Share

bab 4

Author: Senja
last update Last Updated: 2025-07-30 14:40:21

Langit sore itu kelabu, dan hujan turun perlahan seperti tetes-tetes waktu yang tak mau berhenti. Di kantor, suasana terasa lebih hening dari biasanya. Liora duduk di depan layar laptopnya, mengetik, lalu menghapus, lalu mengetik lagi. Kata-kata seolah menolak keluar dengan jujur.

Rayden baru saja masuk ke ruangannya saat Mikael mengirim pesan singkat: “Mau kopi sore ini?”

Ia menoleh ke arah ruang kaca tempat Rayden duduk, lalu kembali ke ponselnya. “Iya. Butuh yang pahit.”

Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di sudut kafe dekat kantor. Jendela besar di samping mereka dipenuhi tetesan hujan. Di hadapan Mikael, Liora tampak tenang. Tapi dalam dirinya, ada ribuan gelombang yang tak kelihatan.

“Aku heran,” katanya sambil menyeruput kopinya. “Kenapa orang-orang selalu berpikir kita harus ‘move on’ dengan cepat? Seolah patah hati itu bisa sembuh kayak sakit kepala.”

Mikael tersenyum kecil. “Karena sebagian besar orang takut melihat luka. Termasuk luka orang lain.”

“Termasuk kamu?”

Ia menatapnya lama, lalu menjawab, “Aku justru belajar banyak dari luka. Karena dari sanalah orang biasanya jujur.”

Liora menyandarkan punggung ke kursi. “Kalau aku bilang... bagian dari aku masih marah ke Rayden, tapi bagian lain... mungkin masih menyimpan sesuatu, itu wajar nggak?”

“Manusiawi.”

Ia mengangguk pelan. Lalu, dengan suara lebih pelan lagi, ia berkata, “Aku benci kenyataan bahwa aku nggak sepenuhnya benci dia.”

Mikael tidak menjawab. Ia hanya diam, lalu menggenggam gelasnya lebih erat.

Setelah momen hening yang panjang, Liora membuka suaranya lagi. “Tahu nggak, ada hari-hari di mana aku pengin dia tahu aku baik-baik saja. Tapi ada juga hari di mana aku pengin dia ngerasain rasa kehilangan yang sama.”

Mikael mengangguk. “Itu tanda kamu sedang berada di titik tengah. Antara luka dan pulih.”

Sore itu berakhir tanpa jawaban pasti. Tapi bagi Liora, duduk di sana bersama seseorang yang tidak menghakimi perasaannya sudah lebih dari cukup. Ia tak butuh solusi. Ia hanya butuh ruang.

Malamnya, ketika ia kembali ke apartemen, ia membuka lemari lama dan menemukan sebuah kotak. Di dalamnya, surat-surat yang pernah ia tulis untuk Rayden tapi tak pernah dikirim. Ia membaca satu per satu, lalu membakarnya di balkon.

Asapnya membumbung tinggi ke langit mendung. Dan di tengah bau kertas terbakar dan gemuruh hujan, Liora membisikkan kata yang dulu tak pernah berani ia ucapkan:

“Terima kasih… karena pernah melukai. Karena tanpamu, aku tak akan tahu, aku bisa sembuh sendiri.”

Ia tak tahu apakah Rayden pernah merasakan hal yang sama. Tapi malam itu, ia tak peduli lagi. Karena untuk pertama kalinya, hujan di luar tidak lebih deras dari hujan yang turun di dalam dadanya. Dan itu, adalah kemenangan tersendiri.

Malam berakhir dengan kesunyian yang tak biasa. Di dalam kamar apartemennya, Liora berbaring menatap langit-langit. Lampu temaram menyapu dinding, dan angin malam menyelinap dari jendela yang sedikit terbuka. Tapi pikirannya tidak tinggal diam. Namanya masih terukir jelas Rayden. Bukan karena cinta, tapi karena kenangan yang belum menemukan titik akhir.

Ia mencoba mendengar lagu-lagu baru, menonton film acak, menyibukkan diri dengan pekerjaan... tapi tetap saja, ada suara yang mengusik setiap keheningan.

“Rayden…”

Ia menggumamkan nama itu sekali, hanya untuk merasakan apakah hatinya masih bergetar. Ada denyut samar. Bukan cinta. Bukan rindu. Mungkin hanya sisa trauma yang belum sepenuhnya kering.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Mikael:

Aku tahu ini malam yang panjang. Tapi kalau kamu butuh diam yang didengarkan, aku bisa datang.

