Share

Bab 7

Author: Senja
last update Last Updated: 2025-08-01 10:59:58

Sore itu, saat hujan kembali turun seperti kebiasaan langit di pertengahan bulan, Liora membuka kembali laptopnya. Ada email masuk. Dari Amara.

Subject: Penyesuaian Konsep

Isi:

Liora,

Setelah mempertimbangkan presentasi tadi pagi, saya ingin kita bertemu lagi besok pagi. Saya ingin melihat pendekatan kamu terhadap konsep narasi dari sisi pengalaman pribadi. Saya percaya kamu punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang.

Amara

Liora mengerutkan dahi. "Pengalaman pribadi?" Apakah Amara mencoba masuk ke sisi lain yang lebih personal? Atau hanya strategi untuk membuatnya terbuka? Ia tidak yakin. Tapi satu hal yang ia tahu, permintaan itu bukan permintaan biasa.

Malam itu, di kamarnya, Liora membuka folder lama di komputernya. Berkas-berkas tulisan, puisi, dan jurnal yang dulu ia simpan jauh karena terlalu jujur untuk dibaca ulang. Ia membuka satu file berjudul: Bersamaku atau Tidak dengan yang Lain.

Ia membaca ulang kalimat demi kalimat yang dulu ia tulis di malam-malam penuh tangis:

“Aku mencintaimu bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu membuat aku ingin percaya pada cinta, bahkan ketika aku sendiri tidak yakin cinta itu masih ada.”

Air mata tak turun, tapi dadanya terasa berat. Luka-luka itu belum hilang, hanya berubah bentuk. Menjadi ruang-ruang kosong yang kini harus ia isi sendiri.

Keesokan paginya, Liora masuk ke ruang meeting lebih awal. Amara sudah di sana, duduk tenang sambil menatap layar laptop.

"Aku baca puisi kamu semalam," ujar Amara tiba-tiba. "Rayden pernah menunjukkannya padaku. Dulu. Sebelum semuanya berakhir di antara kami."

Liora terdiam. Perasaannya tak tentu arah. "Kenapa kamu bilang begitu sekarang?"

"Karena aku ingin tahu, apakah kamu masih menulis puisi yang sama... atau kamu sudah menulis puisi untuk orang lain."

Pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan. Tapi tantangan. Dan mungkin juga pengakuan bahwa masa lalu memang tidak akan pernah bisa dibuang, hanya bisa dihadapi.

Liora menatapnya lurus. "Aku tidak menulis puisi untuk siapa-siapa lagi. Tapi aku sedang menulis ulang diriku sendiri. Itu lebih penting daripada sekadar menulis untuk seseorang."

Amara mengangguk perlahan. Dan untuk pertama kalinya, ada senyum tipis di wajahnya.

Setelah rapat, Liora melangkah keluar menuju balkon kantor. Udara masih menyimpan sisa-sisa hujan. Di sana, Mikael sudah berdiri lebih dulu dengan dua cangkir kopi di tangannya.

"Tadi kulihat kamu bicara serius dengan Amara," katanya, menyodorkan satu cangkir ke Liora.

"Biasa. Tentang pekerjaan. Dan... sedikit tentang masa lalu."

Mikael mengangguk pelan, lalu menatap langit yang perlahan cerah. "Aku juga kadang masih dihantui masa lalu. Tapi kamu tahu? Itu bukan berarti kita belum sembuh. Kadang, luka memang tak perlu hilang agar kita bisa berjalan."

Liora tersenyum. Kalimat itu seperti jawaban dari keraguan yang tadi menari di pikirannya semalaman.

"Mikael... apa kamu pernah merasa, bahwa kamu sedang jatuh cinta tapi takut untuk benar-benar menyebutnya begitu?"

Mikael menoleh, menatapnya dengan lembut. "Aku sedang merasa seperti itu sekarang. Tapi kurasa, untuk pertama kalinya... aku tidak ingin melarikan diri."

Dan untuk sesaat, tidak ada kata-kata yang lebih tepat dari diam. Karena dalam diam itulah, dua hati belajar untuk bertemu pelan-pelan, tanpa terburu-buru.

