Langit sore menetes pelan seperti tinta yang menodai kertas kosong. Di dalam apartemennya yang hening, Liora menatap layar laptop yang masih kosong. Deadline untuk draft naskah narasi pribadi sudah semakin dekat. Amara memberinya kepercayaan penuh untuk menulis dengan suara hatinya sendiri. Bukan sekadar proyek. Tapi penggalian. Dan Liora tahu, ini bukan tentang menyusun kalimat indah, melainkan tentang berani menelanjangi luka.
Di jendela, bayangan wajahnya terpantul samar. Mata yang dulu penuh semangat, kini tampak seperti menyimpan terlalu banyak kenangan yang belum selesai dibungkus. Liora membuka folder tulisan lamanya lagi. Jurnal tahun 2020. Tahun di mana segalanya runtuh. “Aku mencintai orang yang tidak mencintaiku. Dan tetap bertahan karena pikirku, mungkin kalau aku mencintai lebih keras, dia akan berubah pikiran.” Ia membacanya dengan napas tertahan. Lalu menutupnya. Tidak, ia tidak akan menulis naskah dari luka yang sama. Ia ingin menulis dari luka yang telah diberi nama. Luka yang sudah tidak ia sembunyikan dari dirinya sendiri. Sore itu, ketika Liora baru saja selesai membeli kopi, langkahnya terhenti di trotoar depan stasiun. Seorang pria berdiri tak jauh dari sana. Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali mereka bertemu. Jaket hitamnya masih sama. Rayden. Ia pun menoleh. Seolah ia juga tahu Liora ada di sana. "Liora," sapanya dengan nada netral, nyaris terlalu biasa. Liora hanya mengangguk. “Kebetulan lewat?” Rayden mengangkat bahu. “Kita selalu ‘kebetulan’ sejak dulu, kan?” Ada jeda yang menggantung. Dingin, tipis, dan memotong. “Aku dengar kamu kerja bareng Amara sekarang,” katanya lagi. Suaranya tetap datar, tapi matanya menahan sesuatu. “Kamu juga tahu semuanya, ya?” Liora menjawab, menjaga suaranya agar tetap tenang. “Aku baca draft puisi itu lagi. Yang kamu tulis waktu kita masih... dekat.” Liora mendengus pelan. “Rayden, kamu yang minta aku berhenti mencintai kamu seperti itu. Dan aku sedang berusaha.” Rayden tidak menjawab. Ia hanya menatapnya. Ada sesuatu yang tidak diucapkan, seperti selalu. Tapi sekarang, Liora tidak menunggu lagi. “Aku punya banyak hal untuk disembuhkan. Dan kamu adalah salah satu yang tidak bisa aku rawat lagi,” lanjut Liora, kalimatnya pelan tapi jelas. Rayden menarik napas. “Aku nggak pernah anggap remeh rasa kamu, Lo.” “Justru karena itu, kamu pergi,” balas Liora. “Dan sekarang, biarkan aku tetap pergi juga.” Mereka berpisah di lampu merah tanpa kata penutup. Tidak perlu. Beberapa pertemuan memang hanya butuh pengakuan kecil untuk akhirnya benar-benar selesai. Malam harinya, Mikael mengirim pesan. "Besok kamu sibuk? Mau temani aku survei lokasi syuting sebentar? Cuma kalau kamu sempat.” Liora menatap layar ponselnya cukup lama sebelum menjawab, “Aku sempat.” Hari berikutnya, mereka berjalan di sebuah taman kecil yang sepi. Daun-daun gugur menutupi jalan setapak. Udara dingin, tapi tidak menusuk. Mikael mengenakan jaket coklat tua, wajahnya tampak lebih santai dibanding biasanya. “Tempat ini tenang, ya,” kata Liora pelan. “Hmm,” Mikael mengangguk. “Kupikir, tempat seperti ini cocok untuk final scene. Tentang seseorang yang akhirnya memilih berdamai.” Liora menoleh padanya. “Berdamai dengan apa?” “Dengan hidup. Dengan luka. Dengan dirinya sendiri.” Kalimat itu menggema di kepala Liora. Dan anehnya, ia merasa Mikael tidak sedang bicara tentang film. Atau mungkin justru itu caranya bicara tentang hal yang tak bisa diucapkan langsung. “Kamu pernah merasa... seperti menunggu sesuatu yang bahkan kamu tidak yakin akan datang?” tanya Liora. Mikael tersenyum tipis. “Sering. Tapi belakangan aku sadar, kadang yang kita tunggu bukan orang atau kejadian. Tapi versi diri kita yang bisa menerima semuanya dengan utuh.” Liora mengangguk. Perlahan. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak harus menyembunyikan isi kepalanya. “Aku sedang menulis tentang itu,” katanya akhirnya. “Tentang luka yang tidak bisa diselesaikan orang lain. Tapi bisa tetap membuat kita hidup.” Mikael tidak menjawab. Tapi ia berhenti berjalan, menatap Liora dengan ekspresi yang sulit diurai. Ada sesuatu di matanya bukan simpati, bukan rasa kasihan. Tapi semacam penghormatan. “Kamu tahu, Lio,” katanya akhirnya, “kamu membuat hal-hal yang berat jadi terlihat jujur. Bukan ringan, tapi jujur. Dan itu lebih sulit.” Liora terdiam. Kata-kata itu tidak romantis secara harfiah, tapi entah kenapa, hatinya merasa dilihat. Malam itu, Liora duduk kembali di depan laptopnya. Dan untuk pertama kalinya, jari-jarinya mengetik tanpa ragu: “Cinta bukan soal memiliki, tapi tentang melihat seseorang tumbuh, bahkan ketika kamu bukan lagi bagian dari pertumbuhannya.” Ia berhenti sejenak. Menarik napas panjang. Kemudian melanjutkan: “Tapi lebih indah lagi, ketika seseorang memilih tinggal. Bukan karena dia harus. Tapi karena dia mengerti kamu tidak meminta apa-apa selain kejujuran.” Malam itu, naskahnya mulai jadi. Dan mungkin untuk pertama kalinya, Liora menulis bukan untuk menghindar dari luka. Tapi untuk menjadikannya bagian dari cerita yang utuh. Dan di luar sana, Mikael belum pulang. Tapi mengirim pesan: “Besok kamu sibuk?” Liora tersenyum. Ia membalas: “Kalau tujuannya tenang, aku sempat.”Hari berikutnya, suasana kantor terasa lain. Bukan hiruk-pikuk kerja yang biasanya mengisi udara, melainkan bisik-bisik samar yang berputar di setiap sudut.Liora baru saja masuk ke ruangannya ketika dua rekan kerja buru-buru menutup percakapan mereka. Tatapan mereka berpindah sekilas ke arah Liora, lalu berpura-pura sibuk dengan laptop.Ia mencoba menepis rasa tidak nyaman. Tapi semakin ia berjalan menyusuri lorong, semakin terasa jelas: ada sesuatu yang sedang diperbincangkan. Dan itu tentang dirinya.Di meja kerjanya, Liora menyalakan komputer. Tapi pikirannya tidak bisa fokus. Ia ingat tatapan-tatapan tadi, juga nada bisik yang tak sempat ia tangkap.Beberapa menit kemudian, Mikael datang. Seperti biasa, membawa secangkir kopi hangat untuknya. Namun kali ini ia tidak langsung tersenyum lebar seperti biasanya.“Ada apa?” tanya Liora, menangkap perubahan ekspresinya.Mikael menaruh kopi di mejanya, lalu mencondongkan badan. Suaranya diturunkan. “Lo, kamu tahu nggak? Ada gosip bereda
Pagi itu kantor terasa lebih riuh dari biasanya. Semua orang sibuk, beberapa tim bahkan lembur semalaman demi revisi terakhir. Suasana penuh tekanan, tapi juga penuh energi.Liora duduk di mejanya, menatap layar yang penuh dengan slide presentasi yang sudah ia revisi sampai dini hari. Mata lelah, tapi ada kepuasan tersendiri melihat hasil kerja kerasnya.Tak lama, Amara muncul. Seperti biasa, penampilannya rapi dan berwibawa, tapi pagi itu ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Sorot matanya tajam, seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Liora,” katanya pelan, tapi jelas. “Aku sudah lihat revisi kamu.”Liora mengangguk, menunggu komentar.Amara menarik kursi, duduk di sampingnya. “Jujur saja, konsep kamu kuat. Terlalu kuat. Bahkan… bisa jadi lebih menonjol daripada rencana presentasi tim inti.”Liora terdiam. Ia tahu ini bukan sekadar pujian. Ada nada peringatan terselubung.“Apakah itu masalah?” tanya Liora akhirnya.Amara menatapnya lekat. “Masalah kalau kamu tidak tahu cara mengelola
