Share

Negosiasi yang Sia-sia

Pagi-pagi sekali aku sudah membereskan semuanya, membantu ibu yang kemana-mana harus di bantu dan di awasi karena kakinya yang sudah tidak kokoh lagi menopang berat tubuhnya.

Malam tadi suamiku tidak pulang, apa dia tinggal dan menginap di tempat Dania? Dadaku bergemuruh jika membayangkan hal tersebut.

Setelah menyiapkan makanan untuk ibu, membantunya pergi ke kamar mandi untuk mandi pagi, aku segera membersihkan diriku sendiri dan bersiap untuk pergi ke ruko. Aku harus menemui wanita itu hari ini juga.

"Bu, Safa pamit dulu ya. Mau ke ruko, kalau ada apa-apa langsung hubungi Safa saja ya. Ada yang harus di selesaikan," ucapku berpamitan kepada mertuaku.

"Hati-hati kalau kemana-mana ya, Bu," pesanku memastikan.

"Iya tenang saja, ibu bisa di tinggal kok. Kamu juga perlu sekali-kali keluar rumah jangan ngurusin ibu terus. Kamu juga perlu refreshing," tutur wanita yang sudah melahirkan mas Galih itu.

Setelah kucium tangannya dan berpamitan, segera ku ayunkan langkahku menuju pintu keluar. Aku harus segera menyelesaikan semuanya ini bagaimanapun caranya.

Segera ku kendarai mobil mungil milikku, mobil yang selama ini sudah jarang di pakai karena aku jarang kemana-mana. Mobil Mirage, mobil pertama kali yang kami miliki dan hingga sekarang aku sayangi.

Kendaraanku menembus padatnya kota, berlomba dengan kendaraan lain yang sedang mengantarkan pengendaranya ke tempat tujuan masing-masing. Sekolah maupun bekerja mencari nafkah.

Seorang satpam membukakan pintu untukku begitu mobilku sampai di depan pintu gerbang. Ruko milik kami memang di pagar dan dengan gerbang yang lumayan tinggi. Karyawan jahit yang banyak dan barang-barang berharga serta bahan-bahan yang memerlukan penjagaan membuat kami memutuskan untuk membuat gerbang dan memiliki penjaga.

Beberapa karyawan tersenyum dan menyapaku saat melihat kedatanganku. Cukup lama aku tidak datang ke tempat ini, aku begitu percaya mas Galih akan menjalankan semuanya dengan baik. Terbukti dengan usaha kami yang semakin berkembang dengan cepat dan pesat.

Melewati lantai satu, aku langsung ke naik ke lantai dua. Tampak karyawan sedang sibuk memotong pola-pola baju yang akan di jahit di lantai bawah. Mereka juga menyapaku dengan ramah.

Kembali aku ayunkan langkah menuju ke lantai tiga, dimana aku akan bertemu dengan Dania dan mas Galih disana. Melewati tangga, aku segera masuk ke ruangan kerja mas Galih yang dibagi lagi dengan sekat setinggi orang dewasa untuk tempat Dania bekerja.

Saat aku membuka pintu ruangan tersebut, hanya ada Dania di dalam sana. Kemana suamiku itu, semalam tidak pulang dan sekarang pun tidak ada disini.

Dania segera bangkit dan menyapaku begitu melihat kedatanganku, tidak ada raut terkejut sama sekali di wajahnya. Melihat wanita yang mungkin saja hendak melabraknya karena sudah dengan lancang berkeinginan untuk mengambil suaminya.

"Dania, aku ingin bicara denganmu," ucapku langsung ke intinya.

"Disini mbak?"

"Tidak, aku ingin berbicara banyak hal. Sepertinya kamu sudah tahu hal apa itu dan tampaknya kamu sudah siap juga dengan semuanya."

"Kita bicara di restoran yang tidak jauh dari sini mbak, tidak mungkin kan kita bicara di rumah makan seberang ruko," ujarnya memberi solusi.

Restoran tidak jauh dari sini, apa kamu selalu makan siang dengan suamiku ditempat itu. Sebuah kalimat yang hanya aku ucapkan dalam hati.

Wanita itu segera keluar dari ruangan dan aku mengikutinya. Terlihat beberapa karyawan berbisik-bisik saat aku dan Dania berjalan bersama. Apa sebagian dari mereka sudah tahu hubungan mas Galih dengan wanita ini.

Kami segera memesan minuman dan makanan ringan sebagai teman bicara begitu kami sampai di restoran yang dimaksudkan oleh Dania. Tempat ini cukup nyaman dan tidak terlalu bising. Kami mengambil tempat duduk di sudut ruangan, agak jauh dari meja-meja yang lain.

"Pasti kamu tahu kan kenapa aku ingin bertemu denganmu," tanyaku sambil mengisap jus jeruk yang sudah aku pesan.

