Share

SEPULUH TAHUN YANG LALU

Bab 6

SEPULUH TAHUN YANG LALU

Saat itu, Sekar kelas dua belas. Seperti biasa, Bundanya sedang mengerjakan pesanan catering. Saat itu, Arum sedang bersekolah.

"Lagi bikin apa, Ir?" tanya Pak Suwito yang tiba-tiba muncul di depan pintu dapur. Memang, belakang rumah Arum terhubung langsung dengan gang kecil dan hanya dibatasi oleh tembok setinggi pinggang dan pagar kecil.

"Pak Suwito? Bikin kaget saja!" ujar Bunda Arum.

Pak Suwito terkekeh geli sembari melangkahkan kakinya memasuki dapur.

"Eh, Pak Suwito mau ngapain? Sana keluar!" usir Irma, Bunda Arum.

"Saya mau nemenin kamu masak, dari pada sendirian."

"Saya sudah biasa sendiri. Sana keluar! Gak enak kalau dilihat orang!" usir Bunda Arum lagi.

"Ya dibikin enak saja tho!" sahut Pak Suwito santai. Irma hanya geleng-geleng kepala.

"Pak, tolonglah! Saya gak mau menimbulkan fitnah! Anak saya sedang sekolah! Di rumah gak ada orang!" ujar Ira lagi.

"Biar gak ada fitnah, bagaimana kalau kamu aku halalin saja?" ujar Pak Suwito sembari memeluk Irma dari belakang. Irma yang kaget, spontan berusaha melepaskan pelukan Pak Suwito. Sekilas, Irma mencium bau alkohol.

"Pak, jangan macam-macam! Lepaskan!" bentak Irma.

Pak Suwito tak mengindahkan bentakan Irma. Dia malah semakin mengeratkan pelukannya.

“Jangan begini, Pak! Tolong lepaskan saya!" ujar Irma berusaha melepaskan diri. Dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan Suwito dari tubuhnya. Aksi dorong mendorong pun terjadi. Hingga akhirnya, mereka berdua terjatuh dengan posisi saling menindih.

Saat dalam posisi tersebut, tiba-tiba ada tetangga lewat dan berteriak,"Hei? Lagi ngapain itu? Kalian berbuat mesum, ya?"

Mereka yang terkejut, segera saling melepaskan diri dan kembali berdiri.

Beberapa tetangga yang mendengar teriakan tersebut, segera berdatangan.

"Ada apa?" tanya tetangga lain.

"Tadi, aku melihat mereka mau berbuat mesum."

"Tidak, itu tidak benar. Ini hanya salah paham," ujar Irma berusaha membela diri.

"Benar itu, Pak Suwito?" tanya Pak Dandi, tetangga yang melihat kejadian itu.

"Sudahlah, Irma! Kita mengaku saja! Toh, kita melakukannya suka sama suka!" sahut Pak Suwito. Dia yang sudah lama mengincar Irma, memanfaatkan kesempatan itu.

"Pak Suwito! Apa yang kamu katakan?" bentak Irma.

"Tidak, Pak! Itu tidak benar! Sungguh!" ujar Irma lagi.

"Sudahlah! Kita bawa saja ke kantor desa! Biar diadili di sana!" ujar tetangga lain.

"Benar! Ayo!"

Berbondong-bondong, warga membawa Bu Irma dan Pak Suwito ke kantor desa. Warga yang semula tidak tahu menahu pun, ikut mengarak mereka untuk mengetahui kebenarannya.

"Ada apa ini?" tanya Pak Lurah saat melihat warga.

Pak Dandi pun menceritakan kejadian yang dia lihat. Dan hal itu dibenarkan oleh Pak Suwito.

"Tidak, Pak Lurah! Itu tidak benar! Ini fitnah! Aku mohon Pak Suwito, jangan seperti ini! Katakan yang sebenarnya!" ujar Irma sembari terisak.

"Aku kan sudah menjawab jujur, Ir! Aku harus bagaimana lagi?" sahut Pak Suwito.

"Maafkan kami, Pak Lurah! Kami sudah mencoreng nama baik desa ini! Saya siap menerima hukuman!" ujar Pak Suwito.

