Share

Bab 2

Penulis: Bemine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-18 14:21:30

Deg!

Luar biasa kurasakan rasa sakit yang menghunus dada. 

Bagaimana bisa beliau berkata demikian dengan mudahnya? Bang Fahri sudah punya istri sah, yang masih hidup dan sehat, yakni aku. Pun aku hanya ibu rumah tangga, itu tidak mengharuskan Bang Fahri menikah lagi.

“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang, meski sesak mulai mengimpit dada.

“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah. Berarti kamu tahu diri,” kata ibu mertuaku lagi. “Maksudku bilang ini juga bukan buat minta persetujuan kamu, tapi cuma ngasih tahu aja. Fahri dan Ninik harus menikah, titik!”

Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?

Sejujurnya, kami belum terlalu lama tinggal di sini. Belum sampai satu tahun. Sebelumnya, kami tinggal di desa. Bang Fahri adalah dokter di rumah sakit lokal sebelumnya. Lalu, saat Bang Fahri mendapatkan tawaran kembali ke kota, Bang Fahri langsung menyanggupinya dan memboyongku ke sini. Katanya, dokter sepertinya memang layaknya bekerja di kota, bukan di pedesaan yang agak pelosok begitu.

Aku tetap mendampingi Bang Fahri, meski mengecewakan ayahku berkali-kali. Pikirku, inilah baktiku sebagai istri.

Namun, sekarang, Bang Fahri justru akan menikah lagi? 

Pandangan kualihkan pada Bang Fahri, pria yang menjadi topik perdebatan ini hanya duduk diam, tidak membelaku, tidak juga menahan ibunya yang terus merendahkanku. Bahkan, kudapati senyum tipis dari bibirnya itu.

Hatiku mencelos.

Bang Fahri ... apakah dia memang menginginkan ini semua?

“Bang,” panggilku lirih.

“Ris, kamu nurut saja mau Ibu,” ujar suamiku sebelum aku sempat bertanya. “Abang juga tidak mungkin menolaknya, seorang lelaki akan tetap jadi milik ibunya. Perlu kamu pahami, Ibu begini juga demi kebaikan kita.”

Sepasang mataku terbelalak. Kenapa jawaban suamiku itu terdengar konyol di telingaku? 

“Aku ini dokter, Ris. Aku banyak menghadiri acara sosial, juga seminar. Di sana banyak orang-orang besar. Tidak hanya dokter, bahkan banyak pengusaha dan pendiri rumah sakit. Pasangan-pasangan mereka cantik semua,” lanjut Bang Fahri. “Tidak mungkin aku mengajak kamu, kan?”

“Memangnya aku kenapa, Bang?”

“Coba kamu lihat penampilanmu sekarang,” sahut Bang Fahri. Aku menunduk dan menatap tubuhku yang terbalut celana kulot murah dan kaos kebesaran yang ia belikan beberapa bulan lalu. “Wajahmu juga … ah, begitu pokoknya! Penampilanmu kalah jauh dari para wanita yang kutemui di seminar itu.”

“Lalu penampilan calon istri barumu itu pantas dibanggakan, Bang?” Tak bisa ditahan, aku akhirnya menyindirnya. “Kalau menurutmu pakaian istrimu tidak layak, harusnya kamu belikan yang layak, Bang. Kalau wajah istrimu jelek, harusnya kamu beri uang untukku ke salon. Bukannya mau menikah lagi.”

Tampaknya Bang Fahri tercengang mendengar ucapanku sampai ia tidak bisa berkata-kata selama beberapa saat. Ini adalah pertama kalinya aku memberontak. 

“Ris, kamu terlalu banyak bicara. Aku suamimu, dan ini keputusanku.” Setelah beberapa saat, Bang Fahri kembali berucap. Matanya menatap tajam ke arahku, tampak marah. “Harusnya perempuan seperti kamu itu diam dan menurut saja saat suami dan ibu mertuamu mengambil keputusan! Bukannya malah menggurui suami.”

“Halah, kalau kamu kasih uang buat ke salon pun, Riska tetap tidak akan bisa cantik seperti Ninik, Fahri,” komentar ibu mertuaku. “Cuma buang-buang uang.”