Liora tersenyum kecil. Ia tidak membalas pesan itu. Tapi hatinya sedikit lebih ringan.

Keesokan paginya, di kantor, suasana berbeda. Ada aroma kegelisahan yang terasa di udara. Rayden memanggil Liora ke ruangannya.

“Boleh bicara sebentar?”

Liora masuk, duduk dengan jarak aman. Sorot matanya datar, tidak lagi membawa harapan atau luka. Ia hanya ingin cepat selesai.

“Aku dengar kamu sekarang sering bareng Mikael.”

Liora mengerutkan kening. “Kalau itu mau kamu bahas, mending kita akhiri aja pembicaraan ini.”

Rayden menarik napas panjang. “Aku cuma... aku nggak tahu kenapa rasanya nggak enak.”

“Karena kamu terbiasa jadi pusat. Dan sekarang kamu bukan.”

Rayden menunduk. Liora berdiri. “Dengar, aku nggak marah lagi. Tapi itu bukan berarti kamu berhak atas cerita yang sedang aku bangun sekarang. Kamu bagian dari masa lalu, Ray. Dan aku, akhirnya bisa berdiri di tempat di mana aku bisa ngomong itu tanpa gemetar.”

Ia keluar dari ruangan itu dengan langkah tenang. Mikael menatapnya dari kejauhan. Liora berjalan ke arah meja kerja, lalu duduk. Ia tidak menang, tidak juga kalah. Tapi ia akhirnya tahu: ia tidak lagi hidup di bawah bayang-bayang orang lain.

Hari itu berakhir dengan senyum kecil di wajahnya. Bukan karena Mikael, bukan karena Rayden. Tapi karena dirinya sendiri.

Malamnya, ia membuka catatan lamanya. Di antara tulisan-tulisan lama, ia menambahkan satu baris baru:

“Namamu masih ada di kepalaku. Tapi aku sudah tidak ingin kau kembali.”

Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya runtuh, ia merasa utuh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 56

    Malam itu, di kantor kecil mereka, lampu-lampu hangat menyinari meja panjang penuh dokumen, laptop, dan catatan-catatan. Hujan deras di luar seakan menambah ketegangan, tapi di dalam ruangan, suasana lebih panas: ini adalah malam perencanaan terakhir sebelum aksi dimulai. Liora duduk di tengah, membuka dokumen yang dikirim Clara. Mikael menatap layar laptop, jari-jari siap mengetik setiap instruksi. Clara, meski lelah, duduk di samping dengan mata tajam dan penuh konsentrasi. “Baik,” Liora membuka pembicaraan, “dokumen ini memberi kita titik masuk yang jelas. Kita tahu aliran uang, siapa yang terlibat, dan lokasi perusahaan cangkang. Sekarang, kita harus menentukan siapa melakukan apa.” Mikael menatap mereka berdua. “Clara akan tetap masuk sebagai mata-mata di Eterna. Semua bukti akan terus dia kirim ke kita secara terenkripsi. Dia juga harus memperhatikan siapa pun yang mencurigakan tidak hanya Rayden, tapi juga staf yang mungkin bagian dari jaringan.” Clara mengangguk, meski

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 55

    Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap. Clara berdiri di depan gedung Eterna Global Trading, detak jantungnya berpacu kencang. Gedung kaca tinggi itu memantulkan sinar matahari pagi, seolah menantang keberaniannya. Ia mengenakan blazer hitam sederhana, rambut diikat rapi, dan tas kerja tipis yang menyembunyikan alat-alat pengawasan dari Mikael. Di tangannya, resume lamanya yang sudah dimodifikasi. Ia menelan ludah. “Ini dia, titik awalnya,” bisiknya pelan. Clara memasuki lobi gedung dengan langkah mantap, meskipun seluruh tubuhnya bergetar. Petugas keamanan menatapnya sebentar, lalu mengangguk ketika melihat ID palsu yang sudah disiapkan Mikael. “Selamat pagi, Bu Clara,” sapa petugas, seolah tak menaruh curiga. Clara menahan napas, tersenyum tipis. “Selamat pagi.” Setiap langkah di lantai marmer itu terasa seperti berjalan di atas kaca tipis. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa membuatnya terdeteksi Rayden atau orang-orang yang bekerja untuknya. Pertemuan dengan Tim HR Cla

