Share

Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu
Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu
Author: Aeris Park

1. Kenyataan Pahit

Author: Aeris Park
last update Last Updated: 2023-03-02 11:48:57

"Di mana anakku?" Mata Risa memicing tajam ketika sadar dan hanya menemukan dokter yang membantunya melahirkan sedang menunduk dalam. Firasatnya berkata buruk. Suara Risa meninggi akibat tak mendapat jawaban, "Aku tanya, DI MANA ANAKKU?"

"Maaf, Bu Risa. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi putri Ibu ...." Alis Risa menukik ke atas menantikan kata selanjutnya. Sementara sang dokter mengembuskan napas panjang sebelum melanjutkan. "Putri Ibu dinyatakan meninggal karena komplikasi jantung yang diakibatkan kelahiran prematur."

Risa bergeming, tubuhnya terasa seperti dipukul palu godam saat mendengar fakta tersebut. Dunianya seketika runtuh. Baru beberapa saat lalu dia mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan buah hatinya, tapi apa yang dia dapatkan sekarang? Ia bahkan belum sempat memberikan nama untuk putrinya.

Sirna sudah seluruh daftar keinginan yang dia tulis sejak mendapati dua garis biru di testpack beberapa bulan lalu. Memberi sang anak ASI, mengantar imunisasi, jalan-jalan sore di taman, membuatkan bekal sekolah, mengomeli ketika sang anak mulai berpacaran, hingga mendampinginya ketika dipinang seorang pria. Semuanya sekarang hanya tinggal mimpi. Rasa sesak berbondong-bondong merasuki dada calon ibu itu.

Risa mengusap kedua pipinya yang basah. "Aku ingin lihat anakku!" Wanita itu berusaha turun dari ranjang rumah sakit. Namun, sebuah tangan langsung menghentikan gerakannya.

"Jangan buat onar! Anakmu sudah mati! Untuk apa melihatnya lagi?!" Seorang pria tampan berbalut jas hitam dan kemeja putih terlihat menampakkan ekspresi marah yang mengerikan. Bentakan pria tersebut membuat Risa terdiam. "Kamu sudah gagal melahirkan bayi yang sehat dan sekarang malah bikin malu dengan bersikap histeris. Apa kamu lupa kalau aku punya reputasi yang harus dilindungi?!" Sembari merapikan jasnya, pria itu berkata, "Ada begitu banyak wartawan yang menunggu di depan rumah sakit, mungkin ada beberapa yang berhasil masuk dan berkeliaran di sekitar ruangan ini. Jadi, diam di sini dan jangan banyak tingkah!"

Sulit Risa percaya alih-alih menunjukkan kesedihan atas kematian anak pertama mereka, Rangga malah lebih mementingkan reputasinya sebagai salah satu pebisnis terkaya di Nusantara. Tidak sedikit pun simpati ditunjukkan oleh suaminya itu melainkan cacian dan hinaan atas ketidakmampuannya untuk mencegah hal semacam ini terjadi.

Ke mana perginya Rangga yang begitu lembut dan mencintainya? Apakah pria itu hanya ilusi belaka?

"Lihat ‘kan, Rangga?! Ini akibatnya kalau kamu menikah dengan wanita dari keluarga tidak jelas!" Makian dari sang ibu mertua yang sedari dulu menentang pernikahannya dan sang suami pun tidak bisa dihindari. "Coba dulu kamu dengerin Ibu untuk menikah dengan putri Keluarga Hendrarto yang terkenal itu, pasti hasilnya beda! Jaga kehamilan aja nggak bisa! Nggak becus jadi istri dan nggak becus jadi ibu!"

Mengingat semua hal itu, air mata Risa luruh. Pernikahannya disebut semua orang sebagai dongeng Cinderella di dunia nyata. Seorang wanita biasa yang menikah dengan pria luar biasa. Hidupnya terasa begitu sempurna karena Rangga memilihnya dari sekian banyak wanita yang memuja-muja pria itu.

