Langit sore itu kelabu, dan hujan turun perlahan seperti tetes-tetes waktu yang tak mau berhenti. Di kantor, suasana terasa lebih hening dari biasanya. Liora duduk di depan layar laptopnya, mengetik, lalu menghapus, lalu mengetik lagi. Kata-kata seolah menolak keluar dengan jujur.
Rayden baru saja masuk ke ruangannya saat Mikael mengirim pesan singkat: “Mau kopi sore ini?” Ia menoleh ke arah ruang kaca tempat Rayden duduk, lalu kembali ke ponselnya. “Iya. Butuh yang pahit.” Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di sudut kafe dekat kantor. Jendela besar di samping mereka dipenuhi tetesan hujan. Di hadapan Mikael, Liora tampak tenang. Tapi dalam dirinya, ada ribuan gelombang yang tak kelihatan. “Aku heran,” katanya sambil menyeruput kopinya. “Kenapa orang-orang selalu berpikir kita harus ‘move on’ dengan cepat? Seolah patah hati itu bisa sembuh kayak sakit kepala.” Mikael tersenyum kecil. “Karena sebagian besar orang takut melihat luka. Termasuk luka orang lain.” “Termasuk kamu?” Ia menatapnya lama, lalu menjawab, “Aku justru belajar banyak dari luka. Karena dari sanalah orang biasanya jujur.” Liora menyandarkan punggung ke kursi. “Kalau aku bilang... bagian dari aku masih marah ke Rayden, tapi bagian lain... mungkin masih menyimpan sesuatu, itu wajar nggak?” “Manusiawi.” Ia mengangguk pelan. Lalu, dengan suara lebih pelan lagi, ia berkata, “Aku benci kenyataan bahwa aku nggak sepenuhnya benci dia.” Mikael tidak menjawab. Ia hanya diam, lalu menggenggam gelasnya lebih erat. Setelah momen hening yang panjang, Liora membuka suaranya lagi. “Tahu nggak, ada hari-hari di mana aku pengin dia tahu aku baik-baik saja. Tapi ada juga hari di mana aku pengin dia ngerasain rasa kehilangan yang sama.” Mikael mengangguk. “Itu tanda kamu sedang berada di titik tengah. Antara luka dan pulih.” Sore itu berakhir tanpa jawaban pasti. Tapi bagi Liora, duduk di sana bersama seseorang yang tidak menghakimi perasaannya sudah lebih dari cukup. Ia tak butuh solusi. Ia hanya butuh ruang. Malamnya, ketika ia kembali ke apartemen, ia membuka lemari lama dan menemukan sebuah kotak. Di dalamnya, surat-surat yang pernah ia tulis untuk Rayden tapi tak pernah dikirim. Ia membaca satu per satu, lalu membakarnya di balkon. Asapnya membumbung tinggi ke langit mendung. Dan di tengah bau kertas terbakar dan gemuruh hujan, Liora membisikkan kata yang dulu tak pernah berani ia ucapkan: “Terima kasih… karena pernah melukai. Karena tanpamu, aku tak akan tahu, aku bisa sembuh sendiri.” Ia tak tahu apakah Rayden pernah merasakan hal yang sama. Tapi malam itu, ia tak peduli lagi. Karena untuk pertama kalinya, hujan di luar tidak lebih deras dari hujan yang turun di dalam dadanya. Dan itu, adalah kemenangan tersendiri. Malam berakhir dengan kesunyian yang tak biasa. Di dalam kamar apartemennya, Liora berbaring menatap langit-langit. Lampu temaram menyapu dinding, dan angin malam menyelinap dari jendela yang sedikit terbuka. Tapi pikirannya tidak tinggal diam. Namanya masih terukir jelas Rayden. Bukan karena cinta, tapi karena kenangan yang belum menemukan titik akhir. Ia mencoba mendengar lagu-lagu baru, menonton film acak, menyibukkan diri dengan pekerjaan... tapi tetap saja, ada suara yang mengusik setiap keheningan. “Rayden…” Ia menggumamkan nama itu sekali, hanya untuk merasakan apakah hatinya masih bergetar. Ada denyut samar. Bukan cinta. Bukan rindu. Mungkin hanya sisa trauma yang belum sepenuhnya kering. Ponselnya bergetar. Pesan dari Mikael: Aku tahu ini malam yang panjang. Tapi kalau kamu butuh diam yang didengarkan, aku bisa datang. Liora tersenyum kecil. Ia tidak membalas pesan itu. Tapi hatinya sedikit lebih ringan. Keesokan paginya, di kantor, suasana berbeda. Ada aroma kegelisahan