Bang Fahri mengangguk. “Dulu aku menikahimu karena kamu digadang-gadang sebagai kembang desa incaran banyak pria bujang. Untung buat mereka ya, mereka tidak jadi dapat kamu. Mana tahu setelah menikah, kamu selalu bau sapi tiap pulang. Bikin aku mual!”

Satu lagi ucapannya yang menjadi pisau tajam, menghunjam dadaku. Menyakitiku sedemikian rupa.

“Bau sapi!?” Ibu mertua memekik keras. 

“Iya, Bu. Setelah menikah, Riska izin kerja di kandang sapi, sampai-sampai tiap pulang kerja, bukannya disambut istri cantik,  aku harus cium bau kotoran sapi di badannya,” ucap Bang Fahri lagi, seperti belum puas menghinaku. “Kalau kami menetap di sana lebih lama, kutebak dia bakal berubah jadi sapi juga.”

Runtuh sudah harapanku pada pria itu. Sirna sudah impianku untuk tetap bersamanya. Sehina itukah Bang Fahri menatapku selama ini? Bau sapi … karena itu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 151

    Setibanya di rumah setelah insiden di rumah sakit, suasana di antara kami lebih hangat dan akrab dari sebelumnya. Aku dan Ayah duduk di ruang keluarga, ditemani Ibu Tiri serta ketiga saudara tiriku, kami menikmati makan siang yang lezat bersama-sama. Aku menceritakan dengan detail bagaimana Bang Fahri kalang kabut merebut foto-foto itu dari orang-orang, bagaimana orang-orang berbisik dan menertawakannya. Bahkan rekan dokternya sendiri tertawa paling keras. Ibu Tiri dan ketiga anak-anaknya terbahak-bahak mendengar ceritaku. Tawa mereka pecah, memenuhi ruangan yang tadinya senyap oleh kelelahan. "Rasakan dia! Karma memang tidak pernah salah alamat!" seru istri Ayah sambil mengusap air mata tawanya. "Dia kira, dirinya paling pintar, ternyata bisa juga dipermalukan!"Saudara-saudara tiriku ikut menimpali dengan berbagai ejekan. "Wajahnya merah padam tadi, Bu! Mati kutu manusia sombong itu!" kata Abang sulungku, tertawa geli. Aku ikut tersenyum tipis, merasakan sedikit kelegaan dari taw

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 150

    Malam itu, setelah drama pengusiran Bang Fahri dan keluarganya, suasana rumahku berangsur tenang. Tangisanku tidak henti-hentinya di pelukan ibu Tiriku, sebuah tangisan lega yang meluruhkan semua beban yang kupikul sendirian selama ini. Aku membenamkan wajah di bahunya, menghirup aroma khas perempuan yang kini mengisi posisi almarhumah ibu, merasakan kehangatan yang telah lama kurindukan. Ayahku, dengan wajah lelah namun penuh tekad, sedang berbicara serius dengan Pak RT di ruang tamu. Setelah beberapa waktu, Pak RT pamit pulang, raut wajahnya masih menunjukkan kegelisahan. Ayah kembali menghampiriku, duduk di sampingku yang masih bersandar di bahu Ibu Tiri. "Riska," katanya, suaranya lembut, "Pak RT bilang, Fahri dan keluarganya datang ke rumahnya. Mereka minta bantuan, merasa didzalimi karena diusir dari sini."Aku mendongak, menatap Ayah. Tidak percaya dengan semua yang kudengar. "Lalu?"Ayah menghela napas. "Pak RT tidak bisa bantu banyak. Warga sudah sangat marah dengan mere

