LOGIN
Hujan turun tipis sejak pagi, membasahi atap-atap Jakarta yang letih. Genangan kecil mulai terbentuk di tepian trotoar, dan langit kelabu seolah sedang berkabung atas sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Liora menatap layar laptopnya tanpa fokus, jari-jarinya mengetuk meja pelan, menciptakan irama tanpa nada. Di balik kacamatanya, mata itu terlihat lelah. Bukan karena pekerjaan, tapi karena kenyataan yang terus memaksanya bangun dan pura-pura baik-baik saja.
“Liora, revisi proposalnya udah kamu kirim ke divisi hukum?” Suara Pak Adrian, atasannya, membuyarkan lamunannya. Liora cepat-cepat menutup jendela email yang belum sempat diketik apa pun dan mengangguk kecil. “Sudah, Pak. Tadi pagi.” “Bagus. Kita nggak boleh kecolongan, klien ini bisa jadi proyek besar,” ujarnya sambil berlalu. Liora menarik napas panjang. Ia terbiasa dengan itu tekanan kantor, deadline yang mepet, rekan kerja yang kompetitif. Tapi ada yang berbeda pagi ini. Perutnya seperti diikat dari dalam. Kepalanya tegang. Bukan karena pekerjaan, tapi karena kabar dari bagian partner. Divisi hukum akan bekerja sama dengan perusahaan teknologi besar yang baru merger. Dan salah satu pemegang saham utamanya adalah Rayden. Rayden. Nama itu seperti luka lama yang belum sempat dijahit. Terbuka setiap kali disebut. Terbakar setiap kali muncul di benak. Sudah empat tahun berlalu sejak pria itu meninggalkannya. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Hanya sebuah pesan: “Maaf, aku memilih jalan yang berbeda.” Setelah itu, sunyi. Rayden berhubungan dengan wanita dari keluarga konglomerat. Foto-foto bahagia mereka tersebar di media. Dan Lior hanya bisa melihat dari layar hp nya. “Loh nggak bisa lari selamanya, Lior” kata Kirana, sahabatnya, saat makan siang. Liora mengaduk sup panasnya tanpa minat. “Gue nggak lari. Gue cuma… nggak pengin lihat orang yang pernah bikin gue nggak percaya sama cinta.” Kirana mendesah. “Tapi lo juga nggak bisa terus tinggal di masa lalu. Kalau memang dia bagian dari proyek ini, ya lo hadapin. Bukan buat dia. Buat lo sendiri.” Liora mengangguk pelan. Ia tahu Kirana benar. Tapi tahu dan siap adalah dua hal yang sangat berbeda. Sore itu, ia duduk lebih lama di kantor. Menunggu semua orang pulang. Membiarkan kesunyian menyelimuti ruangan. Lalu berdiri pelan, melangkah ke cermin kecil di sudut ruangannya. Menatap bayangannya sendiri. “Apa aku masih perempuan yang sama setelah semua ini?” bisiknya. Bayangan itu tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, Liora menatap dirinya sendiri tanpa berpaling. Luka itu masih ada. Tapi mungkin, kali ini, ia bisa belajar menyentuhnya tanpa takut hancur lagi. Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi masuk dari email perusahaan: Subject: Meeting Internal bersama Tim Integrasi PT Radin Corp. Nama itu terpampang jelas. Radin Corp perusahaan tempat Rayden berada. Liora menutup layar. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia tetap duduk tenang. Di luar, hujan belum juga reda. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak ingin berlari ke tempat yang kering. Mungkin, ia memang perlu basah sekali lagi agar tahu betapa kuat dirinya bisa bertahan. Dan di hari yang terasa tak pernah selesai ini, ia memilih untuk tidak menghindar. Pagi berikutnya datang terlalu cepat. Matahari belum sepenuhnya naik ketika Liora tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Ia butuh ruang. Butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Tapi tak peduli seberapa panjang napas ia ambil di ruangannya yang sepi, detak jantungnya tetap berlari lebih dulu. Hari ini adalah hari ia akan bertemu Rayden. Untuk pertama kalinya setelah empat tahun. Ia tak tahu bagaimana harus bersikap. Harus menyapa atau cukup mengangguk? Haruskah ia berpura-pura tak mengenalnya, atau lebih baik bersikap dingin saja? Semua skenario itu menari liar di benaknya, tak ada satu pun yang terasa tepat. Saat jarum jam mendekati pukul sembilan, ia turun ke ruang rapat utama. Beberapa kepala dari tim hukum dan merger sudah duduk rapi. Liora mengambil tempat di pojok, membuka laptopnya hanya sebagai tameng. Pintu terbuka. Seseorang masuk. Diikuti langkah kaki yang tak asing di telinganya. Waktu tak banyak mengubah sorot matanya. Masih tajam. Masih