Share

Katanya, ikhlas dimadu?

"Ka-kamu tahu darimana?" tanya Bian gugup.

"Nggak penting aku tahu dari mana. Yang jelas, sekarang aku sudah tahu kalau kamu telah berbuat curang selama satu tahun lebih bersama Salma dibelakang aku. Dan, semua itu sudah cukup menjadi alasan untuk aku berhenti peduli sama kamu dan keluarga kamu!"

"Seharusnya, kamu tidak perlu menyalahkan aku, Najwa! Aku selingkuh, itu juga karena kamu. Suami mana yang tahan melihat istrinya memakai daster lusuh setiap hari? Belum lagi, muka kamu selalu terlihat pucat karena malas dandan. Dan, apa kamu tahu, kalau badan kamu itu setiap harinya selalu bau? Kalau nggak bau bawang, pasti bau pesing. Wajar dong, kalau aku cari kepuasan ditempat lain." Bian berusaha membela diri.

Seketika, Najwa kembali tersenyum sinis. "Badanku nggak akan bau bawang andai kamu mau menyewa ART di rumah ini, Mas! Dan, badanku juga nggak mungkin bau pesing, andai kamu mau menyewa perawat untuk mengurus Ibumu! Apa kamu pikir, mengurus Ibumu dan rumah ini, bisa memberiku waktu untuk memanjakan diri sendiri, hah?"

"Heh, alasan aja, kamu!" cibir Bian.

"Nanti, kita buktikan! Setelah aku berhenti mengurus rumah dan Ibu kamu, apakah aku masih akan terlihat lusuh atau tidak?" tantang Najwa seraya bersedekap.

"Najwaaaaa!!! Hei, mantu gak berguna!! Dimana kamu?" teriak Bu Jannah lagi.

Bian menghela napas kasar. Bahaya juga jika Najwa benar-benar berhenti mengurus sang Ibu dan juga rumah. Tak mungkin, Bian mau mengeluarkan uang hanya untuk menyewa ART dan perawat.

"Najwa, Mas mohon! Sekali ini saja, kamu bantu Mas, ya! Anterin Ibu pipis dulu! Ya, sayang, ya!" bujuk Bian yang mulai melunak.

"Nggak," tolak Najwa tanpa menoleh.

"Mas minta maaf untuk yang tadi. Mas nggak bermaksud berkata sekasar itu sama kamu."

"Terserah."

Bian mendengkus kasar. Tak ada gunanya membujuk Najwa yang terlanjur membatu.

"Durhaka kamu, Najwa!" desis Bian sebelum meninggalkan Najwa sendirian.

******

"Salma! Bangun!" panggil Bian sambil menggoyang-goyangkan tubuh istri mudanya.

"Apa sih, Mas? Aku masih ngantuk," jawab Salma serak tanpa membuka mata.

"Ibu mau pipis. Kamu anterin ke kamar mandi dulu, gih!"

"Nggak mau," tolak Salma. "Suruh istri tua Mas aja, kenapa, sih?"

Bian menghela napas panjang. Paginya benar-benar kacau.

"Najwa sudah tidak mau mengurus Ibu lagi, Salma. Dia masih marah. Jadi, untuk sementara, kamu yang harus ngurusin Ibu."

"Aku? Kok malah jadi aku, sih?" protes Salma tak setuju.

"Hanya sementara saja, Salma. Setidaknya, sampai Najwa berhenti marah," ujar Bian berusaha meyakinkan sang istri.

"Huh!" Salma membuang muka. "Aku nggak mau, Mas! Ngurusin orangtua kayak Ibu kamu tuh, susah. Yang ada, nanti aku malah bau tai sama bau pesing."

Sang suami mendengkus kasar. Kepalanya terasa benar-benar penuh.

Punya istri dua, bukannya senang malah jadi pusing.

"Kalau begitu, Mas batal kasih seluruh gaji Mas sama kamu."

"Kok gitu sih, Mas?"

"Makanya, urusin Ibu! Kalau kamu nggak mau, maka gaji Mas akan tetap dikelola Najwa. Bagaimana?"

Posisi Salma benar-benar terjepit. Mana mungkin dia membiarkan Najwa yang menguasai gaji suami mereka.

Salma sudah muak jika harus menerima jatah hanya dua juta setiap bulannya. Dia ingin lebih. Dia ingin semua gaji suaminya masuk ke dalam kantong pribadinya.

"Oke, aku akan urusin Ibu."

"Nah, gitu, dong! Sekarang, cepat keluar dan samperin Ibu ke kamarnya! Jangan sampai, Ibu pipis ditempat tidur karena kelamaan nunggu," titah Bian.

Walau sambil menghentakkan kaki, Salma tetap menuruti permintaan sang suami.

"Kenapa malah kamu yang datang? Mana si Najwa?" tanya Bu Jannah ketus.

"Mbak Najwa masih ngambek," jawab Salma dengan bibir mengerucut.

"Ehm, bau apaan, nih?" gumam Salma saat mencium bau tak sedap. "Kok, kayak bau pesing?"

Selimut yang menutupi kaki Bu Jannah reflek Salma singkap.

"Ih, Ibu pipis di kasur, ya?" tanya Salma yang reflek melangkah mundur karena jijik.

"Siapa suruh kamu kelamaan," jawab Bu Jannah. "Sekarang, kamu anterin Ibu ke kamar mandi! Bersihin badan Ibu!" titah Bu Jannah.