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 149

    Meski sudah terpuruk di halaman rumah, Ibu Mertua masih mencoba membela dirinya. Wajahnya yang basah oleh air mata dan debu tampak penuh dendam, terutama padaku."Ini rumah anakku! Kalian tidak bisa begini! Riska ini pezina! Dia main api dengan laki-laki lain! Harusnya kalian bersyukur, kami masih mau menerimanya!"Tidak mau kalah, Ninik bangkit tertatih, matanya melotot tajam ke arahku. "Betul! Riska ini pelacur! Dia berzina dengan Bang Zul! Bahkan dia jual diri di luar sana! Makanya dia punya banyak uang untuk beli peternakan itu! Dia membeli dengan uang haram!" Cercaan itu meluncur deras, menusuk-nusuk telingaku, menggores hatiku yang baru saja dingin dan tenang. Kata-kata Ninik yang menuduhku jual diri dan mengatai uangku haram, sebuah tuduhan keji yang jauh melampaui batas, sontak membuat suasana yang sudah tegang semakin memanas. Tiba-tiba, dari dalam rumah, terdengar derap langkah cepat. Sesosok perempuan muncul dari ambang pintu, wajahnya memerah padam karena marah. Dia adal

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 148

    Motorku melaju pelan saat memasuki pagar rumah. Malam sudah larut, dan suasana kompleks perumahan tampak tenang. Hal inilah yang kuharapkan, jauh dari tatapan penuh penghinaan dari para tetangga, serta pertanyaan yang tidak pernah mau mendengar penjelasan.Aku bahkan belum memarkir motorku, sebab perasaanku langsung berombak tidak menentu. Setelah beberapa langkah, aku terdiam cukup lama di depan rumah. Sebab, aku merasa heran melihat dua buah mobil berjejer di halaman rumahku.Mobil-mobil itu tidak asing, salah satunya adalah mobil pikap yang biasa dipakai di peternakan desa, dan satu lagi adalah mobil mewah yang asing untukku. Jantungku berdesir. Aku tidak tahu kenapa ada mobil yang tidak asing di halamanku.Sebuah firasat muncul seiring dengan ayunan kaki menuju rumah. Apa ini? Kenapa ada mobil Ayah di rumah? Apa Ayah yang datang?Aku melangkah mendekat, rasa penasaran mengalahkan rasa lelah dan takutku.Lalu, semuanya terjawab saat aku sudah masuk ke halaman.Dari dalam rumah, ter

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 147

    Aku menatap kosong ke arah jalan, mataku masih saja terpaku pada siluet Bang Fahri dan Ninik yang berboncengan mesra di motor, semakin menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan.Pemandangan itu bagai belati yang menusuk, seolah membenarkan semua dugaanku. Mereka berdua seperti menunjukkan kalau mereka adalah dalang di balik semua kekacauan ini, lalu hidup bahagia setelah menghancurkan hidupku.Dadaku begitu sesak, amarah membakar dan kekesalan menumpuk di kepala. Aku benar-benar tidak tahan lagi dengan mereka."Kak Nah, mereka... mereka pelakunya, kan?" bisikku, suaraku tercekat. Entah harus bagaimana lagi, tapi aku ingin Kak Nah berkata iya.Kak Nah mengangguk, rahangnya mengeras. "Sudah jelas, Riska. Mereka yang merencanakan ini semua." Kak Nah mengusap bahuku. "Tapi sekarang, kita harus fokus. Apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu punya ide?"Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Otakku berputar mencari jalan keluar. Kejadian semalam yang masih membuat lututk

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 146

    Aku melawan dengan sekuat tenaga, mengumpulkan semua amarah dan rasa putus asa yang menghimpitku. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil alih hidupku lagi. Tidak akan pernah. Namun, satu melawan empat adalah pertarungan yang sia-sia. Tenagaku terkuras, tubuhku yang sudah lelah akibat kejadian di pondok dan penggerebekan itu terasa semakin berat. Meskipun aku berhasil melayangkan beberapa tendangan dan dorongan, mereka terus mendesak, seperti ombak yang tidak ada habisnya. Akhirnya, dengan napas terengah-engah dan air mata yang kembali membasahi pipi, aku menyerah. Aku mundur beberapa langkah, membiarkan Bang Fahri dan yang lainnya menerobos masuk ke dalam rumahku. Mereka melangkah dengan angkuh, seolah-olah merekalah pemilik sah rumah ini. Sebuah senyum kemenangan tipis terukir di bibir Ninik dan Ibu Mertua. Bang Fahri hanya menatapku dengan sorot mata puas. Aku tidak lagi melawan. Aku membiarkan mereka sesuka hati menguasai ruang tamuku. Aku hanya berbalik, melangkah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status