Share

Tak Bisa Memperbaiki yang Retak

"Tidak bisakah kamu meninggalkan wanita itu untukku mas," ucapku sambil menyiapkan makanan untuk suamiku.

Bagaimanapun juga aku masih berusaha untuk mengembalikan suamiku padaku, apalagi setelah tadi aku bertemu dengan Dania. Aku semakin yakin jika wanita itu tidak hanya tertarik pada suamiku, tapi juga apa yang dimilikinya.

Bahkan saat tadi dia pulang, aku tidak menanyakan darimana dia. Semalam tidur dimana, aku menyambutnya bagikan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Tidak usah membohongi diri sendiri, Safa. Kamu tahu jika keputusanku tidak bisa diubah. Bagaimana bisa istri yang sudah di khianati suaminya masih berharap dia kembali, lagi pula Dania sedang hamil. Dia mengharapkan aku selalu bersamanya dan meninggalkan dirimu."

Jawaban dari pria yang sedang duduk di hadapanku ini sangat menusuk hatiku, dia benar-benar sudah tidak memedulikan lagi bagaimana perasaanku."

"Kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu ini mas? wanita itu hanya tertarik dengan kesuksesanmu, apa kamu yakin dia akan tetap setia mendampingimu jika kamu terpuruk?"

"Dia akan setia karena sudah ada buah hati diantara kami, lagipula aku tidak akan membuat diriku jatuh dalam keterpurukan. Aku sudah bisa meraih ini semua dan akan mempertahankannya."

"Kamu begitu yakin jika apa yang kamu dapatkan sekarang hanya karena usahamu sendiri?"

Tidak ada jawaban dari lelaki di depanku ini, aku merasa dia tidak yakin dengan apa yang barusan dia ucapkan. Sepertinya apa yang dia lakukan semuanya karena pengaruh wanita itu.

"Kamu tidak memikirkannya ibu mas? apa wanita itu mau merawat ibu seperti aku merawatnya?"

"Sudahlah Safa, berhentilah mencoba untuk merubah keputusanku. Dania akan menjadi partner bisnisku dan partner ranjangku, dia juga akan merawat ibuku, wanita itu akan menggantikan kamu. Mari kita akhiri pernikahan ini, dan segera kita urus di pengadilan semuanya. Termasuk pembagian harta gono-gini, semua orang tahu jika awal menikah kita tidak memiliki apapun."

Ucapan mas Galih begitu menohok hatiku, seolah aku sedang mengemis untuk tetap bisa bersamanya.

"Baiklah mas, jika itu yang kamu inginkan. Sampai ketemu di pengadilan, dan jangan pernah menyesali apapun yang sudah kamu putuskan hari ini," sahutku datar.

Aku berusaha tetap tenang, meneruskan makanku dan seolah tidak bersedih dengan apapun yang menimpaku saat ini.

***

Ibu memanggilku ke kamarnya menjelang tidur malam, tidak biasanya beliau melakukan hal itu.

"Tadi ibu mendengar pembicaraanmu dengan suamimu, apa ibu tidak salah dengar?" tanya wanita yang sudah melahirkan mas Galih itu.

Aku menghela nafas panjang, menata hati untuk bercerita kepada mertuaku ini, yang sebentar lagi akan menjadi mantan mertua.

"Semua yang ibu dengar itu benar, mas Galih menghamili wanita lain yang mungkin sudah dinikahinya secara siri, dan sekarang wanita itu menginginkan agar mas Galih menceraikan diriku."

"Ibu tidak habis pikir dengan apa yang di lakukan Galih ini, bisa-bisanya dia melakukan hal ini padamu."

"Mungkin sebentar lagi kami akan berpisah, Bu. Maafkan Safa jika selama menjaga ibu Safa berbuat salah, saya harap ibu bisa bahagia dengan menantu ibu yang baru. Mas Galih sepertinya sudah menganggap wanita itu segala-galanya."

