Share

Bab 9

Penulis: Senja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-02 09:55:04

Pagi itu, Liora berdiri cukup lama di depan cermin. Bukan karena ingin memastikan riasan wajahnya sempurna dia bahkan hanya memakai pelembab dan bedak tipis melainkan karena dia ingin melihat siapa dirinya hari ini. Setelah malam yang rumit, pertemuan mendadak dengan Rayden, dan percakapan panjang dengan Mikael, segalanya terasa... bergeser.

Di luar, langit mendung. Seolah turut mengiringi langkahnya yang tak begitu mantap menuju kantor.

Saat tiba di ruang kerjanya, Amara sudah menunggu dengan dua cangkir kopi panas. “Kamu kelihatan seperti baru pulang dari peperangan,” ujar wanita itu sambil menyodorkan kopi.

Liora mengangkat alis. “Mungkin karena aku memang sedang perang, hanya saja senjatanya bukan peluru.”

Amara tersenyum samar. “Kamu sudah menulis ulang naskahnya?”

Liora mengangguk. Ia mengeluarkan laptopnya dan membuka dokumen yang tadi malam ia koreksi berulang-ulang. Di dalamnya bukan hanya narasi, tapi luka-luka yang diurai perlahan. Bukan untuk dikasihani, tapi agar dimengerti.

Amara membacanya. Hening panjang menemani tiap scroll yang ia lakukan. Sampai akhirnya ia berkata, “Kamu tahu kan... ini bukan cuma tulisan. Ini semacam pengakuan.”

Liora menarik napas. “Aku tahu.”

Amara menatapnya lekat. “Kamu berani mempublikasikannya?”

Jawaban Liora tidak datang cepat. Tapi akhirnya ia mengangguk. “Kalau aku terus bersembunyi, aku tidak akan pernah sembuh.”

Amara tersenyum, kali ini lebih hangat. “Bagus. Karena naskahmu akan jadi bagian utama dari presentasi bulan depan. Kamu yang akan membacakannya.”

Liora menegang. “Aku?”

“Iya. Kamu. Karena tidak ada yang bisa bercerita lebih jujur dari orang yang mengalami sendiri.”

Malamnya, Liora berdiri di balkon apartemennya. Angin membawa sisa aroma hujan, dan kota tampak seperti meluruh dalam cahaya temaram. Ponselnya berbunyi. Nama Mikael muncul.

“Hei,” suara Mikael terdengar seperti pelukan.

“Hey,” jawab Liora, pelan.

“Kamu baik-baik saja?”

Liora tidak menjawab langsung. Tapi kemudian ia berkata, “Aku gak yakin. Tapi aku ingin mencoba. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku ingin mencoba percaya lagi.”

Di seberang, Mikael terdiam. “Aku juga. Aku belum pulih. Tapi mungkin, dua orang yang rusak bisa belajar untuk tidak saling menyakiti.”

Liora menatap lampu-lampu kota. “Itu terdengar seperti awal yang jujur.”

“Aku akan menemuimu besok,” kata Mikael.

“Kita akan bicara?”

“Tidak. Kita akan diam saja. Tapi aku ingin duduk di sebelahmu saat kamu diam. Itu cukup.”

Dan untuk pertama kalinya, Liora tidak merasa perlu menyembunyikan apa-apa. Luka, rasa takut, atau bahkan hatinya yang mulai membuka diri.

Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu, seperti hati Liora yang tak kunjung selesai bergelut dengan kenangan dan harapan. Hujan turun perlahan, tidak deras, tapi cukup untuk membuat setiap jendela kantor berkabut dan jalanan terasa beku oleh bayang-bayang orang yang sedang menunggu.

Di dalam ruang kerjanya yang sunyi, Liora duduk menatap layar laptop yang kosong. Satu paragraf terakhir yang ditulisnya untuk naskah "Narasi Luka" justru membuat pikirannya buyar:

"Ada nama yang tak pernah disebut, tapi menetap di hati. Dan ada nama yang disebut tiap hari, tapi hanya bertahan di permukaan."

Ia tak menulis siapa nama itu. Tapi ia tahu, Rayden dan Mikael kini mulai saling berganti menempati ruang yang sama ruang yang dulu milik luka, tapi kini menjadi arena tanya.

Pukul tujuh malam, Liora akhirnya keluar dari kantor. Ia berjalan menuju halte MRT, dan di sanalah takdir seolah ingin mempermainkan hati yang belum sembuh Rayden berdiri di sana, mengenakan jas abu-abu yang kini basah di bagian bahunya.

"Liora?"

Ia menoleh. Untuk sepersekian detik, waktu berhenti.

"Kamu ke mana aja sekarang? Susah banget dihubungin," katanya. Suaranya lembut, tapi membawa nada tertahan.

Liora tidak menjawab. Mereka berdiri berdampingan, diam dalam bising kota.

"Aku... dengar kamu lagi nulis tentang pengalaman pribadi?" Rayden mulai.

