"Mas, jangan berhenti ...."
"Kamu benar-benar luar biasa, Nad. Selain cantik kamu selalu bisa memuaskanku."
Risa menutup kedua telinganya erat-erat karena suara desahan Rangga dan Nadia terus terdengar di telinganya. Padahal luka di dalam hatinya masih belum sembuh akibat kematian sang buah hati, tapi suaminya malah asyik selingkuh dengan adik tirinya sendiri. Mereka bahkan tidak malu lagi menunjukkan kemesraan di depan matanya.
Apa Rangga dan Nadia tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya?
"Agh ...!" Risa menjerit sekencang-kencangnya untuk meluapkan kesedihannya. Rumah yang dulu terasa nyaman sekarang terasa seperti neraka baginya. Dia tidak betah. Rasanya dia ingin sekali keluar dari rumah ini dan menjauh dari kehidupan Rangga dan Nadia selamanya.
Setelah perasaannya agak tenang, Risa memutuskan untuk menemui Rangga dan Nadia yang sedang menikmati makan malam karena ada hal penting yang ingin dia katakan pada suaminya. Namun, dia sontak berhenti melangkah ketika mendengar suara Nadia.
"Mas, aku pengin tas baru. Tapi harganya lumayan mahal. Tolong beliin ya, Mas?"
"Iya, Sayang. Apa pun yang kamu mau aku pasti akan membelikannya."
Nadia tersenyum senang. "Makasih banyak ya, Mas. Nadia sayang banget sama Mas."
"Aku juga sayang sama kamu. Jangan lupa pakai lingerie yang aku belikan nanti malam." Rangga mengedipkan sebelah matanya hingga membuat pipi Nadia bersemu merah.
Risa mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menghalau sesak yang mengimpit di dalam dadanya mendengar pembicaraan antara Rangga dan Nadia di meja makan. Dirinya benar-benar seorang istri yang tidak dianggap oleh Rangga.
Kenapa Rangga tidak menceraikannya saja?
Rangga sontak berhenti makan ketika Risa tiba-tiba datang lalu duduk di samping Nadia.
Nadia juga membanting sendoknya melihat Risa berada di sampingnya. "Kenapa Mbak Risa ke sini, sih? Bikin nggak nafsu makan aja!"
Risa tersenyum miris. Nadia benar-benar wanita sinting, dia tidak merasa bersalah sedikit pun sudah menghancurkan rumah tangganya dengan Rangga. Padahal dia sudah menganggap gadis itu seperti adik kandungnya sendiri. "Mbak tidak punya urusan sama kamu, tapi sama Mas Rangga."
Rangga menatap Risa dengan alis terangkat sebelah, seolah-olah menyuruh wanita itu untuk mengatakan tujuannya datang menemuinya.
Jantung Risa berdegup kencang, telapak tangannya pun terasa sangat dingin dan basah. Dia menarik napas panjang agar perasaannya menjadi lebih tenang lalu memberanikan diri menatap Rangga. "Aku ingin pergi dari rumah ini, Mas."
"Apa? Pergi?" Rangga terhenyak mendengar ucapan Risa barusan, begitu pula dengan Nadia. Mereka terkejut mendengar permintaan Risa.
"Iya," jawab Risa mantap. Tidak ada keraguan yang terpancar di kedua sorot matanya. Risa benar-benar serius ingin pergi. Dia bisa gila jika terus-terusan tinggal satu atap dengan Rangga dan Nadia.
"Aku bersumpah tidak akan membeberkan rahasia Mas ke media. Tapi, aku mohon ...." Risa kembali menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Izinkan aku pergi dari rumah ini."
Risa menatap Rangga dengan penuh harap. Namun, suaminya itu malah diam. Apa Rangga tidak mau mengabulkan permintaannya?
"Baiklah, aku izinkan kamu keluar dari rumah ini."