Pagi itu, Liora bangun dengan rasa campur aduk. Kemenangan besok-presentasi sudah di tangannya, tapi ada sesuatu yang mengganjal perasaan yang belum sepenuhnya tenang. Seperti bayangan masa lalu yang menempel di setiap langkahnya. Ia membuka laptop, mengecek email masuk. Ada satu pesan dari Rayden, singkat tapi cukup untuk membuat dadanya berdebar. “Aku ingin bicara. Hari ini, setelah jam kerja.” Liora menatap layar sejenak. Rasanya ingin menutup email itu dan melupakan saja. Tapi ada sesuatu di nada tulisannya yang sulit diabaikan. Ia menarik napas panjang, menulis balasan singkat: “Baik. Kita bicara di kafe dekat kantor jam 6.” Di Kantor Seharian di kantor terasa berbeda. Liora mencoba fokus, tapi pikirannya sering melayang ke jam enam sore. Amara terlihat sibuk dengan dokumen dan rapat kecil bersama tim, tapi matanya beberapa kali menyapu arah Liora. Ada rasa penasaran, tapi juga sedikit was-was. Mikael datang seperti biasa, membawa kopi untuk Liora. Ia tersenyum hangat. “P
Ruang konferensi akhirnya kosong. Kursi-kursi yang tadi dipenuhi investor kini tertinggal sendirian, seperti saksi bisu pertunjukan Liora. Ia duduk di meja panjang, menarik napas panjang. Tubuhnya lelah, tapi hatinya terasa ringan campuran lega dan sedikit bangga yang tak biasa ia rasakan.Mikael masih duduk di kursi paling depan, menatapnya dengan senyum yang sama dari tadi. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya mengangguk. Itu saja sudah cukup untuk membuat Liora merasa seperti pulang.Namun, udara lega itu segera tersayat oleh kehadiran dua orang yang tidak ia sangka masih ada di ruangan: Rayden dan Amara.Rayden berdiri di samping pintu, tangannya terkepal perlahan. Matanya tidak lagi menilai. Ia tampak... bingung. Seolah ada sesuatu yang ia lihat sekarang, tapi tidak bisa dijelaskan.Amara menatap Liora dengan tatapan yang sulit dibaca. Tidak dingin, tapi juga tidak sepenuhnya hangat. Ada campuran rasa penasaran, kekaguman, dan mungkin sedikit iri.Liora menarik napas. “Apa kalian masi
Pagi itu udara masih dingin. Hujan tipis turun, membasahi kaca jendela kantor yang berlantai dua puluh. Liora berdiri di depan cermin kamar mandi lantai bawah, menggenggam kedua tangannya erat-erat. Nafasnya pendek, seakan dadanya dikunci dari dalam. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, blazer abu-abu muda, dan celana panjang hitam. Rambutnya diikat rapi, wajahnya diberi sedikit polesan make-up natural yang dipaksakan oleh tim Amara. Ia terlihat tenang dari luar, tapi tangannya bergetar halus saat menyentuh keran air. “Liora?” suara pelan terdengar dari pintu. Itu Mikael. Ia menoleh cepat, sedikit terkejut. “Kamu udah di sini?” Mikael melongok, tersenyum kecil. “Janji gue, kan? Kursi paling depan.” Liora berusaha tersenyum. “Aku... masih nggak yakin bisa.” Mikael masuk, menepuk pelan bahunya. “Kalau kamu jatuh, jatuh aja. Tapi jatuh di depan orang-orang itu lebih baik daripada nggak pernah berdiri sama sekali.” Ada keheningan sejenak. Hanya suara hujan yang terdengar di balik
Hari itu kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua orang berlarian dengan berkas, laptop, dan daftar pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya. Presentasi besar dengan para investor tinggal satu hari lagi. Dan semua sorot mata secara tidak langsung tertuju pada satu orang, Liora.Ia mencoba menenangkan diri, meski dalam hati degup jantungnya tak beraturan. Selama ini, ia terbiasa jadi orang di balik layar penulis konsep, penyusun narasi, orang yang menciptakan kerangka besar tapi membiarkan orang lain yang berdiri di depan panggung.Kini, Amara justru mendorongnya untuk tampil langsung. “Kalau kamu berani menghadapi ini,” kata Amara, “kamu akan tahu bahwa kamu lebih dari sekadar bayangan siapa pun.”Di meja kerjanya, Liora menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Kalimat demi kalimat presentasi sudah ia hafal di luar kepala. Tapi yang membuatnya khawatir bukan kontennya, melainkan dirinya sendiri. Apakah ia cukup kuat untuk berdiri di depan begitu banyak orang tanpa runtuh? Apa