Share

bab 3

Author: Senja
last update Last Updated: 2025-07-30 14:37:00

Hari-hari berikutnya berjalan pelan seperti gerbong tua di tengah hujan. Tidak terburu-buru, tapi penuh gemuruh di dalam. Liora kembali ke kantor dengan ekspresi biasa. Tertawa secukupnya, bicara seperlunya, menyapa dengan senyum yang terlihat utuh meski dalam diam, pikirannya terus memutar ulang apa yang telah terjadi.

Hubungan kerja dengan Rayden berjalan profesional, meski tetap terasa canggung. Tidak ada kata maaf. Tidak ada penjelasan. Mereka hanya bekerja. Sama seperti dua orang asing yang kebetulan memiliki sejarah.

Namun, yang membuat Liora tak tenang adalah bukan karena perasaan lamanya, tapi karena tatapan Rayden yang... berbeda.

Rayden tak lagi menatap seperti pria yang jatuh cinta, tapi juga bukan pria yang menyesal. Tatapannya seperti seseorang yang menahan banyak kata, tapi memilih membiarkannya menggumpal dalam diam. Dan itu membuat Liora makin gusar.

Sampai suatu sore, saat keduanya tak sengaja terjebak lembur di ruang rapat, hanya mereka berdua.

“Aku nggak nyangka kita bakal ketemu lagi dalam situasi kayak gini,” ujar Rayden akhirnya, memecah keheningan.

Liora tak menoleh. Matanya tetap pada layar laptop. “Ya, hidup emang suka bercanda.”

“Aku tahu kamu benci aku.”

“Aku nggak benci,” jawab Liora cepat. Lalu menambahkan, “Tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak pernah terluka.”

Rayden mengangguk kecil. Hening lagi.

“Kenapa kamu pergi waktu itu?”

Pertanyaan itu lolos dari bibir Liora sebelum ia sempat menahannya. Ia menyesal sedetik setelahnya, tapi Rayden justru menjawab, perlahan, nyaris seperti bisikan.

“Karena aku pengecut.”

Liora menoleh, akhirnya menatapnya. Mata Rayden tampak lelah.

“Aku takut gagal. Takut ngecewain kamu. Takut nggak bisa ngasih kamu masa depan yang kamu mau. Jadi aku kabur... padahal mungkin satu-satunya yang kamu butuh saat itu cuma kehadiran aku.”

Liora tertawa miris. “Kamu bahkan nggak ngabarin. Nggak pamit. Cuma... hilang.”

“Aku tahu. Dan aku nggak minta dimaafin. Aku cuma... pengin kamu tahu, aku nyesel.”

Kalimat itu menggantung di udara. Tidak ada musik latar. Tidak ada pelukan dramatis. Hanya dua orang dewasa yang bicara tentang luka yang tidak bisa dibetulkan.

Liora menatap Rayden lama, lalu menunduk.

“Penyesalanmu nggak akan bikin aku sembuh, Ray.”

“Aku tahu.”

“Dan aku nggak butuh kamu kembali.”

“Aku juga tahu.”

Keheningan kembali turun, tapi kali ini lebih lembut. Seperti luka yang akhirnya bisa bernapas, walau belum sembuh.

Malam itu, saat Liora berjalan pulang, langkahnya terasa ringan. Ia belum memaafkan. Tapi ia sudah mulai memahami. Bahwa beberapa pertanyaan tidak butuh jawaban yang sempurna cukup keberanian untuk menanyakannya, dan ketegaran untuk mendengarkan.

Di depan rumah, Mikael sudah menunggunya. Duduk di kap mobil dengan tangan di saku dan tatapan hangat seperti biasa.

“Capek?”

Liora mengangguk. “Tapi lega.”

Mikael tersenyum. Tidak bertanya. Tidak mengusik.

Karena kadang, yang paling dibutuhkan dari seseorang bukan solusi, tapi tempat pulang yang tidak menuntut.

Dan malam itu, Liora tahu, meski hatinya belum utuh, ia tidak sendiri.

Hari-hari berikutnya berlalu seperti lembaran buku yang diterbangkan angin. Tidak sepenuhnya tenang, tapi juga tidak seberat sebelumnya. Liora kembali bekerja seperti biasa, tapi kali ini tanpa beban yang menusuk setiap kali melihat Rayden. Percakapan malam lembur itu, entah bagaimana, membuka ruang kosong yang sebelumnya selalu ia tolak untuk tengok.

Ia tak memaafkan, tapi ia mulai berdamai dengan kenyataan.

Mikael, seperti biasa, hadir dalam hidupnya dengan diam yang penuh makna. Ia tidak menuntut, tidak mendorong Liora untuk terbuka lebih cepat dari yang ia sanggup. Tapi malam itu, di balkon apartemen Liora, ada sesuatu yang berbeda.

Mikael duduk bersandar di kursi kayu, secangkir teh hangat di tangan, matanya menatap langit malam yang mendung.

