Hari-hari berikutnya berjalan pelan seperti gerbong tua di tengah hujan. Tidak terburu-buru, tapi penuh gemuruh di dalam. Liora kembali ke kantor dengan ekspresi biasa. Tertawa secukupnya, bicara seperlunya, menyapa dengan senyum yang terlihat utuh meski dalam diam, pikirannya terus memutar ulang apa yang telah terjadi.
Hubungan kerja dengan Rayden berjalan profesional, meski tetap terasa canggung. Tidak ada kata maaf. Tidak ada penjelasan. Mereka hanya bekerja. Sama seperti dua orang asing yang kebetulan memiliki sejarah. Namun, yang membuat Liora tak tenang adalah bukan karena perasaan lamanya, tapi karena tatapan Rayden yang... berbeda. Rayden tak lagi menatap seperti pria yang jatuh cinta, tapi juga bukan pria yang menyesal. Tatapannya seperti seseorang yang menahan banyak kata, tapi memilih membiarkannya menggumpal dalam diam. Dan itu membuat Liora makin gusar. Sampai suatu sore, saat keduanya tak sengaja terjebak lembur di ruang rapat, hanya mereka berdua. “Aku nggak nyangka kita bakal ketemu lagi dalam situasi kayak gini,” ujar Rayden akhirnya, memecah keheningan. Liora tak menoleh. Matanya tetap pada layar laptop. “Ya, hidup emang suka bercanda.” “Aku tahu kamu benci aku.” “Aku nggak benci,” jawab Liora cepat. Lalu menambahkan, “Tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak pernah terluka.” Rayden mengangguk kecil. Hening lagi. “Kenapa kamu pergi waktu itu?” Pertanyaan itu lolos dari bibir Liora sebelum ia sempat menahannya. Ia menyesal sedetik setelahnya, tapi Rayden justru menjawab, perlahan, nyaris seperti bisikan. “Karena aku pengecut.” Liora menoleh, akhirnya menatapnya. Mata Rayden tampak lelah. “Aku takut gagal. Takut ngecewain kamu. Takut nggak bisa ngasih kamu masa depan yang kamu mau. Jadi aku kabur... padahal mungkin satu-satunya yang kamu butuh saat itu cuma kehadiran aku.” Liora tertawa miris. “Kamu bahkan nggak ngabarin. Nggak pamit. Cuma... hilang.” “Aku tahu. Dan aku nggak minta dimaafin. Aku cuma... pengin kamu tahu, aku nyesel.” Kalimat itu menggantung di udara. Tidak ada musik latar. Tidak ada pelukan dramatis. Hanya dua orang dewasa yang bicara tentang luka yang tidak bisa dibetulkan. Liora menatap Rayden lama, lalu menunduk. “Penyesalanmu nggak akan bikin aku sembuh, Ray.” “Aku tahu.” “Dan aku nggak butuh kamu kembali.” “Aku juga tahu.” Keheningan kembali turun, tapi kali ini lebih lembut. Seperti luka yang akhirnya bisa bernapas, walau belum sembuh. Malam itu, saat Liora berjalan pulang, langkahnya terasa ringan. Ia belum memaafkan. Tapi ia sudah mulai memahami. Bahwa beberapa pertanyaan tidak butuh jawaban yang sempurna cukup keberanian untuk menanyakannya, dan ketegaran untuk mendengarkan. Di depan rumah, Mikael sudah menunggunya. Duduk di kap mobil dengan tangan di saku dan tatapan hangat seperti biasa. “Capek?” Liora mengangguk. “Tapi lega.” Mikael tersenyum. Tidak bertanya. Tidak mengusik. Karena kadang, yang paling dibutuhkan dari seseorang bukan solusi, tapi tempat pulang yang tidak menuntut. Dan malam itu, Liora tahu, meski hatinya belum utuh, ia tidak sendiri. Hari-hari berikutnya berlalu seperti lembaran buku yang diterbangkan angin. Tidak sepenuhnya tenang, tapi juga tidak seberat sebelumnya. Liora kembali bekerja seperti biasa, tapi kali ini tanpa beban yang menusuk setiap kali melihat Rayden. Percakapan malam lembur itu, entah bagaimana, membuka ruang kosong yang sebelumnya selalu ia tolak untuk tengok. Ia tak memaafkan, tapi ia mulai berdamai dengan kenyataan. Mikael, seperti biasa, hadir dalam hidupnya dengan diam yang penuh makna. Ia tidak menuntut, tidak mendorong Liora untuk terbuka lebih cepat dari yang ia sanggup. Tapi malam itu, di balkon apartemen Liora, ada sesuatu yang berbeda. Mikael duduk bersandar di kursi kayu, secangkir teh hangat di tangan, matanya menatap langit malam yang mendung. “Aku lihat kamu lebih tenang,” katanya pelan. Liora duduk di sebelahnya. Helaan napasnya panjang. “Aku cuma... mulai ngerti bahwa beberapa luka nggak bisa disembuhin orang lain. Cuma bisa dikasih ruang untuk bernapas.” Mikael mengangguk. “Kadang kita