LOGINSore itu, saat hujan kembali turun seperti kebiasaan langit di pertengahan bulan, Liora membuka kembali laptopnya. Ada email masuk. Dari Amara.
Subject: Penyesuaian Konsep Isi: Liora, Setelah mempertimbangkan presentasi tadi pagi, saya ingin kita bertemu lagi besok pagi. Saya ingin melihat pendekatan kamu terhadap konsep narasi dari sisi pengalaman pribadi. Saya percaya kamu punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Amara Liora mengerutkan dahi. "Pengalaman pribadi?" Apakah Amara mencoba masuk ke sisi lain yang lebih personal? Atau hanya strategi untuk membuatnya terbuka? Ia tidak yakin. Tapi satu hal yang ia tahu, permintaan itu bukan permintaan biasa. Malam itu, di kamarnya, Liora membuka folder lama di komputernya. Berkas-berkas tulisan, puisi, dan jurnal yang dulu ia simpan jauh karena terlalu jujur untuk dibaca ulang. Ia membuka satu file berjudul: Bersamaku atau Tidak dengan yang Lain. Ia membaca ulang kalimat demi kalimat yang dulu ia tulis di malam-malam penuh tangis: “Aku mencintaimu bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu membuat aku ingin percaya pada cinta, bahkan ketika aku sendiri tidak yakin cinta itu masih ada.” Air mata tak turun, tapi dadanya terasa berat. Luka-luka itu belum hilang, hanya berubah bentuk. Menjadi ruang-ruang kosong yang kini harus ia isi sendiri. Keesokan paginya, Liora masuk ke ruang meeting lebih awal. Amara sudah di sana, duduk tenang sambil menatap layar laptop. "Aku baca puisi kamu semalam," ujar Amara tiba-tiba. "Rayden pernah menunjukkannya padaku. Dulu. Sebelum semuanya berakhir di antara kami." Liora terdiam. Perasaannya tak tentu arah. "Kenapa kamu bilang begitu sekarang?" "Karena aku ingin tahu, apakah kamu masih menulis puisi yang sama... atau kamu sudah menulis puisi untuk orang lain." Pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan. Tapi tantangan. Dan mungkin juga pengakuan bahwa masa lalu memang tidak akan pernah bisa dibuang, hanya bisa dihadapi. Liora menatapnya lurus. "Aku tidak menulis puisi untuk siapa-siapa lagi. Tapi aku sedang menulis ulang diriku sendiri. Itu lebih penting daripada sekadar menulis untuk seseorang." Amara mengangguk perlahan. Dan untuk pertama kalinya, ada senyum tipis di wajahnya. Setelah rapat, Liora melangkah keluar menuju balkon kantor. Udara masih menyimpan sisa-sisa hujan. Di sana, Mikael sudah berdiri lebih dulu dengan dua cangkir kopi di tangannya. "Tadi kulihat kamu bicara serius dengan Amara," katanya, menyodorkan satu cangkir ke Liora. "Biasa. Tentang pekerjaan. Dan... sedikit tentang masa lalu." Mikael mengangguk pelan, lalu menatap langit yang perlahan cerah. "Aku juga kadang masih dihantui masa lalu. Tapi kamu tahu? Itu bukan berarti kita belum sembuh. Kadang, luka memang tak perlu hilang agar kita bisa berjalan." Liora tersenyum. Kalimat itu seperti jawaban dari keraguan yang tadi menari di pikirannya semalaman. "Mikael... apa kamu pernah merasa, bahwa kamu sedang jatuh cinta tapi takut untuk benar-benar menyebutnya begitu?" Mikael menoleh, menatapnya dengan lembut. "Aku sedang merasa seperti itu sekarang. Tapi kurasa, untuk pertama kalinya... aku tidak ingin melarikan diri." Dan untuk sesaat, tidak ada kata-kata yang lebih tepat dari diam. Karena dalam diam itulah, dua hati