Bab 7
PANGGIL AKU SEKAR!"Suwito … apa yang kamu lakukan di kamar Arum?" tanya Irma heran. Merasa curiga, Irma segera merangsek masuk ke dalam kamar. Pak Suwito menggunakan kesempatan itu untuk segera kabur dan meninggalkan rumah itu.Hati Irma hancur. Dilihatnya, putrinya tergeletak tak berdaya dalam keadaan terikat dan tanpa mengenakan pakaian. Bercak darah nampak berceceran di sprei."Tidak! Arum!" teriaknya memanggil nama anaknya."Arum sayang! Buka mata kamu, Nak!" ujarnya sembari menangis tergugu.Teriakan Irma mengundang tetangganya untuk masuk."Ada apa, Bu Irma?" tanya Bu Lia. Karena tak mendapat jawaban dan hanya mendengar tangisan Bu Irma, Bu Lia berinisiatif masuk ke dalam rumah."Astaghfirullah," ujarnya. Dia segera masuk dan menutupi tubuh Arum dengan selimut. Setelah memastikan denyut jantungnya, Bu Lia segera melepas ikatan di tubuh Arum."Bu Irma, siapa yang melakukannya?"Bu Irma tak mampu menjawab. Dia hanya hanya menangis tergugu memeluk putrinya."Bu Irma," panggil Bu Lia lagi sembari menyentuh pundaknya."Ayo, kita pakaikan baju! Setelah itu, kita bawa dia ke rumah sakit! Saya akan memanggil Mas Agus agar mengeluarkan mobil!"Dengan perasaan hancur, Irma mendampingi putrinya di rumah sakit. Setelah dirawat selama hampir satu minggu, Arum diperbolehkan pulang. Namun, kondisi psikisnya benar-benar hancur.Sejak kejadian itu, Pak Suwito tak berani pulang. Apalagi, Irma melaporkan kasus ini kepada pihak berwajib. Selang dua bulan kemudian, Pak Suwito tertangkap dan dijebloskan ke penjara. Bersamaan dengan itu, Irma juga mengajukan gugatan cerai.Walaupun Pak Suwito sudah tertangkap, namun kondisi Arum belum membaik. Dia masih terus mengurung diri di kamar dan menangisi nasibnya. Irma rutin membawa Arum ke psikolog, namun belum ada perubahan. Beruntung, Arum tidak hamil.Tok tok tok ….Irma mengetuk pintu kamar putrinya, lalu membukanya. Kondisi kamar yang gelap, membuatnya sedikit kesulitan."Rum, lampunya Bunda nyalakan, ya? Bunda gak bisa lihat," ujar Bundanya. Karena tidak mendapat sahutan, Irma segera menyalakan lampu."Arum!" teriak Irma. Dia sangat terkejut mendapati putrinya tergeletak bersimbah darah. Tampak, nadinya teriris."Tolong! Tolong!" teriak Irma.Dengan bantuan warga sekitar, Arum dibawa ke rumah sakit.Irma menangis tergugu dipelukan Bu Lia, tetangga yang mengantarkan mereka ke rumah sakit."Sabar, Bu! Ini ujian! Kalau Ibu seperti ini, bagaimana dengan Arum? Dia butuh Ibu untuk menguatkan," ujar Bu Lia."Kenapa harus seperti ini nasibnya, Bu? Kasihan Arum! Apa salah kami?" ujar Bu Irma tergugu."Ini sudah takdir, Bu! Ibu yang sabar, ya!" ujar Bu Lia lagi. Irma berusaha menenangkan diri. Bu Lia benar. Dia harus kuat demi Arum.Dengan telaten, Irma merawat putri semata wayangnya. Setelah satu minggu dirawat, hari ini Arum sudah diperbolehkan pulang."Arum, jangan seperti itu lagi, ya! Bunda hanya punya kamu! Kalau kamu pergi, Bunda sama siapa?" ujar Bu Irma sembari menangis.Arum pun ikut menitikkan air mata."Arum memang sudah mati, Bun! Dia sudah mati bersama