Share

Bab 8

Author: Senja
last update Last Updated: 2025-08-01 11:11:58

Langit sore menetes pelan seperti tinta yang menodai kertas kosong. Di dalam apartemennya yang hening, Liora menatap layar laptop yang masih kosong. Deadline untuk draft naskah narasi pribadi sudah semakin dekat. Amara memberinya kepercayaan penuh untuk menulis dengan suara hatinya sendiri. Bukan sekadar proyek. Tapi penggalian. Dan Liora tahu, ini bukan tentang menyusun kalimat indah, melainkan tentang berani menelanjangi luka.

Di jendela, bayangan wajahnya terpantul samar. Mata yang dulu penuh semangat, kini tampak seperti menyimpan terlalu banyak kenangan yang belum selesai dibungkus. Liora membuka folder tulisan lamanya lagi. Jurnal tahun 2020. Tahun di mana segalanya runtuh.

“Aku mencintai orang yang tidak mencintaiku. Dan tetap bertahan karena pikirku, mungkin kalau aku mencintai lebih keras, dia akan berubah pikiran.”

Ia membacanya dengan napas tertahan. Lalu menutupnya. Tidak, ia tidak akan menulis naskah dari luka yang sama. Ia ingin menulis dari luka yang telah diberi nama. Luka yang sudah tidak ia sembunyikan dari dirinya sendiri.

Sore itu, ketika Liora baru saja selesai membeli kopi, langkahnya terhenti di trotoar depan stasiun. Seorang pria berdiri tak jauh dari sana. Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali mereka bertemu. Jaket hitamnya masih sama. Rayden.

Ia pun menoleh. Seolah ia juga tahu Liora ada di sana.

"Liora," sapanya dengan nada netral, nyaris terlalu biasa.

Liora hanya mengangguk. “Kebetulan lewat?”

Rayden mengangkat bahu. “Kita selalu ‘kebetulan’ sejak dulu, kan?”

Ada jeda yang menggantung. Dingin, tipis, dan memotong.

“Aku dengar kamu kerja bareng Amara sekarang,” katanya lagi. Suaranya tetap datar, tapi matanya menahan sesuatu.

“Kamu juga tahu semuanya, ya?” Liora menjawab, menjaga suaranya agar tetap tenang.

“Aku baca draft puisi itu lagi. Yang kamu tulis waktu kita masih... dekat.”

Liora mendengus pelan. “Rayden, kamu yang minta aku berhenti mencintai kamu seperti itu. Dan aku sedang berusaha.”

Rayden tidak menjawab. Ia hanya menatapnya. Ada sesuatu yang tidak diucapkan, seperti selalu. Tapi sekarang, Liora tidak menunggu lagi.

“Aku punya banyak hal untuk disembuhkan. Dan kamu adalah salah satu yang tidak bisa aku rawat lagi,” lanjut Liora, kalimatnya pelan tapi jelas.

Rayden menarik napas. “Aku nggak pernah anggap remeh rasa kamu, Lior.”

“Justru karena itu, kamu pergi,” balas Liora. “Dan sekarang, biarkan aku tetap pergi juga.”

Mereka berpisah di lampu merah tanpa kata penutup. Tidak perlu. Beberapa pertemuan memang hanya butuh pengakuan kecil untuk akhirnya benar-benar selesai.

Malam harinya, Mikael mengirim pesan.

"Besok kamu sibuk? Mau temani aku survei lokasi syuting sebentar? Cuma kalau kamu sempat.”

Liora menatap layar ponselnya cukup lama sebelum menjawab, “Aku sempat.”

Hari berikutnya, mereka berjalan di sebuah taman kecil yang sepi. Daun-daun gugur menutupi jalan setapak. Udara dingin, tapi tidak menusuk. Mikael mengenakan jaket coklat tua, wajahnya tampak lebih santai dibanding biasanya.

“Tempat ini tenang, ya,” kata Liora pelan.

“Hmm,” Mikael mengangguk. “Kupikir, tempat seperti ini cocok untuk final scene. Tentang seseorang yang akhirnya memilih berdamai.”

Liora menoleh padanya. “Berdamai dengan apa?”

“Dengan hidup. Dengan luka. Dengan dirinya sendiri.”

Kalimat itu menggema di kepala Liora. Dan anehnya, ia merasa Mikael tidak sedang bicara tentang film. Atau mungkin justru itu caranya bicara tentang hal yang tak bisa diucapkan langsung.

“Kamu pernah merasa... seperti menunggu sesuatu yang bahkan kamu tidak yakin akan datang?” tanya Liora.

Mikael tersenyum tipis. “Sering. Tapi belakangan aku sadar, kadang yang kita tunggu bukan orang atau kejadian. Tapi versi diri kita yang bisa menerima semuanya dengan utuh.”