Risa tersentak. Kedua matanya menatap Rangga dengan tidak percaya. Risa benar-benar tidak menyangka Rangga mengizinkannya pergi dari rumah dengan mudah. Pria itu bahkan menyediakan sebuah vila untuknya.
"Tapi ada syaratnya." Rangga menatap Risa tajam. "Kamu tidak boleh keluar dari vila kecuali saat aku membutuhkanmu untuk keperluan bisnis."
Risa dengan cepat mengangguk. Dia merasa sangat lega karena sebentar lagi akan terbebas dari neraka yang diciptakan oleh suami dan adik tirinya.
"Aku akan bersiap-siap sekarang." Risa cepat-cepat beranjak ke kamar untuk berkemas. Tanpa dia sadari Rangga dan Nadia saling tatap lalu tersenyum licik satu sama lain.
**
"Akhirnya aku keluar dari rumah ini. Aku tidak akan mendengar desahan Mas Rangga dan Nadia lagi. Terima kasih banyak, Tuhan."
Risa memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper dengan asal. Risa benar-benar sudah tidak sabar ingin pergi dari rumah yang sudah dia tinggali selama satu tahun lebih bersama Rangga. Sebelum pergi, dia menyempatkan diri untuk masuk ke dalam kamar kosong yang berada tepat di sebelah kamar utama.
Tanpa sadar air matanya menetes ketika melihat kamar yang didominasi cat berwarna biru muda tersebut. Kamar ini sengaja disiapkan untuk calon buah hatinya dan Rangga jika sudah lahir ke dunia. Namun, sekarang kamar ini kosong dan dibiarkan berdebu begitu saja.
"Mobil Mbak sudah siap!"
Risa cepat-cepat menghapus air matanya lalu berbalik menatap Nadia yang berdiri tepat di belakangnya. Rasa kecewa begitu besar di hati Risa terhadap Nadia. Begitu tega Nadia menusuknya dari belakang.
"Apa kamu puas sudah menghancurkan hidup mbak, Nad?"
"Ya, aku puas sekali," jawab Nadia tanpa merasa bersalah sedikit pun karena tujuannya datang ke rumah Rangga memang untuk menghancurkan pernikahan Risa.
Risa tersenyum miris. "Jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai nasibmu sama seperti mbak." Risa menepuk bahu Nadia sekilas lalu menyeret kopernya keluar.
Risa mengendarai mobilnya dengan tenang meskipun di luar sedang hujan deras. Perasaan lega mulai menyeruak di hatinya Risa, seperti seekor burung yang lepas dari sangkarnya. Namun, perasaan lega yang baru Risa rasakan berubah menjadi rasa curiga ketika melihat kaca spion mobilnya. Entah mengapa dia merasa sedan hitam yang ada di belakangnya sejak tadi terus mengikutinya. Risa pun menambah kecepatan mobilnya, tetapi sedan hitam itu pun melakukan hal yang sama. Mobil sedan hitam itu benar-benar mengikutinya!
Risa kembali menambah kecepatan mobilnya ketika sedan hitam itu terus mengejarnya. Gila! Risa mengenal seseorang di dalam mobil itu. Seharusnya Risa mengerti, tidak mungkin suaminya yang jahat itu begitu baik mengizinkannya pergi dari rumah. Rangga pasti berencana untuk melenyapkannya saat ini.
"Sial!" Risa memukul setir dengan cukup keras untuk melampiaskan kekesalannya. Jalanan yang dilaluinya juga sangat sepi. Dia harus menemukan tempat yang ramai agar bisa menyelamatkan diri.
Sialnya sedan hitam itu tiba-tiba menyerempet mobilnya hingga menimbulkan bunyi gesekan yang cukup keras. Meski panik dia berusaha keras mengendalikan mobilnya agar tidak oleng.
"Aku harus selamat. Aku harus selamat ...," gumam Risa dengan suara gemetar karena sedan hitam itu terus menyerempet mobilnya.
Brak!