nasib buruknya!""Sayang, kamu bicara apa?"Arum menoleh."Bun, Arum sudah mati. Mulai hari ini, panggil aku Sekar! Sekar yang akan bangkit dari nasib buruknya dan akan membalas perbuatan mereka yang sudah mendzolimi kita," sahut Arum."Rum!" panggil bundanya lembut."Aku tidak mau memakai nama itu lagi, Bun! Mulai sekarang, panggil aku Sekar! Aku janji, mulai hari ini aku tidak akan pernah terpuruk lagi! Aku akan bangkit menjadi pribadi yang lebih kuat!""Baiklah, sayang! Jika memang itu mau kamu! Sekar!" ujar Bundanya.Sekar memeluk Bundanya sembari terisak."Maafkan aku ya, Bun! Aku sudah merepotkan Bunda!""Tidak ada merepotkan, Sayang! Kamu putri bunda! Melihat kamu mau bangkit, Bunda senang sekali!""Iya, Bun! Bun, aku boleh minta sesuatu gak?" tanya Sekar."Minta apa, Sekar? Biasanya kalau pengen sesuatu, langsung bilang.""Aku mau kita pindah, Bun!""Kemana?""Kita kembali ke Jakarta.""Apa? Untuk apa kita kembali kesana?" tanya Bundanya."Semua ini terjadi karena ayah. Kalau seandainya dulu ayah tidak meninggalkan kita dan memilih wanita itu, kita tidak akan disini, Bu! Dan nasibku tidak akan seperti ini!""Sekar!" ujar Bundanya sedih."Aku akan membalas mereka, Bun! Aku akan membuat mereka membayar semua kesakitan yang pernah kualami!"Irma memeluk putrinya sembari menitikkan air mata. Rasa sakit yang mereka alami telah menimbulkan dendam dalam hati putrinya.Setelah Arum, atau sekarang lebih dikenal dengan nama Sekar keluar dari rumah sakit, mereka bersiap untuk pindah ke Jakarta. Semua yang ada di Surabaya mereka jual.Di Jakarta, mereka membeli sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Irma pun kembali melanjutkan profesinya dengan membuka catering dan warung makan di depan rumah. Sekar, yang terlambat daftar kuliah, memilih membantu Ibunya sembari belajar persiapan untuk masuk perguruan tinggi tahun depan.Berdua, mereka bahu membahu membangun bisnis mereka. Karena rasa masakan Irma yang enak, warung makan mereka selalu ramai. Pelan tapi pasti, bisnis mereka semakin berkembang. Kini, mereka sudah memiliki sebuah warung makan yang cukup terkenal. Rumah makan Nusantara yang menyajikan menu makanan khas Jawa.************Sejak memiliki mobil, Sekar berangkat ke kantor sendiri. Aldi sudah tidak pernah menjemputnya lagi. Dia khawatir ada yang mengikutinya dan melaporkan perbuatannya kepada Nasha. Jadi, dia lebih memilih berhati-hati saat keluar bersama Sekar.Satu Minggu berlalu sejak Aldi menyatakan ingin menikahi Sekar."Sekar, ayo ikut aku!" ajak Aldi saat Sekar ada di ruangannya."Kemana? Ini kan, masih jam kantor," tanya Sekar."Justru karena masih jam kantor. Kalau Nasha curiga, aku bisa beralasan ketemu klien di luar.""Memangnya, kita mau kemana?" tanya Sekar penasaran."Kejutan! Ayo!" ajak Aldi lagi.Beriringan, mereka meninggalkan kantor. Aldi melakukan mobilnya ke sebuah perumahan elite."Kita mau ngapain kesini?" tanya Sekar heran. Aldi tak menjawab pertanyaan Sekar. Dia terus melajukan mobilnya, kemudian berhenti di sebuah rumah mewah berlantai dua."Ayo, masuk!""Ini