Liora mengangguk. Perlahan. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak harus menyembunyikan isi kepalanya.

“Aku sedang menulis tentang itu,” katanya akhirnya. “Tentang luka yang tidak bisa diselesaikan orang lain. Tapi bisa tetap membuat kita hidup.”

Mikael tidak menjawab. Tapi ia berhenti berjalan, menatap Liora dengan ekspresi yang sulit diurai. Ada sesuatu di matanya bukan simpati, bukan rasa kasihan. Tapi semacam penghormatan.

“Kamu tahu, Lior,” katanya akhirnya, “kamu membuat hal-hal yang berat jadi terlihat jujur. Bukan ringan, tapi jujur. Dan itu lebih sulit.”

Liora terdiam. Kata-kata itu tidak romantis secara harfiah, tapi entah kenapa, hatinya merasa dilihat.

Malam itu, Liora duduk kembali di depan laptopnya. Dan untuk pertama kalinya, jari-jarinya mengetik tanpa ragu.

“Cinta bukan soal memiliki, tapi tentang melihat seseorang tumbuh, bahkan ketika kamu bukan lagi bagian dari pertumbuhannya.”

Ia berhenti sejenak. Menarik napas panjang. Kemudian melanjutkan.

“Tapi lebih indah lagi, ketika seseorang memilih tinggal. Bukan karena dia harus. Tapi karena dia mengerti kamu tidak meminta apa-apa selain kejujuran.”

Malam itu, naskahnya mulai jadi. Dan mungkin untuk pertama kalinya, Liora menulis bukan untuk menghindar dari luka. Tapi untuk menjadikannya bagian dari cerita yang utuh.

Dan di luar sana, Mikael belum pulang. Tapi mengirim pesan:

“Besok kamu sibuk?”

Liora tersenyum. Ia membalas:

“Kalau tujuannya tenang, aku sempat.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 69

    Sudah lewat tengah malam ketika Liora baru sadar dia belum makan apa pun sejak pagi. Lampu ruangannya masih nyala, meski listrik sempat beberapa kali turun karena hujan yang terus mengguyur sejak sore. Mikael masih di ruang server, sementara Clara duduk di pojok ruangan, menatap layar yang kosong. Matanya sayu, tapi tangannya masih memegang ponsel, seolah takut melewatkan sesuatu. Liora menatapnya. “Lo belum tidur lagi?” Clara menggeleng. “Nggak bisa. Setiap kali gue merem, yang kebayang cuma muka Rayden waktu terakhir kali kita kerja bareng. Tatapan dia waktu itu... beda, Li. Gue masih inget banget.” Liora menarik napas pelan. “Gue tahu. Tapi sekarang bukan waktunya mikirin masa lalu. Dia udah mulai nyerang. Kita harus siap.” “Gue capek, Li,” kata Clara lirih. “Lo tahu nggak, setiap hari gue bangun dengan perasaan kayak... semua ini nggak akan selesai.” Liora menatapnya lama, lalu mendekat. “Denger, Clara. Gue nggak janji semuanya bakal baik-baik aja. Tapi gue janji sat

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 68

    Malam itu udara Cisarua dingin menusuk.Lampu di dalam rumah Rayden redup, hanya satu bohlam di ruang tamu yang masih menyala.Di meja, tumpukan dokumen berantakan, berserakan dengan botol minuman yang sudah hampir kosong.Rayden duduk diam.Matanya sembab, tapi pikirannya masih penuh perhitungan.Setiap detik, dia menatap layar laptopnya, menunggu sesuatu yang bahkan dia sendiri nggak yakin masih ada.Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar pelan.Satu kali. Dua kali. Lalu berhenti.Rayden berdiri dengan langkah berat. “Siapa?”Suara dari luar jawab singkat, “Orang lama, Den.”Rayden buka pintu perlahan. Di luar berdiri seseorang yang dulu pernah kerja untuknya, Rafi anak muda yang pernah dia tolong, tapi kemudian memilih keluar karena muak dengan cara Rayden bekerja.“Lo ngapain ke sini?” tanya Rayden datar.Rafi menatap dia lama. “Lo masih punya waktu buat nyelamatin diri, Den. Jangan terusin ini.”Rayden ketawa kecil, pahit. “Nyelamatin diri? Dari siapa? Dari mereka? Dari ora