belajar untuk bertemu pelan-pelan, tanpa terburu-buru. Malamnya, Liora kembali ke laptopnya. Ia membuka file puisi itu lagi, lalu menambahkan satu baris di bawahnya. “Aku tidak tahu apakah kamu akan bersamaku atau tidak dengan yang lain. Tapi kali ini, aku ingin tetap berdiri... bahkan jika sendirian.” Lalu ia menutup laptop, memeluk dirinya sendiri, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama ia merasa cukup. Udara Jakarta selepas hujan membawa bau tanah basah yang samar, berpadu dengan aroma kopi yang masih tersisa di ingatan Liora dari pagi tadi. Hari itu berjalan lambat, namun bukan berarti tanpa gejolak. Sejak pertemuannya dengan Amara, dan kemudian percakapannya dengan Mikael di balkon, Liora merasa seperti ada jendela kecil yang terbuka dalam dirinya jendela yang selama ini tertutup rapat karena terlalu takut melihat apa yang ada di baliknya. Siang itu, ia duduk sendiri di café kecil dekat kantor. Tempat itu tidak terlalu ramai, hanya ada suara denting sendok dan lagu-lagu jazz pelan yang mengalun dari speaker tua di pojok ruangan. Di hadapannya, secangkir cappuccino mulai dingin, tapi Liora tidak peduli. Ia membuka ponselnya, membuka aplikasi catatan, dan mulai mengetik sesuatu. Aku tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh. Mungkin saat kamu mulai diam-diam menaruh kopi di mejaku. Mungkin saat kamu tidak banyak bicara, tapi selalu tahu kapan aku butuh seseorang. Atau mungkin… saat kamu duduk di sampingku, tanpa berusaha memperbaiki apa pun, tapi membuat semuanya terasa tidak terlalu berat. Ia berhenti. Jari-jarinya gemetar sedikit. Bukan karena dingin, tapi karena terlalu jujur. Ia ingin mengirimkan pesan itu ke Mikael. Tapi ia tidak jadi. Karena belum saatnya. Atau… karena ia belum cukup berani untuk jujur soal rindu yang tumbuh dari hal-hal kecil yang nyaris tak terlihat. Sementara itu, Mikael berada di apartemennya. Ia menatap foto lamanya dengan Laras, yang masih tersimpan di bingkai di atas rak buku. Sudah beberapa kali ia ingin membuangnya, tapi tak pernah benar-benar melakukannya. Malam ini, ia mengambil foto itu, membuka bingkainya, dan menyelipkannya ke dalam laci. Bukan karena ia membenci masa lalu, tapi karena akhirnya ia sadar: masa lalu bukan untuk dibawa terus-terusan. Ada saatnya seseorang meletakkan beban, bukan karena lelah, tapi karena ingin melangkah. Dan langkah Mikael malam itu, kecil tapi berarti. Ia membuka ponselnya, mengetik sebuah pesan untuk Liora. Kalau suatu hari kamu ingin cerita bukan soal kerjaan, tapi soal kamu yang sesungguhnya aku siap mendengarkan. Tanpa menghakimi. Tanpa menyela. Ia tidak langsung kirim. Sama seperti Liora, ia menatap layar cukup lama sebelum akhirnya menghapus huruf-huruf itu satu per satu. Karena seperti Liora, ia belum tahu apakah waktunya sudah tepat. Esok paginya, mereka kembali bertemu di kantor. Tidak ada dialog panjang. Hanya sapa pelan dan senyum yang lebih tenang. Tapi kadang, perasaan yang paling dalam tidak muncul dalam kata-kata. Ia hadir dalam tatapan yang lebih lama, dalam jeda yang dibiarkan menggantung, dalam langkah yang secara tidak sengaja seirama. Dan pagi itu, langkah Liora dan Mikael menuju lift yang sama, berdiri di ruang yang sama, dan saling diam di dalamnya. Hening, tapi tidak asing. Diam, tapi