"Gimana caranya, Bu? Masa' aku harus pegang pant*t Ibu yang basah dan bau, sih? Jijik!" ucap Salma dengan wajah yang menampakkan ekspresi jijik secara terang-terangan.

"Apa kamu bilang? Kamu jijik sama Ibu? Iya?" Mata Bu Jannah melotot horor.

"Aku panggil Mbak Najwa aja, deh. Ibu tunggu sini," ucap Salma tanpa menunggu persetujuan dari wanita paruh baya itu.

"Mbak Najwa!" panggil Salma. Wanita itu berteriak keras memanggil nama kakak madunya.

Kebetulan, Najwa baru saja keluar dari dalam kamar dengan pakaian yang terlihat rapi dan menenteng sebuah tas.

"Ada apa?" tanya Najwa yang memindai penampilan seksi adik madunya.

Hati Najwa terasa mendidih oleh api amarah. Bisa-bisanya, Salma keluar kamar dengan penampilan seperti itu.

Hanya mengenakan lingerie warna merah yang sangat transparan dengan dada yang dipenuhi dengan bercak merah. Najwa jelas tahu, jika semalam perempuan itu sudah mengejar kenikmatan surga dunia bersama suaminya.

"Ibu pipis di tempat tidur. Bantuin, gih!"

Kening Najwa seketika berkerut. Apa-apaan ini? Apa Salma sungguh tak punya malu?

"Ngapain aku yang harus bantu?" sahut Najwa sambil melipat kedua tangannya didepan dada.

"Merawat Ibu kan, memang kewajiban kamu, Mbak!"

"Hah?" Najwa tampak ingin tertawa. "Sejak kapan ada aturan seperti itu?"

"Mas Bian yang bilang," jawab Salma ketus.

"Aku ini sudah tidak dinafkahi lagi oleh suamimu itu. Jadi, untuk apa lagi aku harus repot-repot merawat Ibunya? Toh, itu bukan kewajiban aku, kan? Melainkan, kewajiban Mas Bian sebagai anak kandungnya Ibu."

"Tapi, selama ini kamu yang lakukan kan, Mbak?" tanya Salma. "Ayolah, Mbak! Nggak usah ngambekan gitu! Masa' cuma gara-gara Mas Bian nikah sama aku, Mbak jadi marah? Padahal, aku aja nggak keberatan sama sekali loh, meski harus dimadu sama Mbak Najwa."

"Yakin, nggak keberatan dimadu?" pancing Najwa.

"Ya iyalah," angguk Salma percaya diri.

"Ya sudah, kalau gitu nanti aku cariin istri ketiga untuk Mas Bian."

"Eh, enak saja! Nggak ada!" tolak Salma keberatan.

Seketika, tawa Najwa meledak. Lihat, kan? Belum apa-apa, Salma sudah protes keras.

"Kok malah ketawa, Mbak? Sudah gila, ya?"

"Kenapa, memangnya? Kamu keberatan kalau aku ketawa? Mulut, mulut aku, kok."

"Ck, awas saja kalau Mbak Najwa berani cariin istri ketiga untuk Mas Bian. Aku nggak akan pernah rela!"

"Loh, tadi katanya ikhlas dipoligami?"

"Ya, aku emang ikhlas. Tapi, cuma sama kamu aja, Mbak!"

Kepala Najwa menggeleng mendengar jawaban Salma. Lihat, kan? Salma sendiri tidak rela, jika ada yang merebut Bian darinya. Seharusnya, dia bisa mengerti jika perasaan Najwa pun seperti itu.

"Aku nggak ada waktu buat ladenin omong kosong kamu, Salma. Aku mau pergi," ucap Najwa kemudian.

"Eh, mau kemana?" tanya Salma sambil menahan pergelangan tangan Najwa.

"Mau jalan-jalan."

"Nggak bisa seenaknya gitu dong, Mbak! Lakuin dulu kewajiban kamu!"

"Kewajiban apa?"

"Urusin Ibu! Aku nggak mau nyentuh badan Ibu yang bau itu. Menjijikkan!"

Senyum sinis terbit di wajah cantik Najwa yang tak terawat. Cekalan Salma dipergelangan tangannya, dia lepaskan dengan lembut.

"Sabar ya, Salma! Selama setahun, tugas menjijikkan itu sudah aku lakukan. Dan, sekarang, karena kamu sudah hadir, maka aku serahkan tongkat estafet merawat Ibu mertua ke tangan kamu! Jangan cuma mau mengelola gaji Mas Bian saja. Tapi, kamu juga harus mau merawat Ibunya. Oke?" Najwa menepuk-nepuk kedua bahu Salma.

"Oh iya, lain kali, kalau mau keluar kamar, pastikan memakai pakaian yang sopan! Jangan seperti ini!" lanjut Najwa sambil mundur selangkah.

"Kenapa? Kamu cemburu, karena melihat bekas merah-merah ini, Mbak?" tanya Salma sambil tersenyum mengejek.

Diusapnya bagian dada, dimana banyak sekali tanda kemerahan yang ditinggalkan Bian tadi malam.

"Oh, sama sekali tidak," jawab Najwa mantap. "Aku hanya tidak mau, jika para tetangga menganggap kalau aku sengaja memelihara pel@cur dirumah ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status