Malamnya, Liora kembali ke laptopnya. Ia membuka file puisi itu lagi, lalu menambahkan satu baris di bawahnya.

“Aku tidak tahu apakah kamu akan bersamaku atau tidak dengan yang lain. Tapi kali ini, aku ingin tetap berdiri... bahkan jika sendirian.”

Lalu ia menutup laptop, memeluk dirinya sendiri, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama ia merasa cukup.

Udara Jakarta selepas hujan membawa bau tanah basah yang samar, berpadu dengan aroma kopi yang masih tersisa di ingatan Liora dari pagi tadi. Hari itu berjalan lambat, namun bukan berarti tanpa gejolak. Sejak pertemuannya dengan Amara, dan kemudian percakapannya dengan Mikael di balkon, Liora merasa seperti ada jendela kecil yang terbuka dalam dirinya jendela yang selama ini tertutup rapat karena terlalu takut melihat apa yang ada di baliknya.

Siang itu, ia duduk sendiri di café kecil dekat kantor. Tempat itu tidak terlalu ramai, hanya ada suara denting sendok dan lagu-lagu jazz pelan yang mengalun dari speaker tua di pojok ruangan. Di hadapannya, secangkir cappuccino mulai dingin, tapi Liora tidak peduli.

Ia membuka ponselnya, membuka aplikasi catatan, dan mulai mengetik sesuatu.

Aku tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh. Mungkin saat kamu mulai diam-diam menaruh kopi di mejaku. Mungkin saat kamu tidak banyak bicara, tapi selalu tahu kapan aku butuh seseorang. Atau mungkin… saat kamu duduk di sampingku, tanpa berusaha memperbaiki apa pun, tapi membuat semuanya terasa tidak terlalu berat.

Ia berhenti. Jari-jarinya gemetar sedikit. Bukan karena dingin, tapi karena terlalu jujur.

Ia ingin mengirimkan pesan itu ke Mikael.

Tapi ia tidak jadi.

Karena belum saatnya. Atau… karena ia belum cukup berani untuk jujur soal rindu yang tumbuh dari hal-hal kecil yang nyaris tak terlihat.

Sementara itu, Mikael berada di apartemennya. Ia menatap foto lamanya dengan Laras, yang masih tersimpan di bingkai di atas rak buku. Sudah beberapa kali ia ingin membuangnya, tapi tak pernah benar-benar melakukannya.

Malam ini, ia mengambil foto itu, membuka bingkainya, dan menyelipkannya ke dalam laci. Bukan karena ia membenci masa lalu, tapi karena akhirnya ia sadar: masa lalu bukan untuk dibawa terus-terusan. Ada saatnya seseorang meletakkan beban, bukan karena lelah, tapi karena ingin melangkah.

Dan langkah Mikael malam itu, kecil tapi berarti.

Ia membuka ponselnya, mengetik sebuah pesan untuk Liora.

Kalau suatu hari kamu ingin cerita bukan soal kerjaan, tapi soal kamu yang sesungguhnya aku siap mendengarkan. Tanpa menghakimi. Tanpa menyela.

Ia tidak langsung kirim. Sama seperti Liora, ia menatap layar cukup lama sebelum akhirnya menghapus huruf-huruf itu satu per satu.

Karena seperti Liora, ia belum tahu apakah waktunya sudah tepat.

Esok paginya, mereka kembali bertemu di kantor. Tidak ada dialog panjang. Hanya sapa pelan dan senyum yang lebih tenang.

Tapi kadang, perasaan yang paling dalam tidak muncul dalam kata-kata. Ia hadir dalam tatapan yang lebih lama, dalam jeda yang dibiarkan menggantung, dalam langkah yang secara tidak sengaja seirama.

Dan pagi itu, langkah Liora dan Mikael menuju lift yang sama, berdiri di ruang yang sama, dan saling diam di dalamnya.

Hening, tapi tidak asing.

Diam, tapi tidak canggung.