yang terasa di udara. Rayden memanggil Liora ke ruangannya. “Boleh bicara sebentar?” Liora masuk, duduk dengan jarak aman. Sorot matanya datar, tidak lagi membawa harapan atau luka. Ia hanya ingin cepat selesai. “Aku dengar kamu sekarang sering bareng Mikael.” Liora mengerutkan kening. “Kalau itu mau kamu bahas, mending kita akhiri aja pembicaraan ini.” Rayden menarik napas panjang. “Aku cuma... aku nggak tahu kenapa rasanya nggak enak.” “Karena kamu terbiasa jadi pusat. Dan sekarang kamu bukan.” Rayden menunduk. Liora berdiri. “Dengar, aku nggak marah lagi. Tapi itu bukan berarti kamu berhak atas cerita yang sedang aku bangun sekarang. Kamu bagian dari masa lalu, Ray. Dan aku, akhirnya bisa berdiri di tempat di mana aku bisa ngomong itu tanpa gemetar.” Ia keluar dari ruangan itu dengan langkah tenang. Mikael menatapnya dari kejauhan. Liora berjalan ke arah meja kerja, lalu duduk. Ia tidak menang, tidak juga kalah. Tapi ia akhirnya tahu: ia tidak lagi hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Hari itu berakhir dengan senyum kecil di wajahnya. Bukan karena Mikael, bukan karena Rayden. Tapi karena dirinya sendiri. Malamnya, ia membuka catatan lamanya. Di antara tulisan-tulisan lama, ia menambahkan satu baris baru: “Namamu masih ada di kepalaku. Tapi aku sudah tidak ingin kau kembali.” Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya runtuh, ia merasa utuh.Hari berikutnya, suasana kantor terasa lain. Bukan hiruk-pikuk kerja yang biasanya mengisi udara, melainkan bisik-bisik samar yang berputar di setiap sudut.Liora baru saja masuk ke ruangannya ketika dua rekan kerja buru-buru menutup percakapan mereka. Tatapan mereka berpindah sekilas ke arah Liora, lalu berpura-pura sibuk dengan laptop.Ia mencoba menepis rasa tidak nyaman. Tapi semakin ia berjalan menyusuri lorong, semakin terasa jelas: ada sesuatu yang sedang diperbincangkan. Dan itu tentang dirinya.Di meja kerjanya, Liora menyalakan komputer. Tapi pikirannya tidak bisa fokus. Ia ingat tatapan-tatapan tadi, juga nada bisik yang tak sempat ia tangkap.Beberapa menit kemudian, Mikael datang. Seperti biasa, membawa secangkir kopi hangat untuknya. Namun kali ini ia tidak langsung tersenyum lebar seperti biasanya.“Ada apa?” tanya Liora, menangkap perubahan ekspresinya.Mikael menaruh kopi di mejanya, lalu mencondongkan badan. Suaranya diturunkan. “Lo, kamu tahu nggak? Ada gosip bereda
Pagi itu kantor terasa lebih riuh dari biasanya. Semua orang sibuk, beberapa tim bahkan lembur semalaman demi revisi terakhir. Suasana penuh tekanan, tapi juga penuh energi.Liora duduk di mejanya, menatap layar yang penuh dengan slide presentasi yang sudah ia revisi sampai dini hari. Mata lelah, tapi ada kepuasan tersendiri melihat hasil kerja kerasnya.Tak lama, Amara muncul. Seperti biasa, penampilannya rapi dan berwibawa, tapi pagi itu ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Sorot matanya tajam, seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Liora,” katanya pelan, tapi jelas. “Aku sudah lihat revisi kamu.”Liora mengangguk, menunggu komentar.Amara menarik kursi, duduk di sampingnya. “Jujur saja, konsep kamu kuat. Terlalu kuat. Bahkan… bisa jadi lebih menonjol daripada rencana presentasi tim inti.”Liora terdiam. Ia tahu ini bukan sekadar pujian. Ada nada peringatan terselubung.“Apakah itu masalah?” tanya Liora akhirnya.Amara menatapnya lekat. “Masalah kalau kamu tidak tahu cara mengelola
