“Baumu busuk sekali, Riska. Bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?”
Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab napasku masih tersengal akibat lari pontang-panting dari rumah di ujung kompleks setelah mendapatkan kabar bahwa ibu mertuaku datang.
Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan tetangga. Oleh karena itu, aku tidak tahu kalau ibu Bang Fahri bertamu.
“Kamu ini, diajak bicara malah diam,” kata ibu mertuaku lagi. “Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu datang kemari!?”
“B-bukan begitu, Bu.” Napasku masih tersengal.
“Kalau begitu, kenapa meski tahu mertuamu mau datang, kamunya malah keluyuran? Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis! Masih untung Fahri bisa angkat telepon Ibu.”
“Aku benar-benar tidak tahu kalau Ibu mau datang. Kalau aku tahu–”
“Halah, alasan! Enggak tahu bagaimana? Ibu sudah telepon Fahri, sudah bilang kalau Ibu bakalan ke rumah. Kamu mau buat Ibu menyalahkan putra Ibu sendiri?” Ibu mertuaku menyela. “Sudahlah! Kalau emang tidak suka, bilang saja!”
Diam-diam kulirik Bang Fahri yang berdiri di sebelah ibu mertua. Pria itu tidak mengatakan apa pun, sama sekali tidak mengeluarkan pembelaan mengenai diriku. Padahal, saat berpamitan tadi, Bang Fahri memang tidak membahas apapun soal ibunya yang akan datang.
Kalau tahu, sudah pasti akan kumasakkan yang enak-enak dan rumah kurapikan, aku juga tidak akan pergi.
“Maaf, Bu. Tadi aku bantu-bantu di rumah tetangga ujung kompleks, jadi buat Ibu menunggu lama.” Akhirnya, setelah berhasil mengatur napas, aku mencoba menjelaskan sesantun mungkin. “Ayo masuk dulu, Bu. Aku buatkan minuman–”
“Ngapain!?” pekik ibu mertua. Ia sontak menjepit hidungnya dengan jijik saat aku mengambil satu langkah mendekat. “Tidak sudi aku minum minuman kalau kamu masih bau comberan begini! Memang dasar orang kampung!”
Deg.
Sikap ibu mertua terlihat seakan-akan aku sejenis wabah penyakit. Namun, aku berusaha menepis hinaannya itu dengan pemikiran bahwa ibu mertua sedang emosi.
Kepalaku tertunduk, menatap noda pada celanaku yang basah karena aku sempat terjatuh ke selokan karena panik dan buru-buru berlari pulang.
“Maaf, Bu, tadi aku jatuh ke selokan karena nyaris keserempet motor. Nanti aku ganti baju dulu ya.” Aku berkata dengan sabar.
“Goblok banget istrimu, Fahri. Haduh, Ibu capek ngomong sama dia.” Ibu mertua angkat tangan. ”Sudah, sana suruh istrimu minggir.”
Beliau berbalik, kemudian melangkah pergi, meninggalkanku yang masih berdiri di depan pagar rumah.
Di antara rombongan yang datang, ibu mertua membawa dua orang, anak gadisnya yang masih kuliah serta seorang perempuan cantik yang tidak memakai jilbab. Dia menggerai rambut panjangnya, kacamata hitam bertengger di atas kepalanya. Bahkan, kuku jari dan kakinya berkuteks.
Aku mengikuti mereka di belakang, tapi dengan segera dicegat oleh Bang Fahri sampai-sampai tanpa sengaja aku menyenggolnya hingga meninggalkan noda cokelat yang menempel di kemeja putihnya.
“Argh, Riska ... kamu ini bagaimana sih!? Lihat ini, gara-gara kamu!” protes Bang Fahri seraya mengusap bagian depan bajunya yang terkena noda. “Aku nanti masih harus ketemu pasien. Sekarang jadi bau kayak kamu.”
Aku sedikit terkejut karena Bang Fahri meninggikan suaranya.
“M-maaf, Bang.”
“Ck. Sudah, masuk lewat pintu belakang sana. Kotor begitu kok mau masuk dari pintu depan,” ucap Bang Fahri. “Beberes sedikit, lalu ambilkan Ibu minuman dan camilan.”
