"Di mana anakku?" Mata Risa memicing tajam ketika sadar dan hanya menemukan dokter yang membantunya melahirkan sedang menunduk dalam. Firasatnya berkata buruk. Suara Risa meninggi akibat tak mendapat jawaban, "Aku tanya, DI MANA ANAKKU?"
"Maaf, Bu Risa. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi putri Ibu ...." Alis Risa menukik ke atas menantikan kata selanjutnya. Sementara sang dokter mengembuskan napas panjang sebelum melanjutkan. "Putri Ibu dinyatakan meninggal karena komplikasi jantung yang diakibatkan kelahiran prematur."
Risa bergeming, tubuhnya terasa seperti dipukul palu godam saat mendengar fakta tersebut. Dunianya seketika runtuh. Baru beberapa saat lalu dia mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan buah hatinya, tapi apa yang dia dapatkan sekarang? Ia bahkan belum sempat memberikan nama untuk putrinya.
Sirna sudah seluruh daftar keinginan yang dia tulis sejak mendapati dua garis biru di testpack beberapa bulan lalu. Memberi sang anak ASI, mengantar imunisasi, jalan-jalan sore di taman, membuatkan bekal sekolah, mengomeli ketika sang anak mulai berpacaran, hingga mendampinginya ketika dipinang seorang pria. Semuanya sekarang hanya tinggal mimpi. Rasa sesak berbondong-bondong merasuki dada calon ibu itu.
Risa mengusap kedua pipinya yang basah. "Aku ingin lihat anakku!" Wanita itu berusaha turun dari ranjang rumah sakit. Namun, sebuah tangan langsung menghentikan gerakannya.
"Jangan buat onar! Anakmu sudah mati! Untuk apa melihatnya lagi?!" Seorang pria tampan berbalut jas hitam dan kemeja putih terlihat menampakkan ekspresi marah yang mengerikan. Bentakan pria tersebut membuat Risa terdiam. "Kamu sudah gagal melahirkan bayi yang sehat dan sekarang malah bikin malu dengan bersikap histeris. Apa kamu lupa kalau aku punya reputasi yang harus dilindungi?!" Sembari merapikan jasnya, pria itu berkata, "Ada begitu banyak wartawan yang menunggu di depan rumah sakit, mungkin ada beberapa yang berhasil masuk dan berkeliaran di sekitar ruangan ini. Jadi, diam di sini dan jangan banyak tingkah!"
Sulit Risa percaya alih-alih menunjukkan kesedihan atas kematian anak pertama mereka, Rangga malah lebih mementingkan reputasinya sebagai salah satu pebisnis terkaya di Nusantara. Tidak sedikit pun simpati ditunjukkan oleh suaminya itu melainkan cacian dan hinaan atas ketidakmampuannya untuk mencegah hal semacam ini terjadi.
Ke mana perginya Rangga yang begitu lembut dan mencintainya? Apakah pria itu hanya ilusi belaka?
"Lihat ‘kan, Rangga?! Ini akibatnya kalau kamu menikah dengan wanita dari keluarga tidak jelas!" Makian dari sang ibu mertua yang sedari dulu menentang pernikahannya dan sang suami pun tidak bisa dihindari. "Coba dulu kamu dengerin Ibu untuk menikah dengan putri Keluarga Hendrarto yang terkenal itu, pasti hasilnya beda! Jaga kehamilan aja nggak bisa! Nggak becus jadi istri dan nggak becus jadi ibu!"
Mengingat semua hal itu, air mata Risa luruh. Pernikahannya disebut semua orang sebagai dongeng Cinderella di dunia nyata. Seorang wanita biasa yang menikah dengan pria luar biasa. Hidupnya terasa begitu sempurna karena Rangga memilihnya dari sekian banyak wanita yang memuja-muja pria itu.
Namun, di balik kebahagiaan yang sering dia tunjukkan, Risa sebenarnya menyimpan luka yang begitu dalam karena ibu Rangga tidak pernah merestui pernikahan mereka. Kebencian ibu mertuanya semakin memuncak karena dia gagal memberi keluarga Wicaksana seorang pewaris.
"Udah, Mbak. Nggak usah didengerin ucapan tante Tanti. Lebih baik Mbak sekarang tidur." Nadia, adik tirinya, membenarkan letak selimut Risa.
Risa mencoba untuk memejamkan kedua matanya dan berharap kejadian yang dialaminya barusan hanya mimpi. Namun, rasa sakit itu terasa semakin nyata ketika dia menyadari jika sang buah hati sudah tidak ada di dunia ini lagi.
