Share

Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu
Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu
Author: Bemine

Bab 1

Author: Bemine
last update Last Updated: 2025-02-18 14:21:03

“Baumu busuk sekali, Riska. Bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” 

Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab napasku masih tersengal akibat lari pontang-panting dari rumah di ujung kompleks setelah mendapatkan kabar bahwa ibu mertuaku datang.

Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan tetangga yang tinggal di seberang rumah. Oleh karena itu, aku tidak tahu kalau ibu Bang Fahri bertamu.

Saking panik dan buru-burunya, aku bahkan nyaris tertabrak motor. Untungnya, aku berhasil menghindari, tapi akibatnya, aku justru jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.

“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari!?” kata ibu mertua lagi. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis! Masih untung Fahri bisa angkat telepon Ibu.”

“B-bukan begitu, Bu.” Napasku masih tersengal. “Aku benar-benar tidak tahu kalau Ibu mau datang. Kalau aku tahu–”

“Halah, alasan! Enggak tahu bagaimana? Ibu sudah telepon Fahri, sudah bilang kalau Ibu bakalan ke rumah. Kamu mau buat Ibu menyalahkan putraku sendiri?” Ibu mertuaku menyela. “Sudahlah! Kalau emang tidak suka, bilang saja!”

Semua omelan itu beliau katakan padaku yang masih berdiri di depan rumah. 

Diam-diam kulirik Bang Fahri yang diam saja, tidak ada pembelaan darinya sama sekali. Padahal, saat berpamitan tadi, Bang Fahri memang tidak membahas apapun soal ibunya yang akan datang.

“Maaf, Bu, tadi aku diajak ikut diskusi soal perayaan acara tujuh belasan. Jadi buat Ibu menunggu lama.” Akhirnya, setelah berhasil mengatur napas, aku mencoba menjelaskan sesantun mungkin. “Ayo masuk dulu, Bu. Aku buatkan minuman–”

“Ngapain!?” pekik ibu mertua. Ia sontak menjepit hidungnya dengan jijik saat aku mengambil satu langkah mendekat. “Tidak sudi aku minum minuman kalau kamu masih bau comberan begini! Memang dasar orang kampung!”

Deg. 

Sikap ibu mertua terlihat seakan-akan aku sejenis wabah penyakit. Namun, aku berusaha menepis hinaannya itu dengan pemikiran bahwa ibu mertua sedang emosi.

“Maaf, Bu, tadi aku jatuh ke selokan karena nyaris keserempet motor. Nanti aku ganti baju dulu ya.” Aku berkata dengan sabar.

“Goblok banget istrimu, Fahri. Haduh, Ibu capek ngomong sama dia.” Ibu mertua angkat tangan. ”Sudah, sana suruh istrimu minggir.” 

Beliau berbalik, kemudian melangkah pergi. 

Di antara rombongan yang datang, ibu mertua membawa dua orang, anak gadisnya yang masih kuliah serta seorang perempuan cantik yang tidak memakai jilbab. Dia menggerai rambut panjangnya, kacamata hitam bertengger di atas kepalanya. Bahkan, kuku jari dan kakinya berkuteks.

Aku mengikuti mereka di belakang, tapi dengan segera dicegat oleh Bang Fahri sampai-sampai tanpa sengaja aku menyenggolnya hingga meninggalkan noda cokelat yang menempel di kemeja putihnya.

“Argh, Riska ... kamu ini bagaimana sih!? Lihat ini, gara-gara kamu!” protes Bang Fahri seraya mengusap bagian depan bajunya yang terkena noda. “Aku nanti masih harus ketemu pasien. Sekarang jadi bau kayak kamu.”

Aku sedikit terkejut karena Bang Fahri meninggikan suaranya.

“M-maaf, Bang.”

“Ck. Sudah, masuk lewat pintu belakang sana. Kotor begitu kok mau masuk dari pintu depan,” ucap Bang Fahri. “Beberes sedikit, lalu ambilkan Ibu minuman dan camilan.”

Setelah mengatakan itu, tanpa menunggu responsku, Bang Fahri langsung berbalik, menyusul ibu mertua. Ditinggalkannya tiga koper di luar, tidak ada yang berniat mengambil. 

Terpaksa aku turun tangan, mendorong satu per satu ke dalam rumah. 

“Riska, mana minumannya?” teriak Bang Fahri ketus dari ruang tamu saat aku hendak membersihkan diri.