Warga mulai gelisah. Pasalnya peristiwa seperti ini baru pertama kali terjadi. Setelah melalui diskusi alot, akhirnya warga sepakat untuk menikahkan mereka. Jika mereka tidak mau menikah, maka mereka harus mereka harus meninggalkan desa itu dan membayar denda lima ratus juta. Dengan terpaksa, Irma menyetujui pernikahannya dengan pria itu.

Pernikahan siri mereka dilakukan hari itu juga di kantor di desa. Namun, besok mereka harus kembali ke kantor desa menyerahkan berkas-berkas untuk membuat akta pernikahan. Arum yang baru pulang sekolah, merasa shock mendengar berita itu.

Sejak saat itulah, kedamaian hidup mereka terusik. Pak Suwito yang berprofesi sebagai preman pasar dan memiliki hobi mabuk-mabukan, hanya bersikap lembut saat ada maunya. Selebihnya, dia menjadi kasar dan seenaknya sendiri.

Puncaknya, saat kelulusan sekolah Arum. Saat itu, Bunda Arum sedang ada pesanan di rumah Pak Lurah. Karena dalam jumlah banyak, Bu Lurah memintanya masak di rumahnya saja.

Saat itu, Arum pulang dengan gembira. Dia lulus dengan nilai terbaik. Bahkan, dia mendapatkan penghargaan atas prestasinya. Sayang, Bundanya tidak bisa menghadiri acara tersebut karena sedang ada pesanan.

Saat dia masuk ke dalam rumah, rumah dalam keadaan sepi. Ternyata, bundanya belum pulang dari rumah Bu Lurah. Arum segera menuju kamarnya dan berganti pakaian.

Tok tok tok ….

Pintu kamar Arum diketuk.

"Ada apa, Om?" tanya Arum dengan gugup setelah membuka pintu kamarnya. Arum memang selalu merasa ketakutan jika dekat dengan Pak Suwito.

"Aku lapar. Bisa minta tolong buatkan mie instan, gak?" tanya Pak Suwito lembut.

"Iya, Om!" Arum segera menutup pintu kamarnya dan melangkah ke dapur. Dia memasak dengan cekatan. Pak Suwito mengamati Arum dari ruang makan.

"Ini, Om!" ujar Arum, lalu meletakkan semangkuk mie instan di meja makan.

"Terimakasih, ya!" ujar Pak Suwito.

"Sama-sama, Om! Maaf, Om! Saya balik ke kamar dulu!" pamit Arum, lalu melangkah ke kamarnya. Dia sudah merasa tidak nyaman karena sedari tadi diamati dengan intens.

Saat hendak menutup pintu kamarnya, Arum merasa pintunya terganjal. Ternyata, Pak Suwito yang mengganjalnya dengan kakinya.

"Ada apa lagi, Om?" tanya Arum gugup.

"Kamu cantik!" ujar Pak Suwito. Dia mendorong tubuh Arum dan melangkah masuk ke kamar, lalu menguncinya. Arum yang ketakutan, melangkah mundur menjauhi Pak Suwito.

"Om mau ngapain? Keluar dari kamar saya," ujar Arum ketakutan.

"Jangan takut, ayo kita bersenang-senang!" ujar Om Suwito.

"Om mau apa? Jangan macam-macam!"

Tanpa memperdulikan gertakan Arum, Pak Suwito merangsek ke depan dan mendekap tubuh Arum.

"Lepaskan, Om! Lepaskan!" teriak Arum. Sigap, Om Suwito membekap mulut Arum. Dengan sekuat tenaga, Arum mencoba melawan. Pak Suwito yang sudah gelap mata, mengikat tangan dan membekap mulut Arum dengan kain. Dengan berderai air mata, Arum masih mencoba untuk terus melawan, namun tak bisa.

Tanpa ampun, Pak Suwito melancarkan aksinya. Tak dipedulikannya anak tirinya yang menangis. Arum sudah tidak bisa memberikan perlawanan lagi karena badannya lemas, hingga akhirnya dia pingsan.

Setelah puas, Pak Suwito segera merapikan pakaiannya dan hendak keluar kamar Arum. Namun, saat membuka pintu, dilihatnya Irma sudah berdiri di depan pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status