Share

Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu
Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu
Penulis: Aeris Park

1. Kenyataan Pahit

"Di mana anakku?" Mata Risa memicing tajam ketika sadar dan hanya menemukan dokter yang membantunya melahirkan sedang menunduk dalam. Firasatnya berkata buruk. Suara Risa meninggi akibat tak mendapat jawaban, "Aku tanya, DI MANA ANAKKU?"

"Maaf, Bu Risa. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi putri Ibu ...." Alis Risa menukik ke atas menantikan kata selanjutnya. Sementara sang dokter mengembuskan napas panjang sebelum melanjutkan. "Putri Ibu dinyatakan meninggal karena komplikasi jantung yang diakibatkan kelahiran prematur."

Risa bergeming, tubuhnya terasa seperti dipukul palu godam saat mendengar fakta tersebut. Dunianya seketika runtuh. Baru beberapa saat lalu dia mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan buah hatinya, tapi apa yang dia dapatkan sekarang? Ia bahkan belum sempat memberikan nama untuk putrinya.

Sirna sudah seluruh daftar keinginan yang dia tulis sejak mendapati dua garis biru di testpack beberapa bulan lalu. Memberi sang anak ASI, mengantar imunisasi, jalan-jalan sore di taman, membuatkan bekal sekolah, mengomeli ketika sang anak mulai berpacaran, hingga mendampinginya ketika dipinang seorang pria. Semuanya sekarang hanya tinggal mimpi. Rasa sesak berbondong-bondong merasuki dada calon ibu itu.

Risa mengusap kedua pipinya yang basah. "Aku ingin lihat anakku!" Wanita itu berusaha turun dari ranjang rumah sakit. Namun, sebuah tangan langsung menghentikan gerakannya.

"Jangan buat onar! Anakmu sudah mati! Untuk apa melihatnya lagi?!" Seorang pria tampan berbalut jas hitam dan kemeja putih terlihat menampakkan ekspresi marah yang mengerikan. Bentakan pria tersebut membuat Risa terdiam. "Kamu sudah gagal melahirkan bayi yang sehat dan sekarang malah bikin malu dengan bersikap histeris. Apa kamu lupa kalau aku punya reputasi yang harus dilindungi?!" Sembari merapikan jasnya, pria itu berkata, "Ada begitu banyak wartawan yang menunggu di depan rumah sakit, mungkin ada beberapa yang berhasil masuk dan berkeliaran di sekitar ruangan ini. Jadi, diam di sini dan jangan banyak tingkah!"

Sulit Risa percaya alih-alih menunjukkan kesedihan atas kematian anak pertama mereka, Rangga malah lebih mementingkan reputasinya sebagai salah satu pebisnis terkaya di Nusantara. Tidak sedikit pun simpati ditunjukkan oleh suaminya itu melainkan cacian dan hinaan atas ketidakmampuannya untuk mencegah hal semacam ini terjadi.

Ke mana perginya Rangga yang begitu lembut dan mencintainya? Apakah pria itu hanya ilusi belaka?

"Lihat ‘kan, Rangga?! Ini akibatnya kalau kamu menikah dengan wanita dari keluarga tidak jelas!" Makian dari sang ibu mertua yang sedari dulu menentang pernikahannya dan sang suami pun tidak bisa dihindari. "Coba dulu kamu dengerin Ibu untuk menikah dengan putri Keluarga Hendrarto yang terkenal itu, pasti hasilnya beda! Jaga kehamilan aja nggak bisa! Nggak becus jadi istri dan nggak becus jadi ibu!"

Mengingat semua hal itu, air mata Risa luruh. Pernikahannya disebut semua orang sebagai dongeng Cinderella di dunia nyata. Seorang wanita biasa yang menikah dengan pria luar biasa. Hidupnya terasa begitu sempurna karena Rangga memilihnya dari sekian banyak wanita yang memuja-muja pria itu.

Namun, di balik kebahagiaan yang sering dia tunjukkan, Risa sebenarnya menyimpan luka yang begitu dalam karena ibu Rangga tidak pernah merestui pernikahan mereka. Kebencian ibu mertuanya semakin memuncak karena dia gagal memberi keluarga Wicaksana seorang pewaris.

"Udah, Mbak. Nggak usah didengerin ucapan tante Tanti. Lebih baik Mbak sekarang tidur." Nadia, adik tirinya, membenarkan letak selimut Risa.

