Share

Bab 5

Bab 5

Suasana rumah sakit mendadak sunyi saat dokter mengabarkan kondisi Bu Laras makin memburuk. Operasi yang dilakukan tidak membuat kondisinya makin baik, tetapi malah makin membuat kondisi pasien drop.

Hisyam berjalan mondar mandir di depan ruang ICU. Hati dan pikirannya sedang kacau. Bagaimana tidak, nasib rumah tangganya sedang diujung tanduk sementara ibunya tiba-tiba mendapatkan musibah. Wanita yang ia sayangi, yang seharusnya menjadi penguat saat dirinya sedang terombang-ambing masalah malah turut menderita seperti ini.

Hisyam bak kehilangan satu sayapnya untuk terbang mengarungi samudera kehidupan.

Aini duduk di kursi tunggu sambil menunduk. Hatinya diliputi rasa bersalah karena sedikit banyak musibah ini terjadi setelah dirinya bertengkar dengan Hisyam. Bahkan untuk duduk di dekat suaminya saja Aini tak punya nyali.

"Maafkan aku, Mas," lirih Aini. Linangan air matanya tak membuat Hisyam menoleh sedikitpun.

"Memberimu maaf pun tak membuat Ibu kembali seperti sedia kala." Hisyam menjawab sekenanya. Hatinya enggan berbicara dengan sang istri.

Hisyam kembali terdiam. Ia mengabaikan keberadaan Aini yang juga sama hancurnya dengan dirinya.

"Mas lapar, kan? Aku sengaja bawa makanan untuk Mas. Aku tahu Mas pasti ngga akan sempat meninggalkan Ibu untuk pergi mencari makan." Zahra baru saja datang dan berujar dengan manisnya sambil melirik Aini. Ia membuka makanan dari dalam rantang dan menatanya di kursi kosong tepat di sebelah Hisyam.

"Aku bahkan tak sempat berpikir untuk makan. Yang aku khawatirkan cuma kondisi Ibu. Makin lama bukannya makin membaik tapi makin buruk," ucap Hisyam lemah. Ia mengubah posisi duduknya menjadi bersandar.

"Iya, aku tahu. Kita makan dulu, Mas harus sehat. Kalau Mas juga sakit gimana Mas bisa jagain Ibu?" 

Zahra dengan lincahnya meracik makanan di atas piring yang ia bawa tanpa sedikitpun memperdulikan keberadaan Aini di sebelahnya. 

"Ini Mas, makan dulu. Apa mau kusuapi?" tawar Zahra seraya mengulurkan tangan berisi sepiring nasi.

Hisyam tak menggubris. Ia tetap merenung meratapi kondisi sang Ibu. 

Hal itu tak disia-siakan oleh Zahra. Ia mengambil sesendok nasi lalu ia suapkan ke mulut Hisyam. Sambil tersenyum ia melayani Hisyam bak suaminya.

Hisyam menurut saja. Ia membiarkan suapan itu masuk ke dalam mulutnya sambil menatap nanar plafon ruangan yang bercat putih dengan pikiran kosong.

Dada Aini panas melihat pemandangan di depannya. Ia pun berdiri dari tempatnya duduk dan meraih piring nasi dari tangan Zahra.

Saat Aini hendak melangkah mendekati suami dan teman wanitanya, seorang dokter dan beberapa perawat berlarian menuju ruangan dimana Bu Laras sedang dirawat. Hal itu membuat perhatian tiga orang yang berada di ruang tunggu itu tertuju pada ruangan tersebut.

"Ibu," lirih Aini makin cemas. Ia kembali duduk dengan keringat dingin mengucur deras dari pori-pori kulitnya.

Demikian dengan Hisyam. Urung makan, ia turut berdiri dan berjalan menuju pintu ruangan ICU. Ia mengintip aktivitas dokter dan perawat di dalamnya melalui celah kaca pada pintu itu. Meskipun tidak terlalu jelas, tetapi itu cukup menjadi penawar kekhawatirannya.

"Maaf, Pak, kondisi Ibu tidak bisa tertolong," ucap seorang dokter setelah beberapa saat melakukan tindakan di dalam ruangan.

"Innalilahi," lirih Hisyam. Badannya lemas tersandar di dinding yang tepat berada di belakangnya. Air matanya tak terbendung dan dibiarkan mengalir membasahi wajah yang penuh dengan rasa khawatir. Ia bahkan tak peduli jika dirinya menjadi perhatian beberapa orang berlalu lalang di sekitar lorong ruangan ICU karena air matanya itu.

"Innalilahi wa innailaihi rajiun," lirih Aini. Ia bak kehilangan separuh dunianya. Wanita yang sejak ia menikah telah mengisi kekosongan dalam hatinya kini telah berpulang, dan ia akan kembali menjadi yatim piatu lagi. 

"Silahkan dilihat jenazah ibunya dan bisa segera urus administrasinya agar segera dikebumikan." Perawat itu berujar sebelum pergi meninggalkan Hisyam.

"Ini gara-gara kamu," pekik Zahra tertahan. Matanya menatap Aini dengan nyalang. Ia kemudian mengikuti langkah Hisyam masuk ke dalam kamar ICU dimana Bu Laras berada.