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 54

    Malam itu kantor Liora tidak seperti biasanya. Lampu-lampu masih menyala, layar komputer berderet penuh angka, dan tumpukan dokumen berserakan. Mikael duduk di depan monitor dengan kemeja yang sudah kusut. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, wajahnya serius penuh konsentrasi. Clara duduk di kursi sebelah, masih menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Sementara Liora berdiri di dekat jendela, menatap keluar seolah mencari jawaban dari kegelapan kota. “Jejak uang ini tidak mudah diikuti,” gumam Mikael, matanya tak lepas dari layar. “Rayden menggunakan beberapa rekening bayangan, semuanya lewat perusahaan cangkang.” “Bisakah kau tembus?” tanya Liora, nadanya tegas namun ada sedikit getaran. Mikael mengangguk kecil. “Aku sudah melewati dua lapis. Tapi ada sesuatu yang aneh. Rekening ini terhubung bukan hanya ke Rayden, tapi ke sebuah nama besar yang… jujur saja, tidak kusangka.” Clara mendekat, penasaran. “Siapa, Pak Mikael?” Mikael menekan enter, lalu sebuah nama m

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 53

    Malam itu, ruang rapat kantor Liora terasa lebih tegang daripada biasanya. Hanya ada tiga orang di sana: Liora, Mikael, dan Clara. Di luar, hujan deras mengguyur kota, seakan menyembunyikan segala percakapan yang terjadi di dalam. Clara duduk dengan wajah pucat, kedua tangannya menggenggam erat secangkir kopi yang sudah dingin. Ia tahu, sekali salah langkah, hidupnya bisa hancur. Tapi ia juga tahu, ini adalah kesempatan terakhir untuk menebus kesalahannya. “Clara,” suara Liora tenang tapi tegas, “kalau kau benar-benar ingin menebus semuanya, maka kau harus siap mengambil risiko yang sama besar dengan yang aku ambil.” Clara mengangguk cepat. “Aku siap, Bu. Aku tidak mau terus hidup di bawah ancaman Rayden.” Mikael menggeser laptopnya ke arah Clara. Di layar, muncul catatan komunikasi digital. “Kau bilang Rayden menghubungimu lewat pesan terenkripsi. Apakah kau masih menyimpannya?” Clara menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. “Aku simpan semuanya. Aku tidak berani

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 52

    Malam masih panjang ketika Rayden duduk di ruang kantornya yang hanya diterangi lampu meja. Asap rokok tipis mengepul di udara. Di depannya terbentang laporan keuangan dan sejumlah dokumen yang ia peroleh dengan cara yang tidak bersih. Matanya menyipit, penuh amarah bercampur obsesi. “Kalau kata-katamu bisa membuat orang mencintaimu, Liora, maka aku akan tunjukkan betapa rapuhnya dunia yang kau bangun.” Rayden mengetik pesan di ponselnya kepada seorang pengusaha yang dikenal licik, bernama Adrian Halberd. “Aku punya tawaran. Kita buat Liora terlihat terlibat dalam penggelapan dana proyek. Aku siapkan dokumennya, kau mainkan kontakmu di media. Kau dapat bagian, aku dapat kehancurannya.” Balasan datang singkat, penuh persetujuan: “Kau selalu tahu cara membuat orang jatuh, Rayden. Anggap selesai.” Rayden tersenyum tipis, dingin. “Kali ini, Liora tidak akan bisa lari.” Sementara itu, Liora dan Mikael duduk di sebuah kafe kecil yang jarang diketahui orang. Hujan turun lembu

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 51

    Pagi itu, notifikasi ponsel Liora tak berhenti berbunyi. Pesan, mention, dan email masuk seperti badai. Ia baru saja menyalakan televisi ketika berita pagi menayangkan headline yang membuat jantungnya berhenti sejenak: “Masa Lalu Kelam Liora Terungkap: Keluarga Sendiri Menyalahkannya atas Kejadian Tragis.” Gambar wajahnya terpampang besar di layar. Narasi berita itu seakan-akan menguliti dirinya hidup-hidup: kisah masa kecil, bagaimana ia pernah dituduh sebagai penyebab penderitaan ayahnya, dan bagaimana keluarganya lebih sering menyalahkan daripada merangkul. Semua itu rahasia yang ia simpan begitu dalam, yang hanya sedikit orang tahu kini diumbar ke dunia. Tangannya gemetar memegang remote. Pandangannya kabur, udara seakan hilang dari paru-parunya. “Tidak…” suaranya nyaris tak terdengar. Mikael yang baru masuk ke ruang tamu langsung menatap layar, lalu berbalik ke arahnya. “Lior—” Air mata jatuh, bukan karena malu, tapi karena luka lama yang dipaksa terbuka kembali.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status