Mata Khalid dan Aini beradu pandangan. Kemudian Khalid kembali bersuara."Biar saya antar, mumpung saya lagi kepengen antar kamu," rayu Khalid lagi.Aini menghela napas dalam. Kemudian ia mengangguk lemah."Baiklah," jawab Aini akhirnya.Keduanya lantas berjalan beriringan menuju motor Khalid terparkir. Ada rasa ingin menggandeng tangan Aini, tapi Khalid sadar diri. Belum saatnya.Dada Khalid kian bertalu, berirama dan bersorak atas kesempatan yang tiada duanya. Hati yang sudah matang, pekerjaan yang mapan, dan cinta yang kian lama kian bersemi membuat Khalid merasa percaya diri."Mau makan dulu?" tanya Khalid dari balik helm yang membungkus kepalanya. Sejak perjalanan tadi, dadanya berdebar kian kencang merasai punggung yang hangat oleh rasa canggung. Betapa tidak, sore ini adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Keberanian yang tak disia-siakan seiring dengan kesempatan yang terbuka lebar untuknya.Sore ini, Khalid menikmati perjalanan pulang dan bahkan ia memperlambat l
"Bukankah Bapak sudah tahu bagaimana status saya? Bagaimana mungkin saya menerima laki-laki dalam kondisi hamil seperti ini? Apa kata mereka nanti?" Aini menggeleng tak percaya. Berat bagi seorang janda untuk menikah kembali, terlebih dengan seorang perjaka yang telah mapan dan rupawan, seperti Khalid. Tentunya diluar sana banyak yang mengharapkan hatinya untuk dimiliki."Semua bisa saja terjadi, toh saya menerima kamu apa adanya. Saya akan merawat dan membesarkan anak kamu seperti anak saya sendiri. Soal omongan orang, saya tidak makan omongan orang, jadi kamu tidak perlu khawatir itu akan mempengaruhi saya."Aini mengernyitkan dahinya. Ia tak menyangka jika acara makan malam ini berujung dengan ungkapan perasaan masing-masing."Pak, saya korban perselingkuhan. Bagaimana saya bisa secepat itu membuka hati untuk orang baru dalam hidup saya?" Tak henti Aini memberi penolakan. Rasa trauma masih mendominasi hatinya."Saya tidak minta kamu menerima saya, cukup memberikan kesempatan pada s
"Ya sudah, toh kamu besok bakal pindah. Ngga usah di bikin pusing," ucap Khalid menenangkan. Ia kemudian mengajak Aini masuk ke dalam Masjid untuk menunaikan salat Magrib.Keduanya berjalan terpisah saat menginjakkan kaki di teras Masjid. Khalid berbelok ke arah kiri sedangkan Aini berbelok ke arah kanan. Keduanya sama-sama berjalan menuju tempat wudhu yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.Aini dan Khalid salat secara sendiri-sendiri karena salat jamaah telah usai. Dalam sujudnya, Aini banyak melantunkan doa. Luapan rasa sakit atas perbuatan Hisyam tak luput dari lisannya setelah membaca doa sujud. Aini berurai air mata. Sesak dan sakit sedang mendominasi badannya. Ia berusaha menikmati tiap doa yang terlantun dari bibirnya, seolah-olah ia sedang berada di hadapan Sang Pencipta.Aini duduk terpekur dalam dzikirnya. Ia merasa nyaman dan tenang saat bibir itu basah oleh kalimat-kalimat yang berisi nama Tuhannya. Aini merasa seperti sedang berada dalam dekapan Sang Pencipta."Kh
Tepat setelah pulang kerja, Khalid mengantar Aini menuju kota tempat kerjaannya yang baru. Ada rasa sungkan dalam diri Aini saat Khalid begitu antusias membantunya menaikkan barang bawaan yang tak seberapa itu ke dalam mobil."Ai, aku pasti kangen kamu," ucap Aisha sambil menahan air bening di matanya saat sama-sama menunggu Khalid membereskan barang."Aku juga pasti kangen kamu. Tapi kan ada telepon, kamu bisa telepon aku nanti. Kita juga bisa video call kalau sudah pulang kerja. Jangan sedih gitu, dong? Kayak kita bakal kepisah jauh aja.""Iya tapi kita sudah ngga bisa lagi ngobrol bareng sambil makan, curhat sana sini. Ahh aku balik sendirian lagi." Aisha merajuk.Aini mendekati badan Aisha lalu memeluknya dengan erat. "Sabar. Ini cuma untuk sementara waktu aja." Aini mengusap punggung Aisha pelan."Minta pindah juga sama Bapak," bisik Aini sambil melirik Khalid.Seketika Aisha mengurai pelukannya. Ia menatap wajah Aini dengan penuh harapan. "Bisa ya?""Coba aja, siapa tahu bisa,"