Setelah mengatakan itu, tanpa menunggu responsku, Bang Fahri langsung berbalik, menyusul ibu mertua. Ditinggalkannya tiga koper di luar, tidak ada yang berniat mengambil.
Terpaksa aku turun tangan, mendorong satu per satu ke dalam rumah lewat pintu belakang.
“Riska, mana minumannya?” teriak Bang Fahri ketus dari ruang tamu saat aku hendak membersihkan diri.
Aku mengiakan. Tidak ingin membuat mereka menunggu, aku batal mandi. Akhirnya aku hanya mencuci kaki dan berganti celana yang basah.
Kutepis dulu segala perasaan sakit hati, lalu menyiapkan minuman dan camilan di nampan untuk kubawa ke depan.
Aku berjalan perlahan dengan nampan berisi empat gelas es teh dan dua piring kukis beda rasa. Terdengar sayup-sayup candaan mereka semua dari arah depan, sungguh menyenangkan, hangat, dan tenteram.
“Iya, Fahri. Apa lagi kalau bukan itu. Ibu sengaja jauh-jauh bawa Ninik kemari ya karena itu.”
“Bu, jangan langsung begitu, mungkin Fahri sayang sama istrinya ....”
“Ih, Ninik! Fahri itu dokter, seharusnya dia menikahnya dengan perempuan seperti kamu. Bukannya Ibu enggak suka sama Riska, tapi dia kampungan banget dari dulu. Enggak tahu namanya fashion, tidak punya duit juga!”
Deg!
“Astagfirullah!” Aku berseru kaget.
Buru-buru aku melangkah ke depan. Nampan berisi gelas dan piring itu kuletakkan usai menghela napas dalam. Aku harus tenang, harus tenang ....
“Eh, Ris!” Ibu mertua berseru. Wajahnya santai, tidak terlihat terkejut meski baru saja menggores hatiku.
“Iya, Bu.”
“Duduk, Ris? Ibu mau bicara.” Ibu mertuaku menunjuk kursi di dekatnya, karena kursi lain sudah terisi.
Kutuntun diri menuju sofa sesuai arahan ibu mertua. Sekilas, aku melirik ke samping dan melihat perempuan bernama Ninik itu menempati sofa di sebelah Bang Fahri. Bahkan, pria itu tidak merasa keberatan duduk berdekatan dengan perempuan yang tidak halal untuknya.
Aku mengernyit. Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Harusnya bukan begini.
“Ck, aduh.” Tiba-tiba aku menyadari ibu mertuaku mengernyit dan menutup hidung. Wajahnya langsung merah dan bibirnya mencebik.
Sadar diri, aku mengendus badan, seluruh tubuh bau keringat.
“Riska, bisa enggak kamu mandi dulu?” ujar ibu mertua padaku dengan intonasi ketus.
“Maaf, Bu ... aku mandi setelah ini, ya?” ucapku malu.
“Istrimu tidak becus, Fahri. Ibu lihat rumah kalian juga jelek begini, kusam, kuno, ketinggalan jaman banget. Ini pasti seleranya Riska, kan? Harusnya kamu minta Ibu ke sini buat ngurus dan atur rumah ini, Fahri!” tutur ibu mertua yang membuatku semakin tertunduk.
“Iya, Bu. Itulah, Bu ... entah apa kerjanya Riska selama ini! Padahal kerja juga tidak, di rumah saja, tapi rumah malah berantakan, kuno dan jadul Bu!” sambung Bang Fahri.
Aku terkejut. Tidak menduga jika Bang Fahri akan bicara begini.
Bukankah dia juga tahu kalau kami harus berhemat hingga belum bisa membeli perabotan rumah tangga yang baru dan bagus? Ini semua masih bawaan dari rumah saat dibeli.
Kenapa sekarang suamiku terkesan menyalahkan aku?
“Hah, sudahlah! Besok biar Ibu dan Ninik saja yang handle. Bikin sakit mata kalau terus-terusan lihat rumah begini,” sambung ibu mertua sembari mengitari rumah dengan matanya.