Risa tersentak, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak ketika sedan hitam tersebut menabrak mobilnya dengan cukup keras. Risa tidak bisa lagi mengendalikan laju mobilnya hingga menabrak pagar pembatas jalan dengan cukup keras. Mobil yang dikendarai Risa terjun ke dalam jurang. Risa memejamkan kedua matanya erat-erat. Dia pasrah jika hari ini menjadi hari terakhirnya berada di dunia.
Lelaki yang berada di dalam sedan hitam tersebut juga berusaha keras mengendalikan mobilnya agar tidak ikut jatuh ke jurang. Setelah itu, dia menepikan mobilnya di pinggir jalan lalu turun mengamati mobil yang terjun bebas ke jurang di bawah sana.
Senyum puas menghiasi bibir lelaki itu setelah melihat mobil yang Risa tumpangi meledak lalu hangus terbakar. Lelaki itu pun kembali masuk ke dalam mobil lalu mengambil ponsel di dashboard mobil, mencari kontak yang dia tuju dan meneleponnya sampai seseorang di sana menerima panggilan teleponnya.
"Misi berhasil, Tuan Rangga."
Risa belum pernah bernapas selega ini setelah mengalami kejadian buruk yang nyaris merenggut nyawanya beberapa bulan lalu. Setelah berusaha keras membujuk Pratama, akhirnya dia berhasil meyakinkan pemuda yang pernah menjadi kaki tangan Rangga itu untuk mengakui semua kejahatannya dan menyerahkan diri ke polisi.Keadilan yang selama ini dia dan Dikta harapkan perlahan-lahan mulai menemui titik terang. Risa yakin sekali Rangga dan adik tirinya yang jahat itu akan mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan mereka, dan nama Dikta akan kembali baik seperti semula."Terima kasih banyak, Pratama. Aku tidak akan pernah melupakan semua kebaikan dan pengorbananmu." Risa tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Pratama.Pratama hanya bisa menundukkan kepala dalam diam. Dia seperti memakan buah simalakama jika menuruti permintaan Risa atau pun Rangga. Semua tidak ada yang menguntungkan.Akan tetapi satu hal yang jelas, Pratama merasa sangat menyesal sudah menuruti perintah Rangga unt
Keenam orang itu berkumpul di ruang tamu sebuah rumah sederhana yang berukuran tidak terlalu besar. Suasana di dalam pun terasa sangat menegangkan.Pratama duduk di sebuah kursi panjang dengan tangan dan kaki yang terikat. Di samping kanan dan kirinya ada Dikta dan Zean yang terlihat siaga, berjaga-jaga agar dia tidak kabur lagi dari mereka.Sedangkan Risa berusaha menenangkan satu-satunya wanita paruh baya yang ada di sana."Ini ada apa sebenarnya? Kenapa anak saya ditangkap?" Mutia—ibu Pratama menatap Risa dengan penuh tanda tanya. Dia merasa sangat terkejut melihat Risa, Dikta, dan Zean tiba-tiba datang ke rumahnya lalu menangkap Pratama."Ibu, yang tenang, ya. Anak Ibu sudah melakukan kesalahan, dan tujuan kami datang ke sini untuk meminta pertanggung jawaban," jelas Risa pelan-pelan."Anak saya salah apa? Kenapa tangan dan kakinya sampai diikat?"Risa tersenyum sendu, dia bisa melihat dengan jelas jika Mutia sangat menyayangi Pratama dan percaya jika Pratama adalah anak yang sang
