“Ris, jadi cowok yang selalu datengin kamu itu pemilik peternakan?” bisik Ninik.Aku mengerling padanya. Perempuan itu malah cengengesan. Dia beringsut ke arahku yang sedang duduk menghitung pengeluaran bulan ini serta kemungkinan laba setelah sapi-sapi dikirim ke pabrik sesuai dengan kontrak.Aku langsung menarik buku kas, menutup dan menjauhkannya dari Ninik. Dia tidak boleh melihat hal sepenting ini.“Ris! Ih, kok kamu begitu, sih? Aku kan mau ngobrol sama kamu. Memangnya enggak boleh?” balasnya kesal.Lagi, aku mengerling. Ninik benar-benar sangat tidak tahu cara menempatkan diri. Padahal, selama ini dialah yang paling membuatku tidak ingin mengobrol.“Serius kamu tanya begitu?” balasku cepat.Buku kas, keuangan, kwitansi serta semua bukti tranksaksi aku masukkan ke dalam tas. Untungnya hari ini aku membawa tas yang lumayan lega, jadi bisa membawa semua buku-buku itu pulang, menjauhkannya dari Ninik.Aku belum tahu kenapa dia muncul di peternakan. Apakah benar-benar karena ingin b
Ninik malah menengadahkan muka, dengan berani dia membalas tatapan Bang Zul padanya. Membuat hatiku getir, gelisah luar biasa.Kenapa Ninik bisa ada di sini? Kenapa dia muncul di sini? Padahal belum lama aku mengambal alih peternakan ini. Selain Kak Nah, bisa kupastikan tidak ada yang tahu.“Kenapa apanya, Bang?” balas Ninik.Intonasinya bicara sangat tidak biasa. Perempuan itu jelas-jelas sedang berusaha menarik perhatian Bang Zul.Buru-buru aku menghalangi Ninik. Kujadikan badan mungil ini sebagai tameng. Bang Zul tidak boleh jadi sasaran selanjutnya dari kebejatan perempuan itu.“Aku mau cari kerja,” lirih Ninik.Suaranya berubah lagi. Tiba-tiba saja, dirinya seperti diliputi mendung yang dahsyat. Rasa sedih yang luar biasa, bertambah dengan air mata yang mengalir di pipi dan jatuh ke tanah, kemudian pundak bergetar, lengkap sudah ... aku bahkan kehabisan kata-kata.“Aku ini sebatang kara, Riska. Aku butuh pekerjaan agar bisa tetap bertahan hidup. Kamu tahu sendirikan bagaimana keh
“Ris, aku mau bicara!” Bang Fahri menahan saat aku hendak masuk ke kamar.Pria itu masih memakai setelan kerjanya hari ini, belum bertukar dengan pakaian rumah dan berbersih diri. Kutebak, pikirannya benar-benar kalut hingga tidak bisa berpikir jernih.Lagian, salahnya sendiri. Sudah tahu kondisi keuangan papasan, dia malah sesumbar ngutang ke preman demi memenuhi tuntutan Ninik. Tahu-tahu malah ditipu oleh Ninik.Sekarang, saat hidupnya mulai hancur, dia minta bantuan padaku? Yang benar saja!“Riska, suamimu mau bicara!” Bang Fahri berteriak karena aku abai dengan ucapannya.Aku sudah cukup lelah dengan semua drama mereka. Ini sudah malam, waktunya istirahat, tidak bisakah dia membiarkanku lewat?“Bang, tidak perlu berteriak begitu. Kalau kamu lelah dengan semua ini, harusnya kamu tidak pernah memulai,” balasku sembari menarik tangan dari cengkeramannya.Bang Fahri nampak terpukul. Dia menelan ludah, menghela napas dan langsung menatap ke arah kamar ibu mertua. Sepertinya perempuan p
“Mana uangnya?” Pria itu menadahkan tangan saat Bang Fahri turun dari mobil. Syukurlah mereka sudah pulang, jadinya aku tidak perlu mandi keringat karena berhadapan dengan pria sebesar raksasa ini. Wajah Bang Fahri langsung berubah. Dia yang tadi tersenyum lebar di balik setir kemudi, kini hanya bisa tertegun untuk beberapa saat. Bang Fahri keluar dari mobil, berdiri di sisi pintu kemudi. Tatapannya lurus ke arah pria berbadan besar itu. Perlahan, pria itu menderap langkah menuju Bang Fahri. Senyumnya menyeringai, seperti binatang buas. Aku sendiri merasa begitu kecil, hingga tidak berani angkat suara dan memilih diam menyimak. “Ini sudah lewat waktunya, mau alasan apa lagi, Dokter Fahri?” ucap pria dengan kaos hitam yang membentuk dadanya. Bang Fahri terlihat ketakutan. Dia beringsut mundur saat pria itu terus mendekat. Sedangkan ibu mertua malah sesumbar. Perempuan itu dengan lantang bersuara, membela putranya, “Heh, ada urusan apa kamu nyariin anakku?” Beliau bahkan menunjuk
Karena tidak ingin merasa penasaran sendirian, aku mencoba mengejar ojol yang membonceng Ninik ke sini. Mereka ngebut meninggalkan peternakan begitu cepat sampai sulit terkejar. Meski demikian, aku tidak mau menyerah. Motor butut tua yang deru mesinnya seperti hampir sakaratul maut ini bertarung dengan motor matic keluaran baru yang membonceng Ninik. “Ah, aku gagal!” keluhku saat melewati tikungan panjang yang memisahkanku dengan Ninik. Perempuan itu sudah tidak terlihat lagi sejauh mata memandang. Padahal, aku ingin sekali menghadangnya, menyelesaikan masalah di sini tanpa perlu diketahui oleh orang rumah. Aku sangat berharap Ninik mau bersabar sebelum memecah keadaan. Kondisi peternakan saat ini belum cukup mampu untuk membungkam orang-orang itu, serta menghentikan ledakan emosi Ayah saat beliau tahu nantinya. Walau dipenuhi perasaan ragu dan gelisah, aku tetap pulang ke rumah. Begitu tiba di depan pagar, suasana rumah seperti yang seharusnya. Tidak tampak kehadiran ibu mertua
Bang Zul tidak bertanya lebih jauh setelah aku bicara begitu. Kami pulang ke rumah masing-masing usai berpisah di peternakan. Awalnya, aku kira saat tiba di rumah suasana juga akan sama seperti hari-hari sebelumnya. Kami akan bertengkar, saling menghina dan mencela. Namun, malam ini semuanya tampak tenang. Saat aku melewati ibu mertua atau Salma, mereka hanya diam, mematut mata di layar. Sedangkan Bang Fahri sibuk dengan tontonan berita di tv. Lalu, Ninik sendirian berkutat di dapur. Sejak kasus itu terungkap, Ninik dipaksa menurut. Dia harus mendengar semua perintah ibu mertua dan Bang Fahri. Bahkan kadang Salma juga ikut mengomelinya. Tapi, bukan Ninik kalau mudah menyerah. Sesekali kulihat dia mencuri celah. Seperti mencuci baju, hanya pakaian miliknya yang dibasuh dengan benar, sedangkan pakaian ibu mertua atau Salma hanya dibilas dengan air lalu diperas dengan mesin cuci. Atau soal makanan, Ninik selalu makan lebih dulu sambil memasak di dapur. Dia tidak mau menunggu waktu m