Aku mengiakan. Tidak ingin membuat mereka menunggu, aku batal mandi. Akhirnya aku hanya mencuci kaki dan berganti pakaian.

Kutepis dulu segala perasaan sakit hati, lalu menyiapkan minuman dan camilan di nampan untuk kubawa ke depan. 

Aku berjalan perlahan dengan nampan berisi empat gelas es teh dan dua piring kukis beda rasa. Terdengar sayup-sayup candaan mereka semua dari arah depan, sungguh menyenangkan, hangat, dan tenteram. 

“Iya, Fahri. Apa lagi kalau bukan itu. Ibu sengaja jauh-jauh bawa Ninik kemari ya karena itu.”

“Bu, jangan buru-buru begitu, mungkin Fahri belum siap ....”

“Ih, Ninik! Fahri itu dokter, seharusnya dia menikahnya dengan perempuan seperti kamu. Bukannya Ibu enggak suka sama Riska, tapi dia kampungan banget dari dulu. Enggak tahu namanya fashion, tidak punya duit juga!”

Deg! 

“Astagfirullah!” Aku berseru kaget.

Buru-buru aku melangkah ke depan. Nampan berisi gelas dan piring itu kuletakkan usai menghela napas dalam. Aku harus tenang, harus tenang ....

“Eh, Ris!” Ibu mertua berseru. Wajahnya santai, tidak terlihat terkejut meski baru saja menggores hatiku.

“Iya, Bu.”

“Duduk, Ris? Ibu mau bicara.” Ibu mertuaku menunjuk kursi di dekatnya.

Sebab, saat aku mengerlingkan mata, perempuan bernama Ninik itu menempati sofa di sebelah Bang Fahri. Bahkan, pria itu tidak merasa keberatan duduk berdekatan dengan perempuan yang tidak halal untuknya.

Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Harusnya bukan begini. 

Bang Fahri tidak pernah cerita soal ibu mertua dan yang lainnya akan datang. Kalau tahu, sudah pasti akan kumasakkan yang enak-enak dan rumah kurapikan, aku juga tidak akan pergi rewang.

“Bicara saja, Bu.” Aku menyahut, masih lembut.

Kutuntun diri menuju sofa sesuai arahan ibu mertua. Beliau tiba-tiba saja menatapku sinis, mungkin kesal atau apa ... entahlah. Selama menikahi anaknya, aku tidak pernah lagi bertemu beliau selain dari telepon dan video call, itu juga tidak jauh-jauh dari berbagai komentar dan peraturan yang ingin ditekankannya dalam rumah tanggaku.

Tapi, tiba-tiba saja ibu mertuaku menutup hidung. Wajahnya langsung merah dan bibirnya mencebik. Sadar diri, aku mengendus badan, seluruh tubuh bau keringat, pakaian lecek dan kumal, bahkan sedikit amis serta bau busuk bekas selokan.

“Riska, bisa enggak kamu mandi dulu?” ujar Bang Fahri padaku dengan intonasi ketus.

“Maaf, Bang ... aku mandi setelah ini, ya? Ada yang mau Ibu bicarakan denganku,” lirihku malu.

Aku serba salah saat ini, ingin pamit mandi tapi sudah terlanjur duduk, ingin tetap di sini tapi malah jadi bulan-bulanan Bang Fahri. Ya Allah, aku harus bagaimana ini ....

“Istrimu tidak becus, Fahri. Ibu lihat rumah kalian juga jelek begini, kusam, kuno, ketinggalan jaman banget. Ini pasti seleranya Riska, kan? Harusnya kamu minta Ibu ke sini buat ngurus dan atur rumah ini, Fahri!” tutur ibu mertua yang membuatku semakin tertunduk.

“Iya, Bu. Itulah, Bu ... entah apa kerjanya Riska selama ini! Padahal kerja juga tidak, di rumah saja, tapi rumah malah berantakan, kuno dan jadul Bu!” sambung Bang Fahri.

Aku tidak menduga jika Bang Fahri akan bicara begini. Bukankah dia juga tahu kalau kami harus berhemat hingga belum bisa membeli perabotan rumah tangga yang baru dan bagus? Ini semua masih bawaan dari rumah saat dibeli.

“Hah, sudahlah! Besok biar Ibu dan Ninik saja yang handle. Bikin sakit mata kalau terus-terusan lihat rumah begini,” sambung ibu mertua sembari mengitari rumah dengan matanya.

