutuhan rumah apalagi merawat Ibu mertua yang bermulut pedas.Biarkan, mulai sekarang semua itu menjadi tanggung jawab Bian dan istri mudanya. Najwa hanya akan duduk sebagai penonton dan melihat apakah kedua manusia itu mampu melakukan semua hal yang pernah dilakukan Najwa atau tidak.******"Telat lagi, Bro?" tegur Deden, rekan kerja Bian."Iya," jawab Bian sambil duduk di kursinya. "Sial banget gue. Masa' baru tiga kali telat, udah dapat surat peringatan?""Ya, itu wajarlah, Bro! Kantor kan, punya aturan. Kalau nggak mau dikasih peringatan, ya jangan telat!" sahut Deden tertawa. "Betewe, pakaian lu, kenapa?" lanjut Deden bertanya."Hah? Maksudnya, gimana? Perasaan, pakaian gue baik-baik aja.""Pakaian lu jelek banget, sumpah! Mana dasinya miring begitu, lagi," jawab Deden sambil menunjuk ke arah dasi yang melingkar dileher Bian.Bian segera memperbaiki letak dasinya supaya tampak lebih rapi. Wajahnya sudah terlihat kusut meski hari baru saja dimulai."Nggak usah banyak protes, Den! Pagi ini, gue lagi kerepotan banget.""Kerepotan, kenapa? Bini lu, sakit?""Bukan," geleng Bian. "Si Najwa lagi ngambek.""Ngambek? Kok bisa? Emangnya, gara-gara apa? Lu kawin lagi?" tebak Anton asal."Kok, lu tahu?"Mata Anton seketika membulat. Dia reflek memukul bahu Bian dengan keras. "Aseeemmm!!! Gila lu, ya?""Eh, lu yang gila! Ngapain mukul gue segala?" protes Bian kesal."Wah, parah banget lu!" tuding Deden sambil geleng-geleng kepala. "Lu beneran nikah lagi!? Kenapa? Najwa kurang dimana lagi, sampai-sampai lu tega selingkuhin dia, hah?"Bian berdecak kesal. "Lu nanya, kurangnya Najwa dimana, hah?" Ia menjeda kalimatnya. "Banyak, Bro! Najwa itu sekarang udah jelek. Mukanya kusam. Badannya bau pesing. Belum lagi, tiap hari cuma dasteran terus. Sukur kalau dasternya masih bagus. Ini, tiap hari dia pakai daster lusuh yang tambalannya udah dimana-mana. Pantesnya, tuh baju udah dijadiin lap kompor. Tapi, ini? Masih betah aja dipakai sama dia.""Wajar kalau dia bau pesing. Kan, tiap hari dia mesti ngerawat Ibu lu, Bro!""Halah! Ngerawat Ibu gue juga nggak bakal makan waktu seharian, Den! Emang, dianya aja yang malas dandan sama ganti baju. Makanya, gue milih buat nikah lagi. Biar, kalau gue pulang, ada yang nyambut gue dengan penampilan wangi, rapi, cantik dan seksi.""Terserah lu aja, deh! Tapi, jangan nyesel, kalau nantinya Najwa malah milih pergi ninggalin elu!""Nggak mungkin. Mana sanggup si Najwa hidup tanpa gue?"Deden benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Bian. Bisa-bisanya, lelaki itu memilih menduakan istri sebaik Najwa hanya karena alasan yang menurut Deden sangat tidak masuk akal. Wajar, jika Najwa tak memiliki waktu merawat diri.Bukankah, perempuan itu harus membereskan rumah, memasak dan merawat Ibu mertuanya sekaligus? Terlebih lagi, Deden tahu, jika merawat lansia seperti Bu Jannah, pasti membutuhkan kesabaran ekstra.******"Huwek!! Bubur apa ini, Salma?" hardik Bu Jannah sambil menyemburkan makanan dari dalam mulutnya ke wajah Salma. "Kamu mau racun Ibu, ya? Hah?""Ibu apa-apaan, sih?" pekik Salma sambil membersihkan bekas semburan sang Ibu mertua dari wajahnya. "Jorok tahu, Bu!" lanjutnya protes.Wanita itu benar-benar kesal, karena sikap Bu Jannah yang sangat keterlaluan. Selain mengomel, tak ada lagi yang sanggup wanita tua itu lakukan."Kamu yang apa-apaan, hah? Kenapa kamu kasih Ibu makanan nggak enak kayak begini?""Salma kan sudah bilang, kalau Salma nggak bisa masak, Bu!" pekik Salma hilang kesabaran."Terus, kamu bisanya apa, hah? Ngangkang doang, didepan anakku, begitu?""Ibu!" teriak Salma