Share

Bab 5

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2023-06-28 15:06:33

Bab 5

Suasana rumah sakit mendadak sunyi saat dokter mengabarkan kondisi Bu Laras makin memburuk. Operasi yang dilakukan tidak membuat kondisinya makin baik, tetapi malah makin membuat kondisi pasien drop.

Hisyam berjalan mondar mandir di depan ruang ICU. Hati dan pikirannya sedang kacau. Bagaimana tidak, nasib rumah tangganya sedang diujung tanduk sementara ibunya tiba-tiba mendapatkan musibah. Wanita yang ia sayangi, yang seharusnya menjadi penguat saat dirinya sedang terombang-ambing masalah malah turut menderita seperti ini.

Hisyam bak kehilangan satu sayapnya untuk terbang mengarungi samudera kehidupan.

Aini duduk di kursi tunggu sambil menunduk. Hatinya diliputi rasa bersalah karena sedikit banyak musibah ini terjadi setelah dirinya bertengkar dengan Hisyam. Bahkan untuk duduk di dekat suaminya saja Aini tak punya nyali.

"Maafkan aku, Mas," lirih Aini. Linangan air matanya tak membuat Hisyam menoleh sedikitpun.

"Memberimu maaf pun tak membuat Ibu kembali seperti sedia kala." Hisyam menjawab sekenanya. Hatinya enggan berbicara dengan sang istri.

Hisyam kembali terdiam. Ia mengabaikan keberadaan Aini yang juga sama hancurnya dengan dirinya.

"Mas lapar, kan? Aku sengaja bawa makanan untuk Mas. Aku tahu Mas pasti ngga akan sempat meninggalkan Ibu untuk pergi mencari makan." Zahra baru saja datang dan berujar dengan manisnya sambil melirik Aini. Ia membuka makanan dari dalam rantang dan menatanya di kursi kosong tepat di sebelah Hisyam.

"Aku bahkan tak sempat berpikir untuk makan. Yang aku khawatirkan cuma kondisi Ibu. Makin lama bukannya makin membaik tapi makin buruk," ucap Hisyam lemah. Ia mengubah posisi duduknya menjadi bersandar.

"Iya, aku tahu. Kita makan dulu, Mas harus sehat. Kalau Mas juga sakit gimana Mas bisa jagain Ibu?" 

Zahra dengan lincahnya meracik makanan di atas piring yang ia bawa tanpa sedikitpun memperdulikan keberadaan Aini di sebelahnya. 

"Ini Mas, makan dulu. Apa mau kusuapi?" tawar Zahra seraya mengulurkan tangan berisi sepiring nasi.

Hisyam tak menggubris. Ia tetap merenung meratapi kondisi sang Ibu. 

Hal itu tak disia-siakan oleh Zahra. Ia mengambil sesendok nasi lalu ia suapkan ke mulut Hisyam. Sambil tersenyum ia melayani Hisyam bak suaminya.

Hisyam menurut saja. Ia membiarkan suapan itu masuk ke dalam mulutnya sambil menatap nanar plafon ruangan yang bercat putih dengan pikiran kosong.

Dada Aini panas melihat pemandangan di depannya. Ia pun berdiri dari tempatnya duduk dan meraih piring nasi dari tangan Zahra.

Saat Aini hendak melangkah mendekati suami dan teman wanitanya, seorang dokter dan beberapa perawat berlarian menuju ruangan dimana Bu Laras sedang dirawat. Hal itu membuat perhatian tiga orang yang berada di ruang tunggu itu tertuju pada ruangan tersebut.

"Ibu," lirih Aini makin cemas. Ia kembali duduk dengan keringat dingin mengucur deras dari pori-pori kulitnya.

Demikian dengan Hisyam. Urung makan, ia turut berdiri dan berjalan menuju pintu ruangan ICU. Ia mengintip aktivitas dokter dan perawat di dalamnya melalui celah kaca pada pintu itu. Meskipun tidak terlalu jelas, tetapi itu cukup menjadi penawar kekhawatirannya.

"Maaf, Pak, kondisi Ibu tidak bisa tertolong," ucap seorang dokter setelah beberapa saat melakukan tindakan di dalam ruangan.

"Innalilahi," lirih Hisyam. Badannya lemas tersandar di dinding yang tepat berada di belakangnya. Air matanya tak terbendung dan dibiarkan mengalir membasahi wajah yang penuh dengan rasa khawatir. Ia bahkan tak peduli jika dirinya menjadi perhatian beberapa orang berlalu lalang di sekitar lorong ruangan ICU karena air matanya itu.

"Innalilahi wa innailaihi rajiun," lirih Aini. Ia bak kehilangan separuh dunianya. Wanita yang sejak ia menikah telah mengisi kekosongan dalam hatinya kini telah berpulang, dan ia akan kembali menjadi yatim piatu lagi. 

"Silahkan dilihat jenazah ibunya dan bisa segera urus administrasinya agar segera dikebumikan." Perawat itu berujar sebelum pergi meninggalkan Hisyam.

"Ini gara-gara kamu," pekik Zahra tertahan. Matanya menatap Aini dengan nyalang. Ia kemudian mengikuti langkah Hisyam masuk ke dalam kamar ICU dimana Bu Laras berada.