Cercaan mereka datang bertubi-tubi. Aku tidak mengerti kenapa mereka bersikap begini. Bukankah harusnya kami saling beramah-tamah? Ini pertemuan pertama setelah sekian lama.

“Maksudnya bagaimana, Bu? Ke-kenapa Ibu atau dia yang akan mengatur rumah kami?” tanyaku terbata seraya menunjuk Ninik.

Perasaanku berombak, jadi tidak karuan. Kenapa Bang Fahri begitu riang, lalu ibu mertua dan Salma seakan tidak keberatan dengan sikap Bang Fahri dan perempuan asing itu?

“Ris, kamu tahu sendiri kan, kalau Fahri itu Dokter, sedangkan kamu cuma ibu rumah tangga. Kamu juga tidak kuliah, kerja serabutan dengan gaji tidak seberapa.” Ibu mertua mengalihkan topik.

Dua tangannya terlipat di dada. Dia juga memandangku sebelah mata.

Untungnya, aku sudah cukup menempa diri selama ini. Cibiran begini tidak akan membuatku runtuh.

“Ya, Bu ... lalu?”

“Ibu mau Ninik jadi istrinya Fahri!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Widi
mudah2an pemeran utamanya ga menye-menye ... Baru baca bab 1 .... semangat Thor
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 64

    “Tidak ada yang mau kubahas, Nik. Tapi jika ingin melanjutkannya, lakukan di kamar. Itu hak kalian untuk bersenang-senang, tapi aku mohon bersikaplah seperti layaknya manusia. Di sini bukan hanya kalian yang tinggal, ada aku si pemilik rumah!” balasku dingin.Aku mencoba mengalihkan pandangan dari keduanya. Hati ini bak berdarah, sakitnya luar biasa. Entah soal Bang Fahri, mungkin dia terbawa suasana karena berduaan dengan Ninik, tapi perempuan ini jelas-jelas sedang menunjukkan posisinya untuk Bang Fahri. Dia ingin mengumbar perihal Bang Fahri yang menyukai pelayanannya dibanding aku.“Ris, kamu jujur saja. Kamu itu sebenarnya iri, kesal dan sakit hati, kan? Bang Fahri menjadikanmu pelengkap sedangkan aku pemeran utamanya. Bang Fahri tidak lagi datang padamu semenjak ada aku,” ujarnya seraya menunjuk diri sendiri.Di belakangnya, ada Bang Fahri yang masih berusaha menaikkan resleting. Sepertinya, mereka berdua begitu bergairah sampai tidak kenal tempat lagi.“Ya, anggaplah begitu. Se

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 63

    Seolah terhipnotis, aku menuruti Bang Zul tanpa pertimbangan lagi. Aku turun dari mobil, mengekorinya begitu cepat. Saat menjauh dari mobil, Bang Zul langsung menyerahkan bungkus jajanan itu padaku.“Makasih?!” seruku riang. Bahkan aku hampir teriak, berjingkrak seperti anak-anak. Ini kali pertama merasakan jajanan lagi, Bang Fahri tidak mengizinkanku menikmati ini semua, apa lagi kalau dibeli pakai uangnya.Sebuah tindakan sederhana dari Bang Zul membuatku melayang ke angkasa. Aku menikmati jajanan, duduk di bebatuan, membiarkan kakiku terendam air yang beriak kencang, lalu menatap air terjun, pepohonan, dan orang-orang.Di sini, di tempat ini, tidak ada yang berwajah sedih. Mereka semua tersenyum lebar, bahkan bercanda dan tertawa.Untuk sesaat, aku bisa bernapas lega. Dan orang yang membawaku ke titik ini bukanlah Bang Fahri, melainkan Bang Zul, pria dari masa kecilku.Kejadian menakutkan siang tadi membuatku berakhir di tempat seindah ini, tiba-tiba saja rasa syukurku mengudara le