"Kamu masih mengakses dokumen kerjaan orang lain, Ray?"

Rayden tertawa kecil. "Enggak. Aku dengar dari Amara. Dia bilang kamu berani jujur. Itu hebat."

Liora menatap ke arah jalanan. Lampu mobil-mobil yang melintas memantul di genangan, seolah dunia sedang menari dalam kenangan.

"Dulu kamu juga minta aku jujur, tapi kamu yang pergi lebih dulu."

"Karena aku takut."

"Dan aku terluka."

Ada jeda panjang. Hujan makin deras.

Rayden mengusap wajahnya yang basah. "Aku enggak datang buat minta kesempatan kedua. Aku cuma... ingin kamu tahu bahwa waktu itu aku bodoh. Aku pikir kamu terlalu kuat untuk disakiti. Tapi ternyata... kamu juga bisa hancur."

Liora mengangguk perlahan. "Iya, aku hancur. Tapi aku juga bangkit lagi. Dan orang yang membantuku bangkit... bukan kamu."

Rayden menatapnya, tajam dan lirih.

"Namanya Mikael, kan?"

Liora tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang dan melangkah naik ke dalam MRT. Bukan pelarian, tapi pilihan. Di dalam kereta itu, ia duduk dan memejamkan mata, menahan guncangan rel dan guncangan batin yang tak kalah hebat.

Malam itu, Mikael mengirim pesan:

"Besok, aku ingin kamu nemenin aku ke pameran lukisan di Galeri Nasional. Bukan kerjaan, hanya... waktu yang kita bagi. Kalau kamu mau."

Liora membaca pesan itu berkali-kali. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, ia tersenyum bukan karena mengingat masa lalu tapi karena sedang melihat masa depan.

Ia mengetik:

"Aku akan datang. Bukan karena ingin lari dari masa lalu, tapi karena ingin memilih seseorang yang tetap tinggal."

Dan ia kirimkan.

Di sisi lain kota, Rayden berdiri di depan apartemennya, menatap langit yang mulai cerah. Ia tahu, tidak semua orang yang mencintai akan dimiliki. Dan mungkin, kali ini, yang harus ia pelajari adalah bagaimana mencintai dalam diam, dan melepaskan tanpa dendam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kau Hanya Masa lalu ku, tapi kenapa sangat sulit    Bab 21

    Hari berikutnya, suasana kantor terasa lain. Bukan hiruk-pikuk kerja yang biasanya mengisi udara, melainkan bisik-bisik samar yang berputar di setiap sudut.Liora baru saja masuk ke ruangannya ketika dua rekan kerja buru-buru menutup percakapan mereka. Tatapan mereka berpindah sekilas ke arah Liora, lalu berpura-pura sibuk dengan laptop.Ia mencoba menepis rasa tidak nyaman. Tapi semakin ia berjalan menyusuri lorong, semakin terasa jelas: ada sesuatu yang sedang diperbincangkan. Dan itu tentang dirinya.Di meja kerjanya, Liora menyalakan komputer. Tapi pikirannya tidak bisa fokus. Ia ingat tatapan-tatapan tadi, juga nada bisik yang tak sempat ia tangkap.Beberapa menit kemudian, Mikael datang. Seperti biasa, membawa secangkir kopi hangat untuknya. Namun kali ini ia tidak langsung tersenyum lebar seperti biasanya.“Ada apa?” tanya Liora, menangkap perubahan ekspresinya.Mikael menaruh kopi di mejanya, lalu mencondongkan badan. Suaranya diturunkan. “Lo, kamu tahu nggak? Ada gosip bereda

  • Kau Hanya Masa lalu ku, tapi kenapa sangat sulit    Bab 20

    Pagi itu kantor terasa lebih riuh dari biasanya. Semua orang sibuk, beberapa tim bahkan lembur semalaman demi revisi terakhir. Suasana penuh tekanan, tapi juga penuh energi.Liora duduk di mejanya, menatap layar yang penuh dengan slide presentasi yang sudah ia revisi sampai dini hari. Mata lelah, tapi ada kepuasan tersendiri melihat hasil kerja kerasnya.Tak lama, Amara muncul. Seperti biasa, penampilannya rapi dan berwibawa, tapi pagi itu ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Sorot matanya tajam, seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Liora,” katanya pelan, tapi jelas. “Aku sudah lihat revisi kamu.”Liora mengangguk, menunggu komentar.Amara menarik kursi, duduk di sampingnya. “Jujur saja, konsep kamu kuat. Terlalu kuat. Bahkan… bisa jadi lebih menonjol daripada rencana presentasi tim inti.”Liora terdiam. Ia tahu ini bukan sekadar pujian. Ada nada peringatan terselubung.“Apakah itu masalah?” tanya Liora akhirnya.Amara menatapnya lekat. “Masalah kalau kamu tidak tahu cara mengelola

