Share

Menata Hidup

Pagi yang cerah ini, aku mengawali hari yang baru. Sekarang aku tinggal sendirian, tidak ada kerabat maupun saudara di rumah yang sebesar ini. Ibu mertuaku, lebih tepatnya mantan ibu mertuaku sudah dibawa oleh anaknya pergi dari rumah ini.

Hari ini aku berniat untuk mengurus balik nama atas toko yang masih atas nama mas Galih, sedangkan rumah ini sudah atas namaku. Beberapa aset sudah di jual dan kami bagi dalam bentuk uang. Bahkan mobil yang biasa aku pakai juga kami jual, lalu aku sudah menggantinya dengan mobil lain yang sama-sama mungil. Aku pikir karena aku berkendara sendiri hanya memerlukan mobil yang tidak terlalu besar.

Aku juga akan mulai pergi ke toko dan menjaganya sendiri, karena mas Galih juga menarik karyawan dari sana. Padahal biar saja mereka bekerja disana dan aku yang akan menggajinya. Entah ide siapa untuk mengambil karyawan dari sana.

Rumah sudah rapi, aku pun sudah siap pergi. Mulai hari ini aku tidak terlalu sibuk seperti dulu lagi, aku hanya mengurus diriku sendiri jadi semuanya nampak semakin ringan.

Dengan hati ringan, kubuka pintu rumahku. Aku mengirup udara sebanyak-banyaknya, hari ini adalah hari yang baru, semua akan jadi lebih baik lagi. Aku mengendarai mobil mungil berwarna putih untuk pergi ke toko. Toko baju yang menjual berbagai jenis baju muslim dan muslimah, terletak di pusat grosir khusus menjual berbagai jenis pakaian yang cukup terkenal di kota ini.

Banyak orang yang berbelanja di pusat grosir ini, baik dari kota ini, bahkan dari luar kota. Banyak kantor-kantor ekspedisi yang bercokol di tempat ini, mereka mengirim barang-barang berupa pakaian dalam karung-karung dan juga kardus besar yang di kemas sangat rapi.

Pusat grosir ini terdiri dari tujuh belas lantai dan dibangun di atas lahan seluas 1,2 hektar. Dari jumlah itu, hanya sepuluh lantai yang jadi area pertokoan. Sisanya yang tujuh lantai jadi area parkir yang bisa mengakomodasi 1.600 kendaraan roda empat juga tempat dimana para kantor ekspedisi itu berada. Gedung dengan tujuh belas lantai ini punya dua puluh dua lift dan seratus enam puluh tiga eskalator, juga full AC di dalamnya.

Hal pertama yang aku lakukan saat sampai di toko hanyalah melihat-melihat stock barang saja. Sepertinya aku harus menyediakan waktu untuk menghitung jumlah stock dan jenis-jenisnya terlebih dahulu. Andai saja karyawan yang bekerja disini tidak keluar, pasti pekerjaanku tidak akan sebanyak ini.

Tidak apa-apa, semakin banyak pekerjaan semakin aku akan melupakan semua masalahmu. Aku mencoba menelpon Kaira, teman yang aku kenal saat dulu sering ikut kursus desainer dan fashion dulu.

"Halo Kai, apa kabar?" tanyaku berbasa-basi begitu sambungan telepon terhubung.

"Baik, hai ... Kamu apa kabar? lama banget gak kasih kabar, sibuk banget yaa udah jadi pengusaha sukses," sahut Kaira dari ujung telpon.

Dia wanita yang baik dan ceria meskipun sudah memiliki satu orang putri, sekarang ini dia memiliki butik khusus baju pengantin.

"Aku baik-baik juga, sebenarnya aku menelpon karena ingin minta tolong loh. Mungkin kamu ada kenalan yang bisa jagain toko pakaian gitu?"

"Wah, buka toko lagi?" tanyanya antusias.

"Bukan, toko lama tapi gak ada karyawannya nih. Aku sendirian deh ini mengurusnya," sahutku sambil tertawa kecil.

"Ck, bu bos bisa-bisanya jagain toko sendiri," ucapnya sambil tertawa renyah.

Kaira memang belum tahu perceraianku dengan mas Galih, bahkan dia juga tidak tahu masalah yang menimpaku.

"Coba nanti aku tanya karyawanku yaa, siapa tahu ada temannya atau saudaranya gitu yaa ingin bekerja," ujar Kaira dari seberang telepon.