"Mbak nggak bisa tidur, Nad. Mbak terus kepikiran sama anak mbak ...," gumam Risa dengan suara gemetar karena menahan sesak yang begitu mengimpit dada. Dunianya seketika hancur karena buah hati yang dia kandung selama sembilan bulan telah tiada, tapi Nadia malah memutar bola mata.
Kenapa adik tirinya bersikap seperti itu? Apa Nadia tidak merasa simpati sedikit pun pada dirinya?
"Aku harus melihat pemakaman anakku." Risa memaksa turun dari ranjang, tapi Nadia buru-buru menahan.
"Apa Mbak sudah gila? Kalau Mbak memaksa keluar yang ada Mas Rangga nanti malah semakin marah. Sudah, Mbak di sini saja!"
Risa akhirnya menuruti ucapan Nadia untuk tetap di kamar padahal dia ingin sekali melihat sang anak untuk yang terakhir kalinya.
**
Risa melepas selang infus di tangannya dengan paksa. Dia ingin pulang karena tidak betah berada di rumah sakit padahal dokter belum mengizinkannya pulang. Dia berjalan mengendap-endap untuk menghindari wartawan yang sejak kemarin bertahan di rumah sakit demi mendapatkan berita tentang kematian anaknya.
Embusan napas lega sontak lolos dari bibir Risa ketika dia sudah berada di luar. Tanpa menunggu waktu lama dia bergegas menghentikan sebuah taksi untuk mengantarnya pulang.
Risa berjalan dengan gontai memasuki rumah. Dia ingin beristirahat sebentar sebelum pergi ke makam anaknya. Namun, kepala pelayan malah melarangnya masuk ke rumah.
"Kenapa kamu melarangku masuk?" Risa menatap kepala pelayan yang berdiri di hadapannya dengan lekat karena wanita paruh baya itu terlihat sangat cemas.
"Em, itu ...." Setitik keringat dingin keluar membasahi kening pelayan tersebut. "Pokoknya jangan, Non!"
Tingkah kepala pelayan tersebut sangat mencurigakan. Risa pun menerobos masuk ke dalam untuk mencari tahu apa yang sedang disembunyikan oleh kepala pelayan tersebut. Namun, rumahnya terlihat sepi.
Apa Rangga dan Nadia tidak ada di rumah?
Risa beranjak menuju kamarnya yang berada di lantai atas, tapi kepala pelayan lagi-lagi menahannya.
"Saya mohon jangan pergi ke atas, Non."
"Kenapa kamu terus melarang saya? Apa kamu mau saya laporin ke Mas Rangga?!" sengit Risa terdengar tegas.
"Ma-maaf, Non." Wanita paruh baya itu tertunduk dalam dan hanya bisa diam ketika Risa berjalan melewatinya.
"Le-lebih dalam, Mas. Iya, di situ ...." Tubuh Risa menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar suara desahan yang berasal dari dalam kamarnya.
Suara desahan itu terdengar semakin keras seiring dengan langkah kakinya yang semakin dekat dengan pintu kamar. Jantung Risa berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Dia menarik napas panjang lalu mengintip apa yang sedang terjadi di dalam lewat celah pintu yang tidak tertutup rapat.
Tubuh Risa menegang, darah di dalam tubuhnya seolah-olah berhenti mengalir. Dia bergeming, kaku melihat sang suami yang sedang asyik bergumul dengan adik tirinya.
"Kamu luar biasa. Dirimu jauh lebih baik daripada kakakmu."
Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Risa. Dia benar-benar tidak menyangka suami dan adik tirinya tega mengkhianatinya. Risa ingin cepat-cepat pergi meninggalkan tempat tersebut karena tidak tahan lagi melihat adegan hina itu di depan matanya sendiri.
"Sebenarnya Mas nggak perlu susah payah menyingkirkan anak Mas dan Mbak Risa." Kalimat yang terdengar di telinga Risa membuatnya urung meninggalkan tempat itu. Apa yang baru saja dia dengar tadi?
"Aku bisa melahirkan anak yang normal untuk Mas. Jadi, kenapa Mas sampai membunuh anak Mbak Risa?"
