LOGINPagi itu, Liora berdiri cukup lama di depan cermin. Bukan karena ingin memastikan riasan wajahnya sempurna dia bahkan hanya memakai pelembab dan bedak tipis melainkan karena dia ingin melihat siapa dirinya hari ini. Setelah malam yang rumit, pertemuan mendadak dengan Rayden, dan percakapan panjang dengan Mikael, segalanya terasa... bergeser.
Di luar, langit mendung. Seolah turut mengiringi langkahnya yang tak begitu mantap menuju kantor. Saat tiba di ruang kerjanya, Amara sudah menunggu dengan dua cangkir kopi panas. “Kamu kelihatan seperti baru pulang dari peperangan,” ujar wanita itu sambil menyodorkan kopi. Liora mengangkat alis. “Mungkin karena aku memang sedang perang, hanya saja senjatanya bukan peluru.” Amara tersenyum samar. “Kamu sudah menulis ulang naskahnya?” Liora mengangguk. Ia mengeluarkan laptopnya dan membuka dokumen yang tadi malam ia koreksi berulang-ulang. Di dalamnya bukan hanya narasi, tapi luka-luka yang diurai perlahan. Bukan untuk dikasihani, tapi agar dimengerti. Amara membacanya. Hening panjang menemani tiap scroll yang ia lakukan. Sampai akhirnya ia berkata, “Kamu tahu kan... ini bukan cuma tulisan. Ini semacam pengakuan.” Liora menarik napas. “Aku tahu.” Amara menatapnya lekat. “Kamu berani mempublikasikannya?” Jawaban Liora tidak datang cepat. Tapi akhirnya ia mengangguk. “Kalau aku terus bersembunyi, aku tidak akan pernah sembuh.” Amara tersenyum, kali ini lebih hangat. “Bagus. Karena naskahmu akan jadi bagian utama dari presentasi bulan depan. Kamu yang akan membacakannya.” Liora menegang. “Aku?” “Iya. Kamu. Karena tidak ada yang bisa bercerita lebih jujur dari orang yang mengalami sendiri.” Malamnya, Liora berdiri di balkon apartemennya. Angin membawa sisa aroma hujan, dan kota tampak seperti meluruh dalam cahaya temaram. Ponselnya berbunyi. Nama Mikael muncul. “Hei,” suara Mikael terdengar seperti pelukan. “Hey,” jawab Liora, pelan. “Kamu baik-baik saja?” Liora tidak menjawab langsung. Tapi kemudian ia berkata, “Aku gak yakin. Tapi aku ingin mencoba. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku ingin mencoba percaya lagi.” Di seberang, Mikael terdiam. “Aku juga. Aku belum pulih. Tapi mungkin, dua orang yang rusak bisa belajar untuk tidak saling menyakiti.” Liora menatap lampu-lampu kota. “Itu terdengar seperti awal yang jujur.” “Aku akan menemuimu besok,” kata Mikael. “Kita akan bicara?” “Tidak. Kita akan diam saja. Tapi aku ingin duduk di sebelahmu saat kamu diam. Itu cukup.” Dan untuk pertama kalinya, Liora tidak merasa perlu menyembunyikan apa-apa. Luka, rasa takut, atau bahkan hatinya yang mulai membuka diri. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu, seperti hati Liora yang tak kunjung selesai bergelut dengan kenangan dan harapan. Hujan turun perlahan, tidak deras, tapi cukup untuk membuat setiap jendela kantor berkabut dan jalanan terasa beku oleh bayang-bayang orang yang sedang menunggu. Di dalam ruang kerjanya yang sunyi, Liora duduk menatap layar laptop yang kosong. Satu paragraf terakhir yang ditulisnya untuk naskah "Narasi Luka" justru membuat pikirannya buyar: "Ada nama yang tak pernah disebut, tapi menetap di hati. Dan ada nama yang disebut tiap hari, tapi hanya bertahan di permukaan." Ia tak menulis siapa nama itu. Tapi ia tahu, Rayden dan Mikael kini mulai saling berganti menempati ruang yang sama ruang yang dulu milik luka, tapi kini menjadi arena tanya. Pukul tujuh malam, Liora akhirnya keluar dari kantor. Ia berjalan menuju halte MRT, dan di sanalah takdir seolah ingin mempermainkan hati yang belum sembuh Rayden berdiri di sana, mengenakan jas abu-abu yang kini basah di bagian bahunya. "Liora?" Ia menoleh. Untuk sepersekian detik, waktu berhenti. "Kamu ke mana aja sekarang? Susah banget dihubungin," katanya. Suaranya lembut, tapi membawa nada tertahan. Liora tidak menjawab. Mereka berdiri berdampingan, diam dalam bising kota. "Aku... dengar kamu lagi nulis tentang