cuma butuh tahu bahwa luka itu valid. Nggak perlu buru-buru sembuh. Tapi juga nggak selamanya harus dibiarkan berdarah.” Liora menoleh padanya. “Kamu kenapa bisa ngerti hal kayak gitu?” Mikael menatap teh di tangannya. “Karena aku juga pernah ada di tempat kamu.” Liora diam. Dalam hatinya, ada dorongan untuk bertanya lebih jauh. Tapi ia menahan. Karena untuk pertama kalinya, ia sadar: bukan hanya ia yang punya luka. Dan dalam hubungan apapun baik cinta, persahabatan, atau sekadar kemanusiaan pengertian terkadang jauh lebih penting dari rasa ingin tahu. Beberapa hari kemudian, kantor mereka kedatangan proyek baru. Liora dan Mikael ditunjuk sebagai tim utama. Mereka harus bekerja dekat, berbagi waktu lebih banyak, dan tanpa disadari, mulai tumbuh semacam keintiman kecil bukan dalam bentuk sentuhan, tapi dalam bentuk pengertian. Cara Mikael memperhatikan kebiasaan Liora yang selalu mencampur dua sendok madu dalam kopinya. Cara ia tahu Liora tak tahan duduk terlalu lama dan akan mengingatkannya untuk berdiri. Cara ia tidak pernah bertanya soal masa lalu, tapi hadir saat Liora tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun malam itu, sepulang kerja, Mikael tiba-tiba berkata di depan pintu apartemen: “Kalau suatu hari kamu siap buka hati lagi... aku nggak akan minta kamu langsung milih aku. Aku cuma pengin kamu tahu, aku akan tetap di sini. Bukan buat jadi pengganti, tapi jadi seseorang yang benar-benar melihat kamu.” Kata-katanya lembut, tak ada tekanan. Tapi bagi Liora, itu seperti seseorang menyentuh sisi yang bahkan ia sendiri tak pernah berani sentuh. Ia tak menjawab malam itu. Ia hanya tersenyum kecil, menunduk, lalu berkata lirih, “Makasih karena nggak buru-buru.” Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, cinta bukan soal siapa yang paling mencintai... tapi siapa yang paling sabar menunggu luka kita belajar tumbuh kembali. Malam itu, Liora menatap langit dari jendela kamar. Bintang tak terlihat, tapi langit tetap ada. Seperti harapan, yang kadang tak terlihat tapi tetap menggantung di sana menunggu untuk dipercayai lagi.Hari berikutnya, suasana kantor terasa lain. Bukan hiruk-pikuk kerja yang biasanya mengisi udara, melainkan bisik-bisik samar yang berputar di setiap sudut.Liora baru saja masuk ke ruangannya ketika dua rekan kerja buru-buru menutup percakapan mereka. Tatapan mereka berpindah sekilas ke arah Liora, lalu berpura-pura sibuk dengan laptop.Ia mencoba menepis rasa tidak nyaman. Tapi semakin ia berjalan menyusuri lorong, semakin terasa jelas: ada sesuatu yang sedang diperbincangkan. Dan itu tentang dirinya.Di meja kerjanya, Liora menyalakan komputer. Tapi pikirannya tidak bisa fokus. Ia ingat tatapan-tatapan tadi, juga nada bisik yang tak sempat ia tangkap.Beberapa menit kemudian, Mikael datang. Seperti biasa, membawa secangkir kopi hangat untuknya. Namun kali ini ia tidak langsung tersenyum lebar seperti biasanya.“Ada apa?” tanya Liora, menangkap perubahan ekspresinya.Mikael menaruh kopi di mejanya, lalu mencondongkan badan. Suaranya diturunkan. “Lo, kamu tahu nggak? Ada gosip bereda
Pagi itu kantor terasa lebih riuh dari biasanya. Semua orang sibuk, beberapa tim bahkan lembur semalaman demi revisi terakhir. Suasana penuh tekanan, tapi juga penuh energi.Liora duduk di mejanya, menatap layar yang penuh dengan slide presentasi yang sudah ia revisi sampai dini hari. Mata lelah, tapi ada kepuasan tersendiri melihat hasil kerja kerasnya.Tak lama, Amara muncul. Seperti biasa, penampilannya rapi dan berwibawa, tapi pagi itu ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Sorot matanya tajam, seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Liora,” katanya pelan, tapi jelas. “Aku sudah lihat revisi kamu.”Liora mengangguk, menunggu komentar.Amara menarik kursi, duduk di sampingnya. “Jujur saja, konsep kamu kuat. Terlalu kuat. Bahkan… bisa jadi lebih menonjol daripada rencana presentasi tim inti.”Liora terdiam. Ia tahu ini bukan sekadar pujian. Ada nada peringatan terselubung.“Apakah itu masalah?” tanya Liora akhirnya.Amara menatapnya lekat. “Masalah kalau kamu tidak tahu cara mengelola