Aini tak peduli dengan ucapan Zahra. Ia yang sedang diselimuti kesedihan lebih memilih diam dan larut dalam tangis dari pada terpancing emosi karena ucapan perempuan yang telah memporak-porandakan rumah tangganya.

Urung masuk, Aini hanya berdiri di depan pintu. Ia ragu untuk melangkah ke dalam ketika melihat Hisyam menunduk dalam pelukan Zahra. 

Dada Aini nelangsa melihat pemandangan di depannya itu. Seharusnya dirinya yang ada di sana, mendampingi suami saat dirinya sedang terpuruk seperti itu. Tetapi, apa daya jika takdir sedang tak berpihak padanya.

"Mas," panggil Aini lirih saat Hisyam berjalan keluar dari ruangan.

Hisyam mengabaikan panggilan Aini. Ia berjalan menjauh tanpa memperdulikan keberadaan istrinya itu.

Aini menatap punggung Hisyam dengan hati nyeri. Bahkan ketika sedang berduka pun, keberadaannya masih diabaikan. 

Kepala Aini menunduk, merasai badai yang begitu datang secara tiba-tiba. Bayang-bayang perpisahan semakin dekat setelah kepergian mertuanya ini. Sikap Zahra dan sikap acuh Hisyam padanya membuat Aini ragu akan nasib rumah tangganya untuk bisa berjalan langgeng dan bahagia kembali seperti sebelum hubungan Zahra dan Hisyam tercium olehnya.

Hisyam mencoba kuat untuk mengurus administrasi dan pemakaman ibunya. Ia harus melakukan yang terbaik untuk saat-saat terakhirnya ibunya. Ia pergi dengan segera untuk mengurus administrasi agar sang ibu bisa dikebumikan secepatnya.

Aini pulang lebih dulu untuk menyiapkan upacara pemakaman, termasuk menyiapkan segala kebutuhan sang ibu sebagai persembahan terakhirnya. Ia pun berharap bisa memberikan yang terbaik untuk yang terakhir kalinya.

Dengan sangat terpaksa Aini memendam dukanya sendiri. Termasuk kepada Aisha, ia tak berani mengadukan apa yang terjadi kepada sahabatnya itu.

Air mata Aini tak terbendung saat melihat keranda berisi tubuh mertuanya dibawa menuju ke liang lahat. Jika saja bisa, ingin rasanya Aini mengundur kepergian ibunya agar bisa menyaksikan bagaimana wajah cucunya ini.

Aini mengusap perutnya yang masih rata sambil memeluk pilu nasibnya yang menyedihkan.

Proses pemakaman terbilang cepat dan lancar. Segalanya seakan berjalan dengan sempurna dan tanpa halangan apapun.

Hisyam terus saja acuh pada Aini hingga proses pemakaman selesai. Keberadaan kerabat yang turut mengantar kepergian jenazah menjadi hiburan bagi Aini dan sengaja menutup semua duka dalam pernikahannya. Hanya duka karena kepergian ibunya yang tampak dalam wajahnya.

Namun, Aini tak bisa terus saja berdiam diri dengan sikap Hisyam itu. Ia harus memulai pendekatan agar hubungannya dengan sang suami kembali mencair. 

"Mas," panggil Aini lirih. Dengan ragu-ragu ia berdiri di depan suaminya untuk mendekatinya, minimal untuk mencuri perhatian dari laki-laki yang telah lama membersamainya.

"Apa? Mengapa kamu masih berada di sini?" ujar Hisyam keras. Dadanya kembali bergemuruh saat menatap wajah Aini yang sendu.

"Mas, kita bisa bicarakan ini baik-baik," sela Aini memohon. Ia tidak rela pergi begitu saja, terlebih tidak ada pembahasan secara pribadi dengan suaminya. Minimal bicara dari hati ke hati agar bisa mendapatkan solusi terbaik.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. Foto itu dan janin yang ada dalam rahimmu sudah menunjukkan semuanya. Pergi saja dari sini, urus anakmu bersama selingkuhanmu itu!" pekik Hisyam keras. Tidak ada tawaran dalam ucapannya. 

"Mas, jangan asal menuduhku!" pekik Aini keras. Ia sudah kehilangan kesabarannya. Tuduhan Hisyam lama-lama membuatnya tersulut emosi.

"Aku tidak menuduh tanpa alasan, bukti yang ada sudah jelas dan valid. Kamu mengakuinya kan?"

"Aku mengaku bukan berarti aku mela-" ucapan Aini terhenti.

"Halah sudah! Aku ngga butuh penjelasanmu! Mulai hari ini, kamu bukan lagi istriku!" pekik Hisyam lantang.

Mendengar ucapan sang suami, seketika kepala Aini terasa berputar. Matanya menatap wajah laki-laki yang sangat dicintainya dengan tatapan nelangsa. Sebegitu mudahnya mengucapkan kalimat itu tanpa berbicara dulu dengannya dari hati ke hati. Dunia Aini pun terasa hancur berkeping-keping..

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Aini akhirnya diceraikan
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, berhentilah menjadi tolol. kau sendiri yg memberi peluang utk g dipercaya.
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
mengemis banget sich. sdh tak dianggap
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status