Namun, di balik kebahagiaan yang sering dia tunjukkan, Risa sebenarnya menyimpan luka yang begitu dalam karena ibu Rangga tidak pernah merestui pernikahan mereka. Kebencian ibu mertuanya semakin memuncak karena dia gagal memberi keluarga Wicaksana seorang pewaris.

"Udah, Mbak. Nggak usah didengerin ucapan tante Tanti. Lebih baik Mbak sekarang tidur." Nadia, adik tirinya, membenarkan letak selimut Risa.

Risa mencoba untuk memejamkan kedua matanya dan berharap kejadian yang dialaminya barusan hanya mimpi. Namun, rasa sakit itu terasa semakin nyata ketika dia menyadari jika sang buah hati sudah tidak ada di dunia ini lagi.

"Mbak nggak bisa tidur, Nad. Mbak terus kepikiran sama anak mbak ...," gumam Risa dengan suara gemetar karena menahan sesak yang begitu mengimpit dada. Dunianya seketika hancur karena buah hati yang dia kandung selama sembilan bulan telah tiada, tapi Nadia malah memutar bola mata.

Kenapa adik tirinya bersikap seperti itu? Apa Nadia tidak merasa simpati sedikit pun pada dirinya?

"Aku harus melihat pemakaman anakku." Risa memaksa turun dari ranjang, tapi Nadia buru-buru menahan.

"Apa Mbak sudah gila? Kalau Mbak memaksa keluar yang ada Mas Rangga nanti malah semakin marah. Sudah, Mbak di sini saja!"

Risa akhirnya menuruti ucapan Nadia untuk tetap di kamar padahal dia ingin sekali melihat sang anak untuk yang terakhir kalinya.

**

Risa melepas selang infus di tangannya dengan paksa. Dia ingin pulang karena tidak betah berada di rumah sakit padahal dokter belum mengizinkannya pulang. Dia berjalan mengendap-endap untuk menghindari wartawan yang sejak kemarin bertahan di rumah sakit demi mendapatkan berita tentang kematian anaknya.

Embusan napas lega sontak lolos dari bibir Risa ketika dia sudah berada di luar. Tanpa menunggu waktu lama dia bergegas menghentikan sebuah taksi untuk mengantarnya pulang.

Risa berjalan dengan gontai memasuki rumah. Dia ingin beristirahat sebentar sebelum pergi ke makam anaknya. Namun, kepala pelayan malah melarangnya masuk ke rumah.

"Kenapa kamu melarangku masuk?" Risa menatap kepala pelayan yang berdiri di hadapannya dengan lekat karena wanita paruh baya itu terlihat sangat cemas.

"Em, itu ...." Setitik keringat dingin keluar membasahi kening pelayan tersebut. "Pokoknya jangan, Non!"

Tingkah kepala pelayan tersebut sangat mencurigakan. Risa pun menerobos masuk ke dalam untuk mencari tahu apa yang sedang disembunyikan oleh kepala pelayan tersebut. Namun, rumahnya terlihat sepi.

Apa Rangga dan Nadia tidak ada di rumah?

Risa beranjak menuju kamarnya yang berada di lantai atas, tapi kepala pelayan lagi-lagi menahannya.

"Saya mohon jangan pergi ke atas, Non."

"Kenapa kamu terus melarang saya? Apa kamu mau saya laporin ke Mas Rangga?!" sengit Risa terdengar tegas.

"Ma-maaf, Non." Wanita paruh baya itu tertunduk dalam dan hanya bisa diam ketika Risa berjalan melewatinya.

"Le-lebih dalam, Mas. Iya, di situ ...." Tubuh Risa menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar suara desahan yang berasal dari dalam kamarnya.

Suara desahan itu terdengar semakin keras seiring dengan langkah kakinya yang semakin dekat dengan pintu kamar. Jantung Risa berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Dia menarik napas panjang lalu mengintip apa yang sedang terjadi di dalam lewat celah pintu yang tidak tertutup rapat.