"Aku tidak bisa menduga-dugannya mbak," sahutnya dengan tenang.

Aku sampai tidak bisa berkata apa-apa melihat wanita ini, dia begitu santai menghadapi istri dari selingkuhannya.

"Berhentilah bekerja dan tinggalkan mas Galih," ucapku penuh penekanan.

"Aku tidak bisa mbak," jawabnya singkat.

"Kenapa?"

"Aku sedang hamil anaknya mas Galih mbak, bagaimana aku bisa meninggalkan dia. Aku perlu seseorang yang bertanggungjawab atas kehamilanku ini."

"Aku yang akan bertanggungjawab, lahirkan anak itu dan berikan padaku. Aku akan mencukupi semua kebutuhanmu saat hamil dan melahirkannya, aku juga akan memberikan kompensasi atas kehamilanmu itu."

Wanita di hadapanku itu hanya tersenyum miring mendengar perkataanku, dia benar-benar sudah berubah dari wanita lugu menjadi wanita yang terlihat penuh ambisi.

"Mbak Safa tidak dalam posisi untuk memerintah mbak, aku bukan wanita yang bersedia meminjamkan rahimku untuk dirimu. Jika mas Galih tidak mau menikahiku secara sah di mata hukum, maka aku akan menghilangkan bayi ini dari dalam sini. Bukankah suamimu itu begitu mendamba seorang anak, dia tidak akan rela aku melakukan hal itu. Bukankah dia sudah menentukan pilihannya, mas Galih memilihku mbak," ujarnya penuh penekanan.

Aku meremas ujung bajuku untuk menetralisir kemarahanmu.

"Kenapa kamu melakukan ini, Dania? kamu itu perempuan muda, bisa mendapatkan laki-laki bujangan. Kenapa kamu malah memilih suami orang, orang yang sudah menolong dirimu!"

"Karena aku mencintai mas Galih."

"Hah, cinta? apa kamu yakin itu cinta. Apa kamu masih akan mencintainya jika tiba-tiba dia menjadi miskin?" tanyaku sinis.

"Bagaimana bisa mas Galih menjadi miskin tiba-tiba, semua dia miliki. Usaha, rumah, kendaraan, toko," ujarnya menyebut semua aset yang dimiliki oleh suamiku.

"Kamu yakin itu semua miliknya?" tanyaku mengejek.

Wanita di hadapanku itu diam dan terlihat memucat, seperti yang aku duga. Wanita muda yang merusak rumah tangga orang lain dan menginginkan suami orang bukan karena cinta. Tapi mereka tergiur dengan kemapanan yang dimiliki lelaki tersebut, karena seorang bujangan yang mapan itu jarang ada.

"Bukankah kalian mendapatkannya setelah menikah, jadi jika kalian bercerai maka harta itu harus di bagi," sahutnya jengkel.

"Apa kamu begitu menginginkannya hingga kamu tahu segalanya tentang kami. Siapa yang kamu inginkan sebenarnya, mas Galih atau harta kekayaan?"

"Mas Galih, dan tentu juga dengan segala yang dimilikinya. Bagaimana bisa kami menghidupi anak ini tanpa itu!"

Aku tertawa sumbang mendengar jawabannya.

"Kamu pikir semua itu datang dengan tiba-tiba begitu saja. Kami memilikinya secara perlahan, dan kamu dengan seenaknya mau ikut menikmatinya begitu saja dan menyingkirkan aku. Tidak akan kubiarkan itu terjadi!"

"Kamu sudah kalah mbak, kamu tidak memiliki apa yang aku miliki. Aku memiliki anak yang diidamkan oleh mas Galih."

Bisa-bisanya wanita ini mengatakan hal itu, dia bangga memiliki anak di luar nikah.

"Bayi dalam kandunganmu itu tidak akan mewarisi apa yang di miliki oleh mas Galih karena dia anak di luar nikah," sahutku cepat.

"Siapa bilang dia anak di luar nikah, tanyakan pada suamimu itu dia sudah menikahiku atau belum. Kami hanya menunggu statusnya bercerai darimu dan tinggal mendaftarkan pernikahan kami di Kantor Urusan Agama."

Perkataan Dania sontak membuatku tertegun, mereka sudah menikah. Apa mereka menikah siri tanpa sepengetahuanku, kapan, dimana. Hatiku semakin hancur mendapati kenyataan ini.

Dania segera menghabisi makanannya dan meninggalkan diriku begitu saja. Aku masih terdiam mencerna semua yang telah terjadi.

Kamu boleh mengambil suamiku, penghianat memang pantas untuk penghianat juga. Tapi tidak akan aku biarkan kamu mendapatkan segalanya, Dania. Kamu tidak hanya mengincar suamiku, tapi apa yang dia miliki.

🍁🍁🍁

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lilis Sugiarti
Baru mulai baca sampai bab 2 emosi ku dah naek kak ISNA...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status