Pagi itu, Liora bangun dengan rasa campur aduk. Kemenangan besok-presentasi sudah di tangannya, tapi ada sesuatu yang mengganjal perasaan yang belum sepenuhnya tenang. Seperti bayangan masa lalu yang menempel di setiap langkahnya. Ia membuka laptop, mengecek email masuk. Ada satu pesan dari Rayden, singkat tapi cukup untuk membuat dadanya berdebar. “Aku ingin bicara. Hari ini, setelah jam kerja.” Liora menatap layar sejenak. Rasanya ingin menutup email itu dan melupakan saja. Tapi ada sesuatu di nada tulisannya yang sulit diabaikan. Ia menarik napas panjang, menulis balasan singkat: “Baik. Kita bicara di kafe dekat kantor jam 6.” Di Kantor Seharian di kantor terasa berbeda. Liora mencoba fokus, tapi pikirannya sering melayang ke jam enam sore. Amara terlihat sibuk dengan dokumen dan rapat kecil bersama tim, tapi matanya beberapa kali menyapu arah Liora. Ada rasa penasaran, tapi juga sedikit was-was. Mikael datang seperti biasa, membawa kopi untuk Liora. Ia tersenyum hangat. “P
Ruang konferensi akhirnya kosong. Kursi-kursi yang tadi dipenuhi investor kini tertinggal sendirian, seperti saksi bisu pertunjukan Liora. Ia duduk di meja panjang, menarik napas panjang. Tubuhnya lelah, tapi hatinya terasa ringan campuran lega dan sedikit bangga yang tak biasa ia rasakan.Mikael masih duduk di kursi paling depan, menatapnya dengan senyum yang sama dari tadi. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya mengangguk. Itu saja sudah cukup untuk membuat Liora merasa seperti pulang.Namun, udara lega itu segera tersayat oleh kehadiran dua orang yang tidak ia sangka masih ada di ruangan: Rayden dan Amara.Rayden berdiri di samping pintu, tangannya terkepal perlahan. Matanya tidak lagi menilai. Ia tampak... bingung. Seolah ada sesuatu yang ia lihat sekarang, tapi tidak bisa dijelaskan.Amara menatap Liora dengan tatapan yang sulit dibaca. Tidak dingin, tapi juga tidak sepenuhnya hangat. Ada campuran rasa penasaran, kekaguman, dan mungkin sedikit iri.Liora menarik napas. “Apa kalian masi
Pagi itu udara masih dingin. Hujan tipis turun, membasahi kaca jendela kantor yang berlantai dua puluh. Liora berdiri di depan cermin kamar mandi lantai bawah, menggenggam kedua tangannya erat-erat. Nafasnya pendek, seakan dadanya dikunci dari dalam. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, blazer abu-abu muda, dan celana panjang hitam. Rambutnya diikat rapi, wajahnya diberi sedikit polesan make-up natural yang dipaksakan oleh tim Amara. Ia terlihat tenang dari luar, tapi tangannya bergetar halus saat menyentuh keran air. “Liora?” suara pelan terdengar dari pintu. Itu Mikael. Ia menoleh cepat, sedikit terkejut. “Kamu udah di sini?” Mikael melongok, tersenyum kecil. “Janji gue, kan? Kursi paling depan.” Liora berusaha tersenyum. “Aku... masih nggak yakin bisa.” Mikael masuk, menepuk pelan bahunya. “Kalau kamu jatuh, jatuh aja. Tapi jatuh di depan orang-orang itu lebih baik daripada nggak pernah berdiri sama sekali.” Ada keheningan sejenak. Hanya suara hujan yang terdengar di balik
Hari itu kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua orang berlarian dengan berkas, laptop, dan daftar pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya. Presentasi besar dengan para investor tinggal satu hari lagi. Dan semua sorot mata secara tidak langsung tertuju pada satu orang, Liora.Ia mencoba menenangkan diri, meski dalam hati degup jantungnya tak beraturan. Selama ini, ia terbiasa jadi orang di balik layar penulis konsep, penyusun narasi, orang yang menciptakan kerangka besar tapi membiarkan orang lain yang berdiri di depan panggung.Kini, Amara justru mendorongnya untuk tampil langsung. “Kalau kamu berani menghadapi ini,” kata Amara, “kamu akan tahu bahwa kamu lebih dari sekadar bayangan siapa pun.”Di meja kerjanya, Liora menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Kalimat demi kalimat presentasi sudah ia hafal di luar kepala. Tapi yang membuatnya khawatir bukan kontennya, melainkan dirinya sendiri. Apakah ia cukup kuat untuk berdiri di depan begitu banyak orang tanpa runtuh? Apa