Jantung Risamencelus, air mata menggenang di kedua pelupuk matanya, rasa sesak mengimpitdadanya. Risa pikir sang anak meninggal karena mengalami gagal jantung dankomplikasi akibat lahir prematur. Namun, apa yang tadi Risa dengar barusan?"Anak itu akanmembawa sial kalau dibiarkan hidup! Aku harus cepat-cepat menghabisinya karenadia bisa menghancurkan reputasiku!"Jadi, Rangga yang …Kenapa Rangga tegamelakukan hal ini pada dirinya?Wajah Risamengeras, kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Amarah tergambarjelas di wajah cantiknya. Risa benar-benar marah karena Rangga tega melenyapkanbuah hati mereka hanya demi mempertahankan reputasi.Risa berbalik laluberjalan dengan cepat ke kamar. Dia membanting pintu kamarnya dengan cukupkeras hingga membuat dua sejoli yang sedang mencapai puncak kenikmatan sontakmenoleh ke arahnya."Biadabkalian!" teriak Risa sekencang-kencangnya. Wajah wanita itu merah padamdengan napas yang begitu memburu. Sekelebat Risa bisa melihat tamp
"Mas, jangan berhenti....""Kamubenar-benar luar biasa, Nad. Selain cantik kamu selalu bisa memuaskanku."Risa menutup keduatelinganya erat-erat karena suara desahan Rangga dan Nadia terus terdengar ditelinganya. Padahal luka di dalam hatinya masih belum sembuh akibat kematiansang buah hati, tapi suaminya malah asyik selingkuh dengan adik tirinyasendiri. Mereka bahkan tidak malu lagi menunjukkan kemesraan di depan matanya.Apa Rangga danNadia tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya?"Agh...!" Risa menjerit sekencang-kencangnya untuk meluapkan kesedihannya.Rumah yang dulu terasa nyaman sekarang terasa seperti neraka baginya. Dia tidakbetah. Rasanya dia ingin sekali keluar dari rumah ini dan menjauh darikehidupan Rangga dan Nadia selamanya.Setelah perasaannyaagak tenang, Risa memutuskan untuk menemui Rangga dan Nadia yang sedangmenikmati makan malam karena ada hal penting yang ingin dia katakan padasuaminya. Namun, dia sontak berhenti melangkah ketika mendengar suar
"Kerja bagus. Kamu akan segera mendapatkan bayaranmu," ucap Rangga dengan wajah puas. Detik berikutnya, ekspresinya berubah tegas. "Sekarang pergi dari sana dan pastikan tidak ada orang yang melihatmu. Kalau ketahuan, nyawamu juga akan lenyap," desis Rangga terdengar penuh peringatan. Dia tidak ragu melenyapkan seseorang yang bisa merusak reputasinya sekalipun itu istri dan anaknya."Bagaimana, Mas? Apa berhasil?" tanya Nadia sambil memeluk Rangga dari belakang. Bibirnya yang dipoles merah merona membentuk senyuman.Rangga menurunkan ponsel dan menyentuh lengan Nadia yang melingkar di pinggangnya. “Ya, semua sudah selesai." Pria itu membalik tubuhnya, berhadapan dengan Nadia dan juga meletakkan lengannya di pinggang wanita itu. “Tidak ada lagi yang akan menghentikan kita.”Nadia tersenyum membalas Rangga. Dia membelai punggung pria di hadapannya, lalu mendekatkan tubuhnya pada Rangga sambil berbisik, “Dengan begini, kamu bisa nikahin aku tanpa khawatir apa pun lagi 'kan, Mas?""Tentu
"Kamu dan anakmu sama saja! Hanya bisa bawa sial kalau dibiarkan hidup!"Satu makian itu membuat Risa tersentak. Napasnya terengah-engah dan penglihatannya sedikit buyar. Risa mengerjapkan kedua matanya perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya. Lama-kelamaan, pemandangan sekeliling pun berubah jelas.Ruangan serba putih ini terasa sangat asing bagi Risa. Aroma obat-obatan pun tercium di mana-mana. Dibandingkan ruang tidur, tempat itu terlihat seperti kamar inap rumah sakit."Aku di mana ...?" Risa ingin bangun dan mencari tahu di mana keberadaannya sekarang. Namun, seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit saat digerakkan. "Jangan banyak bergerak." Sebuah suara dalam terdengar berucap dengan nada memerintah, membuat Risa sontak menoleh. Sosok seorang pria berkemeja putih tampak berjalan masuk melalui sebuah pintu. Rahangnya yang tegas dan alisnya yang menekuk tajam membuat pria itu tidak terlihat begitu bersahabat. Namun, raut wajah pria itu terlihat tenang selagi menghampiri d