rumah siapa, Mas?" tanya Sekar."Ini rumah untuk mas kawin kita. Gimana? Suka gak?" tanya Aldi sembari memeluk pinggang kekasihnya."Benarkah? Wah … aku suka sekali. Terimakasih, ya!" ujar Sekar."Ayo, kita berkeliling!"Mereka mengitari seluruh area rumah tersebut. Sekar benar-benar merasa puas."Bunda bagaimana?" tanya Aldi.Kini, mereka bercakap-cakap di gazebo dekat kolam renang."Gak usah khawatir kan Bunda! Beliau pasti menyetujui apapun pilihanku!""Aku sudah tidak sabar!" ujar Aldi. Sekar terkekeh."Kita menikah bulan depan, ya? Disini!" lanjut Aldi."Bulan depan? Apa sertifikat rumahnya sudah jadi?" tanya Sekar penasaran."Aku sudah mengeluarkan banyak uang agar sertifikatnya bisa jadi dalam waktu satu bulan. Jadi,kamu gak usah khawatir. Saat akad nikah, sertifikat itu ada di depan kamu!" ujar Aldi."Yakin, satu bulan jadi?" tanya Sekar sanksi."Kamu meragukan aku?" tanya Aldi balik."Gak sih, cuma kan biasanya lama," sahut Sekar.“Asalkan ada uang, semuanya pasti beres.""Istri kamu benar-benar kaya, ya?" ujar Sekar."Iya. Apalagi, dia anak tunggal.""Anak tunggal?" tanya Sekar heran.Bab 8RUMAH UNTUK SEKAR"Iya, kenapa? Kok, kelihatannya kaget banget gitu?" tanya Aldi heran."Gak gitu, cuma ... aku pikir dia ada saudara gitu!" sahut Sekar."Gak ada. Makanya aku masih berat lepasin dia. Secara, warisannya kan nanti jatuhnya ke dia. Aku mau porotin dulu," sahut Aldi Santai."Kamu yakin bisa dapetin semuanya?" "Yakin dong! Nasha itu bucin banget sama aku!""Dia itu kan anak tunggal. Pasti, orang tuanya sangat memanjakan dia," lanjut Sekar lagi."Kalau Mamanya sih, iya! Apapun yang diinginkan Nasha, pasti dituruti! Kalau Papanya, walaupun bukan ayah kandung, dia kelihatannya juga sayang banget sih!""Nasha bukan anak kandung Papanya?""Iya, jadi waktu itu Mamanya janda saat menikah dengan Papanya yang sekarang ini," sahut Aldi."Trus, Mamanya gak punya anak lagi setelah menikah dengan Papa tirinya?""Gak punya. Dulu katanya pernah hamil sih, trus keguguran. Jadi, sampai sekarang, mereka gak punya anak. Kenapa? Kok, kelihatannya penasaran banget.""Enak ya, jadi Nash
Bab 9KEDATANGAN HISYAM"Aku mau buat kejutan di hari pernikahan kami," sahut Sekar sembari mengulas sebuah senyuman."Apa kali ini aku juga harus turun tangan?" "Tentu saja! Kamu kan sahabat terbaikku! Kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan bantu aku!" sahut Sekar."Sahabat!" ujar Vano lirih.Vano menghembuskan nafas panjang. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Vano."Sini, aku bisikin!" ujar Sekar.Vano mendekatkan telinganya."Sekar, geli ah! Jadi bisikan gak?" protes Vano."Ha … iya … iya! Sini!" ujar Sekar."Gimana?" ujar Sekar usai membisikkan sesuatu ke telinga Vano."Oke, bisa diatur," sahut Vano. "Terimakasih!" sahut Sekar kegirangan. Tanpa sadar, dia memeluk Vano dengan erat. "Sekar! Aku gak bisa bernapas! Lepasin!" ujar Vano tersengal."Aduh, Van! Maaf, ya! He ….""Seneng sih, seneng! Tapi, jangan gitu juga!" ujar Vano sewot."Maaf, deh! Jangan ngambek dong! Aku belikan es krim, mau?" rayu Sekar."Es krim? Kamu kira aku anak TK apa? Nyuap pake es krim," ujar Vano semaki
