Bab 4
"Ibu kenapa?" tanya Aini panik saat melihat tubuh Bu Laras sudah tak sadarkan diri.
Hisyam dan Zahra pun turut berlarian menghampiri sumber suara itu.
"Ibu kenapa, Dek?" Suara Hisyam membuat Aini yang sudah berada di depan Bu Laras segera menoleh. Binar matanya menyiratkan rasa cemas yang teramat.
"Ngga tau, Mas. Ibu jatuh sendiri," balas Aini sambil berusaha mengangkat lehernya hendak dipeluk.
"Tunggu, jangan dipeluk begitu. Biarkan saja tergeletak." Hisyam berjalan mendekati tubuh ibunya. Ia memeriksa denyut nadi di lengan dan lehernya.
"Telepon rumah sakit aja, Mas," ucap Zahra yang turut mengikuti langkah Hisyam masuk ke dalam rumahnya.
"Ah ya, kamu benar. Cepat ambil ponselnya!" titah Hisyam. Ia lantas dibantu Aini membawa tubuh Bu Laras ke dalam kamar sambil menunggu ambulan datang.
Tubuh Bu Laras yang sudah tak sadarkan diri itu dibaringkan di atas tempat tidur di kamar Bu Laras. Hisyam berjalan mondar-mandir sambil melipat tangannya di pinggang sambil menunggu datangnya ambulans.
"Gimana bisa ini terjadi?" ucap Hisyam sambil melirik ke arah Aini yang duduk di sisi Bu Laras. Lirikan mata itu bak sebuah tuduhan pada Aini.
"Aku ngga tahu, Mas. Aku lagi di kamar waktu ibu jatuh." Aini menjawab dengan lirih.
"Pasti kamu sengaja mencelakai Ibu kan?" tuduh Zahra dengan mata membola.
"Jangan asal kalau bicara! Ibu sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri, Bagaimana mungkin aku mencelakainya?" sungut Aini tak terima.
"Sudah-sudah, jangan bertengkar," jawab Hisyam yang lantas membuat keduanya terdiam.
Setelah sesaat terdiam, ambulan pun datang. Aini bersama Bu Laras berada di mobil ambulan tersebut sementara Hisyam dan Zahra duduk dalam satu mobil yang berbeda.
"Bu, jangan begini, sadarlah, Bu. Bagaimana Aini melanjutkan hidup kalau tidak ada Ibu di sisi Aini," lirih Aini sambil menatap wajah yang sedang terpejam itu. Air mulai jatuh membasahi wajah Aini yang cemas sebab sejak terjatuh kondisi Bu Laras tak juga sadarkan diri.
Seorang perawat membantu memindahkan tubuh Bu Laras menuju brankar yang terletak di pintu masuk IGD. Para petugas itu dengan cekatan melakukan tindakan untuk menyelamatkan kondisi pasien.
Aini duduk di kursi tunggu dengan cemas. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Sesekali matanya menatap pintu IGD itu dengan harapan petugas keluar dari ruangan itu dengan membawa kabar baik.
Namun hingga beberapa saat menunggu tak satupun petugas datang menghampiri.
"Bagaimana Ibu, Dek?" tanya Hisyam yang baru saja datang.
"Dokter belum keluar, Mas," jawab Aini lirih.
"Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang menimpa Bu Laras," sengit Zahra memantik hawa panas di ruangan tunggu yang lengang itu.
Aini melirik Zahra sekilas, lalu melengos. Ia merasa tak perlu meladeni perempuan yang kini menjadi racun dalam rumah tangganya itu. Bahkan Aini mulai melihat gelagat yang berbeda dari suaminya setelah bersama dengan Zahra.
"Aini," sapa seseorang yang baru saja melintas. Ia berjalan mendekat setelah memastikan sosok yang ditemuinya adalah benar orang yang ia kenal.
"Pak Khalid?" lirih Aini kaget. Ia menatap wajah Khalid dan Hisyam bergantian. Tiba-tiba rasa khawatir menyelinap dalam hatinya.
"Sedang apa? Siapa yang sakit?" tanya Khalid lagi setelah jarak kian terpangkas antara keduanya.
Aini berdiri. Ia menunduk sungkan pada laki-laki yang menjadi atasannya di perusahaan retail tempatnya bekerja.