penuh percaya diri. Tapi kini ada tambahan: dingin. Formal. Jarak yang seolah disengaja. Rayden mengenakan jas hitam dan kemeja abu terang. Sama seperti hari ia pergi dari hidupnya rapi, tak menyisakan ruang untuk tanya. “Selamat pagi,” sapa Rayden dengan nada netral. Matanya menyapu ruangan… dan berhenti. Di Liora. Tatapan itu berlangsung dua detik lebih lama dari seharusnya. Liora menunduk, pura-pura mencatat. Tapi tangannya membeku. Pertemuan dibuka. Kepala divisi merger memperkenalkan tim masing-masing. Nama-nama disebut, jabatan dijelaskan, strategi dibahas. Dan ketika giliran Liora diperkenalkan sebagai koordinator proyek dari sisi perusahaan hukum… “Liora Anindya,” ucap Adrian sambil menoleh padanya. “Dia yang akan jadi penghubung langsung dengan pihak Radin Corp.” Rayden mengangguk. Bibirnya menipis, seolah ingin bicara tapi menahannya. “Senang bekerja sama lagi,” ujarnya pendek. Liora memaksakan senyum kecil. “Semoga kerjasamanya lancar.” Dan itu saja. Selesai. Tapi dalam diam, mereka bicara panjang. Tentang luka. Tentang penyesalan. Tentang masa lalu yang belum tuntas. Selama dua jam rapat berjalan, Liora mencoba fokus. Tapi kehadiran Rayden di sisi mejanya duduk hanya dua kursi darinya membuat pikirannya kacau. Ia mencatat, menjawab beberapa pertanyaan, bahkan memberi masukan strategi. Tapi di sela-sela itu, ia menangkap tatapan Rayden yang tak sekali-dua kali menoleh padanya. Selesai rapat, semua orang mulai bubar. Liora mengemasi laptop dan bergegas keluar. Tapi langkahnya tertahan. “Liora.” Suara itu. Masih sama. Dalam dan berat. Ia berbalik pelan. Rayden berdiri di belakangnya. Wajahnya tegang, tapi matanya menyimpan banyak yang belum diucapkan. “Apa kabar?” Pertanyaan itu sederhana. Tapi seperti paku yang ditancapkan paksa ke dinding kenangan. Liora menatapnya lama. “Kamu nggak kehilangan akses media sosial, kan?” Rayden terdiam. “Jadi harusnya kamu tahu, aku baik-baik saja,” lanjutnya. “Dan kamu? Sudah cukup bahagia dengan pilihanmu?” Rayden ingin menjawab, tapi Liora sudah melangkah pergi. Ia tak ingin mendengar jawaban. Bukan karena tak peduli, tapi karena jawaban apa pun tak akan bisa mengubah kenyataan bahwa ia pernah ditinggalkan tanpa penjelasan. Sore itu, saat Liora menatap jendela ruangannya, ia tahu satu hal. Pertemuan ini bukan akhir dari kisah mereka. Tapi juga bukan awal baru. Ini adalah pengingat, bahwa luka lama tak pernah benar-benar sembuh. Mereka hanya belajar berdampingan dengannya. Dan Liora? Ia memilih untuk tidak menyerah pada ketakutan yang sama.Malam itu, di kantor kecil mereka, lampu-lampu hangat menyinari meja panjang penuh dokumen, laptop, dan catatan-catatan. Hujan deras di luar seakan menambah ketegangan, tapi di dalam ruangan, suasana lebih panas: ini adalah malam perencanaan terakhir sebelum aksi dimulai. Liora duduk di tengah, membuka dokumen yang dikirim Clara. Mikael menatap layar laptop, jari-jari siap mengetik setiap instruksi. Clara, meski lelah, duduk di samping dengan mata tajam dan penuh konsentrasi. “Baik,” Liora membuka pembicaraan, “dokumen ini memberi kita titik masuk yang jelas. Kita tahu aliran uang, siapa yang terlibat, dan lokasi perusahaan cangkang. Sekarang, kita harus menentukan siapa melakukan apa.” Mikael menatap mereka berdua. “Clara akan tetap masuk sebagai mata-mata di Eterna. Semua bukti akan terus dia kirim ke kita secara terenkripsi. Dia juga harus memperhatikan siapa pun yang mencurigakan tidak hanya Rayden, tapi juga staf yang mungkin bagian dari jaringan.” Clara mengangguk, meski
Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap. Clara berdiri di depan gedung Eterna Global Trading, detak jantungnya berpacu kencang. Gedung kaca tinggi itu memantulkan sinar matahari pagi, seolah menantang keberaniannya. Ia mengenakan blazer hitam sederhana, rambut diikat rapi, dan tas kerja tipis yang menyembunyikan alat-alat pengawasan dari Mikael. Di tangannya, resume lamanya yang sudah dimodifikasi. Ia menelan ludah. “Ini dia, titik awalnya,” bisiknya pelan. Clara memasuki lobi gedung dengan langkah mantap, meskipun seluruh tubuhnya bergetar. Petugas keamanan menatapnya sebentar, lalu mengangguk ketika melihat ID palsu yang sudah disiapkan Mikael. “Selamat pagi, Bu Clara,” sapa petugas, seolah tak menaruh curiga. Clara menahan napas, tersenyum tipis. “Selamat pagi.” Setiap langkah di lantai marmer itu terasa seperti berjalan di atas kaca tipis. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa membuatnya terdeteksi Rayden atau orang-orang yang bekerja untuknya. Pertemuan dengan Tim HR Cla