Tubuh Risa menegang, darah di dalam tubuhnya seolah-olah berhenti mengalir. Dia bergeming, kaku melihat sang suami yang sedang asyik bergumul dengan adik tirinya.

"Kamu luar biasa. Dirimu jauh lebih baik daripada kakakmu."

Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Risa. Dia benar-benar tidak menyangka suami dan adik tirinya tega mengkhianatinya. Risa ingin cepat-cepat pergi meninggalkan tempat tersebut karena tidak tahan lagi melihat adegan hina itu di depan matanya sendiri.

"Sebenarnya Mas nggak perlu susah payah menyingkirkan anak Mas dan Mbak Risa." Kalimat yang terdengar di telinga Risa membuatnya urung meninggalkan tempat itu. Apa yang baru saja dia dengar tadi?

"Aku bisa melahirkan anak yang normal untuk Mas. Jadi, kenapa Mas sampai membunuh anak Mbak Risa?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu   38. Bukan Adegan Romantis

    Risa belum pernah bernapas selega ini setelah mengalami kejadian buruk yang nyaris merenggut nyawanya beberapa bulan lalu. Setelah berusaha keras membujuk Pratama, akhirnya dia berhasil meyakinkan pemuda yang pernah menjadi kaki tangan Rangga itu untuk mengakui semua kejahatannya dan menyerahkan diri ke polisi.Keadilan yang selama ini dia dan Dikta harapkan perlahan-lahan mulai menemui titik terang. Risa yakin sekali Rangga dan adik tirinya yang jahat itu akan mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan mereka, dan nama Dikta akan kembali baik seperti semula."Terima kasih banyak, Pratama. Aku tidak akan pernah melupakan semua kebaikan dan pengorbananmu." Risa tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Pratama.Pratama hanya bisa menundukkan kepala dalam diam. Dia seperti memakan buah simalakama jika menuruti permintaan Risa atau pun Rangga. Semua tidak ada yang menguntungkan.Akan tetapi satu hal yang jelas, Pratama merasa sangat menyesal sudah menuruti perintah Rangga unt

  • Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu   37. Permintaan Risa

    Keenam orang itu berkumpul di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang berukuran tidak terlalu besar. Suasana di dalam pun terasa sangat menegangkan.Pratama duduk di sebuah kursi panjang dengan tangan dan kaki yang terikat. Di samping kanan dan kirinya ada Dikta dan Zean yang terlihat siaga, berjaga-jaga agar dia tidak kabur lagi dari mereka.Sedangkan Risa berusaha menenangkan satu-satunya wanita paruh baya yang ada di sana."Ini ada apa sebenarnya? Kenapa anak saya ditangkap?" Mutia—ibu Pratama menatap Risa dengan penuh tanda tanya. Dia merasa sangat terkejut melihat Risa, Dikta, dan Zean tiba-tiba datang ke rumahnya lalu menangkap Pratama."Ibu, yang tenang, ya. Anak Ibu sudah melakukan kesalahan, dan tujuan kami datang ke sini untuk meminta pertanggung jawaban," jelas Risa pelan-pelan."Anak saya salah apa? Kenapa tangan dan kakinya sampai diikat?"Risa tersenyum sendu, dia bisa melihat dengan jelas jika Mutia sangat menyayangi Pratama dan percaya jika Pratama adalah anak yang sang

  • Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu   36. Found Him

    Dua bilah bibir itu tanpa sadar terus tersenyum, kedua tangan mereka pun masih saling bertaut. Risa tidak bisa berhenti tersenyum mengingat ekspresi konyol Rangga, begitu pula dengan Dikta.Dia tidak pernah menyangka bisa mengatakan hal sekonyol itu pada Rangga padahal dia biasanya irit bicara. Dikta hanya ingin memberi Rangga sedikit pelajaran agar berhenti mengganggu Risa.Tidak lama kemudian Dikta dan Risa sudah tiba di restoran. Mereka memang ingin sarapan bersama sebelum pergi mencari Pratama."Apa tanganmu masih sakit?" Risa tersentak, jantungnya seketika berdetak dua kali lebih cepat ketika sadar kalau Dikta sejak tadi menggenggam tangannya. Dokter muda itu bahkan mengusap pergelangan tangannya yang memerah dengan sangat lembut seolah-olah tidak ingin dia terluka."Em, agak sakit sedikit, sih. Tapi gak papa." Risa melepas tangannya dari genggaman Dikta dengan hati-hati. Dia takut mati muda jika Dikta terus menggenggam tangannya karena jantungnya sejak tadi berdetak tidak karua

  • Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu   35. Janji Lain

    Risa hari ini bangun pagi sekali, bahkan sebelum matahari terbit. Dia terbangun tepat jam empat lebih lima belas menit, setelah itu tidak bisa tidur lagi.Akhirnya Risa memutuskan untuk memeriksa keembali jadwal Rangga hari ini. Setelah sarapan, mantan suami sekaligus bos-nya yang menyebalkan itu ingin pergi ke Pulau Komodo dan menghabiskan waktu sampai sore.Malam harinya Rangga harus menghadiri pesta kecil-kecilan untuk merayakan kerja sama dengan perusahaan milik kliennya.Sebelum pergi ke Labuan Bajo, Rangga sering sekali mengingatkan dirinya agar ikut ke mana pun pria itu pergi. Akan tetapi dia sudah mempunyai janji lain hari ini, dia ingin mencari keberadaan Pratama bersama Dikta.Ah, memikirkan Dikta membuat jantung Risa tiba-tiba berdebar, wajah pun terasa panas. Meski mereka baru beberapa bulan ini saling mengenal, Risa bisa merasakan kalau Dikta sebenarnya pria yang sangat baik meskipun ucapannya terkadang menyebalkan.Tanpa banyak kata Dikta menenangkan dirinya yang terpuku

  • Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu   34. Tentang Rasa

    "Kenapa Dokter makasa, sih? Aku bisa balik ke kamarku sendiri kok.""Jangan banyak protes. Aku akan tetap mengantarmu sampai ke kamar.""Gess...." Risa memutar bola mata malas. Mau tidak mau akhirnya dia membiarkan Dikta mengantarnya kembali ke kamar.Suasana begitu hening. Tidak ada yang membuka suara di antara mereka. Dikta memilih berjalan di belakang Risa alih-alih di samping wanita itu. Dia hanya ingin memastikan jika Risa tiba di kamarnya dengan selamat. Apa lagi hari sudah malam.Risa membetulkan jas milik Dikta yang dipakainya untuk menghalau hawa dingin yang menyergap tubuhnya. Aroma laut berpadu dengan kayu manis yang menguar dari jas Dikta tercium jelas di indra penciumannya.Aromanya sangat menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar. Entah mengapa Risa merasa nyaman berada di dekat Dikta. Rasanya dia sudah lama sekali tidak merasakan kenyamanan ini dan jujur saja dia merasa senang ditemani Dikta meskipun dia tadi sempat menolak.Tubuh Risa menegang, dia sontak berhe

  • Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu   33. Terima Kasih, Dokter

    Risa mengerjapkan kedua matanya berkali-kali untuk memastikan jika pria tampan yang berdiri tepat di hadapannya adalah Dikta."Kenapa Dokter bisa ada di sini?"Kening Dikta berkerut dalam, sepertinya Risa lupa kalau dia yang membawa wanita ke kamarnya."Ini kamarku, Brialla. Tentu saja aku ada di sini.""Kamar Dokter?" Kini giliran Risa yang bingung, pantas saja kamar ini terlihat sangat berbeda dengan kamar yang Rangga pesan untuknya. Ternyata kamar ini milik Dikta."Iya, ini kamarku." Dikta menegaskan."Terus, kenapa aku bisa ada di sini?"Alis Dikta terangkat sebelah. Kenapa Risa bertanya seperti itu pada dirinya? Apa Risa lupa kalau beberapa jam yang lalu dia menangis tersedu-sedu hingga membuatnya terpaksa membawa wanita itu ke kamarnya?"Apa kamu sempat minum tadi?""Minum?" Kedua alis Risa menyatu. "Aku tidak minum apa pun. Kenapa Dokter bertanya seperti itu? Apa Dokter pikir aku mabuk?"Dikta menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang iris hitam miliknya menatap Risa

  • Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu   32. Untung Ada Dokter

    Risa ingin mencari Pratama sebelum pria itu pergi terlalu jauh. Namun, Dikta malah mencekal pergelangan tangannya."Ada apa, Brialla? Kenapa kamu terlihat panik sekali? Apa terjadi sesuatu?" Dikta menatap Risa khawatir. Dia tidak tahu mengapa Risa terlihat sepanik ini."Dokter ...." Risa menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Air mata terlihat menggenang di kedua pelupuk matanya. Suaranya pun terdengar bergetar."Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Dikta lagi sambil meraih kedua bahu Risa agar menghadapnya. Kekhawatiran terpancar jelas dari sepasang iris hitam miliknya ketika menatap Risa.Risa tidak mampu lagi menahan air matanya. Dia biarkan saja kristal bening itu jatuh membasahi pipinya untuk meluapkan kekecewaan dan rasa sakit yang saat ini sedang dia rasakan.Dikta semakin panik melihat Risa yang tiba-tiba menangis. Rasanya dia ingin sekali menarik tubuh Risa ke dalam dekapan dan mengatakan kalau semuanya pasti akan baik-baik saja agar perasaan wanita itu mejadi lebih t

  • Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu   31. Pembunuh

    Risa bergegas menghampiri pria asing itu lantas berdiri tepat di hadapannya. Sepasang matanya yang bulat sibuk memperhatikan pria itu dari atas sampai bawah.Potongan rambut, wajah, dan bentuk tubuh pria itu terlihat tidak asing di matanya. Risa merasa pernah melihat pria ini sebelumnya. Dan matanya yang sipit mengingatkan Risa dengan—Deg,Tubuh Risa tiba-tiba menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat, wajahnya pun terlihat sedikit pucat. Tanpa sadar kedua tangannya mencengkeram pinggiran rok yang dipakainya dengan erat karena kejadian buruk yang dialaminya beberapa bulan yang lalu kembali melintas di ingatan.Risa masih ingat dengan jelas wajah pengemudi sedan hitam yang menabrak mobilnya hingga masuk ke dalam jurang dan meledak.Pengemudi itu ada di hadapannya sekarang.Dia ... Pratama. Kaki tangan sekaligus orang kepercayaan Rangga."Maaf."Risa tergagap ketika mendengar suara Pratama. Dia berusaha keras agar tetap terlihat tenang meskipun dia sekaran

  • Kau Hancurkan Wajahku Kuhancurkan Hidupmu   30. Pria Asing

    Tidak ada yang membuka suara selama di perjalanan. Risa terlalu merasa canggung untuk mengajak Dikta bicara. Sejak tadi yang dia lakukan hanya diam sambil memandangi jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya.Risa baru pertama kali ini menaiki mobil Dikta. Mercedes Benz AMG G65 ini merupakan mobil mewah berjenis suv yang memiliki harga sekitar 4,2 miliar. Melihat rumah, kendaraan, dan barang-barang mewah yang dipakai Dikta membuat Risa sadar kalau Dikta bukanlah orang sembarang.Akan tetapi mengapa Dikta tidak bisa melawan Rangga? Apa mungkin ada seseorang yang diam-diam membantu mantan suaminya itu?Risa tanpa sadar mengembuskan napas panjang. Sepertinya dia akan mengalami sedikit kesulitan untuk melawan Rangga jika ada orang penting yang berdiri di belakang pria itu. Akan tetapi dia sudah berjanji akan memulihkan nama baik Dikta karena dokter muda itu sudah mau memperbaiki wajahnya."Sudah berjalanan sejauh mana rencanamu?""Dokter tanya apa?" Risa tersentak ketika mendengar s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status