Ninik?
“Maksudnya bagaimana, Bu? Ke-kenapa Ibu atau dia yang akan mengatur rumah kami?” tanyaku terbata.
Perasaanku berombak, jadi tidak karuan. Kenapa Bang Fahri begitu riang, lalu ibu mertua dan Salma seakan tidak keberatan dengan sikap Bang Fahri dan perempuan asing itu?
“Ris, kamu tahu sendiri kan, kalau Fahri itu Dokter, sedangkan kamu cuma ibu rumah tangga. Kamu juga tidak kuliah, kerja serabutan dengan gaji tidak seberapa.” Ibu mertua mengalihkan topik.
Dua tangannya terlipat di dada. Dia juga memandangku sebelah mata.
Untungnya, aku sudah cukup menempa diri selama ini. Cibiran begini tidak akan membuatku runtuh.
“Ya, Bu ... lalu?”
“Ibu mau Ninik jadi istrinya Fahri!”
Malam itu, setelah drama pengusiran Bang Fahri dan keluarganya, suasana rumahku berangsur tenang. Tangisanku tidak henti-hentinya di pelukan ibu Tiriku, sebuah tangisan lega yang meluruhkan semua beban yang kupikul sendirian selama ini. Aku membenamkan wajah di bahunya, menghirup aroma khas perempuan yang kini mengisi posisi almarhumah ibu, merasakan kehangatan yang telah lama kurindukan. Ayahku, dengan wajah lelah namun penuh tekad, sedang berbicara serius dengan Pak RT di ruang tamu. Setelah beberapa waktu, Pak RT pamit pulang, raut wajahnya masih menunjukkan kegelisahan. Ayah kembali menghampiriku, duduk di sampingku yang masih bersandar di bahu Ibu Tiri. "Riska," katanya, suaranya lembut, "Pak RT bilang, Fahri dan keluarganya datang ke rumahnya. Mereka minta bantuan, merasa didzalimi karena diusir dari sini."Aku mendongak, menatap Ayah. Tidak percaya dengan semua yang kudengar. "Lalu?"Ayah menghela napas. "Pak RT tidak bisa bantu banyak. Warga sudah sangat marah dengan mere
Meski sudah terpuruk di halaman rumah, Ibu Mertua masih mencoba membela dirinya. Wajahnya yang basah oleh air mata dan debu tampak penuh dendam, terutama padaku."Ini rumah anakku! Kalian tidak bisa begini! Riska ini pezina! Dia main api dengan laki-laki lain! Harusnya kalian bersyukur, kami masih mau menerimanya!"Tidak mau kalah, Ninik bangkit tertatih, matanya melotot tajam ke arahku. "Betul! Riska ini pelacur! Dia berzina dengan Bang Zul! Bahkan dia jual diri di luar sana! Makanya dia punya banyak uang untuk beli peternakan itu! Dia membeli dengan uang haram!" Cercaan itu meluncur deras, menusuk-nusuk telingaku, menggores hatiku yang baru saja dingin dan tenang. Kata-kata Ninik yang menuduhku jual diri dan mengatai uangku haram, sebuah tuduhan keji yang jauh melampaui batas, sontak membuat suasana yang sudah tegang semakin memanas. Tiba-tiba, dari dalam rumah, terdengar derap langkah cepat. Sesosok perempuan muncul dari ambang pintu, wajahnya memerah padam karena marah. Dia adal
Motorku melaju pelan saat memasuki pagar rumah. Malam sudah larut, dan suasana kompleks perumahan tampak tenang. Hal inilah yang kuharapkan, jauh dari tatapan penuh penghinaan dari para tetangga, serta pertanyaan yang tidak pernah mau mendengar penjelasan.Aku bahkan belum memarkir motorku, sebab perasaanku langsung berombak tidak menentu. Setelah beberapa langkah, aku terdiam cukup lama di depan rumah. Sebab, aku merasa heran melihat dua buah mobil berjejer di halaman rumahku.Mobil-mobil itu tidak asing, salah satunya adalah mobil pikap yang biasa dipakai di peternakan desa, dan satu lagi adalah mobil mewah yang asing untukku. Jantungku berdesir. Aku tidak tahu kenapa ada mobil yang tidak asing di halamanku.Sebuah firasat muncul seiring dengan ayunan kaki menuju rumah. Apa ini? Kenapa ada mobil Ayah di rumah? Apa Ayah yang datang?Aku melangkah mendekat, rasa penasaran mengalahkan rasa lelah dan takutku.Lalu, semuanya terjawab saat aku sudah masuk ke halaman.Dari dalam rumah, ter