Malam itu kantor Liora tidak seperti biasanya. Lampu-lampu masih menyala, layar komputer berderet penuh angka, dan tumpukan dokumen berserakan. Mikael duduk di depan monitor dengan kemeja yang sudah kusut. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, wajahnya serius penuh konsentrasi. Clara duduk di kursi sebelah, masih menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Sementara Liora berdiri di dekat jendela, menatap keluar seolah mencari jawaban dari kegelapan kota. “Jejak uang ini tidak mudah diikuti,” gumam Mikael, matanya tak lepas dari layar. “Rayden menggunakan beberapa rekening bayangan, semuanya lewat perusahaan cangkang.” “Bisakah kau tembus?” tanya Liora, nadanya tegas namun ada sedikit getaran. Mikael mengangguk kecil. “Aku sudah melewati dua lapis. Tapi ada sesuatu yang aneh. Rekening ini terhubung bukan hanya ke Rayden, tapi ke sebuah nama besar yang… jujur saja, tidak kusangka.” Clara mendekat, penasaran. “Siapa, Pak Mikael?” Mikael menekan enter, lalu sebuah nama m
Malam itu, ruang rapat kantor Liora terasa lebih tegang daripada biasanya. Hanya ada tiga orang di sana: Liora, Mikael, dan Clara. Di luar, hujan deras mengguyur kota, seakan menyembunyikan segala percakapan yang terjadi di dalam. Clara duduk dengan wajah pucat, kedua tangannya menggenggam erat secangkir kopi yang sudah dingin. Ia tahu, sekali salah langkah, hidupnya bisa hancur. Tapi ia juga tahu, ini adalah kesempatan terakhir untuk menebus kesalahannya. “Clara,” suara Liora tenang tapi tegas, “kalau kau benar-benar ingin menebus semuanya, maka kau harus siap mengambil risiko yang sama besar dengan yang aku ambil.” Clara mengangguk cepat. “Aku siap, Bu. Aku tidak mau terus hidup di bawah ancaman Rayden.” Mikael menggeser laptopnya ke arah Clara. Di layar, muncul catatan komunikasi digital. “Kau bilang Rayden menghubungimu lewat pesan terenkripsi. Apakah kau masih menyimpannya?” Clara menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. “Aku simpan semuanya. Aku tidak berani
Malam masih panjang ketika Rayden duduk di ruang kantornya yang hanya diterangi lampu meja. Asap rokok tipis mengepul di udara. Di depannya terbentang laporan keuangan dan sejumlah dokumen yang ia peroleh dengan cara yang tidak bersih. Matanya menyipit, penuh amarah bercampur obsesi. “Kalau kata-katamu bisa membuat orang mencintaimu, Liora, maka aku akan tunjukkan betapa rapuhnya dunia yang kau bangun.” Rayden mengetik pesan di ponselnya kepada seorang pengusaha yang dikenal licik, bernama Adrian Halberd. “Aku punya tawaran. Kita buat Liora terlihat terlibat dalam penggelapan dana proyek. Aku siapkan dokumennya, kau mainkan kontakmu di media. Kau dapat bagian, aku dapat kehancurannya.” Balasan datang singkat, penuh persetujuan: “Kau selalu tahu cara membuat orang jatuh, Rayden. Anggap selesai.” Rayden tersenyum tipis, dingin. “Kali ini, Liora tidak akan bisa lari.” Sementara itu, Liora dan Mikael duduk di sebuah kafe kecil yang jarang diketahui orang. Hujan turun lembu
Pagi itu, notifikasi ponsel Liora tak berhenti berbunyi. Pesan, mention, dan email masuk seperti badai. Ia baru saja menyalakan televisi ketika berita pagi menayangkan headline yang membuat jantungnya berhenti sejenak: “Masa Lalu Kelam Liora Terungkap: Keluarga Sendiri Menyalahkannya atas Kejadian Tragis.” Gambar wajahnya terpampang besar di layar. Narasi berita itu seakan-akan menguliti dirinya hidup-hidup: kisah masa kecil, bagaimana ia pernah dituduh sebagai penyebab penderitaan ayahnya, dan bagaimana keluarganya lebih sering menyalahkan daripada merangkul. Semua itu rahasia yang ia simpan begitu dalam, yang hanya sedikit orang tahu kini diumbar ke dunia. Tangannya gemetar memegang remote. Pandangannya kabur, udara seakan hilang dari paru-parunya. “Tidak…” suaranya nyaris tak terdengar. Mikael yang baru masuk ke ruang tamu langsung menatap layar, lalu berbalik ke arahnya. “Lior—” Air mata jatuh, bukan karena malu, tapi karena luka lama yang dipaksa terbuka kembali.