"Sayang makanan sudah siap," ucap Zahra pada Hisyam yang sudah rapi. Sepiring nasi dengan telur mata sapi sudah siap di atas meja makan. Zahra tersenyum menunggu respon laki-laki yang ada di depannya itu. Hatinya berharap akan ada ucapan terima kasih atau senyuman hangat pagi ini karena telah mempersiapkan makanan ala kadarnya untuknya.Dahi Hisyam mengernyit. Matanya melihat piring berisi nasi dan telur itu dengan senyum meremehkan. "Makanan apa itu? Pagi-pagi sarapan begitu doang!" sungut Hisyam sambil mendorong piring itu dengan sedikit hentakan."Ini tanggal tua, Sayang. Persediaan makanan kita sudah habis. Gajian masih lusa, aku masak seadanya yang ada di rumah," keluh Zahra. Sejak pagi ia tak tahu harus masak apa. Yang ia tahu hanya membuat ayam goreng atau ikan goreng saja. Sambal pun ia selalu beli kemasan. Dan saat uang menipis seperti ini, ia tak memiliki kelihaian apapun untuk mengolah bahan yang tersisa."Gaji kamu dam gajiku kan banyak. Masak habis semua?! Aini saja tid
Perjalanan Aini dan Khalid telah tiba di tempat kos rekan yang direkomendasikan oleh teman Khalid. Sayangnya, kepala Aini sedikit pusing karena perjalanan yang lumayan. Kepalanya sakit jika dibuat bergerak sehingga ia hanya memejam sambil bersandar pada sandaran kursi."Kenapa, Ai? Sudah sampai ini." Khalid memberi tahu setelah menghentikan laju kendaraannya."Tunggu bentar ya, Mas. Kepalaku agar berat." Aini berujar tanpa membuka matanya. Jari tangannya memijat dahi yang terasa pening itu."Masuk angin?""Kayaknya iya. Tunggu bentar ya? Biar enakan dulu," pinta Aini lagi sambil terus memijat."Kamu sih, diajak cari makan ngga mau," ucap Khalid khawatir. "Kalau berbadan dua itu harus jaga asupan makanannya. Biar ngga gampang sakit, apalagi kita ini sedang dalam perjalanan.""Ngga apa-apa kok, Mas. Nanti juga baikan, paling cuma butuh teh hangat aja. Setelah itu pasti nanti sembuh.""Ya sudah, kita cari teh hangat saja ya?""Terserah Mas aja." Aini menjawab dengan pasrah.Khalid pun ke
Wajah Aini yang sedang terlelap sudah tersimpan rapi di dalam galeri ponsel Khalid. Ia merasa senang bisa mengambil gambar itu diam-diam tanpa sepengetahuan perempuan yang sedang membuat kembang-kembang dalam hatinya kembali bermekaran."Seandainya saja kamu tidak pernah menerima lamaran Hisyam, mungkin sekarang kamu sudah bahagia dalam pelukanku," gumam Khalid sambil tak membiarkan matanya beralih dari wajah Aini yang terlelap itu. Pipi yang bersih tanpa noda, mata yang hitam legam, hidung yang minimalis sederhana dan bibirnya yang tak terlalu tebal membuat Khalid tersenyum seketika.Dalam hati ingin sekali ia memeluk badan Aini atau minimal menggenggam tangannya sekali saja tapi Khalid tak punya nyali. Hatinya merasa harus menjaga Aini hingga benar-benar halal untuk dinikahi.Khalid tak mau mengalihkan pandangannya dari wajah Aini itu. Ia masih menikmatinya dalam diam dan senyum yang bebas. Tidak ada siapapun dalam mobil itu kecuali dirinya dan Aini yang terlelap, Khalid tak mau keh
Aini duduk termenung setelah memutus panggilannya sepihak. Kebahagiaan bersama pasangan yang diharapkan harus ia pupus. Demi anak yang ada di dalam rahimnya, Aini harus mengubur semua ingin dan harap itu. Ia tak mau membagi cintanya untuk orang lain selain anaknya kelak. Bagaimana pun caranya akan ia usahakan untuk memberikan kebahagiaan itu untuk anaknya.Bibir Aini membuang napas kasar. Tangannya mengusap perutnya yang seringkali terasa berbeda dari biasanya. Ada sebuah rasa dibagian bawah perutnya yang kadang terasa tak nyaman."Ngga apa-apa, Bu. Itu perut Ibu sedang beradaptasi dengan keberadaan janin dalam rahim. Minta tolong bapaknya untuk diusap-usap saja biar tenang dan nyaman," ujar Bu Bidan saat ia periksakan kandungannya beberapa waktu lalu.Aini pun menunduk menatap perutnya. Hatinya diliputi kesedihan mendapati janin yang setelah ini tidak akan merasakan kasih sayang seorang bapak. Bahkan diusap perutnya saat hamil pun rasanya tak mungkin. "Kasihan sekali kamu, Nak. Tapi