Share

bab 2

Author: Senja
last update Last Updated: 2025-07-30 14:33:40

Dua hari berlalu sejak pertemuan itu, dan Liora belum bisa benar-benar tidur. Ia mencoba menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan, membenamkan diri di balik laporan dan email yang menumpuk, tapi bayang-bayang Rayden terlalu lekat. Seperti noda yang tak bisa hilang meski sudah dicuci berkali-kali.

Ia bahkan mempertimbangkan untuk meminta dipindahkan dari proyek itu. Tapi ia tahu, itu akan membuat orang-orang bertanya. Dan ia bukan tipe yang suka jadi bahan bisik-bisik kantor. Lagi pula, jika ia selalu lari dari masa lalu, kapan ia akan bisa berdamai?

Di sisi lain, Rayden juga tidak tinggal diam.

Ia mengirim pesan malam itu setelah rapat:

“Boleh kita bicara sebentar? Di luar pekerjaan.”

Liora tidak menjawab.

Keesokan harinya, pesan itu dihapus. Ia tahu karena ia sempat membacanya sebelum notifikasi hilang. Klasik. Rayden selalu seperti itu maju satu langkah, mundur dua langkah. Ingin menjelaskan, tapi takut disalahkan. Ingin dekat, tapi tak mau terlihat lemah.

Sabtu siang, Liora duduk di sudut kafe dekat rumahnya. Tempat itu selalu sepi, dan dia suka duduk di kursi paling pojok dekat jendela. Di sinilah dulu Rayden pernah menyatakan cinta untuk pertama kalinya. Dengan tangan gemetar dan suara gugup yang membuat Liora tertawa. Tawa yang kini terasa asing, seperti milik orang lain.

“Masih suka tempat ini?”

Suara itu datang dari belakang.

Liora tidak perlu menoleh untuk tahu siapa. Rayden.

Ia menarik napas, lalu menoleh. “Kamu ngikutin aku?”

Rayden mengangkat bahu. “Cuma iseng lewat. Keliatan kamu dari luar.”

“Jawaban klise,” gumam Liora, lalu kembali menatap jendela.

Rayden duduk tanpa diundang. Pelayan datang dan ia memesan tanpa bertanya. Seolah mereka masih berada di masa lalu, saat segalanya masih akrab.

“Aku nggak akan lama,” kata Rayden. “Aku cuma… pengin minta maaf.”

Liora mendengus pelan. “Maaf untuk apa? Karena pergi tanpa pamit? Karena ngilang begitu aja waktu aku lagi butuh penjelasan? Atau karena sekarang tiba-tiba muncul lagi seolah nggak ada yang terjadi?”

Rayden menunduk. “Aku tahu aku salah. Tapi waktu itu aku pikir… menjauh adalah satu-satunya cara.”

“Cara buat siapa? Buat kamu?”

Sunyi.

“Aku hancur waktu itu, Ray,” suara Liora melemah, tapi matanya tetap tajam. “Aku bangun tiap pagi nunggu kabar. Nunggu penjelasan. Nunggu kamu datang dan bilang semuanya cuma kesalahpahaman. Tapi yang datang cuma hening.”

Rayden mengangkat wajahnya. Sorot matanya penuh penyesalan, tapi Liora tak mau lagi larut di dalamnya.

“Aku kehilangan ayahku, Lio. Dan saat itu, aku ngerasa nggak bisa bagi duka itu sama siapa pun. Termasuk kamu. Aku… aku ngerasa jadi beban.”

Liora terdiam. Ia tahu Rayden kehilangan ayahnya, tapi ia tak pernah tahu betapa dalam luka itu.

“Kamu milih diam, Ray. Dan itu yang paling nyakitin,” katanya akhirnya. “Karena hubungan itu bukan tentang siapa yang paling kuat. Tapi tentang saling bagi beban.”

Keduanya terdiam. Suara sendok dan gelas dari meja sebelah jadi latar belakang hening yang menyiksa.

“Aku nggak minta kita balik,” kata Rayden pelan. “Aku cuma pengin kamu tahu… aku nyesel.”

Liora menatapnya lama. Dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan itu, ia melihat Rayden sebagai manusia bukan sebagai luka.

