Share

Bab 47

Penulis: Bemine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-24 22:31:22

Aku duduk di warung Kak Nah saat azan Isya berkumandang dari masjid terdekat. Pikiranku menari bebas, sedang jemariku menjentik permukaan meja tanpa henti.

Sesekali, aku mengeluh, menghela berat napas demi mengurangi sesak yang tertahan di dalam dada. Lalu, sekelebat bayangan gadis mungil itu muncul lagi di pelupuk mata. Tangannya yang kotor karena mengorek tanah, wajahnya yang penuh dengan ketakutan dan kesedihan, serta suaranya yang dalam dan bergetar.

Anak itu seperti meminta tolong padaku.

“Kamu galau lagi, Ris?” tegur Kak Nah lembut. Dia menyodorkan semangkuk mi instan yang sudah dimasak dengan bumbu. Ada telur ayam setengah matang di atasnya, lalu taburan bawang goreng dan daun bawang yang kontras menggugah selera.

“Bukan begitu.”

“Sudah, ceritakan!” Kak Nah langsung mengangkat kakinya. Beliau duduk dengan sangat santai, tidak perlu khawatir akan tatapan orang lain terhadapnya.

“Soal anak-anaknya Ninik,” jelasku ragu.

Kak Nah langsung memutar bola mata. “Ah, kamu masih mi
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Vid
dag Dig dug cuma ok..hhh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 48

    “Kamu ngomong apa sama anakku sampai mereka jadi begini?” seru Ninik saat aku melintas di dekatnya.Mendengar perkataan Ninik, aku langsung menoleh ke arah anak-anaknya ya sedang menangis. Entah apa yang dilakukan oleh perempuan itu sampai dia mengundang perdebatan di pagi hari. Padahal aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni ocehannya itu, sebab hari ini kuputuskan untuk mengunjungi peternakan lain yang direkomendasikan oleh Bang Zul. Namun, sepertinya Ninik tidak akan membiarkanku lewat. Dia berdiri sembari melipat kedua tangan di dada, tatapannya begitu bengis ke arahku seolah ingin menerkam, bahkan dia tidak peduli pada anak bungsunya yang merengek, yang berusaha menggapai Ninik dengan tangan kecilnya. Aku hanya bisa menahan diri untuk tidak ikut campur dalam permasalahan Ninik. Sebab, pesan yang sudah kukirimkan untuk mantan suaminya saja hanya dibalas dengan kata-kata yang ambigu maknanya.Aku menunjukkan balasan itu pada Kak Nah semalam, perempuan itu menenangkanku, katan

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 47

    Aku duduk di warung Kak Nah saat azan Isya berkumandang dari masjid terdekat. Pikiranku menari bebas, sedang jemariku menjentik permukaan meja tanpa henti. Sesekali, aku mengeluh, menghela berat napas demi mengurangi sesak yang tertahan di dalam dada. Lalu, sekelebat bayangan gadis mungil itu muncul lagi di pelupuk mata. Tangannya yang kotor karena mengorek tanah, wajahnya yang penuh dengan ketakutan dan kesedihan, serta suaranya yang dalam dan bergetar. Anak itu seperti meminta tolong padaku. “Kamu galau lagi, Ris?” tegur Kak Nah lembut. Dia menyodorkan semangkuk mi instan yang sudah dimasak dengan bumbu. Ada telur ayam setengah matang di atasnya, lalu taburan bawang goreng dan daun bawang yang kontras menggugah selera. “Bukan begitu.” “Sudah, ceritakan!” Kak Nah langsung mengangkat kakinya. Beliau duduk dengan sangat santai, tidak perlu khawatir akan tatapan orang lain terhadapnya. “Soal anak-anaknya Ninik,” jelasku ragu. Kak Nah langsung memutar bola mata. “Ah, kamu masih mi

