Lampu jalanan yang menyala sejak magrib tiba, menyorot samar langkah kaki kami saat aku dan keluargaku keluar dari rumah Pak RT. Wajah Bang Fahri, Ibu Mertua, Ninik yang tadinya congkak kini pucat pasi, terpaku dalam keheningan yang mematikan di depan rumah Pak Rt. Mereka seperti patung, dililit mimpi buruk yang baru saja kubuka di depan mata mereka. Awalnya aku kira mereka sudah pulang, ternyata mereka masih punya secuil sopan santun pada Pak Rt yang sudah membanru mereka. Ekspresi ibu mertua bengis saat melihatku. Empat ratus juta rupiah utang pada Bang Zul, serta ancaman tuntutan dari pabrik besar Bang Zul. Itu pasti menjadi pukulan telak yang membuat mereka tidak bisa bernapas. Aku bisa melihat keputusasaan dan ketakutan merayap di wajah mereka. Aku berjalan menjauh, memunggungi mereka yang terdiam kaku. Ada rasa lega yang meluap, bercampur sedikit rasa puas yang tidak bisa kuabaikan. Setidaknya, mereka kini merasakan sebagian kecil dari penderitaan yang telah mereka timp
Ibu mertua tidak menunggu, beliau langsung menegaskan tujuannya bersedia datang ke rumah Pak RT. Begitu juga anggota keluarga yang lain, langsung duduk di sofa seolah ini adalah rumahnya. Bang Fahri mengangguk sombong, menyeringai ke arahku. Ninik dan Salma juga ikut tersenyum puas, seolah mereka sudah memenangkan pertarungan ini. Mereka duduk sembari menyilang kaki, memasang wajah penuh kepuasan, seolah kemenangan sudah di tangan mereka. Aku hanya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tidak bisa diartikan oleh lawan-lawanku ini. Aku memilih untuk duduk tenang, membiarkan Ibu Mertua terus mengoceh tentang rencana mereka, tentang bagaimana mereka akan menghabiskan uang hasil pembagian peternakan, tentang betapa aku akan menyesal. "Nanti kalau peternakan itu sudah dibagi, kita bisa beli mobil baru, Fahri! Dan Ibu bisa beli perhiasan yang banyak, kita bisa pindah dari kamar reyot itu!" celoteh Ibu Mertua, nadanya penuh semangat. "Memang nasib kita baik! Si Riska ini bodoh sekali membeli
Setelah percakapan panjang dan penuh pengakuan dengan Bang Zul di peternakan, kami akhirnya berpisah. Bang Zul kembali ke urusannya, pulang entah ke tempat mana yang disebutnya rumah, sementara aku pulang ke rumah bersama Ayah dan ketiga saudara tiriku. Hari sudah menjelang senja, langit mulai memudar dari jingga ke ungu, menciptakan siluet pohon-pohon di kejauhan. Bahkan saat aku mengintip dari jendela mobil, puluhan burung berterbangan, hendak pulang. Setibanya kami di depan gerbang rumah, aku melihat Ibu Tiriku sedang berdiri di depan rumah, mengobrol serius dengan istri Pak RT. Raut wajah Ibu Tiriku nampak tegang dan kesal. Ada aura kekhawatiran yang terpancar jelas darinya, sesuatu yang jarang kulihat. Selama ini, beliau sangat tegar, bahkan tidak gentar saat seluruh desa menghujatnya sebab menikahi ayah yang merupakan suami dari sahabatnya sendiri. Begitu mobil Ayah berhenti dan aku melangkah keluar, Ibu Tiri langsung bergegas menghampiriku. Wajahnya yang biasanya tenang k
Suasana di rumah pondok hening, hanya suara angin sepoi-sepoi yang sesekali menerobos celah dinding kayu. Aku, Ayah, dan Bang Zul duduk saling berhadapan, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi ruang pada pengakuan yang akan mengubah segalanya.Setelah pengakuan Bang Zul tentang Ninik dan Burman, ada satu pertanyaan lain yang mengganjal di benakku, namun Ayah-lah yang lebih dulu bertanya. Sedangkan aku sendiri lebih banyak diam dengan bibir gemetar.“Jadi, benar kamu sudah nikah?” Ayah masih tidak percaya meski sudah mendengarnya sendiri.Bang Zul menghela napas panjang, tatapannya menerawang jauh, seolah kembali ke lorong waktu yang gelap, penuh kenangan pahit."Ya, Pak. Aku memang sudah menikah." Nada suaranya dipenuhi kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Dia mengepalkan tangan di pangkuan, seolah menahan gejolak batin. "Selama ini, aku tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan situasi sebenarnya. Tidak ada yang akan percaya jika aku mencoba menjelaskannya di tengah keramaia
"Aku belum memutuskan sejauh itu." Bang Zul menekan suaranya. "Jadi begitu? Bisa ceritakan semuanya dengan detail? Biar saya yang pikirkan jalam keluarnya," tawar Ayah. Bang Zul mengangguk pelan, matanya menatapku lurus. "Abang minta maaf, Riska, karena tidak menceritakan ini padamu lebih awal. Ada banyak hal yang terjadi di luar kendali." Aku juga mengiyakan. Bang Zul sendiri nampak begitu lelah, pasti dia sibuk berlarian ke sana ke mari mengurus masalah ini. Belum lagi kalau ayah mertuanya tahu. "Ini semua dimulai karena dendam, Ris!" tambah Bang Zul. Pengakuan itu bagai sambaran petir di siang bolong. Dendam? Apa yang telah kami lakukan hingga mereka menyimpan dendam?"Ninik memanfaatkan situasi dengan sempurna," lanjut Bang Zul, suaranya kini dipenuhi nada muak. "Selama ini dia membaca situasi, dia juga tahu kalau Burman sangat setia padaku" Bang Zul menggelengkan kepalanya perlahan. "Ninik, dia selalu jadi dalangnya. Dia tahu titik lemah Burman. Dia tahu Burman menguasai ban
Sore harinya, setelah mengusir Bang Fahri dan pertemuan dengan Pak RT, Ayah memutuskan untuk ikut denganku ke peternakan. Beliau masih tidak percaya dengan kisahku soal peternakan, beliau ingin melihat langsung kondisi tempat usahaku.Kami berangkat bersama ketiga saudara tiriku. Jika biasanya aku naik motor tua, kali ini hanya duduk manis di kursi tengah. Saudara sulungku menyetir mobil, ayah di kursi sebelah kemudi dan dua saudaraku yang lain di kursi belakang.Begitu sampai di pagar peternakan, mata Ayahku langsung berbinar. Beliau terpukau melihat luasnya peternakan yang kini terhampar di depan mata. Pohon-pohon rindang, padang rumput hijau yang membentang luas, dan kandang-kandang yang tertata rapi dipenuhi sapi-sapi gemuk. Belum lagi pemandangan perbukitan di belakangnya serta embusan lembut dari angin yang sejuk."Masya Allah, Riska! Peternakanmu seluas ini?" Ayah berseru kagum, beliau menatap sekeliling dengan takjub. "Jumlah sapinya... banyak sekali! Ini benar-benar jauh lebi