pengalaman pribadi?" Rayden mulai. "Kamu masih mengakses dokumen kerjaan orang lain, Ray?" Rayden tertawa kecil. "Enggak. Aku dengar dari Amara. Dia bilang kamu berani jujur. Itu hebat." Liora menatap ke arah jalanan. Lampu mobil-mobil yang melintas memantul di genangan, seolah dunia sedang menari dalam kenangan. "Dulu kamu juga minta aku jujur, tapi kamu yang pergi lebih dulu." "Karena aku takut." "Dan aku terluka." Ada jeda panjang. Hujan makin deras. Rayden mengusap wajahnya yang basah. "Aku enggak datang buat minta kesempatan kedua. Aku cuma... ingin kamu tahu bahwa waktu itu aku bodoh. Aku pikir kamu terlalu kuat untuk disakiti. Tapi ternyata... kamu juga bisa hancur." Liora mengangguk perlahan. "Iya, aku hancur. Tapi aku juga bangkit lagi. Dan orang yang membantuku bangkit... bukan kamu." Rayden menatapnya, tajam dan lirih. "Namanya Mikael, kan?" Liora tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang dan melangkah naik ke dalam MRT. Bukan pelarian, tapi pilihan. Di dalam kereta itu, ia duduk dan memejamkan mata, menahan guncangan rel dan guncangan batin yang tak kalah hebat. Malam itu, Mikael mengirim pesan: "Besok, aku ingin kamu nemenin aku ke pameran lukisan di Galeri Nasional. Bukan kerjaan, hanya... waktu yang kita bagi. Kalau kamu mau." Liora membaca pesan itu berkali-kali. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, ia tersenyum bukan karena mengingat masa lalu tapi karena sedang melihat masa depan. Ia mengetik: "Aku akan datang. Bukan karena ingin lari dari masa lalu, tapi karena ingin memilih seseorang yang tetap tinggal." Dan ia kirimkan. Di sisi lain kota, Rayden berdiri di depan apartemennya, menatap langit yang mulai cerah. Ia tahu, tidak semua orang yang mencintai akan dimiliki. Dan mungkin, kali ini, yang harus ia pelajari adalah bagaimana mencintai dalam diam, dan melepaskan tanpa dendam.Sudah lewat tengah malam ketika Liora baru sadar dia belum makan apa pun sejak pagi. Lampu ruangannya masih nyala, meski listrik sempat beberapa kali turun karena hujan yang terus mengguyur sejak sore. Mikael masih di ruang server, sementara Clara duduk di pojok ruangan, menatap layar yang kosong. Matanya sayu, tapi tangannya masih memegang ponsel, seolah takut melewatkan sesuatu. Liora menatapnya. “Lo belum tidur lagi?” Clara menggeleng. “Nggak bisa. Setiap kali gue merem, yang kebayang cuma muka Rayden waktu terakhir kali kita kerja bareng. Tatapan dia waktu itu... beda, Li. Gue masih inget banget.” Liora menarik napas pelan. “Gue tahu. Tapi sekarang bukan waktunya mikirin masa lalu. Dia udah mulai nyerang. Kita harus siap.” “Gue capek, Li,” kata Clara lirih. “Lo tahu nggak, setiap hari gue bangun dengan perasaan kayak... semua ini nggak akan selesai.” Liora menatapnya lama, lalu mendekat. “Denger, Clara. Gue nggak janji semuanya bakal baik-baik aja. Tapi gue janji sat
Malam itu udara Cisarua dingin menusuk.Lampu di dalam rumah Rayden redup, hanya satu bohlam di ruang tamu yang masih menyala.Di meja, tumpukan dokumen berantakan, berserakan dengan botol minuman yang sudah hampir kosong.Rayden duduk diam.Matanya sembab, tapi pikirannya masih penuh perhitungan.Setiap detik, dia menatap layar laptopnya, menunggu sesuatu yang bahkan dia sendiri nggak yakin masih ada.Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar pelan.Satu kali. Dua kali. Lalu berhenti.Rayden berdiri dengan langkah berat. “Siapa?”Suara dari luar jawab singkat, “Orang lama, Den.”Rayden buka pintu perlahan. Di luar berdiri seseorang yang dulu pernah kerja untuknya, Rafi anak muda yang pernah dia tolong, tapi kemudian memilih keluar karena muak dengan cara Rayden bekerja.“Lo ngapain ke sini?” tanya Rayden datar.Rafi menatap dia lama. “Lo masih punya waktu buat nyelamatin diri, Den. Jangan terusin ini.”Rayden ketawa kecil, pahit. “Nyelamatin diri? Dari siapa? Dari mereka? Dari ora