“Aku juga nggak minta kamu menderita seumur hidup karena kesalahanmu,” ucapnya. “Tapi aku minta kamu jangan ganggu proses aku buat sembuh.”

Rayden mengangguk. “Aku ngerti.”

Ia berdiri, meninggalkan uang di atas meja. “Kalau kamu butuh apa pun, cukup bilang.”

Liora tidak menjawab.

Setelah Rayden pergi, ia duduk diam selama lima belas menit. Hatinya remuk lagi, tapi dengan rasa yang berbeda. Bukan karena kehilangan. Tapi karena ia sadar, kadang penyesalan pun tidak cukup untuk memperbaiki apa pun.

Dan ia berhak memilih untuk tetap berjalan. Luka itu mungkin tidak pergi. Tapi ia tidak akan membiarkannya memenjarakan masa depannya.

Hari itu, Liora melangkah keluar dari kafe dengan langkah kecil. Tapi pasti.

Seminggu setelah pertemuan itu, hidup Liora masih terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Ia berusaha tegar di hadapan rekan kerja, tetap profesional dalam proyek yang ia jalani bersama Rayden, tapi hatinya selalu terasa diremas setiap kali tanpa sengaja pandangan mereka bertemu. Ia membencinya. Bukan Rayden, tapi dirinya sendiri yang masih merasakan sesuatu.

Di kantor, semua berjalan seolah biasa. Tapi tak ada yang tahu bahwa setiap malam, Liora masih menatap langit-langit kamarnya dengan dada sesak.

Rasa rindu itu masih ada, dan yang lebih menyakitkan, rasa kecewa itu juga belum benar-benar pudar.

Terkadang, ia bertanya pada dirinya sendiri: bagaimana jika waktu itu Rayden tidak pergi? Bagaimana jika ia memilih tetap tinggal, meski dalam luka? Akankah semuanya berbeda?

Namun hidup tidak pernah punya tombol rewind. Tidak ada adegan yang bisa diulang. Yang ada hanya kenangan dan pilihan.

Suatu malam, Liora menerima panggilan dari ibunya.

“Ma, kenapa?”

“Nggak apa-apa. Mama cuma kangen. Kamu sehat?”

Liora mengangguk walau tahu ibunya tak bisa melihat. “Iya, Ma. Sibuk kerja aja.”

“Ada kabar dari Rayden?”

Pertanyaan itu membuat Liora terdiam. Ibunya masih sering menyebut nama Rayden, seolah hubungan mereka belum benar-benar berakhir. Baginya, Rayden adalah pria baik yang pernah membawa tawa ke rumah mereka. Ibunya tidak tahu luka yang ditinggalkan Rayden jauh lebih dalam dari yang terlihat.

“Dia jadi kerja bareng aku,” jawab Liora akhirnya.

“Oh, syukurlah. Siapa tahu ini takdir, Nak. Kadang yang menjauh itu memang harus berputar dulu sebelum kembali.”

Liora tak menjawab. Ia lelah dengan kalimat-kalimat yang romantis tapi tidak relevan dengan kenyataan. Tak semua yang berputar akan kembali. Dan tak semua yang kembali pantas diberi tempat.

Hari Sabtu, Liora mengunjungi rumah lamanya. Rumah itu kini kosong, dijual oleh keluarga Rayden setelah ayahnya meninggal. Tapi bangunannya masih berdiri, dengan cat putih yang mulai kusam dan halaman depan yang tak terurus.

Ia berdiri di depan gerbang, menatap rumah itu lama.

Di sinilah ia dan Rayden dulu menghabiskan banyak sore. Membicarakan masa depan, impian, bahkan nama anak-anak jika mereka menikah nanti.

Lucu ya, bagaimana semuanya bisa menguap begitu saja?

“Lior?”

Suara itu membuatnya menoleh cepat.

Mikael.

Pria itu berdiri beberapa meter dari sana, dengan mata yang menyiratkan rasa khawatir dan penasaran sekaligus.

“Kamu ngapain di sini?”

Liora mengangkat bahu. “Nostalgia. Bodoh ya?”

Mikael tersenyum kecil, lalu berjalan mendekat. “Nggak bodoh. Kita semua butuh tempat untuk menyimpan luka. Kadang, kita datang ke masa lalu bukan karena kita belum move on, tapi karena kita pengin tahu apa yang masih tinggal.”