Bab 10MASA LALU HISYAM"Aldi! Apa yang kamu lakukan?" bentak Hisyam.Aldi dan wanita dipangkuannya pun tampak terkejut saat pintu tiba-tiba terbuka dan mendapat teriakan dari sang big bos. "Pa—pa!" ujar Aldi gugup. Dia segera berdiri. Sekar pun segera berdiri dan merapikan pakaiannya. Dia tak kalah terkejut. Setelah sekian lama, ini pertama kalinya mereka berada pada jarak sedekat ini. Sekar tak berani menatap wajah ayahnya. Dia memilih menunduk menyembunyikan wajahnya."Menjijikkan! Bisa-bisanya kamu berbuat mesum di kantorku!" ujar Hisyam kecewa."Maaf, Pa!" ujar Aldi menundukkan kepala."Keluar kamu!" perintah Hisyam tanpa memandang Sekar.Dengan tergesa, Sekar segera berlari meninggalkan ruangan tersebut.Hisyam memegang dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri."Agus!" ujar Hisyam.Sigap, Agus menyerahkan sebutir obat. Setelah meminumnya, Hisyam sudah sedikit lebih tenang dan rasa nyeri itu berangsur menghilang."Ternyata begini, kelakuan kamu di kantor?" ujar Hisyam kecewa."Maaf,
Bab 11PERTEMUAN HISYAM DENGAN IRMA"Irma!" ujarnya lirih."Apa, Pak?" tanya Agus. Sekils, dia mendengar bosnya bergumam, namun kurang jelas."Dia pemiliknya?" tanya Hisyam."Iya, Pak!" Agus segera melangkah mendekati Irma dan mengatakan maksudnya. Irma memicing heran, namun dia tak menolak. Dia segera melangkah ke arah meja Hisyam yang posisinya membelakanginya."Selamat siang, Pak!" sapa Irma ramah.Hisyam menoleh."Ternyata aku tidak salah lihat! Kamu benar-benar Irma!" ujarnya.Irma pun tampak terkejut. "Mas Hisyam!" ujarnya lirih.Untuk sesaat, mereka membeku dan saling menatap. Tak lama kemudian, Irma meninggalkan meja tersebut. Hisyam masih tertegun di tempatnya."Pak! Bapak kenapa?" tanya Agus.Hisyam terdiam."Tolong bantu saya!" ujarnya kemudian."Iya, Pak! Apa yang bisa saya bantu?""Saya mau bicara dengannya.”"Tadi kan, sudah, Pak!" ujar Agus.Hisyam menghela nafas panjang. "Katakan saja, saya ingin bicara," ujar Hisyam lagi. Agus tampak berfikir. Tampaknya, ada ses
Bab 12PENOLAKAN SEKAR"Kalau kamu ingin rasa sakit itu hilang, maka lepaskan dendammu!"Sekar terkesiap. Dia tidak siap dengan jawaban Bundanya."Maksud Bunda?""Dendam akan terus membawa rasa sakit dalam hatimu. Untuk sesaat, mungkin kamu akan merasa puas. Namun, rasa sakit itu akan terus membayangi," ujar Irma menasehati putrinya. Sekar terdiam. Dia mencoba mencerna ucapan Bundanya. "Kamu gak percaya?" tanya Bundanya."Bukan gak percaya, Bun, hanya saja, jika aku melepaskannya, mereka tidak akan pernah merasakan sakit seperti yang pernah kualami.""Jika kamu tetap bertahan dengan rencanamu, maka bersiaplah! Rasa sakit itu akan terus menggerogotimu!" ujar Irma.Sekar tak menyahut."Bukankah Allah Maha Adil? Walau tidak melalui tangan kamu, mereka pasti akan merasakan pembalasan. Percayalah, hukum tabur tuai itu ada," lanjut Irma."Bun!" ujar Sekar gamang.Irma tersenyum."Istirahatlah! Kamu pasti lelah!" ujar Irma. *****"Bik, Ibu mana?" tanya Hisyam kepada Kokom, asisten rumah t