dengan napas naik turun. Andai tak takut masuk bui, mungkin detik ini juga Salma sudah mencekik wanita tua itu."Apa? Kamu mau apa, hah? Berani kamu melawan sama Ibu? Kamu mau Ibu adukan ke Bian?"Salma membuang muka. Ancaman ini, yang membuatnya tak berkutik dihadapan Bu Jannah."Panggil si Najwa! Suruh dia aja yang masak untuk Ibu. Masih mending dia dibanding kamu!" titah Bu Jannah."Mbak Najwa lagi pergi.""Loh, kemana?""Ya, mana Salma tahu, Bu!""Ck! Si menantu miskin itu rupanya sudah mulai ngelunjak, ya?" geram Bu Jannah semakin kesal. "Kalau nanti dia pulang, suruh dia ke kamar Ibu!""Iya, Bu!""Sekarang, cepat kamu pesankan makanan untuk Ibu! Ibu sudah lapar!"Salma mendengkus kasar. Dengan wajah cemberut, perempuan itu langsung keluar dari kamar sang Ibu mertua sambil membawa bubur buatannya yang memang tak enak sama sekali."Loh, Mbak? Sudah pulang?" tegur Salma ketika melihat sosok Najwa akhirnya kembali.Ditangan perempuan berhijab itu, terdapat banyak sekali paperbag. Tentu saja, Salma kepo dengan isinya."Habis ngeborong nih, Mbak?" tanya Salma yang kini mendekat ke arah Najwa."Iya, dong!" jawab Najwa sambil tersenyum ke arah madunya."Dapat duit darimana? Pasti habis nyolong duitnya Mas Bian, ya?Atau, jangan-jangan korupsi dari uang belanja? Wah, Mbak Najwa parah banget jadi istri!"Najwa memutar bola matanya malas. Tuduhan Salma terdengar menyebalkan, namun tak akan membuat dirinya langsung naik pitam."Ngapain mesti nyolong ataupun korupsi duit Mas Bian yang nggak seberapa itu? Kurang kerjaan banget." Najwa terkekeh pelan."Kalau gitu, dapat darimana uangnya?" Salma bertanya gengsi.Bukannya langsung menjawab, justru Najwa malah tertawa kecil."Kepo banget sih, jadi orang?""Aku kan cuma pengen tahu, Mbak!" sahut Salma jengkel."Ya, dari tabunganku sendiri lah!"Setelah menjawab pertanyaan dari adik madunya, Najwa langsung membawa belanjaannya masuk ke dalam kamar. Bahaya, jika dibiarkan teronggok begitu saja di ruang tamu.Najwa bisa melihat, jika Salma sangat tertarik dengan salah satu isi dari paper bag yang dia bawa."Loh, Mbak nggak niat kasih apa-apa buat aku, gitu?"tegur Salma."Kamu mau di kasih?"Salma langsung mengangguk cepat. "Iya, Mbak!""Mau yang mana?" tanya Najwa sambil mengangkat kedua tangannya yang dipenuhi barang belanjaan."Yang itu aja, Mbak!" tunjuk Salma pada sebuah paperbag dengan logo brand yang berasal dari Paris. Isinya sebuah tas seharga lima belas juta."Yang ini?" tanya Najwa.Salma tersenyum lebar seraya mengangguk kembali."Minta dong, sama suami kamu! Kenapa malah ngemis ke aku?" lanjut Najwa dengan tatapan merendahkan.Senyum di wajah sang adik madu langsung luntur dalam sekejap. Berganti, dengan wajah memerah karena menahan malu sekaligus rasa kesal."Kamu pikir aku pengemis, Mbak? Awas ya, Kamu! Aku bakal aduin Mbak Najwa ke Mas Bian karena sudah terlalu boros!!""Ya, adukan saja! Aku nggak peduli!" sahut Najwa dengan tatapan yang seolah hendak menelan hidup-hidup sosok Salma."Oke. Kali ini kamu boleh merasa menang karena sudah foya-foya menghabiskan uang suamiku, Mbak! Tapi, mulai bulan depan, kamu jangan menangis darah jika kamu tak akan mendapatkan sepeser pun lagi dari gaji suamiku. Jangankan foya-foya, mungkin... buat jajan seblak aja, udah nggak bisa lagi. UPS!!!" Salma tertawa merendahkan."Oh ya? Kita lihat saja nanti! Aku yang akan menangis darah atau justru kamu? Kamu pikir, gaji suamimu itu besar? Ya, mungkin memang cukup besar. Tapi, kamu belum tahu saja jika pengeluarannya juga tak kalah besar.""Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da