Di dalam benaknya, Liora masih mengingat puisi yang belum selesai ia tulis semalam. Ia ingin menyambungnya. Tapi bukan di laptop, bukan di atas kertas. Ia menyambungnya dengan hidup. Dengan keputusan untuk tetap hadir di hari ini. Untuk memberi kesempatan.

Bukan hanya pada Mikael. Tapi juga pada dirinya sendiri.

Karena kadang, cinta tidak selalu datang dengan parade besar atau pengakuan mewah. Ia datang dalam bentuk paling sunyi seperti hujan yang turun pelan-pelan, tapi akhirnya membasahi tanah yang sudah lama retak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 69

    Sudah lewat tengah malam ketika Liora baru sadar dia belum makan apa pun sejak pagi. Lampu ruangannya masih nyala, meski listrik sempat beberapa kali turun karena hujan yang terus mengguyur sejak sore. Mikael masih di ruang server, sementara Clara duduk di pojok ruangan, menatap layar yang kosong. Matanya sayu, tapi tangannya masih memegang ponsel, seolah takut melewatkan sesuatu. Liora menatapnya. “Lo belum tidur lagi?” Clara menggeleng. “Nggak bisa. Setiap kali gue merem, yang kebayang cuma muka Rayden waktu terakhir kali kita kerja bareng. Tatapan dia waktu itu... beda, Li. Gue masih inget banget.” Liora menarik napas pelan. “Gue tahu. Tapi sekarang bukan waktunya mikirin masa lalu. Dia udah mulai nyerang. Kita harus siap.” “Gue capek, Li,” kata Clara lirih. “Lo tahu nggak, setiap hari gue bangun dengan perasaan kayak... semua ini nggak akan selesai.” Liora menatapnya lama, lalu mendekat. “Denger, Clara. Gue nggak janji semuanya bakal baik-baik aja. Tapi gue janji sat

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 68

    Malam itu udara Cisarua dingin menusuk.Lampu di dalam rumah Rayden redup, hanya satu bohlam di ruang tamu yang masih menyala.Di meja, tumpukan dokumen berantakan, berserakan dengan botol minuman yang sudah hampir kosong.Rayden duduk diam.Matanya sembab, tapi pikirannya masih penuh perhitungan.Setiap detik, dia menatap layar laptopnya, menunggu sesuatu yang bahkan dia sendiri nggak yakin masih ada.Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar pelan.Satu kali. Dua kali. Lalu berhenti.Rayden berdiri dengan langkah berat. “Siapa?”Suara dari luar jawab singkat, “Orang lama, Den.”Rayden buka pintu perlahan. Di luar berdiri seseorang yang dulu pernah kerja untuknya, Rafi anak muda yang pernah dia tolong, tapi kemudian memilih keluar karena muak dengan cara Rayden bekerja.“Lo ngapain ke sini?” tanya Rayden datar.Rafi menatap dia lama. “Lo masih punya waktu buat nyelamatin diri, Den. Jangan terusin ini.”Rayden ketawa kecil, pahit. “Nyelamatin diri? Dari siapa? Dari mereka? Dari ora

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 67

    Sudah seminggu sejak malam itu di gudang.Rayden menghilang, tapi kabarnya masih ada di mana-mana. Nama yang dulunya ditakuti sekarang cuma disebut dengan nada waspada bukan hormat, tapi takut karena nggak tahu dia bakal ngelakuin apa selanjutnya.Liora jarang bicara. Dia datang ke kantor tiap pagi, buka komputer, kerja, tapi matanya nggak pernah benar-benar fokus.Di meja seberang, Mikael sering nyoba mulai percakapan, tapi selalu berhenti di tengah.Hari itu, Clara datang lebih pagi dari biasanya.Rambutnya diikat, matanya masih bengkak. Dia nggak nyapa siapa pun, cuma langsung buka map besar di tangannya.“Lo harus liat ini,” katanya pelan ke Liora.Liora nyari posisi duduk, lalu buka map itu.Di dalamnya ada laporan bank, tanda tangan palsu, dan data transfer yang aneh.“Dari mana lo dapet ini?” tanya Liora.“Dari orang gue di bagian audit internal,” jawab Clara. “Rayden mindahin dana proyek ke rekening atas nama perusahaan kosong. Jumlahnya gede banget.”Mikael nyengir miris. “Di