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 67

    Sudah seminggu sejak malam itu di gudang.Rayden menghilang, tapi kabarnya masih ada di mana-mana. Nama yang dulunya ditakuti sekarang cuma disebut dengan nada waspada bukan hormat, tapi takut karena nggak tahu dia bakal ngelakuin apa selanjutnya.Liora jarang bicara. Dia datang ke kantor tiap pagi, buka komputer, kerja, tapi matanya nggak pernah benar-benar fokus.Di meja seberang, Mikael sering nyoba mulai percakapan, tapi selalu berhenti di tengah.Hari itu, Clara datang lebih pagi dari biasanya.Rambutnya diikat, matanya masih bengkak. Dia nggak nyapa siapa pun, cuma langsung buka map besar di tangannya.“Lo harus liat ini,” katanya pelan ke Liora.Liora nyari posisi duduk, lalu buka map itu.Di dalamnya ada laporan bank, tanda tangan palsu, dan data transfer yang aneh.“Dari mana lo dapet ini?” tanya Liora.“Dari orang gue di bagian audit internal,” jawab Clara. “Rayden mindahin dana proyek ke rekening atas nama perusahaan kosong. Jumlahnya gede banget.”Mikael nyengir miris. “Di

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 66

    Udara malam itu berat, seperti mengandung sesuatu yang mau pecah tapi nahan diri.Kota masih hidup, tapi Liora ngerasa semuanya bergerak lebih cepat dari yang seharusnya.Telepon berdering tanpa henti, pesan datang bertubi-tubi laporan, kabar, potongan berita yang semua punya satu nama di dalamnya: Rayden.Mikael nyampe ke apartemennya jam sebelas lewat.Mukanya kusut, kemejanya lecek, napasnya berat. Dia nggak langsung duduk, cuma berdiri di depan meja makan yang penuh map dan laptop.“Dia mulai gila, Li,” katanya akhirnya. “Dia ngejar semua orang, bahkan anak buahnya sendiri.”Liora masih menatap layar di depannya, jari-jarinya berhenti di atas keyboard.“Apa maksud lo?”“Dia datengin orang-orang kepercayaannya satu-satu. Nanya siapa yang ngasih bocoran data. Nggak ada yang jawab. Sekarang dua orang hilang. Nggak tahu ke mana.”Liora nunduk pelan, napasnya pelan tapi dalam. “Dia udah kehabisan cara.”Mikael jalan ke jendela, buka tirai sedikit. Di luar, hujan turun halus, tapi kons

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 65

    Udara Jakarta pagi itu berat. Langit mendung, tapi nggak hujan. Suasana di kantor terasa aneh kayak semua orang tahu ada sesuatu yang lagi berubah, tapi nggak ada yang mau ngomong.Liora datang tanpa suara. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya datar, tapi matanya capek banget.Mikael udah di ruangannya, lagi buka laporan keuangan proyek. Begitu Liora masuk, dia langsung nutup layar.“Dia mulai main kasar,” kata Mikael tanpa basa-basi.Liora duduk, naruh tas di lantai. “Kali ini apa?”“Semua supplier yang kerja sama sama kita dapet surat dari Rayden. Dia ancam mereka buat cabut.”Liora ngangguk pelan, tanpa ekspresi.“Berapa yang udah mundur?”“Tiga. Mungkin lima lagi nyusul kalau kita nggak gerak cepat.”Liora diam sebentar. “Dia udah nyiapin ini lama.”“Gue tahu,” sahut Mikael. “Tapi yang aneh, dia terlalu cepat. Biasanya dia lebih sabar dari ini.”Liora ngelirik. “Mungkin karena dia tahu waktunya nggak banyak.”Mikael nggak jawab, tapi wajahnya berubah.Beberapa hari kemudian, Rayde

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 64

    Hujan tetap turun, seperti rutinitas yang tak mau dilanggar. Jalanan lengang, lampu-lampu neon di kejauhan berkedip samar, dan angin membawa bau tanah basah masuk ke sela-sela pintu kaca kantor. Di dalam, hanya satu lampu meja yang menyala, melemparkan lingkaran hangat ke meja kerja penuh kertas.Liora duduk tegak, pandangannya tetap pada layar laptop yang menampilkan daftar nama dan nomor akun. Jarum jam di dinding menunjuk larut, tapi waktu rasanya melambat. Dia menutup sebuah file, membukanya lagi, mengecek ulang satu per satu dokumen legal yang baru saja dikirimkan ulang ke sistem. Semua berlabel atas nama Rayden.Tiga hari lalu mereka menemukan folder itu — bukti bahwa seseorang mengakses server mereka tepat saat rapat kedap-kedip terakhir. Tiga hari lalu, mereka tahu ada yang mengintip. Hari ini, fakta yang lebih pahit hadir: orang yang pernah mereka kenal, yang pernah mereka bantu dan juga caci, kembali dengan otoritas yang membuat mereka kehilangan pijakan.Kopinya dingin. Lio

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status