Liora menatap pria itu lama.

Mikael tidak pernah memaksa. Tidak pernah menghakimi. Ia hanya hadir. Diam-diam, tapi hangat.

“Aku masih sayang dia, Mike. Tapi aku juga benci dia.”

Mikael menunduk sejenak, lalu menatapnya. “Dan itu manusiawi. Kamu nggak harus milih salah satunya. Kamu boleh merasa dua-duanya. Yang penting, jangan biarin rasa itu mengendalikan kamu.”

Liora menarik napas panjang. Rasanya seperti dada yang sempit akhirnya bisa bernapas meski sedikit.

Hari itu, ia berjalan bersama Mikael tanpa arah, hanya melangkah karena tahu ia tidak sendiri. Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, ia merasa lebih ringan. Luka itu belum pergi, tapi setidaknya, ia tahu ia bisa bertahan.

Dan itu sudah cukup untuk hari ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 69

    Sudah lewat tengah malam ketika Liora baru sadar dia belum makan apa pun sejak pagi. Lampu ruangannya masih nyala, meski listrik sempat beberapa kali turun karena hujan yang terus mengguyur sejak sore. Mikael masih di ruang server, sementara Clara duduk di pojok ruangan, menatap layar yang kosong. Matanya sayu, tapi tangannya masih memegang ponsel, seolah takut melewatkan sesuatu. Liora menatapnya. “Lo belum tidur lagi?” Clara menggeleng. “Nggak bisa. Setiap kali gue merem, yang kebayang cuma muka Rayden waktu terakhir kali kita kerja bareng. Tatapan dia waktu itu... beda, Li. Gue masih inget banget.” Liora menarik napas pelan. “Gue tahu. Tapi sekarang bukan waktunya mikirin masa lalu. Dia udah mulai nyerang. Kita harus siap.” “Gue capek, Li,” kata Clara lirih. “Lo tahu nggak, setiap hari gue bangun dengan perasaan kayak... semua ini nggak akan selesai.” Liora menatapnya lama, lalu mendekat. “Denger, Clara. Gue nggak janji semuanya bakal baik-baik aja. Tapi gue janji sat

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 68

    Malam itu udara Cisarua dingin menusuk.Lampu di dalam rumah Rayden redup, hanya satu bohlam di ruang tamu yang masih menyala.Di meja, tumpukan dokumen berantakan, berserakan dengan botol minuman yang sudah hampir kosong.Rayden duduk diam.Matanya sembab, tapi pikirannya masih penuh perhitungan.Setiap detik, dia menatap layar laptopnya, menunggu sesuatu yang bahkan dia sendiri nggak yakin masih ada.Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar pelan.Satu kali. Dua kali. Lalu berhenti.Rayden berdiri dengan langkah berat. “Siapa?”Suara dari luar jawab singkat, “Orang lama, Den.”Rayden buka pintu perlahan. Di luar berdiri seseorang yang dulu pernah kerja untuknya, Rafi anak muda yang pernah dia tolong, tapi kemudian memilih keluar karena muak dengan cara Rayden bekerja.“Lo ngapain ke sini?” tanya Rayden datar.Rafi menatap dia lama. “Lo masih punya waktu buat nyelamatin diri, Den. Jangan terusin ini.”Rayden ketawa kecil, pahit. “Nyelamatin diri? Dari siapa? Dari mereka? Dari ora

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 67

    Sudah seminggu sejak malam itu di gudang.Rayden menghilang, tapi kabarnya masih ada di mana-mana. Nama yang dulunya ditakuti sekarang cuma disebut dengan nada waspada bukan hormat, tapi takut karena nggak tahu dia bakal ngelakuin apa selanjutnya.Liora jarang bicara. Dia datang ke kantor tiap pagi, buka komputer, kerja, tapi matanya nggak pernah benar-benar fokus.Di meja seberang, Mikael sering nyoba mulai percakapan, tapi selalu berhenti di tengah.Hari itu, Clara datang lebih pagi dari biasanya.Rambutnya diikat, matanya masih bengkak. Dia nggak nyapa siapa pun, cuma langsung buka map besar di tangannya.“Lo harus liat ini,” katanya pelan ke Liora.Liora nyari posisi duduk, lalu buka map itu.Di dalamnya ada laporan bank, tanda tangan palsu, dan data transfer yang aneh.“Dari mana lo dapet ini?” tanya Liora.“Dari orang gue di bagian audit internal,” jawab Clara. “Rayden mindahin dana proyek ke rekening atas nama perusahaan kosong. Jumlahnya gede banget.”Mikael nyengir miris. “Di