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 66

    Udara malam itu berat, seperti mengandung sesuatu yang mau pecah tapi nahan diri.Kota masih hidup, tapi Liora ngerasa semuanya bergerak lebih cepat dari yang seharusnya.Telepon berdering tanpa henti, pesan datang bertubi-tubi laporan, kabar, potongan berita yang semua punya satu nama di dalamnya: Rayden.Mikael nyampe ke apartemennya jam sebelas lewat.Mukanya kusut, kemejanya lecek, napasnya berat. Dia nggak langsung duduk, cuma berdiri di depan meja makan yang penuh map dan laptop.“Dia mulai gila, Li,” katanya akhirnya. “Dia ngejar semua orang, bahkan anak buahnya sendiri.”Liora masih menatap layar di depannya, jari-jarinya berhenti di atas keyboard.“Apa maksud lo?”“Dia datengin orang-orang kepercayaannya satu-satu. Nanya siapa yang ngasih bocoran data. Nggak ada yang jawab. Sekarang dua orang hilang. Nggak tahu ke mana.”Liora nunduk pelan, napasnya pelan tapi dalam. “Dia udah kehabisan cara.”Mikael jalan ke jendela, buka tirai sedikit. Di luar, hujan turun halus, tapi kons

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 65

    Udara Jakarta pagi itu berat. Langit mendung, tapi nggak hujan. Suasana di kantor terasa aneh kayak semua orang tahu ada sesuatu yang lagi berubah, tapi nggak ada yang mau ngomong.Liora datang tanpa suara. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya datar, tapi matanya capek banget.Mikael udah di ruangannya, lagi buka laporan keuangan proyek. Begitu Liora masuk, dia langsung nutup layar.“Dia mulai main kasar,” kata Mikael tanpa basa-basi.Liora duduk, naruh tas di lantai. “Kali ini apa?”“Semua supplier yang kerja sama sama kita dapet surat dari Rayden. Dia ancam mereka buat cabut.”Liora ngangguk pelan, tanpa ekspresi.“Berapa yang udah mundur?”“Tiga. Mungkin lima lagi nyusul kalau kita nggak gerak cepat.”Liora diam sebentar. “Dia udah nyiapin ini lama.”“Gue tahu,” sahut Mikael. “Tapi yang aneh, dia terlalu cepat. Biasanya dia lebih sabar dari ini.”Liora ngelirik. “Mungkin karena dia tahu waktunya nggak banyak.”Mikael nggak jawab, tapi wajahnya berubah.Beberapa hari kemudian, Rayde

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 64

    Hujan tetap turun, seperti rutinitas yang tak mau dilanggar. Jalanan lengang, lampu-lampu neon di kejauhan berkedip samar, dan angin membawa bau tanah basah masuk ke sela-sela pintu kaca kantor. Di dalam, hanya satu lampu meja yang menyala, melemparkan lingkaran hangat ke meja kerja penuh kertas.Liora duduk tegak, pandangannya tetap pada layar laptop yang menampilkan daftar nama dan nomor akun. Jarum jam di dinding menunjuk larut, tapi waktu rasanya melambat. Dia menutup sebuah file, membukanya lagi, mengecek ulang satu per satu dokumen legal yang baru saja dikirimkan ulang ke sistem. Semua berlabel atas nama Rayden.Tiga hari lalu mereka menemukan folder itu — bukti bahwa seseorang mengakses server mereka tepat saat rapat kedap-kedip terakhir. Tiga hari lalu, mereka tahu ada yang mengintip. Hari ini, fakta yang lebih pahit hadir: orang yang pernah mereka kenal, yang pernah mereka bantu dan juga caci, kembali dengan otoritas yang membuat mereka kehilangan pijakan.Kopinya dingin. Lio

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status