Dua bilah bibir itu tanpa sadar terus tersenyum, kedua tangan mereka pun masih saling bertaut. Risa tidak bisa berhenti tersenyum mengingat ekspresi konyol Rangga, begitu pula dengan Dikta.Dia tidak pernah menyangka bisa mengatakan hal sekonyol itu pada Rangga padahal dia biasanya irit bicara. Dikta hanya ingin memberi Rangga sedikit pelajaran agar berhenti mengganggu Risa.Tidak lama kemudian Dikta dan Risa sudah tiba di restoran. Mereka memang ingin sarapan bersama sebelum pergi mencari Pratama."Apa tanganmu masih sakit?" Risa tersentak, jantungnya seketika berdetak dua kali lebih cepat ketika sadar kalau Dikta sejak tadi menggenggam tangannya. Dokter muda itu bahkan mengusap pergelangan tangannya yang memerah dengan sangat lembut seolah-olah tidak ingin dia terluka."Em, agak sakit sedikit, sih. Tapi gak papa." Risa melepas tangannya dari genggaman Dikta dengan hati-hati. Dia takut mati muda jika Dikta terus menggenggam tangannya karena jantungnya sejak tadi berdetak tidak karua
Risa hari ini bangun pagi sekali, bahkan sebelum matahari terbit. Dia terbangun tepat jam empat lebih lima belas menit, setelah itu tidak bisa tidur lagi.Akhirnya Risa memutuskan untuk memeriksa keembali jadwal Rangga hari ini. Setelah sarapan, mantan suami sekaligus bos-nya yang menyebalkan itu ingin pergi ke Pulau Komodo dan menghabiskan waktu sampai sore.Malam harinya Rangga harus menghadiri pesta kecil-kecilan untuk merayakan kerja sama dengan perusahaan milik kliennya.Sebelum pergi ke Labuan Bajo, Rangga sering sekali mengingatkan dirinya agar ikut ke mana pun pria itu pergi. Akan tetapi dia sudah mempunyai janji lain hari ini, dia ingin mencari keberadaan Pratama bersama Dikta.Ah, memikirkan Dikta membuat jantung Risa tiba-tiba berdebar, wajah pun terasa panas. Meski mereka baru beberapa bulan ini saling mengenal, Risa bisa merasakan kalau Dikta sebenarnya pria yang sangat baik meskipun ucapannya terkadang menyebalkan.Tanpa banyak kata Dikta menenangkan dirinya yang terpuku
"Kenapa Dokter makasa, sih? Aku bisa balik ke kamarku sendiri kok.""Jangan banyak protes. Aku akan tetap mengantarmu sampai ke kamar.""Gess...." Risa memutar bola mata malas. Mau tidak mau akhirnya dia membiarkan Dikta mengantarnya kembali ke kamar.Suasana begitu hening. Tidak ada yang membuka suara di antara mereka. Dikta memilih berjalan di belakang Risa alih-alih di samping wanita itu. Dia hanya ingin memastikan jika Risa tiba di kamarnya dengan selamat. Apa lagi hari sudah malam.Risa membetulkan jas milik Dikta yang dipakainya untuk menghalau hawa dingin yang menyergap tubuhnya. Aroma laut berpadu dengan kayu manis yang menguar dari jas Dikta tercium jelas di indra penciumannya.Aromanya sangat menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar. Entah mengapa Risa merasa nyaman berada di dekat Dikta. Rasanya dia sudah lama sekali tidak merasakan kenyamanan ini dan jujur saja dia merasa senang ditemani Dikta meskipun dia tadi sempat menolak.Tubuh Risa menegang, dia sontak berhe
Risa mengerjapkan kedua matanya berkali-kali untuk memastikan jika pria tampan yang berdiri tepat di hadapannya adalah Dikta."Kenapa Dokter bisa ada di sini?"Kening Dikta berkerut dalam, sepertinya Risa lupa kalau dia yang membawa wanita ke kamarnya."Ini kamarku, Brialla. Tentu saja aku ada di sini.""Kamar Dokter?" Kini giliran Risa yang bingung, pantas saja kamar ini terlihat sangat berbeda dengan kamar yang Rangga pesan untuknya. Ternyata kamar ini milik Dikta."Iya, ini kamarku." Dikta menegaskan."Terus, kenapa aku bisa ada di sini?"Alis Dikta terangkat sebelah. Kenapa Risa bertanya seperti itu pada dirinya? Apa Risa lupa kalau beberapa jam yang lalu dia menangis tersedu-sedu hingga membuatnya terpaksa membawa wanita itu ke kamarnya?"Apa kamu sempat minum tadi?""Minum?" Kedua alis Risa menyatu. "Aku tidak minum apa pun. Kenapa Dokter bertanya seperti itu? Apa Dokter pikir aku mabuk?"Dikta menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang iris hitam miliknya menatap Risa