Sudah seminggu sejak malam itu di gudang.Rayden menghilang, tapi kabarnya masih ada di mana-mana. Nama yang dulunya ditakuti sekarang cuma disebut dengan nada waspada bukan hormat, tapi takut karena nggak tahu dia bakal ngelakuin apa selanjutnya.Liora jarang bicara. Dia datang ke kantor tiap pagi, buka komputer, kerja, tapi matanya nggak pernah benar-benar fokus.Di meja seberang, Mikael sering nyoba mulai percakapan, tapi selalu berhenti di tengah.Hari itu, Clara datang lebih pagi dari biasanya.Rambutnya diikat, matanya masih bengkak. Dia nggak nyapa siapa pun, cuma langsung buka map besar di tangannya.“Lo harus liat ini,” katanya pelan ke Liora.Liora nyari posisi duduk, lalu buka map itu.Di dalamnya ada laporan bank, tanda tangan palsu, dan data transfer yang aneh.“Dari mana lo dapet ini?” tanya Liora.“Dari orang gue di bagian audit internal,” jawab Clara. “Rayden mindahin dana proyek ke rekening atas nama perusahaan kosong. Jumlahnya gede banget.”Mikael nyengir miris. “Di
Udara malam itu berat, seperti mengandung sesuatu yang mau pecah tapi nahan diri.Kota masih hidup, tapi Liora ngerasa semuanya bergerak lebih cepat dari yang seharusnya.Telepon berdering tanpa henti, pesan datang bertubi-tubi laporan, kabar, potongan berita yang semua punya satu nama di dalamnya: Rayden.Mikael nyampe ke apartemennya jam sebelas lewat.Mukanya kusut, kemejanya lecek, napasnya berat. Dia nggak langsung duduk, cuma berdiri di depan meja makan yang penuh map dan laptop.“Dia mulai gila, Li,” katanya akhirnya. “Dia ngejar semua orang, bahkan anak buahnya sendiri.”Liora masih menatap layar di depannya, jari-jarinya berhenti di atas keyboard.“Apa maksud lo?”“Dia datengin orang-orang kepercayaannya satu-satu. Nanya siapa yang ngasih bocoran data. Nggak ada yang jawab. Sekarang dua orang hilang. Nggak tahu ke mana.”Liora nunduk pelan, napasnya pelan tapi dalam. “Dia udah kehabisan cara.”Mikael jalan ke jendela, buka tirai sedikit. Di luar, hujan turun halus, tapi kons
Udara Jakarta pagi itu berat. Langit mendung, tapi nggak hujan. Suasana di kantor terasa aneh kayak semua orang tahu ada sesuatu yang lagi berubah, tapi nggak ada yang mau ngomong.Liora datang tanpa suara. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya datar, tapi matanya capek banget.Mikael udah di ruangannya, lagi buka laporan keuangan proyek. Begitu Liora masuk, dia langsung nutup layar.“Dia mulai main kasar,” kata Mikael tanpa basa-basi.Liora duduk, naruh tas di lantai. “Kali ini apa?”“Semua supplier yang kerja sama sama kita dapet surat dari Rayden. Dia ancam mereka buat cabut.”Liora ngangguk pelan, tanpa ekspresi.“Berapa yang udah mundur?”“Tiga. Mungkin lima lagi nyusul kalau kita nggak gerak cepat.”Liora diam sebentar. “Dia udah nyiapin ini lama.”“Gue tahu,” sahut Mikael. “Tapi yang aneh, dia terlalu cepat. Biasanya dia lebih sabar dari ini.”Liora ngelirik. “Mungkin karena dia tahu waktunya nggak banyak.”Mikael nggak jawab, tapi wajahnya berubah.Beberapa hari kemudian, Rayde
Hujan tetap turun, seperti rutinitas yang tak mau dilanggar. Jalanan lengang, lampu-lampu neon di kejauhan berkedip samar, dan angin membawa bau tanah basah masuk ke sela-sela pintu kaca kantor. Di dalam, hanya satu lampu meja yang menyala, melemparkan lingkaran hangat ke meja kerja penuh kertas.Liora duduk tegak, pandangannya tetap pada layar laptop yang menampilkan daftar nama dan nomor akun. Jarum jam di dinding menunjuk larut, tapi waktu rasanya melambat. Dia menutup sebuah file, membukanya lagi, mengecek ulang satu per satu dokumen legal yang baru saja dikirimkan ulang ke sistem. Semua berlabel atas nama Rayden.Tiga hari lalu mereka menemukan folder itu — bukti bahwa seseorang mengakses server mereka tepat saat rapat kedap-kedip terakhir. Tiga hari lalu, mereka tahu ada yang mengintip. Hari ini, fakta yang lebih pahit hadir: orang yang pernah mereka kenal, yang pernah mereka bantu dan juga caci, kembali dengan otoritas yang membuat mereka kehilangan pijakan.Kopinya dingin. Lio