"Ibu saya, Pak." Aini menjawab dengan sopan. Tiba-tiba dadanya diliputi rasa cemas sebab ketidaksengajaannya bertemu dengan sosok yang turut andil menjadi masalah dalam hidupnya. Ia pun meremas tangannya yang lain, tangan yang mendadak dingin bak mayat hidup.
Mata Hisyam memicing melihat sosok yang sedang menatap Aini itu. "Dia laki-laki yang difoto itu kan?" tanya Hisyam sambil menunjuk Khalid dengan jari telunjuknya.
Aini diam tak berani menanggapi.
"Jawab, Dek!" teriak Hisyam lantang. Ia bahkan lupa dimana dirinya berada sekarang ini.
"I-iya, Mas. Kami ngga ada hubunga-"
"Halah! Terbukti kan sekarang kalian bertemu? Kalian janjian, kan?" sahut Zahra tak mau kalah. Ia menyela ucapan Aini dan tak mau menyia-nyiakan ketidaksengajaan yang menguntungkan.
"Kalian janjian?" sahut Hisyam cepat.
"Tidak, Mas!"
"Mana ada maling yang mau ngaku!" desis Zahra lagi.
Hisyam menatap wajah Aini dan Khalid bergantian. Dadanya yang penuh tanda tanya itu mendadak terasa panas, makin lama makin mendidih.
"Ada apa ini Aini?" tanya Khalid tak paham.
"Ngga ada apa-apa, Pak. Sebaiknya Bapak segera pergi saja."
Dahi Khalid mengerut. Manik hitamnya menatap wajah Aini dengan penuh tanda tanya.
Bersamaan dengan itu, seorang dokter keluar dari balik pintu yang baru saja terbuka. Derit pintu itu membuat empat orang yang ada di depan pintu IGD segera menoleh. Hisyam berjalan mendekat dan langsung mencecarnya dengan banyak pertanyaan.
"Gimana keadaan Ibu saya, Dok?" tanya Hisyam cemas.
"Kondisi Ibu anda mengkhawatirkan. Benturan keras di kepalanya menyebabkan pembuluh darahnya pecah sehingga terjadi pendarahan. Silahkan urus administrasi untuk tindakan lebih lanjut demi menyelamatkan nyawa pasien," jelas dokter itu. Penjelasan yang cukup singkat tetapi mampu memporak-porandakan hati orang-orang yang ada di sekelilingnya.
"Ibu," lirih Aini. Bulir-bulir air mendadak timbul dari kelopak matanya seiringan dengan rasa tak percaya sebab baru beberapa saat yang lalu Bu Laras membantunya berjalan ke kamar.
"Puas kamu sekarang?" hardik Hisyam sambil berlalu. Kobaran amarah tercipta jelas di raut wajahnya yang tak lagi selembut dulu.
Zahra melengos sambil berjalan menyusul langkah lebar Hisyam menuju loket administrasi.
Aini menghela napas dalam. "Cobaan apa lagi ini ya Allah," batin Aini seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bahunya berguncang karena isakan.
"Ada apa, Ai? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Khalid setelah melihat pertikaian yang terjadi di depannya.
"Tidak ada apa-apa, Pak. Saya permisi." Aini menjawab lirih seraya berlalu dari hadapan bos-nya.
Bab 5 Suasana rumah sakit mendadak sunyi saat dokter mengabarkan kondisi Bu Laras makin memburuk. Operasi yang dilakukan tidak membuat kondisinya makin baik, tetapi malah makin membuat kondisi pasien drop. Hisyam berjalan mondar mandir di depan ruang ICU. Hati dan pikirannya sedang kacau. Bagaimana tidak, nasib rumah tangganya sedang diujung tanduk sementara ibunya tiba-tiba mendapatkan musibah. Wanita yang ia sayangi, yang seharusnya menjadi penguat saat dirinya sedang terombang-ambing masalah malah turut menderita seperti ini. Hisyam bak kehilangan satu sayapnya untuk terbang mengarungi samudera kehidupan. Aini duduk di kursi tunggu sambil menunduk. Hatinya diliputi rasa bersalah karena sedikit banyak musibah ini terjadi setelah dirinya bertengkar dengan Hisyam. Bahkan untuk duduk di dekat suaminya saja Aini tak punya nyali. "Maafkan aku, Mas," lirih Aini. Linangan air matanya tak membuat Hisyam menoleh sedikitpun. "Memberimu maaf pun tak membuat Ibu kembali seperti sedia kala.