'Beraninya kalian berdua menggunakan namaku untuk menghalalkan hubungan hina kalian! Dasar baj*ngan!' Air mata terlihat menggenang di kedua pelupuk mata Risa. Amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu di dalam diri wanita itu. Risa sudah memberikan segalanya untuk Rangga. Cinta, kehormatan, juga kasih sayangnya. Akan tetapi, pria itu malah dengan tega menghancurkan hidupnya. Jangan lupa dengan Nadia, Risa telah memberikan adik tirinya itu tempat berteduh setelah kematian ibunya. Risa menunduk, lalu tertawa pelan. "Seorang baj*ngan dan wanita murahan, kalian memang ditakdirkan bersama," makinya rendah. Terbayang bagaimana kedua orang itu tertawa bahagia atas kematiannya, Risa merasa benci. Akan tetapi, tersadar dengan posisi dan juga wajahnya yang rusak, kembali dan membereskan dua orang itu tidak akan semudah di bayangan. 'Apa yang harus kulakukan ...?' Di saat ini, pembawa berita berlanjut ke berita berikutnya. [Pradikta Januar, dokter bedah plastik yang belum lama terlibat sk
“Katakan padaku siapa kamu sebenarnya sampai berani membuat kesepakatan seperti itu?” Dikta masih mencekal pergelangan tangan Risa. Apa yang wanita di hadapannya ini ketahui? Bagaimana dia bisa seberani itu membuat kesepakatan padanya.Risa meringis menahan sakit di pergelangan tangannya. Tetapi, Risa bertahan sekuatnya hingga dokter di hadapannya ini menerima penawarannya. “Aku adalah istri dari pria yang kamu kritik.”Cengkeraman di tangan Risa mengendur. Risa tersenyum tipis, sepertinya Dikta mau menerima penawarannya. Namun, itu tidak lama. Dikta kembali mencengkeram tangannya hingga lagi-lagi membuat Risa meringis menahan sakit.“Kamu … yang diberitakan meninggal bunuh diri?”“Aku belum mati!” teriak Risa. Teringat tentang berita tadi, wasiat dan bunuh diri. Benar-benar membuat Risa marah. “Rangga membuat berita palsu dan memanfaatkan keadaanku untuk kepentingannya sendiri!”Dikta tertegun. Pria itu kemudian melepas cengkeramannya di tangan wanita yang wajahnya memang sudah
Dikta bergeming di tempat dengan jantung berdetak hebat. Selama tiga puluh detik yang dia lakukan hanya diam memandangi wajah Risa di hadapannya. Mata, hidung, juga bibir wanita itu mirip sekali dengan Aluna, gadis yang memiliki tempat spesial di hatinya sampai sekarang meskipun sudah tiada.Entah setan apa yang sudah merasuki pikirannya hingga tanpa sadar mengubah wajah Risa sama persis dengan Aluna."Ta!" panggil Zean pelan membuat Dikta tergagap. Dia menatap Dikta dengan sendu seolah-olah bertanya apakah sahabatnya itu baik-baik saja.Dikta tidak menjawab, malah keluar dari ruangan Risa begitu saja. Dia butuh udara segar untuk menghalau sesak yang tiba-tiba menyelip di dalam dadanya karena kenangan yang selama ini dia lalui bersama Aluna berbondong-bondong masuk ke dalam pikirannya setelah melihat Risa.Dikta mengempaskan diri di sofa dengan napas terengah, setitik keringat dingin keluar membasahi pelipisnya, wajahnya pun terlihat sedikit pucat. Dikta mencoba menggapai oksigen
"Kita sudah sampai, Nona." Risa segera turun ketika taksi yang ditumpanginya berhenti tepat di depan ballroom salah satu hotel paling terkenal di ibu kota. Tempat Rangga dan Nadia menggelar resepsi pernikahan mereka. Risa berjalan dengan anggun memasuki tempat acara membuat seluruh perhatian tamu undangan tertuju ke arahnya."Anda mau minum, Nona?"Risa mengambil segelas minuman berwarna merah lalu mengangguk sekilas sebagai bentuk terima kasih pada pelayan. Dia memutar-mutar gelasnya sebentar sebelum menyesap sedikit minumannya dan mengamati sekitar.Amarah dan kekecewaan terpancar jelas di mata Risa. Pesta pernikahan Rangga dan Nadia begitu mewah dibandingkan pesta pernikahannya dulu. Rangga bahkan mendatangkan seorang penyanyi asal Negri Jiran untuk memeriahkan pestanya. Risa mendengkus, penasaran. Ini semua pasti permintaan Nadia, wanita licik itu pasti selalu ingin lebih daripada siapa pun.Risa kembali menyesap minumannya. Sepasang mata bulat miliknya terus melihat Rangga d