  • Kau Hanya Masa lalu ku, tapi kenapa sangat sulit    Bab 19

    Pagi itu, Liora bangun dengan rasa campur aduk. Kemenangan besok-presentasi sudah di tangannya, tapi ada sesuatu yang mengganjal perasaan yang belum sepenuhnya tenang. Seperti bayangan masa lalu yang menempel di setiap langkahnya. Ia membuka laptop, mengecek email masuk. Ada satu pesan dari Rayden, singkat tapi cukup untuk membuat dadanya berdebar. “Aku ingin bicara. Hari ini, setelah jam kerja.” Liora menatap layar sejenak. Rasanya ingin menutup email itu dan melupakan saja. Tapi ada sesuatu di nada tulisannya yang sulit diabaikan. Ia menarik napas panjang, menulis balasan singkat: “Baik. Kita bicara di kafe dekat kantor jam 6.” Di Kantor Seharian di kantor terasa berbeda. Liora mencoba fokus, tapi pikirannya sering melayang ke jam enam sore. Amara terlihat sibuk dengan dokumen dan rapat kecil bersama tim, tapi matanya beberapa kali menyapu arah Liora. Ada rasa penasaran, tapi juga sedikit was-was. Mikael datang seperti biasa, membawa kopi untuk Liora. Ia tersenyum hangat. “P

  • Kau Hanya Masa lalu ku, tapi kenapa sangat sulit    Bab 18

    Ruang konferensi akhirnya kosong. Kursi-kursi yang tadi dipenuhi investor kini tertinggal sendirian, seperti saksi bisu pertunjukan Liora. Ia duduk di meja panjang, menarik napas panjang. Tubuhnya lelah, tapi hatinya terasa ringan campuran lega dan sedikit bangga yang tak biasa ia rasakan.Mikael masih duduk di kursi paling depan, menatapnya dengan senyum yang sama dari tadi. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya mengangguk. Itu saja sudah cukup untuk membuat Liora merasa seperti pulang.Namun, udara lega itu segera tersayat oleh kehadiran dua orang yang tidak ia sangka masih ada di ruangan: Rayden dan Amara.Rayden berdiri di samping pintu, tangannya terkepal perlahan. Matanya tidak lagi menilai. Ia tampak... bingung. Seolah ada sesuatu yang ia lihat sekarang, tapi tidak bisa dijelaskan.Amara menatap Liora dengan tatapan yang sulit dibaca. Tidak dingin, tapi juga tidak sepenuhnya hangat. Ada campuran rasa penasaran, kekaguman, dan mungkin sedikit iri.Liora menarik napas. “Apa kalian masi

  • Kau Hanya Masa lalu ku, tapi kenapa sangat sulit    Bab 17

    Pagi itu udara masih dingin. Hujan tipis turun, membasahi kaca jendela kantor yang berlantai dua puluh. Liora berdiri di depan cermin kamar mandi lantai bawah, menggenggam kedua tangannya erat-erat. Nafasnya pendek, seakan dadanya dikunci dari dalam. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, blazer abu-abu muda, dan celana panjang hitam. Rambutnya diikat rapi, wajahnya diberi sedikit polesan make-up natural yang dipaksakan oleh tim Amara. Ia terlihat tenang dari luar, tapi tangannya bergetar halus saat menyentuh keran air. “Liora?” suara pelan terdengar dari pintu. Itu Mikael. Ia menoleh cepat, sedikit terkejut. “Kamu udah di sini?” Mikael melongok, tersenyum kecil. “Janji gue, kan? Kursi paling depan.” Liora berusaha tersenyum. “Aku... masih nggak yakin bisa.” Mikael masuk, menepuk pelan bahunya. “Kalau kamu jatuh, jatuh aja. Tapi jatuh di depan orang-orang itu lebih baik daripada nggak pernah berdiri sama sekali.” Ada keheningan sejenak. Hanya suara hujan yang terdengar di balik

  • Kau Hanya Masa lalu ku, tapi kenapa sangat sulit    Bab 16

    Hari itu kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua orang berlarian dengan berkas, laptop, dan daftar pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya. Presentasi besar dengan para investor tinggal satu hari lagi. Dan semua sorot mata secara tidak langsung tertuju pada satu orang, Liora.Ia mencoba menenangkan diri, meski dalam hati degup jantungnya tak beraturan. Selama ini, ia terbiasa jadi orang di balik layar penulis konsep, penyusun narasi, orang yang menciptakan kerangka besar tapi membiarkan orang lain yang berdiri di depan panggung.Kini, Amara justru mendorongnya untuk tampil langsung. “Kalau kamu berani menghadapi ini,” kata Amara, “kamu akan tahu bahwa kamu lebih dari sekadar bayangan siapa pun.”Di meja kerjanya, Liora menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Kalimat demi kalimat presentasi sudah ia hafal di luar kepala. Tapi yang membuatnya khawatir bukan kontennya, melainkan dirinya sendiri. Apakah ia cukup kuat untuk berdiri di depan begitu banyak orang tanpa runtuh? Apa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status