Bab 6"Rasain," ucap Zahra setelah Hisyam berlalu dari hadapan Aini. Ia melipat kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum miring menatap Aini yang sedang dirundung luka."Kamu!" geram Aini. Ia kemudian berlari menghampiri Hisyam yang tengah berjalan menjauhinya. Wanita hamil itu tak bisa diam begitu saja."Mas tunggu!" ucap Aini sambil menarik lengan Hisyam. Ia tak terima dengan ucapan Hisyam yang tanpa dipikir matang-matang. Pernikahan itu bukan mainan yang bisa seenaknya saja melontarkan kata talak."Apalagi? Kamu sudah selingkuh, masalah ini membuat ibu jatuh dan meninggal. Apalagi yang bisa kujadikan alasan untuk mempertahankan kamu di sisiku?"Kepala Aini terasa berputar mendengar ucapan Hisyam. Kecelakaan yang menimpa Bu laras bukan salahnya. Itu murni kecelakaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Selingkuh? Apalagi itu. Aini tidak bisa diam saja. Perlahan ia mengatur ritme napasnya agar bisa berbicara dengan jelas."Mas, aku sedang hamil. Apa tidak ada sedikit
"Aisha?" pekik Aini kaget. Ia tak menyangka jika bertemu dengan Aisha di pinggir jalan raya seperti sekarang ini."Kamu ngapain di sini? Aku habis dari rumahmu tapi kata perempuan itu kamu sedang keluar. Tapi kok kamu di sini? Ngapain bawa tas segala?" tanya Aisha penasaran. Ia memegang tas di depan Aini untuk memastikan isinya.Aini menatap nanar wajah Aisha. Ia pun lantas menceritakan semua yang terjadi. Urut dan runut. Hingga Aisha turut geram akan sikap Hisyam dan juga Zahra itu."Lalu sekarang kamu mau gimana?""Aku ngga tau, Sha. Aku bingung. Aku juga lagi hamil," jawab Aini pasrah. Tangannya mengusap perut yang masih rata itu. Aisha terdiam. Ia tampak berpikir. Hari mulai larut, tak mungkin ia membiarkan sahabatnya terlunta-lunta di jalan raya seperti ini."Ngekos di tempatku aja gimana?" tawar Aisha."Memangnya ada kamar kosong?""Kayaknya ada. Coba nanti kita tanya ibu kos dulu, kalau ngga ada kamu bisa tidur di kamarku sementara.""Kamu beneran?""Beneran lah. Kapan aku boh
Bab 8"Sha," panggil Khalid saat Aisha sedang mengambil barang di dalam gudang.Urung membawa barang tersebut, Aisha menoleh ke arah Khalid. Ia berjalan dengan tergesa, khawatir atasannya itu membutuhkan sesuatu yang urgen."Iya, Pak?" Aisha berujar setelah memangkas jarak. "Saya boleh tanya sama kamu?" tanya Khalid ragu. "Soal?""Aini."Aisha tersenyum kecil. Ia berjalan untuk lebih dekat dengan Khalid yang sedang duduk di sudut ruangan. Sebuah tumpukan kardus menjadi sasarannya untuk meletakkan berat tubuhnya yang ringan itu."Ada masalah apa dengan Aini?" tanya Khalid langsung. Ia tak mau basa-basi sebab takut Aisha akan seperti Aini tadi. Laki-laki yang di name tag nya bertuliskan Khalid Aditya itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang datang dengan tidak sengaja."Bapak kok tiba-tiba tanya begitu?""Kemarin saya bertemu dengan Aini di rumah sakit. Tampaknya sebuah pertengkaran terjadi dan suaminya menunjuk ke arah saya dengan penuh amarah. Saya jadi merasa tidak enak. Khawatir