“Aku lihat kamu lebih tenang,” katanya pelan.

Liora duduk di sebelahnya. Helaan napasnya panjang. “Aku cuma... mulai ngerti bahwa beberapa luka nggak bisa disembuhin orang lain. Cuma bisa dikasih ruang untuk bernapas.”

Mikael mengangguk. “Kadang kita cuma butuh tahu bahwa luka itu valid. Nggak perlu buru-buru sembuh. Tapi juga nggak selamanya harus dibiarkan berdarah.”

Liora menoleh padanya. “Kamu kenapa bisa ngerti hal kayak gitu?”

Mikael menatap teh di tangannya. “Karena aku juga pernah ada di tempat kamu.”

Liora diam. Dalam hatinya, ada dorongan untuk bertanya lebih jauh. Tapi ia menahan. Karena untuk pertama kalinya, ia sadar,bukan hanya ia yang punya luka. Dan dalam hubungan apapun baik cinta, persahabatan, atau sekadar kemanusiaan pengertian terkadang jauh lebih penting dari rasa ingin tahu.

Beberapa hari kemudian, kantor mereka kedatangan proyek baru. Liora dan Mikael ditunjuk sebagai tim utama. Mereka harus bekerja dekat, berbagi waktu lebih banyak, dan tanpa disadari, mulai tumbuh semacam keintiman kecil bukan dalam bentuk sentuhan, tapi dalam bentuk pengertian.

Cara Mikael memperhatikan kebiasaan Liora yang selalu mencampur dua sendok madu dalam kopinya. Cara ia tahu Liora tak tahan duduk terlalu lama dan akan mengingatkannya untuk berdiri. Cara ia tidak pernah bertanya soal masa lalu, tapi hadir saat Liora tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Namun malam itu, sepulang kerja, Mikael tiba-tiba berkata di depan pintu apartemen:

“Kalau suatu hari kamu siap buka hati lagi... aku nggak akan minta kamu langsung milih aku. Aku cuma pengin kamu tahu, aku akan tetap di sini. Bukan buat jadi pengganti, tapi jadi seseorang yang benar-benar melihat kamu.”

Kata-katanya lembut, tak ada tekanan. Tapi bagi Liora, itu seperti seseorang menyentuh sisi yang bahkan ia sendiri tak pernah berani sentuh.

Ia tak menjawab malam itu. Ia hanya tersenyum kecil, menunduk, lalu berkata lirih, “Makasih karena nggak buru-buru.”

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, cinta bukan soal siapa yang paling mencintai... tapi siapa yang paling sabar menunggu luka kita belajar tumbuh kembali.

Malam itu, Liora menatap langit dari jendela kamar. Bintang tak terlihat, tapi langit tetap ada. Seperti harapan, yang kadang tak terlihat tapi tetap menggantung di sana menunggu untuk dipercayai lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 56

    Malam itu, di kantor kecil mereka, lampu-lampu hangat menyinari meja panjang penuh dokumen, laptop, dan catatan-catatan. Hujan deras di luar seakan menambah ketegangan, tapi di dalam ruangan, suasana lebih panas: ini adalah malam perencanaan terakhir sebelum aksi dimulai. Liora duduk di tengah, membuka dokumen yang dikirim Clara. Mikael menatap layar laptop, jari-jari siap mengetik setiap instruksi. Clara, meski lelah, duduk di samping dengan mata tajam dan penuh konsentrasi. “Baik,” Liora membuka pembicaraan, “dokumen ini memberi kita titik masuk yang jelas. Kita tahu aliran uang, siapa yang terlibat, dan lokasi perusahaan cangkang. Sekarang, kita harus menentukan siapa melakukan apa.” Mikael menatap mereka berdua. “Clara akan tetap masuk sebagai mata-mata di Eterna. Semua bukti akan terus dia kirim ke kita secara terenkripsi. Dia juga harus memperhatikan siapa pun yang mencurigakan tidak hanya Rayden, tapi juga staf yang mungkin bagian dari jaringan.” Clara mengangguk, meski

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 55

    Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap. Clara berdiri di depan gedung Eterna Global Trading, detak jantungnya berpacu kencang. Gedung kaca tinggi itu memantulkan sinar matahari pagi, seolah menantang keberaniannya. Ia mengenakan blazer hitam sederhana, rambut diikat rapi, dan tas kerja tipis yang menyembunyikan alat-alat pengawasan dari Mikael. Di tangannya, resume lamanya yang sudah dimodifikasi. Ia menelan ludah. “Ini dia, titik awalnya,” bisiknya pelan. Clara memasuki lobi gedung dengan langkah mantap, meskipun seluruh tubuhnya bergetar. Petugas keamanan menatapnya sebentar, lalu mengangguk ketika melihat ID palsu yang sudah disiapkan Mikael. “Selamat pagi, Bu Clara,” sapa petugas, seolah tak menaruh curiga. Clara menahan napas, tersenyum tipis. “Selamat pagi.” Setiap langkah di lantai marmer itu terasa seperti berjalan di atas kaca tipis. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa membuatnya terdeteksi Rayden atau orang-orang yang bekerja untuknya. Pertemuan dengan Tim HR Cla