tidak canggung. Di dalam benaknya, Liora masih mengingat puisi yang belum selesai ia tulis semalam. Ia ingin menyambungnya. Tapi bukan di laptop, bukan di atas kertas. Ia menyambungnya dengan hidup. Dengan keputusan untuk tetap hadir di hari ini. Untuk memberi kesempatan. Bukan hanya pada Mikael. Tapi juga pada dirinya sendiri. Karena kadang, cinta tidak selalu datang dengan parade besar atau pengakuan mewah. Ia datang dalam bentuk paling sunyi seperti hujan yang turun pelan-pelan, tapi akhirnya membasahi tanah yang sudah lama retak.Malam itu, di kantor kecil mereka, lampu-lampu hangat menyinari meja panjang penuh dokumen, laptop, dan catatan-catatan. Hujan deras di luar seakan menambah ketegangan, tapi di dalam ruangan, suasana lebih panas: ini adalah malam perencanaan terakhir sebelum aksi dimulai. Liora duduk di tengah, membuka dokumen yang dikirim Clara. Mikael menatap layar laptop, jari-jari siap mengetik setiap instruksi. Clara, meski lelah, duduk di samping dengan mata tajam dan penuh konsentrasi. “Baik,” Liora membuka pembicaraan, “dokumen ini memberi kita titik masuk yang jelas. Kita tahu aliran uang, siapa yang terlibat, dan lokasi perusahaan cangkang. Sekarang, kita harus menentukan siapa melakukan apa.” Mikael menatap mereka berdua. “Clara akan tetap masuk sebagai mata-mata di Eterna. Semua bukti akan terus dia kirim ke kita secara terenkripsi. Dia juga harus memperhatikan siapa pun yang mencurigakan tidak hanya Rayden, tapi juga staf yang mungkin bagian dari jaringan.” Clara mengangguk, meski
Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap. Clara berdiri di depan gedung Eterna Global Trading, detak jantungnya berpacu kencang. Gedung kaca tinggi itu memantulkan sinar matahari pagi, seolah menantang keberaniannya. Ia mengenakan blazer hitam sederhana, rambut diikat rapi, dan tas kerja tipis yang menyembunyikan alat-alat pengawasan dari Mikael. Di tangannya, resume lamanya yang sudah dimodifikasi. Ia menelan ludah. “Ini dia, titik awalnya,” bisiknya pelan. Clara memasuki lobi gedung dengan langkah mantap, meskipun seluruh tubuhnya bergetar. Petugas keamanan menatapnya sebentar, lalu mengangguk ketika melihat ID palsu yang sudah disiapkan Mikael. “Selamat pagi, Bu Clara,” sapa petugas, seolah tak menaruh curiga. Clara menahan napas, tersenyum tipis. “Selamat pagi.” Setiap langkah di lantai marmer itu terasa seperti berjalan di atas kaca tipis. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa membuatnya terdeteksi Rayden atau orang-orang yang bekerja untuknya. Pertemuan dengan Tim HR Cla
Malam itu kantor Liora tidak seperti biasanya. Lampu-lampu masih menyala, layar komputer berderet penuh angka, dan tumpukan dokumen berserakan. Mikael duduk di depan monitor dengan kemeja yang sudah kusut. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, wajahnya serius penuh konsentrasi. Clara duduk di kursi sebelah, masih menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Sementara Liora berdiri di dekat jendela, menatap keluar seolah mencari jawaban dari kegelapan kota. “Jejak uang ini tidak mudah diikuti,” gumam Mikael, matanya tak lepas dari layar. “Rayden menggunakan beberapa rekening bayangan, semuanya lewat perusahaan cangkang.” “Bisakah kau tembus?” tanya Liora, nadanya tegas namun ada sedikit getaran. Mikael mengangguk kecil. “Aku sudah melewati dua lapis. Tapi ada sesuatu yang aneh. Rekening ini terhubung bukan hanya ke Rayden, tapi ke sebuah nama besar yang… jujur saja, tidak kusangka.” Clara mendekat, penasaran. “Siapa, Pak Mikael?” Mikael menekan enter, lalu sebuah nama m