Aku menatap kosong ke arah jalan, mataku masih saja terpaku pada siluet Bang Fahri dan Ninik yang berboncengan mesra di motor, semakin menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan.Pemandangan itu bagai belati yang menusuk, seolah membenarkan semua dugaanku. Mereka berdua seperti menunjukkan kalau mereka adalah dalang di balik semua kekacauan ini, lalu hidup bahagia setelah menghancurkan hidupku.Dadaku begitu sesak, amarah membakar dan kekesalan menumpuk di kepala. Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan mereka."Kak Nah, mereka... mereka pelakunya, kan?" bisikku, suaraku tercekat. Entah harus bagaimana lagi, tapi aku ingin Kak Nah berkata iya.Kak Nah mengangguk, rahangnya mengeras. "Sudah jelas, Riska. Mereka yang merencanakan ini semua." Kak Nah mengusap bahuku. "Tapi sekarang, kita harus fokus. Apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu punya ide?"Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Otakku berputar mencari jalan keluar. Kejadian semalam yang masih membuat lututk
Aku melawan dengan sekuat tenaga, mengumpulkan semua amarah dan rasa putus asa yang menghimpitku. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil alih hidupku lagi. Tidak akan pernah. Namun, satu melawan empat adalah pertarungan yang sia-sia. Tenagaku terkuras, tubuhku yang sudah lelah akibat kejadian di pondok dan penggerebekan itu terasa semakin berat. Meskipun aku berhasil melayangkan beberapa tendangan dan dorongan, mereka terus mendesak, seperti ombak yang tidak ada habisnya. Akhirnya, dengan napas terengah-engah dan air mata yang kembali membasahi pipi, aku menyerah. Aku mundur beberapa langkah, membiarkan Bang Fahri dan yang lainnya menerobos masuk ke dalam rumahku. Mereka melangkah dengan angkuh, seolah-olah merekalah pemilik sah rumah ini. Sebuah senyum kemenangan tipis terukir di bibir Ninik dan Ibu Mertua. Bang Fahri hanya menatapku dengan sorot mata puas. Aku tidak lagi melawan. Aku membiarkan mereka sesuka hati menguasai ruang tamuku. Aku hanya berbalik, melangkah
Darahku mendidih melihat mereka berempat berdiri di depan rumahku, seolah mereka adalah pemiliknya. Rasa lelah, marah, dan terhina yang baru saja kurasakan di peternakan kembali menyeruak, berkali-kali lipat. Mereka pasti sudah mendengar kabar penggerebekan itu, dan ini adalah kesempatan emas bagi mereka untuk menekanku.Aku menghentikan langkah, aku sendirian di sini, bahkan gadis muda keponakan Pak RT sudah naik ojol."Lihat, Bu! Si Pezina itu sudah pulang!" teriak Ninik, suaranya melengking tajam, memecah keheningan malam. Dia melangkah maju dengan angkuh, diikuti oleh ibu mertua dan Bang Fahri."Dasar wanita murahan! Baru saja digerebek, sudah berani pulang ke sini?!" timpal Ibu Mertua, matanya menyala-nyala. "Kamu ini sudah membuat malu keluarga kami! Kamu itu masih istrinya Fahri! Beraninya berzina dengan laki-laki lain!"Ucapan itu bagai pukulan langsung ke ulu hatiku. Rasa sakit dan amarah bercampur aduk. Aku bahkan belum sempat mencerna tuduhan serta fitnah tadi, kini mereka