Aini tak peduli dengan ucapan Zahra. Ia yang sedang diselimuti kesedihan lebih memilih diam dan larut dalam tangis dari pada terpancing emosi karena ucapan perempuan yang telah memporak-porandakan rumah tangganya.

Urung masuk, Aini hanya berdiri di depan pintu. Ia ragu untuk melangkah ke dalam ketika melihat Hisyam menunduk dalam pelukan Zahra. 

Dada Aini nelangsa melihat pemandangan di depannya itu. Seharusnya dirinya yang ada di sana, mendampingi suami saat dirinya sedang terpuruk seperti itu. Tetapi, apa daya jika takdir sedang tak berpihak padanya.

"Mas," panggil Aini lirih saat Hisyam berjalan keluar dari ruangan.

Hisyam mengabaikan panggilan Aini. Ia berjalan menjauh tanpa memperdulikan keberadaan istrinya itu.

Aini menatap punggung Hisyam dengan hati nyeri. Bahkan ketika sedang berduka pun, keberadaannya masih diabaikan. 

Kepala Aini menunduk, merasai badai yang begitu datang secara tiba-tiba. Bayang-bayang perpisahan semakin dekat setelah kepergian mertuanya ini. Sikap Zahra dan sikap acuh Hisyam padanya membuat Aini ragu akan nasib rumah tangganya untuk bisa berjalan langgeng dan bahagia kembali seperti sebelum hubungan Zahra dan Hisyam tercium olehnya.

Hisyam mencoba kuat untuk mengurus administrasi dan pemakaman ibunya. Ia harus melakukan yang terbaik untuk saat-saat terakhirnya ibunya. Ia pergi dengan segera untuk mengurus administrasi agar sang ibu bisa dikebumikan secepatnya.

Aini pulang lebih dulu untuk menyiapkan upacara pemakaman, termasuk menyiapkan segala kebutuhan sang ibu sebagai persembahan terakhirnya. Ia pun berharap bisa memberikan yang terbaik untuk yang terakhir kalinya.

Dengan sangat terpaksa Aini memendam dukanya sendiri. Termasuk kepada Aisha, ia tak berani mengadukan apa yang terjadi kepada sahabatnya itu.

Air mata Aini tak terbendung saat melihat keranda berisi tubuh mertuanya dibawa menuju ke liang lahat. Jika saja bisa, ingin rasanya Aini mengundur kepergian ibunya agar bisa menyaksikan bagaimana wajah cucunya ini.

Aini mengusap perutnya yang masih rata sambil memeluk pilu nasibnya yang menyedihkan.

Proses pemakaman terbilang cepat dan lancar. Segalanya seakan berjalan dengan sempurna dan tanpa halangan apapun.

Hisyam terus saja acuh pada Aini hingga proses pemakaman selesai. Keberadaan kerabat yang turut mengantar kepergian jenazah menjadi hiburan bagi Aini dan sengaja menutup semua duka dalam pernikahannya. Hanya duka karena kepergian ibunya yang tampak dalam wajahnya.

Namun, Aini tak bisa terus saja berdiam diri dengan sikap Hisyam itu. Ia harus memulai pendekatan agar hubungannya dengan sang suami kembali mencair. 

"Mas," panggil Aini lirih. Dengan ragu-ragu ia berdiri di depan suaminya untuk mendekatinya, minimal untuk mencuri perhatian dari laki-laki yang telah lama membersamainya.

"Apa? Mengapa kamu masih berada di sini?" ujar Hisyam keras. Dadanya kembali bergemuruh saat menatap wajah Aini yang sendu.

"Mas, kita bisa bicarakan ini baik-baik," sela Aini memohon. Ia tidak rela pergi begitu saja, terlebih tidak ada pembahasan secara pribadi dengan suaminya. Minimal bicara dari hati ke hati agar bisa mendapatkan solusi terbaik.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. Foto itu dan janin yang ada dalam rahimmu sudah menunjukkan semuanya. Pergi saja dari sini, urus anakmu bersama selingkuhanmu itu!" pekik Hisyam keras. Tidak ada tawaran dalam ucapannya. 

"Mas, jangan asal menuduhku!" pekik Aini keras. Ia sudah kehilangan kesabarannya. Tuduhan Hisyam lama-lama membuatnya tersulut emosi.

"Aku tidak menuduh tanpa alasan, bukti yang ada sudah jelas dan valid. Kamu mengakuinya kan?"

"Aku mengaku bukan berarti aku mela-" ucapan Aini terhenti.

"Halah sudah! Aku ngga butuh penjelasanmu! Mulai hari ini, kamu bukan lagi istriku!" pekik Hisyam lantang.

Mendengar ucapan sang suami, seketika kepala Aini terasa berputar. Matanya menatap wajah laki-laki yang sangat dicintainya dengan tatapan nelangsa. Sebegitu mudahnya mengucapkan kalimat itu tanpa berbicara dulu dengannya dari hati ke hati. Dunia Aini pun terasa hancur berkeping-keping..

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Aini akhirnya diceraikan
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, berhentilah menjadi tolol. kau sendiri yg memberi peluang utk g dipercaya.
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
mengemis banget sich. sdh tak dianggap
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 105

    "Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 104

    "Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 103

    Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 102

    Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 101

    Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya

  • Kau Duakan Aku, Kubawa Anakmu Pergi    Bab 100

    "Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status