Deg!
Luar biasa kurasakan rasa sakit yang menghunus dada.
Bagaimana bisa beliau berkata demikian dengan mudahnya? Bang Fahri sudah punya istri sah, yang masih hidup dan sehat, yakni aku. Pun aku hanya ibu rumah tangga, itu tidak mengharuskan Bang Fahri menikah lagi.
“Apa maksudnya ini, Bu?” sahutku berusaha tenang, meski sesak mulai mengimpit dada.
“Kalau kamu mau dimadu, ya tidak masalah. Berarti kamu tahu diri,” kata ibu mertuaku lagi. “Maksudku bilang ini juga bukan buat minta persetujuan kamu, tapi cuma ngasih tahu aja. Fahri dan Ninik harus menikah, titik!”
Aku memilin jari di pangkuan, kedua mataku mulai berkabut, sedang denyut jantungku berdentum. Inikah alasan mereka datang ke sini?
Sejujurnya, kami belum terlalu lama tinggal di sini. Belum sampai satu tahun. Sebelumnya, kami tinggal di desa. Bang Fahri adalah dokter di rumah sakit lokal sebelumnya. Lalu, saat Bang Fahri mendapatkan tawaran kembali ke kota, Bang Fahri langsung menyanggupinya dan memboyongku ke sini. Katanya, dokter sepertinya memang layaknya bekerja di kota, bukan di pedesaan yang agak pelosok begitu.
Aku tetap mendampingi Bang Fahri, meski mengecewakan ayahku berkali-kali. Pikirku, inilah baktiku sebagai istri.
Namun, sekarang, Bang Fahri justru akan menikah lagi?
Pandangan kualihkan pada Bang Fahri, pria yang menjadi topik perdebatan ini hanya duduk diam, tidak membelaku, tidak juga menahan ibunya yang terus merendahkanku. Bahkan, kudapati senyum tipis dari bibirnya itu.
Hatiku mencelos.
Bang Fahri ... apakah dia memang menginginkan ini semua?
“Bang,” panggilku lirih.
“Ris, kamu nurut saja mau Ibu,” ujar suamiku sebelum aku sempat bertanya. “Abang juga tidak mungkin menolaknya, seorang lelaki akan tetap jadi milik ibunya. Perlu kamu pahami, Ibu begini juga demi kebaikan kita.”
Sepasang mataku terbelalak. Kenapa jawaban suamiku itu terdengar konyol di telingaku?
“Aku ini dokter, Ris. Aku banyak menghadiri acara sosial, juga seminar. Di sana banyak orang-orang besar. Tidak hanya dokter, bahkan banyak pengusaha dan pendiri rumah sakit. Pasangan-pasangan mereka cantik semua,” lanjut Bang Fahri. “Tidak mungkin aku mengajak kamu, kan?”
“Memangnya aku kenapa, Bang?”
“Coba kamu lihat penampilanmu sekarang,” sahut Bang Fahri. Aku menunduk dan menatap tubuhku yang terbalut celana kulot murah dan kaos kebesaran yang ia belikan beberapa bulan lalu. “Wajahmu juga … ah, begitu pokoknya! Penampilanmu kalah jauh dari para wanita yang kutemui di seminar itu.”
“Lalu penampilan calon istri barumu itu pantas dibanggakan, Bang?” Tak bisa ditahan, aku akhirnya menyindirnya. “Kalau menurutmu pakaian istrimu tidak layak, harusnya kamu belikan yang layak, Bang. Kalau wajah istrimu jelek, harusnya kamu beri uang untukku ke salon. Bukannya mau menikah lagi.”
Tampaknya Bang Fahri tercengang mendengar ucapanku sampai ia tidak bisa berkata-kata selama beberapa saat. Ini adalah pertama kalinya aku memberontak.
“Ris, kamu terlalu banyak bicara. Aku suamimu, dan ini keputusanku.” Setelah beberapa saat, Bang Fahri kembali berucap. Matanya menatap tajam ke arahku, tampak marah. “Harusnya perempuan seperti kamu itu diam dan menurut saja saat suami dan ibu mertuamu mengambil keputusan! Bukannya malah menggurui suami.”
“Halah, kalau kamu kasih uang buat ke salon pun, Riska tetap tidak akan bisa cantik seperti Ninik, Fahri,” komentar ibu mertuaku. “Cuma buang-buang uang.”