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 66

    Udara malam itu berat, seperti mengandung sesuatu yang mau pecah tapi nahan diri.Kota masih hidup, tapi Liora ngerasa semuanya bergerak lebih cepat dari yang seharusnya.Telepon berdering tanpa henti, pesan datang bertubi-tubi laporan, kabar, potongan berita yang semua punya satu nama di dalamnya: Rayden.Mikael nyampe ke apartemennya jam sebelas lewat.Mukanya kusut, kemejanya lecek, napasnya berat. Dia nggak langsung duduk, cuma berdiri di depan meja makan yang penuh map dan laptop.“Dia mulai gila, Li,” katanya akhirnya. “Dia ngejar semua orang, bahkan anak buahnya sendiri.”Liora masih menatap layar di depannya, jari-jarinya berhenti di atas keyboard.“Apa maksud lo?”“Dia datengin orang-orang kepercayaannya satu-satu. Nanya siapa yang ngasih bocoran data. Nggak ada yang jawab. Sekarang dua orang hilang. Nggak tahu ke mana.”Liora nunduk pelan, napasnya pelan tapi dalam. “Dia udah kehabisan cara.”Mikael jalan ke jendela, buka tirai sedikit. Di luar, hujan turun halus, tapi kons

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 65

    Udara Jakarta pagi itu berat. Langit mendung, tapi nggak hujan. Suasana di kantor terasa aneh kayak semua orang tahu ada sesuatu yang lagi berubah, tapi nggak ada yang mau ngomong.Liora datang tanpa suara. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya datar, tapi matanya capek banget.Mikael udah di ruangannya, lagi buka laporan keuangan proyek. Begitu Liora masuk, dia langsung nutup layar.“Dia mulai main kasar,” kata Mikael tanpa basa-basi.Liora duduk, naruh tas di lantai. “Kali ini apa?”“Semua supplier yang kerja sama sama kita dapet surat dari Rayden. Dia ancam mereka buat cabut.”Liora ngangguk pelan, tanpa ekspresi.“Berapa yang udah mundur?”“Tiga. Mungkin lima lagi nyusul kalau kita nggak gerak cepat.”Liora diam sebentar. “Dia udah nyiapin ini lama.”“Gue tahu,” sahut Mikael. “Tapi yang aneh, dia terlalu cepat. Biasanya dia lebih sabar dari ini.”Liora ngelirik. “Mungkin karena dia tahu waktunya nggak banyak.”Mikael nggak jawab, tapi wajahnya berubah.Beberapa hari kemudian, Rayde

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 64

    Hujan tetap turun, seperti rutinitas yang tak mau dilanggar. Jalanan lengang, lampu-lampu neon di kejauhan berkedip samar, dan angin membawa bau tanah basah masuk ke sela-sela pintu kaca kantor. Di dalam, hanya satu lampu meja yang menyala, melemparkan lingkaran hangat ke meja kerja penuh kertas.Liora duduk tegak, pandangannya tetap pada layar laptop yang menampilkan daftar nama dan nomor akun. Jarum jam di dinding menunjuk larut, tapi waktu rasanya melambat. Dia menutup sebuah file, membukanya lagi, mengecek ulang satu per satu dokumen legal yang baru saja dikirimkan ulang ke sistem. Semua berlabel atas nama Rayden.Tiga hari lalu mereka menemukan folder itu — bukti bahwa seseorang mengakses server mereka tepat saat rapat kedap-kedip terakhir. Tiga hari lalu, mereka tahu ada yang mengintip. Hari ini, fakta yang lebih pahit hadir: orang yang pernah mereka kenal, yang pernah mereka bantu dan juga caci, kembali dengan otoritas yang membuat mereka kehilangan pijakan.Kopinya dingin. Lio

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status