BAB 13PERMINTAAN RUJUK"Halo, Beb!" ujar Winda melalui sambungan seluler."———.""Kita mau ke puncak, nih? Kamu ikut, ya?""———."Ayolah! Kan, sudah lama kita gak bersenang-senang! Kamu gak kangen sama aku?" "———.""Iya, deh! Aku tunggu pokoknya!" "———.""Oke. See you!"Klik. Winda menutup sambungan teleponnya."Gimana?" tanya Sinta."Bisa, tapi sejam lagi dia baru bisa sampe sini. Masih ngerjakan tugas kuliah katanya.""Widih … rajin amat!" puji Dea."Iya, dong! Dia kerja kayak gini kan, buat biayain kuliahnya!""Gimana rasanya main sama anak kuliahan?" tanya Sarah penasaran."Mantap deh pokoknya! Bikin ketagihan!" ujar Winda. Mereka tertawa terbahak bersamaan.Kring …Ponsel Winda berbunyi. Tampak, nama suaminya tertera disana."Halo, Pa! Ada apa?" tanya Winda."———.""Maaf, Pa, tadi perginya gak pamit! Kayaknya,malam ini aku juga gak pulang! Ini teman-teman ngajak nginap di vila!""———.""Gak bisa dong, Pa! Kan, gak enak kalau menolak! Lagian hanya semalam, kok!""———.""Iya, sa
Bab 14HARI PERNIKAHAN"Bukan begitu. Aldi itu suaminya Nasha. Kalau Arum mau, aku akan carikan suami yang tampan dan kaya. Tapi jangan dengan merebut suami orang."Brak ….Irma menggebrak meja."Jaga ucapan kamu! Putriku tidak butuh suami yang tampan dan kaya. Bahkan, dia juga tidak butuh ayahnya yang kaya raya," ujar Irma."Benar, Sekar memang menjalin hubungan dengan Aldi dan asal kamu tahu, aku sudah mengizinkannya.""Bagaimana bisa kamu mengizinkan Arum melakukannya?" ujar Hisyam tak percaya."Suatu saat nanti, kamu pasti akan tahu alasannya. Ingatlah, saat kamu mengetahuinya, kamu akan menjadi orang yang paling menyesal karena semua ini berawal gara-gara kamu," ujar Irma, lalu beranjak hendak meninggalkan Hisyam."Satu lagi, putriku bernama Sekar. Jangan pernah memanggilnya Arum lagi," lanjut Irma, lalu segera meninggalkan Hisyam sendirian. Hisyam terdiam. Dia benar-benar bingung. Apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Sekar. Kenapa dia memilih jalan ini dan mendapat dukunga
BAB 15MENANG BANYAKUcapan penghulu terhenti seketika.Aldi terkesiap. Dia hafal betul dengan suara itu. "Na—Nasha!" ujarnya tergeragap. "Maaf, Pak Penghulu! Pernikahan ini tidak sah! Saya istri pertamanya dan saya tidak mengizinkan pernikahan ini!" teriak Nasha. Dia datang bersama sang Mama."Mohon maaf, Pak! Silahkan selesaikan urusan kalian dulu! Saya tidak bisa menikahkan kalian! Permisi!" ujar penghulu tersebut.Aldi terdiam. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Semua rencananya hancur berantakan.Plak ….Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Sekar."Nasha, apa yang kamu lakukan?" bentak Aldi."Kamu bentak aku, Mas? Demi bela dia?" ujar Nasha tak terima."Bukan begitu, Sayang!" ujar Aldi lembut."Dasar menantu tak tahu diuntung! Nasha sudah begitu percaya sama kamu, begini balasanmu?" bentak mertuanya."Maaf, Ma!" Nasha mendekati Sekar dan menyerangnya. "Dasar wanita murahan! Berani sekali kamu sudah menggoda suamiku! Apa tidak ada laki-laki lain sampai harus menggoda suami ora