Share

Mau Bersaing?

"Jangan sombong mbak, apa yang kamu banggakan sekarang? kamu tidak memiliki siapapun yang bisa menjadi tempatmu bersandar," ejeknya.

"Aku tidak butuh siapapun untuk bersandar, aku punya Allah. Dia sudah sangat cukup buatku."

Wanita yang sudah merebut suamiku itu hanya tersenyum miring menanggapi perkataanku. Dia langsung masuk kedalam tokoku, melihat dan menyentuh baju-baju yang terpajang disana. Gesture tubuhnya sudah seperti seorang bos yang sedang memeriksa pekerjaan stafnya. Benar-benar menyebalkan. Kalau bukan sedang hamil rasanya aku ingin menjambak rambutnya dan melemparnya keluar dari tempat ini.

"Sampai kapan toko ini akan bertahan mbak," tanyanya sinis. "Bukankah tempat ini tetap membutuhkan isi, darimana kamu akan mendapatkannya," lanjutnya berkata.

Perkataan yang sama seperti yang pernah mas Galih ucapkan padaku kala itu, mungkin dia mendapatkan perkataan itu dari wanita ini. Aku tertawa keras mendengar ucapannya, wanita dengan gaun sepanjang lutut itu langsung berbaik menatapku begitu mendengar tawaku bergema didalam ruangan.

"Ada yang lucu?" tanyanya jengkel.

"Tentu, tentu lucu sekali," jawabku di sela-sela tawaku.

"Kamu tidak tahu apa lupa, kamu pikir semua yang ada disini siapa yang mendesignnya?" tanyaku sambil memegang baju-baju yang melekat di tubuh manekin.

"Ini semua aku yang membuatnya, aku dan mantan suamiku memang bekerjasama, dia yang mencari klien dan bernegosiasi dengan mereka tapi aku yang mengeksekusi keinginan pelanggan-pelanggan itu. Tukang potong, tukang jahit, tukang, packing dan lain-lain mereka bisa di cari lagi. Bahkan marketing juga bisa dicari, tapi designer dimana kalian akan mendapatkannya. Kamu bisa? Sampai kapan kalian akan bertahan dengan model baju yang terus menerus sama?" Aku membalikkan ejekan itu padanya.

Dasar wanita tidak tahu malu, berani-beraninya dia mendatangiku untuk mengejekku saat ini. Wajahnya nampak semakin jengkel mendengar perkataanku barusan.

"Aku yang akan melakukan, aku bisa menggantikan peranmu di ranjang maka aku akan bisa juga menggantikan peranmu dalam usaha mas Galih," sahutnya penuh percaya diri.

Ucapnya terdengar sangat menjijikkan di telingaku, dia seperti memang sengaja ingin memancing kemarahanku.

"Kamu pikir peranku di usaha itu semudah membuka pah* di hadapan mas Galih, hemm? Apa perlu kita bersaing sekarang? aku akan mengambil semua klien mas Galih. Jika aku melakukannya, kalian punya apa? Sebuah gedung berlantai tiga dengan segala isinya yang tidak akan berproduksi lagi," ujarku sambil mendekat kearahnya.

"Kamu tega melakukan itu mbak?"

Aku lagi-lagi tertawa mendengar pertanyaan, " Yaa ampun, kamu lucu sekali sih Dania. Apa kamu pikir aku ini peri yang baik hati? Kalian saja tega melakukan penghianatan di belakangku bagaimana aku tidak tega untuk melawan kalian secara terang-terangan."

Dania diam seribu bahasa, aku melihat tangannya mengepal menahan amarah. Siap suruh berani mendatangiku, dia pikir aku tidak akan berani berkata-kata kasar padanya.

"Pergi dari sini dan jangan temui aku lagi, pintu keluar ada disana," ucapku sambil menunjuk ke arah pintu.

"Jangan pernah berani lagi datang dan menampakkan wajahmu itu di depanku, atau kalau tidak aku bisa membuatmu kehilangan calon bayimu itu. Brrakkk!" Aku menarik dan menjatuhkan manekin tepat di depannya.

Wanita yang sedang mengandung anak mantan suamiku itu terlonjak kaget, dan mundur beberapa langkah.

"Aku akan mengadukan ini pada mas Galih, Mbak!" pekiknya kencang.

"Adukan sana, aku tidak takut! Sekarang keluar!" pekikku tidak kalah kencang.

Wanita itu langsung keluar dengan penuh kemarahan, berani-beraninya dia menampakkan diri dihadapkanku dan berlagak seperti seorang nyonya.