Wanita yang sudah tidak lagi muda itu menitikkan air mata, aku juga sangat menyayanginya. Dari ibu mertuaku inilah aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Aku yang sejak kecil sudah tidak memiliki ibu, wanita yang melahirkan diriku itu meninggal saat melahirkan aku. Aku dibesarkan oleh ayah sendirian, dan hingga aku dewasa dan menikah, ayah juga tidak menikah lagi.

Bahkan sampai akhir hayatnya, ayah tidak juga menikah lagi. Ya, sekarang aku sudah yatim piatu. Beberapa bulan setelah aku menikah, beliau meninggal tanpa sakit apapun lagi. Seolah kehidupannya hanya untuk menemaniku, dan saat aku menemukan orang yang bisa menjagaku ayah pergi dengan tenang.

Aku berpikir dan bermimpi jika semua orang yang bergelar suami akan memiliki cinta seperti ayahku pada ibuku, cinta yang tetap setia pada satu orang saja hingga ajal menjemputnya. Namun sepertinya keberuntungannya itu tidak ada padaku, nyatanya suamiku memiliki wanita lain di belakangku.

"Sudah malam Bu, istirahatlah. Ibu harus banyak beristirahat, Selin harap ibu bisa sembuh seperti sedia kala. Berjalan dengan normal tanpa kesusahan lagi," ucapku sambil membantunya untuk berbaring di tempat tidur.

Setelah ibu berbaring, aku segera menggantikan lampu kamar dengan lampu tidur dan keluar dari kamar mertuaku dan bergegas menuju kamarku sendiri.

Aku tidak berniat untuk berpisah ranjang dengan mas Galih. Aku yakin dia juga sudah tidak menginginkan aku lagi. Lagipula aku tidak akan membiarkan dia mengusirku dari dalam kamarku sendiri, bahkan dari rumah ini. Wanita itu tidak akan aku biarkan tinggal dan memiliki rumah ini.

Dia begitu ingin memiliki segalanya yang aku miliki bukan, tapi tidak akan aku biarkan hal itu terjadi. Bagaimanapun juga, aku memiliki sebagian dari harga mas Galih dan aku akan mempertahankan rumah ini.

Begitu aku masuk kedalam kamar, aku melihat suamiku itu sudah tertidur di sisi ranjang dengan posisi miring. Aku pun segera merebahkan tubuhku di sisi yang lain dan menungguinya. Rasa lelah mendera jiwa ragaku, selama ini aku pikir rumah tanggaku baik-baik saja.

Aku tidak pernah mencurigai suamiku, aku begitu percaya kepadanya, tidak pernah sekalipun aku mencurigainya, memeriksa telpon pintarnya atau apapun yang bisa memicu kecurigaanku pada pasanganku, hingga badai ini datang membuat diriku terhempas tidak berdaya.

Mataku hampir terpejam, kesadaranku hampir menghilang saat tiba-tiba terdengar dering suara telpon mengagetkan diriku. Itu suara smartphone milik mas Galih. Aku mengabaikan suara tersebut, hingga si empunya sendiri terbangun dan mengangkat panggilan tersebut.

"Iya ada apa?" terdengar suara mas Galih bertanya pada sang penelepon.

"Kamu baik-baik saja kan? baiklah aku kesana."

Setelah mengakhiri teleponnya aku merasa mas Galih bangun dari tempat tidur. Aku ikut terbangun dan menatap kearah, dia akan pergi. Kemana?

"Mau kemana mas?" tanyaku pelan.

"Dania tiba-tiba sakit perut, aku harus kesana," jawabnya tanpa mempedulikan perasaanku.

Aku masih istrinya tapi dia sudah tidak mau menjaga perasanku lagi. Apa yang aku pikirkan, dia sudah tidak menjaga perasaanku saat dia mulai mengkhianatiku dengan menikahi karyawannya itu.

Lelaki itu segera keluar dari kamar, tidak menoleh ataupun berkata apapun lagi padaku.

Pergilah mas, pergi temui wanita itu. Keluarlah dari rumah ini dan dari kehidupanku. Aku tidak akan lagi mempertahankan sesuatu yang sudah retak. Aku akan bahagia tanpamu.

🍁🍁🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status