Bab 9"Ai, jangan murung aja dong. Jalan aja yuk?" ajak Aisha sore itu. Sepulang kerja, Aini lebih banyak murung di dalam kamarnya. Ia meringkuk di atas kasur sambil menikmati kesedihannya sendiri."Enggak, ah. Aku tidur aja." Aini menjawab usai mengubah posisi tidurnta menjadi berhadapan dengan Aisha. Melihat wajah Aini yang memberenggut membuat dahi Aisha mengernyit penuh tanya."Eh bumil ngga boleh sedih loh! Ini anak yang kamu idamkan sejak dulu kan? Jadi jangan membuat usahamu sia-sia hanya karena meraka tidak menghargai usaha kamu untuk mendapatkan anak ini. Percaya deh, suatu saat Mas Hisyam akan bertekuk lutut memohon ampunan kamu untuk bisa kembali menjadi ayah anak ini kembali.""Kamu ngomong apa! Mana ada!" Aini melengos, meskipun sebenarnya ia juga memiliki harapan yang sama."Beneran! Percaya aku deh! Nyesel tuh pasti dia nanti. Tuduhan dia ngga beralasan soalnya. Asal aja main percaya omongan perempuan itu.""Tapi sebenarnya sudah lama aku merasakan ada yang tidak beres
Bab 10"Waah, sebuah kebetulan yang menyenangkan bisa bertemu kamu di sini," ucap pemilik pantulan di cermin itu. Aini melengos. Hendak pergi, tapi ia sudah terlanjur basah bertemu di sini. Dengan sangat terpaksa Aini meladeni sapaan perempuan yang telah berhasil memporak-porandakan rumah tangganya."Sudah move on rupanya. Senang sekali bisa berjumpa denganmu di sini," sambung perempuan itu lagi sambil menatap Aini dengan senyuman meremehkan."Move on dong. Buat apa bersedih kehilangan orang yang tidak bisa menghargai darah dagingnya sendiri," sahut Aini cepat. Tanpa menunggu jawabannya, Aini pergi dari ruangan toilet khusus perempuan.Aini berjalan tergesa menuju meja tempat Aisha duduk. Ia membanting badannya dengan keras di kursinya."Kenapa sih?" tanya Aisha kaget melihat perubahan ekspresi Aini. Saat sebelum pergi, wajahnya biasa saja tetapi setelah kembali wajah ayu itu berubah murung."Aku ketemu Zahra di toilet.""Zahra? Sama siapa?" tanya Aisha sambil melirik kanan dan kirin
Bab 11"Bodoh!" desis Aisha sambil berdiri dari tempatnya duduk. Ia mengambil tasnya dan menggenggam tali tas itu. Urung melangkah, Aisha tak mau kehilangan kesempatan yang pas untuk mengeluarkan segala kesal dalam hatinya pada lelaki yang menyakiti hati sahabatnya.Ucapan Aisha itu makin menambah kobaran emosi dalam dada Hisyam. Ia tak terima disebut bodoh oleh sahabat istrinya itu."Jaga mulutmu!" pekik Hisyam tak terima. Kobaran amarah terpancar jelas dari dua bola matanya."Yang harusnya dijaga itu sikapmu! Sudah dapat istri baik hati yang lagi hamil anak kamu malah kamu selingkuhin!" cecar Aisha tak mau kalah. Ia seolah mendapatkan kesempatan untuk meluapkan kekesalannya selama ini."Tutup mulutmu!" desis Hisyam lagi. Wajahnya sudah merah padam mendengar celoteh Aisha yang makin tak karuan."Apa?!! Demi wanita macam begini kamu korbanin istri yang baik hati! Menyesal baru tau rasa kamu!" sengit Aisha tak mau kalah. Kemudian ia pergi dari hadapan Hisyam. Kakinya sedikit berlari un
Bab 12"Aku takut mau bilang ke Pak Khalid soal ini," ucap Aini ragu. Ia berjalan sedikit melambat dari langkah Aisha. Sejak dalam perjalanan, kepalanya tak henti memikirkan soal ini."Takut kenapa?" tanya Aisha. Ia mundur untuk mensejajarkan langkahnya dengan Aini. Matanya menatap wajah Aini yang tampak bingung dengan alis mengerut."Apa pantas kalau aku meminta bantuan pada laki-laki yang dituduh menjadi selingkuhanku oleh Mas Hisyam?""Kamu selingkuh atau enggak kan dia ngga mau tau? Yang dia tau cuma ada foto itu, tapi penjelasannya bagaimana dia ngga mau dengar. Biar aja kamu minta tolong sama Pak Khalid, toh Mas Hisyam sudah masa bodoh denganmu!""Tapi aku takut mau ngomongnya," balas Aini cemas."Apa aku yang bilang sama dia?" usul Aisha cepat."Jangan." Tangan Aini reflek memegang lengan Aisha, khawatir sahabatnya itu akan bertindak asal tanpa persetujuannya lebih dulu."Ya sudah, bilang sendiri." Tanpa memperdulikan reaksi Aini, Aisha pergi meninggalkannya.Aini terdiam sesaa