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 62

    Aku sibuk memilin jari di pangkuan, menggeser menu di gawai, bahkan melempar pandangan ke luar jendela. Bukan karena jalanan yang kami lewati sempit dan jelek, atau pepohonan serta jurang tinggi di tepiannya yang mengerikan, melainkan jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore, artinya kami sudah telat hampir tiga jam.Meski sudah berkendara selama tiga puluh menit, belum terlihat tanda-tanda perkampungan atau peternakan yang kami tuju. Semuanya masih berupa hutan kosong di kiri dan kanan, hanya ada beberapa rumah, serta warung-warung kecil di pinggiran.“Jangan gelisah, kamu membuatku tidak fokus,” tegur Bang Zul yang mungkin menangkap perasaanku lewat ekor matanya.Meski sudah diberi tahu kalau pria itu baik hati, aku tetap tidak bisa berhenti khawatir. Melewati batas waktu, berarti aku tidak cukup disiplin untuk mengelola sebuah peternakan. Aku juga tidak menghargai waktu orang lain karena membiarkan mereka menunggu sampai berjam-jam lamanya.“Apa bisa telefon dulu, Bang? Mungkin k

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 61

    Bab 61Aku duduk lebih dari satu jam di sebuah warung makan yang ramai. Di sini, aku tidak hanya beristirahat, tapi juga menenangkan diri, sekaligus mengisi perut.Bang Zul bilang, dia akan datang menjemput dari warung tempat kami janjian. Dia memberi perintah sederhana; aku tidak boleh naik ojek lainnya untuk kembali, apalagi taksi. Jadinya, aku berakhir di sini.“Enggak mau tambah, Neng?” Pemilik warung bertanya sebab piringku sudah kosong sejak tadi.Aku hanya duduk sendirian di sana untuk waktu yang lama. Tidak berbicara, tidak juga makan lagi.“A-apa aku harus pindah, Bu?” tanyaku. Khawatir jika kehadiranku di sini malah membuatnya merugi. Mungkin meja yang kuisi bisa ditempati oleh orang lain, bukan hanya aku sendiri untuk waktu yang cukup lama.“Bukan, Neng. Eneng cuma duduk diam, seperti menunggu seseorang. Makan juga sedikit sekali,” ujarnya. “Tubuh Neng kurus gini, makan yang banyak biar gemuk, Neng.”Perempuan tambun itu menatapku, dia menyeka tangannya yang berminyak karen

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 60

    “Aku benar, kan?” “Kamu benar-benar sudah kelewatan.” Ibu mertua menunjukku, kelakuannya sama persis dengan Bang Fahri. Tidak heran dari mana Bang Fahri mendapatkan sikap buruk dan perilaku tidak pantasnya itu. Pria yang sudah kunikahi ini ternyata tiruan sempurna dari ibunya.Aku mengusap wajah, untungnya air mata yang tadi hendak menetes mengering sendiri. Jika tidak, mereka akan melihat, lalu mengataiku lemah. “Kita sudah di sini, tidak perlu berdebat sampai tengah malam. Aku hanya berdoa dengan setulus hati, semoga kalian semua punya rasa malu meski hanya sedikit.” Ucapan itu kusertai dengan menangkupkan kedua tangan di dada, lalu memejamkan mata seperti sedang berdoa. Seperti malam-malam sebelumnya, aku masuk ke kamar disertai dengan hujatan-hujatan tanpa henti yang keluar dari bibir ibu mertua. Kali ini sedikit berbeda karena Bang Fahri juga ikut meneriaki ku.–Aku keluar dari rumah tepat saat siang hari. Seharian aku duduk di dalam kamar, menghabiskan waktu dengan mengecek

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 59

    “Kamu benar-benar memalukan. Apa kamu tidak lihat ada berapa banyak orang di sana? Tega kamu nodai aku dengan kata-kata kotormu itu.” Bang Fahri terperangah. Wajahnya seperti orang bodoh saat ini. Sepertinya tebakanku benar bahwa dia mengira kalau aku tiba setelah dirinya. Sungguh, sebuah pemikiran yang bodoh. “Maksudmu apa?” Ninik bertanya. Suaranya yang lantang berubah pelan. “Apalagi? Bang Fahri suka goyanganmu di ranjang.” Aku mengatakannya dengan lantang. Aku bahkan tidak peduli dengan Salma yang masih di bawah umur, atau ibu mertua yang jauh lebih tua dibanding kami semua. Biar mereka tahu bagaimana kelakuan asli dari pria itu di luar sana. Tatapan mata ibu mertua berpindah-pindah, tidak tentu arah, bahkan beliau mencoba menutup mulutnya dengan tangan. Sedangkan Ninik sudah seperti buah tomat wajahnya. “Apa kamu senang setelah tahu? Kamu bangga kan karena dipuji begitu?“ ledekku lagi yang membuat Ninik semakin terpuruk.Baru saja hendak bicara, Bang Fahri menarik tanganku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status