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 46

    Aku memilih untuk kembali ke rumah setelah mengetahui apa yang terjadi dengan Ninik, berharap bisa melihat lebih jauh apa yang dilakukan oleh perempuan itu setelah tiba. Apakah dia akan mengamuk lagi, atau memarahi anak-anaknya lagi? Tidak ada yang tahu hal buruk apa yang dipilih Ninik untuk meluapkan emosinya. Namun, saat aku masuk ke rumah, suasananya sangat sunyi. Anak-anak Ninik tidak terlihat sejauh mata memandang, bahkan ibu mertua dan Salma juga tidak ada. Mereka membiarkan pintu depan rumah tidak terkunci dan menghilang entah kemana. Khawatir dengan keamanan rumah, aku beranjak keluar. Masuk sendiri ke dalam dengan kondisi begini membuat bulu kuduk berdiri. Saat mereka pulang nanti, aku harus menegur mereka semua. Mundur selangkah, aku memilih untuk turun ke garasi. Lalu ….“Tante?” Sebuah suara memanggil. Aku mengenali suara lemah itu, sebab itulah aku tidak takut atau ragu. Kutundukkan muka, anak sulung Ninik sudah berdiri di depanku. Tingginya hanya sebatas paha orang

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 45

    “Bisa kita bicara?” Bang Fahri menegurku saat dia hendak berangkat bekerja. Jas putihnya yang bersinar itu menyilaukan mata saat aku mengangkat dagu. Penampilannya sangat rapi, elegan, berkharisma, bahkan wangi. Sungguh memancarkan pesona yang memabukkan banyak wanita. Tidak heran kalau perempuan di luar sana terbuai dengan Bang Fahri, tentu sebelum mereka tahu kenyataan di baliknya. “Mau bicara apa lagi?” balasku dingin. Aku sudah bersiap keluar seperti biasa, dengan pakaian rapi, memakai parfum, berhias dan juga menggunakan sandal baru. Tidak kuduga Bang Fahri akan menahanku begini, hall yang hanya dilakukan saat dirinya butuh bantuan keuangan. “Kamu mau ke mana?” Bang Fahri menatapku. “Ke mana saja asal bukan di rumah.” “Apa benar kata Ninik semalam, Ris?” Aku menatap Bang Fahri, posisiku yang duduk di tepian teras dan Bang Fahri yang berdiri di depan motornya itu membuat kami terlihat canggung. Belum bisa kulupakan kejadian semalam, saat dirinya dan orang-orang jahat itu me

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 44

    “Baju baru apa? Siapa yang beli baju baru?” Ibu mertua yang sudah masuk ke kamarnya tiba-tiba saja keluar. Beliau bahkan tidak sempat menggelung rambut putihnya itu hanya untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh Ninik sesaat lalu. Saat keduanya berhadapan, Ninik langsung memasang wajah masam. Ibu mertua juga serupa, mereka melanjutkan perang dengan cara yang dingin. “Baju ini?” lirih Bang Fahri. Dia memperhatikan blouse di badanku, satu stel dengan celana kulot lebar yang aku pakai. Bahkan sandal tipis yang terlihat sederhana ini juga lumayan harganya. Kemarin, setelah bertemu dengan Bang Zul, aku mampir ke butik, lalu ke mall. Sedikit memanjakan diri dengan pakaian-pakaian bagus, sekaligus reward untukku karena berhasil bertahan dengan orang-orang kejam itu. Apalagi sekarang aku butuh banyak baju bagus, sebagai salah satu alat untuk meyakinkan para pemilik peternakan kalau aku mampu membeli dan mengurus ternak. Kalau aku tetap burik dengan pakaian tua dan pudar, sudah pasti ora

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 43

    Bab 43“Bang, kenapa harus dipermasalahkan? Kemarin kamu dan ibu memakai uangku, aku tidak protes dan ngamuk. Giliran kupakai sedikit uang di ATM milikmu, kalian marah-marah!” balas Ninik enteng.Kulihat dia meniup kukunya. Tidak tampak keraguan dari wajah Ninik, seolah dia yakin kalau tindakannya hari ini benar.“Maksudmu kamu pakai uang Fahri untuk ke salon? Lihat ini totalnya sampai segini!” pekik ibu mertua.Di tangan ibu mertua, beliau mendorong selembar kertas ke arah Ninik. Sebuah kertas kecil yang tampak tidak asing buatku.“Mana, Bu?” Bang Fahri melongok, ditatapnya kertas kecil yang seperti bukti pembayaran itu. Lalu, diambilnya dari tangaan ibu mertua.Seketika ekspresi Bang Fahri berubah. Dia menoleh ke arah Ninik, menggertakkan gigi.“Apaan, sih? ke salon apa maksudnya? Mana mungkin gaji Bang Fahri bisa kupakai buat ke salon? Apa kalian kira biaya ke salon itu murah? Aku sudah cek, isi rekening Bang Fahri itu sedikit banget,” balas Ninik.“Fahri, inilah jadinya kalau kamu

