Share

Galih

POV Galih

_______

Aku sudah terlelap saat ponselku terus berdering, aku pikir siapa yang malam-malam begini menelponku. Saat melihat nama Dania yang tertera di layar, aku segera mengangkat panggilan tersebut. Dia bilang perutnya sakit hingga akhirnya aku segera bergegas ke rumahnya.

Aku tidak mempedulikan lagi bagaimana perasaan Safa, toh dia sudah tahu semuanya. Dan bahkan dia juga sudah setuju dengan keinginanku untuk bercerai, tinggal mengurus semuanya ke pengadilan dan kami akan resmi menjadi mantan suami istri.

Begitu sampai di rumah yang di tinggali oleh Dania aku segera membuka pintu dengan memakai kunci yang aku miliki. Rumah ini adalah rumah yang aku dan Safa beli di kota ini diawal-awal usaha kami mulai merangkak naik.

Daripada dibiarkan kosong karena kami pindah ke rumah yang lebih besar dan nyaman seiring makin suksesnya usaha kami, maka rumah ini di tempati oleh Dania yang saat itu baru datang dari desa untuk bekerja di tempat kami. Tentunya ide itu keluar dari kepala Safa.

Istriku itu sebenarnya sangat baik, bahkan begitu baiknya hingga bersedia tinggal di rumah dan menjaga ibuku, mertuanya. Dia menganggap dan memperlakukan ibuku seperti ibunya sendiri. Dia wanita yang baik, tapi pesona Dania begitu menggodaku hingga tanpa sadar aku sudah mengkhianatinya.

Apalagi Dania rela dinikahi diam-diam dibawah tangan, namun saat dia hamil wanita itu mulai banyak meminta. Bahkan memintaku untuk menceraikan istri sahku, Safa. Alasannya logis, dia ingin aku menikahinya secara sah di mata hukum. Dia bilang ini demi anak kami, dia khawatir jika anaknya lahir dan kami tidak memiliki surat nikah maka kami akan kesulitan mengurus administrasi untuk anak itu.

Jikapun bisa, mungkin hanya nama ibunya yang ada didalam surat kelahiran anak itu nantinya. Akupun tidak ingin hal itu terjadi, aku juga ayahnya dan menyayangi calon anak itu mana mungkin tega membiarkan anakku dalam kesulitan.

Setelah begitu lama berpikir dan atas desakan Dania, akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dengan Safa. Saat aku mengutarakan keinginanku, Safa begitu shock dan tidak percaya. Sepertinya dia begitu terpukul, dia tidak menyangka aku akan mengkhianatinya dan bahkan memiliki anak dari wanita itu. Wanita yang sangat dia kenal.

Selama ini, Safa memang begitu percaya padaku. Tidak sekalipun dia menaruh curiga jika aku pulang malam, atau bahkan bilang pergi ke luar kota untuk mengantarkan sendiri barang pesanan milik pelanggan.

Lima tahun menikah, kami belum memiliki anak, menurut Dania itu malah akan mempermudah urusan kami. Ketika kami berpisah, tidak akan ada lagi alasan untuk bertemu atau berkomunikasi karena tidak adanya penghubung antar aku dan Safa berupa buah hati. Biarlah Safa nanti menemukan laki-laki lain yang bisa menerimanya dengan segala kekurangannya. Bukan aku yang sudah menyakiti hatinya.

Setelah pintu terbuka, aku bergegas menuju kamar Dania untuk mencarinya. Begitu membuka pintu kamar tersebut, yang tampak dihadapkanku adalah sosok Dania dengan pose menggoda dan baju yang begitu seksi.

"Katanya sakit, kok seperti ini?" tanyaku sambil mendekatinya.

"Aku sakit rindu mas, aku tidak bisa tidur jika tidak ada dirimu," jawabnya sambil mengulurkan tangannya padaku.

Aku menyambutnya dan duduk di sampingnya, tepat di pinggiran ranjang.

"Biasanya kan juga sendiri, semalam aku sudah tidur disini. Meskipun Safa sudah tahu hubungan kita, tapi aku tidak bisa setiap saat disini sebelum kami resmi bercerai."

"Kalau dulu karena aku belum hamil mas, sekarang beda. Wanita hamil itu lebih butuh perhatian dan kasih sayang, bahkan belaian. Dulu kamu suka mencuri waktu untuk bersamaku hingga sekarang aku hamil, giliran sekarang aku hamil kamu tidak bisa bersamaku," ujarnya merajuk.

"Bukan begitu, Dania. Bagaimanapun juga masih ada ibu di rumah itu, aku tidak bisa seenaknya saja meninggalkan beliau bersama Safa. Ibuku itu tidak dalam keadaan sehat, aku takut jika malam-malam ibu kenapa-napa dan membutuhkan diriku."