Bang Fahri mengangguk. “Dulu aku menikahimu karena kamu digadang-gadang sebagai kembang desa incaran banyak pria bujang. Untung buat mereka ya, mereka tidak jadi dapat kamu. Mana tahu setelah menikah, kamu selalu bau sapi tiap pulang. Bikin aku mual!”
Satu lagi ucapannya yang menjadi pisau tajam, menghunjam dadaku. Menyakitiku sedemikian rupa.
“Bau sapi!?” Ibu mertua memekik keras.
“Iya, Bu. Setelah menikah, Riska izin kerja di kandang sapi, sampai-sampai tiap pulang kerja, bukannya disambut istri cantik, aku harus cium bau kotoran sapi di badannya,” ucap Bang Fahri lagi, seperti belum puas menghinaku. “Kalau kami menetap di sana lebih lama, kutebak dia bakal berubah jadi sapi juga.”
Runtuh sudah harapanku pada pria itu. Sirna sudah impianku untuk tetap bersamanya. Sehina itukah Bang Fahri menatapku selama ini? Bau sapi … karena itu?
Acara aqiqah di desa berlalu dengan semarak. Meskipun ada bisik-bisik yang kurang menyenangkan, kebahagiaan kami tidak sedikit pun tergoyahkan. Dukungan Ayah dan Ibu Tiri, ditambah kehadiran Bang Zul yang selalu menjadi perisai untukku dan anak-anak, membuatku merasa lengkap, tidak kurang meski hanya sedikit. Kami menghabiskan beberapa hari lagi di desa, membiarkan para kakek-nenek puas menggendong cucu-cucu mereka, sebelum akhirnya kembali ke kota.Kembali ke rumah, rutinitas baru langsung menyapa. Dengan tiga bayi di rumah, suasana tidak pernah sepi. Tangisan, rengekan, suara tawa, semua bercampur aduk menjadi melodi kehidupan yang indah.Beruntungnya aku memiliki Bi Sumi dan ketiga baby sitter profesional yang Bang Zul datangkan. Mereka bekerja dengan sangat sigap, memastikan kebutuhan para bayi terpenuhi dan rumah tetap teratur.Jangan tanya biayanya! Aku yakin Bang Zul harus merogok kocek tiga kali lipat dibanding biasanya setiap bulan. Tapi, tidak sekalipun pria itu mengeluh!Ak
"Bang... ini berlebihan sekali!" bisikku padanya saat kami memasuki rumah. "Satu saja sudah mahal, ini langsung tiga! Kita tidak perlu sebanyak ini, Bang. Aku bisa mengurus anak-anak sendiri, kok."Bang Zul menuntunku menuju ranjang di kamar utama yang sudah diatur senyaman mungkin, lengkap dengan bantal-bantal empuk dan selimut hangat."Tidak ada yang berlebihan, Dek. Kamu baru saja melewati masa sulit. Kamu harus fokus pada pemulihanmu. Anak-anak ini butuh perawatan ekstra karena mereka kembar tiga. Abang tidak mau kamu terlalu lelah atau jatuh sakit lagi." Bang Zul duduk di tepi ranjang, menatapku serius, kedua tangannya menggenggam tanganku. "Pokoknya, Abang mau kamu sehat dan baik-baik saja. Kamu mengerti? Istirahatlah. Biarkan mereka yang mengurus semuanya. Ini perintah Abang, bukan cuma permintaan."Aku hanya bisa menghela napas, takjub dengan keputusan Bang Zul. Dia selalu saja melakukan hal-hal di luar dugaanku, selalu memprioritaskan kesehatanku.Aku tahu berapa biaya untuk
Aku membuka mata perlahan. Langit-langit putih rumah sakit yang steril menyambut pandanganku. Samar-samar kudengar suara mesin infus di samping ranjang, ritmis dan menenangkan. Seluruh tubuhku terasa lemah, nyeri di bagian perut masih sangat terasa, namun rasa pusing hebat yang kemarin kurasakan sudah jauh berkurang. Sebuah kelegaan membanjiri diriku. Aku berhasil melewati ini. Aku selamat.Sebuah gerakan kecil di samping ranjang membuatku menoleh. Bang Zul duduk di kursi lipat, wajahnya tampak sangat lelah dengan kantung mata menghitam, namun matanya memancarkan kelegaan luar biasa saat melihatku sadar. Bang Zul langsung sigap menggenggam tanganku."Dek... kamu sudah sadar?" Suaranya serak, seperti menahan tangis. Bang Zul mengecup punggung tanganku berulang kali.Aku mengangguk lemah, berusaha tersenyum. "Bang... anak-anak kita bagaimana?"Senyum lebar merekah di wajahnya, mengalahkan segala kelelahan. Diusapnya keningku yang berpeluh walau ruangan luas ini berpendingin udara."Alha
Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti neraka. Setiap kontraksi yang menghantam membuatku menggigit bibir hingga perih, berusaha menahan suara. Bang Zul terus menoleh ke belakang, khawatir dengan aku yang tidak bisa menahan rasa sakit ini. Seperti, tubuhku dirobek menjadi dua bagian."Sabar ya, Dek. Sebentar lagi sampai. Kamu kuat, Sayang. Demi anak-anak kita," suaranya bergetar, lebih dari biasanya. Aku tahu dia juga panik.Akhirnya, mobil berhenti di depan IGD rumah sakit. Tanpa menunggu, Bang Zul langsung menggendongku lagi keluar dari mobil, menerobos keramaian menuju pintu masuk. Ayah, Ibu Tiri, dan Bi Sumi mengikuti di belakang, wajah mereka semua dipenuhi kecemasan."Dokter! Suster! Istri saya mau melahirkan! Kembar tiga!" teriak Bang Zul, suaranya lantang, menarik perhatian para petugas medis.Beberapa perawat dan seorang dokter jaga segera menghampiri kami dengan ranjang dorong. "Segera bawa ke ruang bersalin!" perintah dokter. Aku dipindahkan ke ranjang, dan para perawat m
Kabar kehamilan kembar tiga membawa kebahagiaan tidak terhingga, namun juga menjadi kenyataan baru yang menantang. Dokter Arini yang Bang Zul pilih sebagai dokterku telah menjelaskan bahwa kehamilan ini akan jauh lebih berat daripada kehamilan tunggal. Aku harus ekstra hati-hati, menjaga asupan nutrisi, dan sangat membatasi aktivitas fisik. Bang Zul menjadi sangat protektif, bahkan lebih dari sebelumnya."Dek, Abang sudah siapkan supir pribadi untukmu. Jadi kamu tidak perlu naik taksi online lagi," katanya pagi ini saat aku menemaninya sarapan di meja. "Pokoknya, jangan sampai kamu kecapekan. Kalau ada apa-apa, langsung bilang Abang atau Bi Sumi, ya."Aku mengangguk patuh, merasa beruntung memiliki suami seperti Bang Zul. Dia benar-benar memastikan semua kebutuhanku terpenuhi, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Bi Sumi juga sangat perhatian, selalu menyiapkan makanan bergizi dan mengingatkanku untuk beristirahat.Semester terakhir kuliahku adalah ujian sesungguhnya. Perutku mulai membesa
Setelah keluar dari klinik dokter, perasaan syok bercampur kebahagiaan masih menyelimuti kami berdua. Bang Zul sesekali mengusap keningnya, dan aku masih sering melamun, membayangkan tiga bayi mungil di dalam perutku. Rasanya seperti mimpi. Selama ini kami hanya membayangkan satu atau dua anak, tapi ini... tiga sekaligus."Jadi, kamu mau kita langsung ke desa atau bagaimana, Dek?" tanya Bang Zul, memecah keheningan saat mobil melaju di jalanan kota. Pria itu melirikku.Aku berpikir sejenak. Aku tahu Ayah dan Ibu Tiri pasti akan sangat senang mendengar kabar ini. Tapi..."Bagaimana kalau kita pulang dulu, Bang? Kita bereskan barang-barang, lalu nanti sore atau besok pagi kita ke desa. Abang juga kan harus ke pabrik lagi." Aku merasa perutku sedikit tidak nyaman dan ingin segera beristirahat di rumah. Ada rasa mual yang tiba-tiba menyeruak saat mobil melaju. "Oke, kalau begitu kita pulang saja dulu, ya," jawab Bang Zul, mengangguk setuju. "Apa kamu mau belanja perlengkapan bayi?""Eh?