Dadaku ikutan bergemuruh menahan amarah, moodku langsung hilang seketika itu juga. Aku tidak berniat lagi untuk bekerja, aku segera membereskan manekin yang terjauh karena aku lempar, mengambil tas dan buku catatan lalu bergegas menutup toko.

Lebih baik aku tidak bekerja hari ini, daripada aku melakukan pekerjaan dibawah kemarahan.

****

Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur begitu aku sampai di rumah, rasa penat menghampiriku, aku pikir semua akan berakhir begitu kami bercerai tapi nyatanya wanita itu malah mulai berani menggangguku dan mendatangiku. Apa maunya dia sekarang.

Mataku hampir terpejam, namun suara bel di depan berbunyi mengagetkan diriku. Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur, siapa sih yang datang. Perasaan aku tidak pernah punya tamu.

Bergegas aku pergi ke ruang depan untuk melihat siapa yang datang, saat aku membuka pintu, aku cukup kaget dibuatnya. Ternyata yang ada di depan pintu adalah mantan suamiku, mas Galih.

"Ada apa mas?" tanyaku tanpa mempersilahkannya masuk.

Bagaimanapun juga dia bukan lagi suamiku yang bisa keluar masuk rumah ini dengan seenaknya. Kami sudah bukan siapa-siapa lagi yang harus saling menjaga jarak.

"Apa yang kamu lakukan pada Dania?" tanyanya padaku dengan sorot mata tajam.

Oh Ternyata perempuan itu benar-benar mengadu pada suaminya, entah apa yang dia katakan pada laki-laki ini hingga Dia terlihat begitu marah padaku.

"Kamu pikir aku akan melakukan apa, Mas," ujarku balik bertanya.

"Dia pulang dengan keadaan menangis setelah menemuimu, dia mengatakan jika kamu mengancam akan menghilangkan nyawa bayi dalam kandungannya. Apa itu benar apa, kamu iri padanya karena kamu tidak memiliki anak setelah sekian lama kita menikah."

"Plaakk!"

Dengan geram aku melayangkan sebuah tamparan di pipi mantan suamiku itu, hal yang harus aku lakukan sejak pertama kali aku mendengar dia sudah menikah secara siri dan memiliki anak dari wanita lain.

Mas Galih terlihat syok dan tidak percaya atas apa yang barusan aku lakukan kepadanya. Giginya gemerutuk menahan amarah.

"Kenapa, kau mau menampar aku juga, lakukan jika kamu mau?" tantangku.

"Apa wanita itu begitu menguasai pikiranmu hingga apa yang dia katakan selalu kau anggap kebenaran, hah!?"

Lelaki di hadapanku itu diam tidak berkata apa-apa.

"Tanyakan padanya Apa yang sebenarnya terjadi. Jangan selalu percaya padanya dan bertekuk lutut di hadapannya, atau suatu saat nanti kamu akan diperbudak olehnya. Atau mungkin sekarang kamu sudah diperbudak oleh wanita itu?"

"Jaga mulutmu, Safa. Jangan pernah lagi kamu menghina dirinya."

Aku menaikkan salah satu sudut bibirku mendengar perkataan mantan suamiku itu, sekarang dia semakin gencar membela wanita itu.

"Jika begitu jangan pernah lagi menampakan wajah kalian di hadapanku. Pergi dari hadapanku sekarang dan jangan pernah lagi berani-beraninya datang menemuiku, katakan itu pada istri tercintamu itu. Brrakkk!"

Dengan kasar aku menutup pintu rumah tanpa memperdulikan keberadaan dirinya lagi, semakin aku meladeninya semakin aku akan dikuasai oleh kemarahan.

Kusandarkan tubuhku pada pintu, rasanya kakiku sudah tidak bisa menahan berat badanku. Laki-laki yang dulu selalu membelaku, kini berteriak dan melotot di hadapanku demi wanita lain. Ya, tentu saja wanita itu sudah menjadi istrinya dan mengandung anaknya sedangkan aku saat ini bukanlah siapa-siapa lagi baginya.

Tak lama berselang terdengar deru mobil meninggalkan rumahku. Padahal aku ingin hidup dengan tenang setelah ini, tapi nyatanya mereka masih membayangi kehidupanku. Aku tidak ingin memelihara dendam dan kemarahan, aku ingin terbebas dari mas Galih begitu kami bercerai, tapi nyatanya mereka terus saja membayangi hidupku meskipun kami tidak memiliki anak sebagai penghubung.

Apa memang kita ditakdirkan untuk terus berkaitan, dulu kita partner tapi sekarang kita saingan. Akan aku ladenin jika mau kalian begitu.

🍁 🍁 🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status