Risa ingin mencari Pratama sebelum pria itu pergi terlalu jauh. Namun, Dikta malah mencekal pergelangan tangannya."Ada apa, Brialla? Kenapa kamu terlihat panik sekali? Apa terjadi sesuatu?" Dikta menatap Risa khawatir. Dia tidak tahu mengapa Risa terlihat sepanik ini."Dokter ...." Risa menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Air mata terlihat menggenang di kedua pelupuk matanya. Suaranya pun terdengar bergetar."Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Dikta lagi sambil meraih kedua bahu Risa agar menghadapnya. Kekhawatiran terpancar jelas dari sepasang iris hitam miliknya ketika menatap Risa.Risa tidak mampu lagi menahan air matanya. Dia biarkan saja kristal bening itu jatuh membasahi pipinya untuk meluapkan kekecewaan dan rasa sakit yang saat ini sedang dia rasakan.Dikta semakin panik melihat Risa yang tiba-tiba menangis. Rasanya dia ingin sekali menarik tubuh Risa ke dalam dekapan dan mengatakan kalau semuanya pasti akan baik-baik saja agar perasaan wanita itu mejadi lebih t
Risa bergegas menghampiri pria asing itu lantas berdiri tepat di hadapannya. Sepasang matanya yang bulat sibuk memperhatikan pria itu dari atas sampai bawah.Potongan rambut, wajah, dan bentuk tubuh pria itu terlihat tidak asing di matanya. Risa merasa pernah melihat pria ini sebelumnya. Dan matanya yang sipit mengingatkan Risa dengan—Deg,Tubuh Risa tiba-tiba menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat, wajahnya pun terlihat sedikit pucat. Tanpa sadar kedua tangannya mencengkeram pinggiran rok yang dipakainya dengan erat karena kejadian buruk yang dialaminya beberapa bulan yang lalu kembali melintas di ingatan.Risa masih ingat dengan jelas wajah pengemudi sedan hitam yang menabrak mobilnya hingga masuk ke dalam jurang dan meledak.Pengemudi itu ada di hadapannya sekarang.Dia ... Pratama. Kaki tangan sekaligus orang kepercayaan Rangga."Maaf."Risa tergagap ketika mendengar suara Pratama. Dia berusaha keras agar tetap terlihat tenang meskipun dia sekaran
Tidak ada yang membuka suara selama di perjalanan. Risa terlalu merasa canggung untuk mengajak Dikta bicara. Sejak tadi yang dia lakukan hanya diam sambil memandangi jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya.Risa baru pertama kali ini menaiki mobil Dikta. Mercedes Benz AMG G65 ini merupakan mobil mewah berjenis suv yang memiliki harga sekitar 4,2 miliar. Melihat rumah, kendaraan, dan barang-barang mewah yang dipakai Dikta membuat Risa sadar kalau Dikta bukanlah orang sembarang.Akan tetapi mengapa Dikta tidak bisa melawan Rangga? Apa mungkin ada seseorang yang diam-diam membantu mantan suaminya itu?Risa tanpa sadar mengembuskan napas panjang. Sepertinya dia akan mengalami sedikit kesulitan untuk melawan Rangga jika ada orang penting yang berdiri di belakang pria itu. Akan tetapi dia sudah berjanji akan memulihkan nama baik Dikta karena dokter muda itu sudah mau memperbaiki wajahnya."Sudah berjalanan sejauh mana rencanamu?""Dokter tanya apa?" Risa tersentak ketika mendengar s