"Betul kan itu karena ibu, bukan karena kamu masih ingin bersama wanita itu. Makanya cepetan ceraikan dia mas, dan bawa ibu tinggal bersamaku. Aku juga bisa merawatnya, kamu pikir aku tidak bisa merawat orang tua."

"Aku sedang mengurusi segalanya, kamu bersabarlah."

"Dan lagi satu, tadi mbak Safa datang dan mengatakan jika semua yang kamu miliki sekarang bukan sepenuhnya milikmu. Apa itu benar?" tanyanya dengan wajah berubah masam.

"Benar, memang semua yang aku miliki adalah milik bersamanya. Kami mendapatkannya setelah menikah, dulu kami hidup sederhana. Kamu tahu kan aku dan dia sama-sama perantauan di kota ini."

Dania menghela nafas panjang, jelas terlihat diwajahnya ada sedikit kekecewaan tergambar disana.

"Tapi tenang saja, kami akan membaginya 50:50 karena harta itu di dapat semua setelah menikah," ujarku menjelaskan.

"Ya sudah, kasih saja rumah besar itu buat mbak Safa. Tapi jangan pernah mengalah dan memberikan ruko tempat usah itu mas," ucapnya memberikan ide.

"Tidak bisa begitu, semuanya akan di hitung nilainya dan akan dibagi rata. Begitulah yang aku tahu dari pengacara yang aku tanyai tentang masalah ini," sahutku menjelaskan.

"Bagaimanapun caranya kamu harus mempertahankan tempat usah itu mas, kita bisa tetap bertahan dan semakin sukses jika tempat itu menjadi milikmu. Atau kalau tidak lebih baik kita berpisah dan aku akan menghilangkan anak ini dari perutku."

Lagi-lagi dia mengancam dengan hal itu, menghilang bayi dalam kandungannya. Aku begitu menginginkannya tapi dia dengan mudah ingin membuangnya. Saat aku membujuknya agar tetap menyembunyikan pernikahan kami, dia juga mengancam dengan ancaman serupa.

"Iya, iya. Nanti aku akan membujuk Safa agar mau menyerahkan ruko itu padaku dan dia biar mendapatkan yang lainnya."

Akhirnya aku mengalah juga pada keinginan istri siriku ini.

"Bener ya?" tanyanya memastikan.

"Iya, aku akan mengusahakannya. Tapi mempertahankan usaha tidak semudah yang kamu pikirkan, Dania. Kamu tahu kan jika semua yang kita produksi itu adalah hasil dari kerjasamaku dengan Safa. Dia yang menciptakan pola-pola pakaian sesuai kebutuhan pelanggan kita. Kamu pikir Safa di rumah tidak bekerja? Dia bekerja dengan melakukan hal itu," ucapku menjelaskan.

"Halah gampang, nanti kita bisa membayar orang untuk melakukannya. Atau aku yang akan belajar, mbak Safa gak sekolah khusus desainer juga kan. Kita sama-sama tahu bagaimana kehidupan orang tuanya, dia hanya sekolah di jurusan tata busana dulu di kampung. Tidak ada kuliah-kuliahan."

"Iya benar, tadi di kota ini dia terus menambah ilmunya dengan ikut berbagai kursus-kursus dan seminar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan usaha kami. Dulu kami rela makan seadanya demi mendapatkan ilmu-ilmu tersebut."

"Tenang mas, aku juga bisa melakukannya. Toh kamu sudah banyak uang sekarang dan sudah banyak juga pelanggan yang kita miliki. Satu lagi kita memiliki toko untuk menjual hasil ciptaan kita," ujar Dania meyakinkan diriku.

"Baiklah jika kamu begitu yakin, aku akan menuruti keinginanmu."

"Nah, gitu dinh. Kalau begitu kemarilah, si dede kangen ingin di tengok ayahnya," ucapnya dengan suara mendayu.

Tangannya menarikku untuk semakin dekat dengannya. Godaannya inilah yang membuatku jatuh dalam pelukannya, hal yang tidak pernah dilakukan oleh Safa.

Sejak Safa sibuk mengurus rumah sambil membuat pola baju sekaligus menjaga ibu, dia tidak lagi hangat padaku. Saat aku pulang, dia dalam keadaan begitu lelah dan sangat jarang melayaniku di ranjang.

Hingga akhirnya, godaan dari Dania begitu besar membuatku tidak bisa menahan diri lagi. Ditambah kami sering berada berdua dalam satu ruangan dan selalu melihatnya setiap saat.

Wanita yang sedang mengandung anakku itu langsung memberikan kenikmatan yang selalu aku rindukan begitu tubuhku berdekatan dengannya. Membuatku kecandu*n dan tidak bisa berpaling darinya.

🍁🍁🍁

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Gila yah jelas2 si lonte itu ungkapin hal yg sebenarnya dia incer tp lu tetep aj membutakan diru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status