Malam itu, ruang rapat kantor Liora terasa lebih tegang daripada biasanya. Hanya ada tiga orang di sana: Liora, Mikael, dan Clara. Di luar, hujan deras mengguyur kota, seakan menyembunyikan segala percakapan yang terjadi di dalam. Clara duduk dengan wajah pucat, kedua tangannya menggenggam erat secangkir kopi yang sudah dingin. Ia tahu, sekali salah langkah, hidupnya bisa hancur. Tapi ia juga tahu, ini adalah kesempatan terakhir untuk menebus kesalahannya. “Clara,” suara Liora tenang tapi tegas, “kalau kau benar-benar ingin menebus semuanya, maka kau harus siap mengambil risiko yang sama besar dengan yang aku ambil.” Clara mengangguk cepat. “Aku siap, Bu. Aku tidak mau terus hidup di bawah ancaman Rayden.” Mikael menggeser laptopnya ke arah Clara. Di layar, muncul catatan komunikasi digital. “Kau bilang Rayden menghubungimu lewat pesan terenkripsi. Apakah kau masih menyimpannya?” Clara menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. “Aku simpan semuanya. Aku tidak berani
Malam masih panjang ketika Rayden duduk di ruang kantornya yang hanya diterangi lampu meja. Asap rokok tipis mengepul di udara. Di depannya terbentang laporan keuangan dan sejumlah dokumen yang ia peroleh dengan cara yang tidak bersih. Matanya menyipit, penuh amarah bercampur obsesi. “Kalau kata-katamu bisa membuat orang mencintaimu, Liora, maka aku akan tunjukkan betapa rapuhnya dunia yang kau bangun.” Rayden mengetik pesan di ponselnya kepada seorang pengusaha yang dikenal licik, bernama Adrian Halberd. “Aku punya tawaran. Kita buat Liora terlihat terlibat dalam penggelapan dana proyek. Aku siapkan dokumennya, kau mainkan kontakmu di media. Kau dapat bagian, aku dapat kehancurannya.” Balasan datang singkat, penuh persetujuan: “Kau selalu tahu cara membuat orang jatuh, Rayden. Anggap selesai.” Rayden tersenyum tipis, dingin. “Kali ini, Liora tidak akan bisa lari.” Sementara itu, Liora dan Mikael duduk di sebuah kafe kecil yang jarang diketahui orang. Hujan turun lembu
Pagi itu, notifikasi ponsel Liora tak berhenti berbunyi. Pesan, mention, dan email masuk seperti badai. Ia baru saja menyalakan televisi ketika berita pagi menayangkan headline yang membuat jantungnya berhenti sejenak: “Masa Lalu Kelam Liora Terungkap: Keluarga Sendiri Menyalahkannya atas Kejadian Tragis.” Gambar wajahnya terpampang besar di layar. Narasi berita itu seakan-akan menguliti dirinya hidup-hidup: kisah masa kecil, bagaimana ia pernah dituduh sebagai penyebab penderitaan ayahnya, dan bagaimana keluarganya lebih sering menyalahkan daripada merangkul. Semua itu rahasia yang ia simpan begitu dalam, yang hanya sedikit orang tahu kini diumbar ke dunia. Tangannya gemetar memegang remote. Pandangannya kabur, udara seakan hilang dari paru-parunya. “Tidak…” suaranya nyaris tak terdengar. Mikael yang baru masuk ke ruang tamu langsung menatap layar, lalu berbalik ke arahnya. “Lior—” Air mata jatuh, bukan karena malu, tapi karena luka lama yang dipaksa terbuka kembali.