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 42

    “Selamat, itu sebuah prestasi yang hebat.” Aku memuji, lalu menepuk tangan dua kali. Kapan lagi aku bisa membuat Ninik merasa terbang ke awan. “Terima kasih, aku akan bersikap baik padamu hari ini karena telah mengakui kalau aku lebih hebat darimu.” Ninik tersenyum lepas. Wajahnya benar-benar merona. Aku rasa, mendapatkan ATM milik Bang Fahri adalah sebuah pencapaian yang luar biasa untuknya, apalagi ibu mertua sendiri belum pernah dipercayakan oleh Bang Fahri. Buruknya, aku sempat merasa rendah diri. Perasaanku sedikit goyah melihat Ninik memegang ATM itu. Selama bertahun menikahi Bang Fahri, aku hanya diberi sisa, bahkan tidak tahu apa sandi ATM milik pria itu. “Ya, kamu lebih hebat!” Sekali lagi aku memuji Ninik, membuat perempuan itu melayang tinggi. Ditepukkannya ATM ke dahi, Ninik mengerjapkan mata, bangga!Tidak ingin membuang waktu dengannya, aku melangkah lebih dulu. Biarkan saja Ninik membanggakan benda pipih itu, kutebak isinya juga tidak seberapa karena Bang Fahri mas

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 41

    Namun bukannya memarahi aku seperti harapan Ninik, Bang fahri malah bertanya sesuatu yang membuatku terkejut, “Salah satu temanku pernah melihatmu di pabrik penggilingan daging pinggir kota, apa itu benar?“Aku tersentak mendengar pertanyaan Bang Fahri. Selama ini aku mengira semuanya aman terkendali, aku bebas pergi dan pulang, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya aku lakukan di luar sana.“Bang, kamu ini ngomong apa sih? Aku lagi ngomong lho sama kamu dari tadi, apa kamu nggak lihat pipiku jadi merah begini? Riska yang bikin aku jadi kayak gini dan kamu malah nanya apa yang dilakukan Riska di luar sana?“ Ninik protes keras.“Apa itu benar Riska? Apa itu benar kalau kamu datang ke pabrik itu?“Sekali lagi, suara Ninik terhapus begitu saja. Bang Fahri hanya menatapku lamat, dia menunggu jawaban. Entah sejak kapan Bang Fahri sudah mengetahuinya, tapi kuharap Bang Fahri tidak akan pernah tahu perihal peternakan yang sedang aku rencanakan itu. Bang Fahri terus mendesak agar aku memb

  • Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu   Bab 40

    Aku bingung, terdiam untuk beberapa saat. Benda yang diserahkan Bang Zul padaku rupanya sesuatu yang sangat penting, terlalu penting namun bisa terlupakan. “Kamu ninggalin hape di mobil, Ris,” jelas Bang Zul lagi. “Pikiranku berantakan, ya? Sampai benda seperti ini kamu lupakan. Bahkan kalau tidak aku antar, kamu juga tidak akan ingat.” Ucapan Bang Zul menyadarkanku. Gawai yang tadi kubawa serta saat pergi, rupanya tertinggal di mobil, dan aku tidak menyadarinya sama sekali. Ini semua karena beban pikiran yang tidak ada habisnya. Ditambah lagi, ibu mertua dan keluarganya yang membuat ulah. “Terima kasih, Bang.” Getir, aku hanya bisa mengambil gawai itu. Tidak ada kata bantahan yang keluar dari mulutku. Walaupun tebakan Bang Zul benar, aku tidak ingin mengiyakannya. Dia bisa mengamuk lagi, lalu mencoba menerobos rumah dan membuat keributan. Biarlah aku berpura-pura tegar, demi meyakinkan Bang Zul bahwa rencana yang sedang kususun mampu untuk kuteruskan. “Tidak, Bang. Aku hanya lup

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status