"Eh sama boleh juga kalau ada yang mau jadi asisten rumah tangga, sama cariin tempat yang bisa buat usaha konveksi kecil-kecilan gitu. Kecil aja dulu tidak apa-apa, muat lima sampai sepuluh orang gitu," ucapku lagi.

"Buat buka cabang?" tanya Kaira penasaran. "Makin sukses aja nih kayaknya," lanjutnya menggodaku.

"Enggak sih, nantilah aku ceritakan kenapa aku membutuhkannya. Kalau kamu ada waktu aku akan main ke rumahmu."

"Aku selalu ada waktu, Safa. Kamu saja yang tidak pernah ada waktu, sibuk terus sama usaha, suami dan mertua, benar-benar istri idaman," ucapnya memujiku.

"Jika aku istri idaman, maka aku tidak akan di ceraikan. Kaira," ucapku dalam hati.

"Hai ... Kamu masih disana kan?" seru Kaira menarikku dari lamunan.

"Ah iya, masih. Cuma melamun dikit, hehehe."

"Ya sudah kamu main kesini lah jika sudah ada waktu. Aku kangen juga sama kamu, Safa."

"Siap, besok yaa."

Setelah berbincang banyak hal, kami menyudahi obrolan kami. Kaira lagi-lagi mengingatkan aku untuk main ke rumahnya jika ada waktu. Sepertinya aku memang harus bertemu dengannya, sudah lama kami tidak pernah bertemu. Hanya jarang-jarang saja kami berkomunikasi lewat telepon.

Setelah memutuskan sambungan telepon, aku kembali melihat-lihat pembukuan yang ada diatas meja kasir. Sepertinya itu adalah catatan stock toko yang di tulis secara manual.

"Ah, kenapa aku tidak terpikirkan dengan buku ini," pekikku kegirangan sendiri.

Buku ini adalah buku dewa buatku saat dulu memulai usaha, berisi barang keluar masuk dan pendapatanan harian hingga bulanan. Sepertinya karyawan disini terus melakukan seperti yang aku ajarkan sebelum akhirnya aku tidak pernah kesini lagi. Mungkin mas Galih yang mengawasinya, ah laki-laki itu. Kenapa juga aku harus mengingatnya.

Pelan-pelan kubaca semua yang tertulis dibuku tersebut, sekalian aku menghitung sisa stok yang saat ini tersedia di toko. Meskipun ini baru pertengahan bulan, namun ini adalah awal bulan buatku memulai usaha ini. Seperti yang aku inginkan kala itu, toko dengan segala isinya yang ada dalamnya. Untung saja laki-laki itu memenuhi janjinya, setidaknya dia tidak berbuat curang dengan mengurangi stocknya maupun mengosongkannya.

Aku terus sibuk membolak-balik halaman buku besar itu, belum berniat untuk mengecek isi komputer di meja kasir. Aku juga sengaja tidak membuka toko ini, tadi sengaja membawa papan tanda bertuliskan close/open yang bisa di gantung di depan pintu, untuk hari ini memang aku belum siap untuk berjualan.

Saat tengah asyik dengan pekerjaanku, terdengar ketukan dari pintu dan suara pintu terbuka.

"Maaf, saya belum berjualan hari ini," ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang ada di tanganku.

"Saya tidak sedang ingin berbelanja," terdengar jawaban dari suara yang begitu familiar di telingaku.

Aku segera mengangkat wajahku untuk menatapnya.

"Ada apa kesini?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Ingin bertemu kamu mbak, dan mengucapkan terimakasih sudah merelakan suamimu hanya menjadi suamiku," jawabnya dengan senyum yang terlihat manis.

Iya, dulu senyuman manis, senyum wanita yang bernama Dania itu dulu tampak tulus, tapi sekarang aku melihatnya dengan jijik.

"Kamu memang sudah seharusnya mengalah karena anak ini membutuhkan kasih sayang sepenuhnya dari ayahnya," ucapnya lagi sambil mengelus perutnya yang masih rata.

Entah berapa usia kandungannya saat ini, aku pun tak ingin tahu sama sekali.

"Aku tidak mengalah, Dania. Aku hanya membuang sampah pada tempatnya. Penghianat memang pantas untuk penghianat, sampah memang harus dibuang didalam tong sampah. Kamu faham kan maksudku," ucapku sinis.

Terlihat jelas di wajah kekesalan dan rasa tidak suka. Suruh siapa kamu datang kesini dan menganggu hidupku, dasar jal*ng. Aku tidak akan berbaik hati lagi pada siapapun kali ini.

🍁🍁🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status