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 54

    Malam itu kantor Liora tidak seperti biasanya. Lampu-lampu masih menyala, layar komputer berderet penuh angka, dan tumpukan dokumen berserakan. Mikael duduk di depan monitor dengan kemeja yang sudah kusut. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, wajahnya serius penuh konsentrasi. Clara duduk di kursi sebelah, masih menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Sementara Liora berdiri di dekat jendela, menatap keluar seolah mencari jawaban dari kegelapan kota. “Jejak uang ini tidak mudah diikuti,” gumam Mikael, matanya tak lepas dari layar. “Rayden menggunakan beberapa rekening bayangan, semuanya lewat perusahaan cangkang.” “Bisakah kau tembus?” tanya Liora, nadanya tegas namun ada sedikit getaran. Mikael mengangguk kecil. “Aku sudah melewati dua lapis. Tapi ada sesuatu yang aneh. Rekening ini terhubung bukan hanya ke Rayden, tapi ke sebuah nama besar yang… jujur saja, tidak kusangka.” Clara mendekat, penasaran. “Siapa, Pak Mikael?” Mikael menekan enter, lalu sebuah nama m

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 53

    Malam itu, ruang rapat kantor Liora terasa lebih tegang daripada biasanya. Hanya ada tiga orang di sana: Liora, Mikael, dan Clara. Di luar, hujan deras mengguyur kota, seakan menyembunyikan segala percakapan yang terjadi di dalam. Clara duduk dengan wajah pucat, kedua tangannya menggenggam erat secangkir kopi yang sudah dingin. Ia tahu, sekali salah langkah, hidupnya bisa hancur. Tapi ia juga tahu, ini adalah kesempatan terakhir untuk menebus kesalahannya. “Clara,” suara Liora tenang tapi tegas, “kalau kau benar-benar ingin menebus semuanya, maka kau harus siap mengambil risiko yang sama besar dengan yang aku ambil.” Clara mengangguk cepat. “Aku siap, Bu. Aku tidak mau terus hidup di bawah ancaman Rayden.” Mikael menggeser laptopnya ke arah Clara. Di layar, muncul catatan komunikasi digital. “Kau bilang Rayden menghubungimu lewat pesan terenkripsi. Apakah kau masih menyimpannya?” Clara menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. “Aku simpan semuanya. Aku tidak berani

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 52

    Malam masih panjang ketika Rayden duduk di ruang kantornya yang hanya diterangi lampu meja. Asap rokok tipis mengepul di udara. Di depannya terbentang laporan keuangan dan sejumlah dokumen yang ia peroleh dengan cara yang tidak bersih. Matanya menyipit, penuh amarah bercampur obsesi. “Kalau kata-katamu bisa membuat orang mencintaimu, Liora, maka aku akan tunjukkan betapa rapuhnya dunia yang kau bangun.” Rayden mengetik pesan di ponselnya kepada seorang pengusaha yang dikenal licik, bernama Adrian Halberd. “Aku punya tawaran. Kita buat Liora terlihat terlibat dalam penggelapan dana proyek. Aku siapkan dokumennya, kau mainkan kontakmu di media. Kau dapat bagian, aku dapat kehancurannya.” Balasan datang singkat, penuh persetujuan: “Kau selalu tahu cara membuat orang jatuh, Rayden. Anggap selesai.” Rayden tersenyum tipis, dingin. “Kali ini, Liora tidak akan bisa lari.” Sementara itu, Liora dan Mikael duduk di sebuah kafe kecil yang jarang diketahui orang. Hujan turun lembu

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 51

    Pagi itu, notifikasi ponsel Liora tak berhenti berbunyi. Pesan, mention, dan email masuk seperti badai. Ia baru saja menyalakan televisi ketika berita pagi menayangkan headline yang membuat jantungnya berhenti sejenak: “Masa Lalu Kelam Liora Terungkap: Keluarga Sendiri Menyalahkannya atas Kejadian Tragis.” Gambar wajahnya terpampang besar di layar. Narasi berita itu seakan-akan menguliti dirinya hidup-hidup: kisah masa kecil, bagaimana ia pernah dituduh sebagai penyebab penderitaan ayahnya, dan bagaimana keluarganya lebih sering menyalahkan daripada merangkul. Semua itu rahasia yang ia simpan begitu dalam, yang hanya sedikit orang tahu kini diumbar ke dunia. Tangannya gemetar memegang remote. Pandangannya kabur, udara seakan hilang dari paru-parunya. “Tidak…” suaranya nyaris tak terdengar. Mikael yang baru masuk ke ruang tamu langsung menatap layar, lalu berbalik ke arahnya. “Lior—” Air mata jatuh, bukan karena malu, tapi karena luka lama yang dipaksa terbuka kembali.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status