Risa mencoba untuk memejamkan kedua matanya dan berharap kejadian yang dialaminya barusan hanya mimpi. Namun, rasa sakit itu terasa semakin nyata ketika dia menyadari jika sang buah hati sudah tidak ada di dunia ini lagi.

"Mbak nggak bisa tidur, Nad. Mbak terus kepikiran sama anak mbak ...," gumam Risa dengan suara gemetar karena menahan sesak yang begitu mengimpit dada. Dunianya seketika hancur karena buah hati yang dia kandung selama sembilan bulan telah tiada, tapi Nadia malah memutar bola mata.

Kenapa adik tirinya bersikap seperti itu? Apa Nadia tidak merasa simpati sedikit pun pada dirinya?

"Aku harus melihat pemakaman anakku." Risa memaksa turun dari ranjang, tapi Nadia buru-buru menahan.

"Apa Mbak sudah gila? Kalau Mbak memaksa keluar yang ada Mas Rangga nanti malah semakin marah. Sudah, Mbak di sini saja!"

Risa akhirnya menuruti ucapan Nadia untuk tetap di kamar padahal dia ingin sekali melihat sang anak untuk yang terakhir kalinya.

**

Risa melepas selang infus di tangannya dengan paksa. Dia ingin pulang karena tidak betah berada di rumah sakit padahal dokter belum mengizinkannya pulang. Dia berjalan mengendap-endap untuk menghindari wartawan yang sejak kemarin bertahan di rumah sakit demi mendapatkan berita tentang kematian anaknya.

Embusan napas lega sontak lolos dari bibir Risa ketika dia sudah berada di luar. Tanpa menunggu waktu lama dia bergegas menghentikan sebuah taksi untuk mengantarnya pulang.

Risa berjalan dengan gontai memasuki rumah. Dia ingin beristirahat sebentar sebelum pergi ke makam anaknya. Namun, kepala pelayan malah melarangnya masuk ke rumah.

"Kenapa kamu melarangku masuk?" Risa menatap kepala pelayan yang berdiri di hadapannya dengan lekat karena wanita paruh baya itu terlihat sangat cemas.

"Em, itu ...." Setitik keringat dingin keluar membasahi kening pelayan tersebut. "Pokoknya jangan, Non!"

Tingkah kepala pelayan tersebut sangat mencurigakan. Risa pun menerobos masuk ke dalam untuk mencari tahu apa yang sedang disembunyikan oleh kepala pelayan tersebut. Namun, rumahnya terlihat sepi.

Apa Rangga dan Nadia tidak ada di rumah?

Risa beranjak menuju kamarnya yang berada di lantai atas, tapi kepala pelayan lagi-lagi menahannya.

"Saya mohon jangan pergi ke atas, Non."

"Kenapa kamu terus melarang saya? Apa kamu mau saya laporin ke Mas Rangga?!" sengit Risa terdengar tegas.

"Ma-maaf, Non." Wanita paruh baya itu tertunduk dalam dan hanya bisa diam ketika Risa berjalan melewatinya.

"Le-lebih dalam, Mas. Iya, di situ ...." Tubuh Risa menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar suara desahan yang berasal dari dalam kamarnya.

Suara desahan itu terdengar semakin keras seiring dengan langkah kakinya yang semakin dekat dengan pintu kamar. Jantung Risa berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Dia menarik napas panjang lalu mengintip apa yang sedang terjadi di dalam lewat celah pintu yang tidak tertutup rapat.

Tubuh Risa menegang, darah di dalam tubuhnya seolah-olah berhenti mengalir. Dia bergeming, kaku melihat sang suami yang sedang asyik bergumul dengan adik tirinya.

"Kamu luar biasa. Dirimu jauh lebih baik daripada kakakmu."

Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Risa. Dia benar-benar tidak menyangka suami dan adik tirinya tega mengkhianatinya. Risa ingin cepat-cepat pergi meninggalkan tempat tersebut karena tidak tahan lagi melihat adegan hina itu di depan matanya sendiri.

"Sebenarnya Mas nggak perlu susah payah menyingkirkan anak Mas dan Mbak Risa." Kalimat yang terdengar di telinga Risa membuatnya urung meninggalkan tempat itu. Apa yang baru saja dia dengar tadi?

"Aku bisa melahirkan anak yang normal untuk Mas. Jadi, kenapa Mas sampai membunuh anak Mbak Risa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status