Pagi itu, Liora bangun dengan rasa campur aduk. Kemenangan besok-presentasi sudah di tangannya, tapi ada sesuatu yang mengganjal perasaan yang belum sepenuhnya tenang. Seperti bayangan masa lalu yang menempel di setiap langkahnya. Ia membuka laptop, mengecek email masuk. Ada satu pesan dari Rayden, singkat tapi cukup untuk membuat dadanya berdebar. “Aku ingin bicara. Hari ini, setelah jam kerja.” Liora menatap layar sejenak. Rasanya ingin menutup email itu dan melupakan saja. Tapi ada sesuatu di nada tulisannya yang sulit diabaikan. Ia menarik napas panjang, menulis balasan singkat: “Baik. Kita bicara di kafe dekat kantor jam 6.” Di Kantor Seharian di kantor terasa berbeda. Liora mencoba fokus, tapi pikirannya sering melayang ke jam enam sore. Amara terlihat sibuk dengan dokumen dan rapat kecil bersama tim, tapi matanya beberapa kali menyapu arah Liora. Ada rasa penasaran, tapi juga sedikit was-was. Mikael datang seperti biasa, membawa kopi untuk Liora. Ia tersenyum hangat. “P
Ruang konferensi akhirnya kosong. Kursi-kursi yang tadi dipenuhi investor kini tertinggal sendirian, seperti saksi bisu pertunjukan Liora. Ia duduk di meja panjang, menarik napas panjang. Tubuhnya lelah, tapi hatinya terasa ringan campuran lega dan sedikit bangga yang tak biasa ia rasakan.Mikael masih duduk di kursi paling depan, menatapnya dengan senyum yang sama dari tadi. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya mengangguk. Itu saja sudah cukup untuk membuat Liora merasa seperti pulang.Namun, udara lega itu segera tersayat oleh kehadiran dua orang yang tidak ia sangka masih ada di ruangan: Rayden dan Amara.Rayden berdiri di samping pintu, tangannya terkepal perlahan. Matanya tidak lagi menilai. Ia tampak... bingung. Seolah ada sesuatu yang ia lihat sekarang, tapi tidak bisa dijelaskan.Amara menatap Liora dengan tatapan yang sulit dibaca. Tidak dingin, tapi juga tidak sepenuhnya hangat. Ada campuran rasa penasaran, kekaguman, dan mungkin sedikit iri.Liora menarik napas. “Apa kalian masi
Pagi itu udara masih dingin. Hujan tipis turun, membasahi kaca jendela kantor yang berlantai dua puluh. Liora berdiri di depan cermin kamar mandi lantai bawah, menggenggam kedua tangannya erat-erat. Nafasnya pendek, seakan dadanya dikunci dari dalam. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, blazer abu-abu muda, dan celana panjang hitam. Rambutnya diikat rapi, wajahnya diberi sedikit polesan make-up natural yang dipaksakan oleh tim Amara. Ia terlihat tenang dari luar, tapi tangannya bergetar halus saat menyentuh keran air. “Liora?” suara pelan terdengar dari pintu. Itu Mikael. Ia menoleh cepat, sedikit terkejut. “Kamu udah di sini?” Mikael melongok, tersenyum kecil. “Janji gue, kan? Kursi paling depan.” Liora berusaha tersenyum. “Aku... masih nggak yakin bisa.” Mikael masuk, menepuk pelan bahunya. “Kalau kamu jatuh, jatuh aja. Tapi jatuh di depan orang-orang itu lebih baik daripada nggak pernah berdiri sama sekali.” Ada keheningan sejenak. Hanya suara hujan yang terdengar di balik
Hari itu kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua orang berlarian dengan berkas, laptop, dan daftar pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya. Presentasi besar dengan para investor tinggal satu hari lagi. Dan semua sorot mata secara tidak langsung tertuju pada satu orang, Liora.Ia mencoba menenangkan diri, meski dalam hati degup jantungnya tak beraturan. Selama ini, ia terbiasa jadi orang di balik layar penulis konsep, penyusun narasi, orang yang menciptakan kerangka besar tapi membiarkan orang lain yang berdiri di depan panggung.Kini, Amara justru mendorongnya untuk tampil langsung. “Kalau kamu berani menghadapi ini,” kata Amara, “kamu akan tahu bahwa kamu lebih dari sekadar bayangan siapa pun.”Di meja kerjanya, Liora menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Kalimat demi kalimat presentasi sudah ia hafal di luar kepala. Tapi yang membuatnya khawatir bukan kontennya, melainkan dirinya sendiri. Apakah ia cukup kuat untuk berdiri di depan begitu banyak orang tanpa runtuh? Apa