Beranda / Romansa / Pelakor itu Adikku / Bab 45. Kenyataan Pahit

Share

Bab 45. Kenyataan Pahit

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-23 22:58:16

“Aku hanya ingin orang itu jatuh karena perbuatannya sendiri. Karena itu, aku punya rencana ..." Alma bersandar di kursi kerjanya. Matanya tenang, namun terkesan dingin.

“Rencana?” tanya Felix. Ia menatap Alma penuh rasa ingin tau.

“Aku ingin mempermalukan mereka,” lanjut Alma. “Tapi bukan dengan cara yang murahan. Bukan seperti mereka mempermalukanku. Aku tidak akan menjatuhkan reputasi Arhan dengan tanganku sendiri. Biar dia yang jatuh karena perbuatannya sendiri.”

Felix menatap lekat wajah Alma. Diam sejenak. “Dan Nadine?”

Alma mengangkat bahu ringan. "Dia memang adikku satu-satunya. Meski hanya adik tiri, ibu telah menitipkannya padaku.

“Akan tetapi, Jika dia ikut jatuh bersama Arhan, itu bukan urusanku. Aku tidak akan melindungi atau mendorongnya, tapi aku akan membuat semua orang melihat kebusukan mereka.”

Felix mengangguk. “Kamu cerdas, Alma. Aku tahu kamu nggak akan gegabah. Dan ... apapun yang kamu rencanakan, aku siap di pihakmu. Kalau kamu butuh bantuan, bilang. Aku ada.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (9)
goodnovel comment avatar
Nurmila Karyadi
Ernest bisa jdi duri dalam daging bagi Arhan..makan tuh nafsu Arhaann
goodnovel comment avatar
Rista Umami
kok blm up lagi kak
goodnovel comment avatar
Dyah Wiryastini
Kok lama ya. Menunggu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pelakor itu Adikku   Bab 190. Terlalu Cepat

    Alma terdiam mendengar permintaan Felix. Ia tahu Felix tidak bermaksud menekannya, tapi permintaan sederhana itu terasa begitu berat. Matanya bergetar menatap wajah lelaki yang sejak tadi memanggilnya “sayang” dengan begitu tulus. Bibirnya bergerak, ragu. “Felix … aku—” ia menelan ludah, jemarinya meremas tas di pangkuan. “Ini terlalu cepat. Aku … belum siap.” Suara Alma terdengar gugup, bergetar di ujung kalimat. Ia buru-buru melepas sabuk pengaman, membuka pintu mobil, dan melangkah keluar tanpa berani menoleh lagi. “Alma, tunggu—” panggil Felix, tapi pintu sudah tertutup dengan bunyi sedikit keras. Alma menunduk, berjalan cepat masuk ke rumahnya. Bahunya bergetar menahan campuran perasaan yang sulit diurai. Sementara itu, Felix hanya bisa menatap punggung Alma yang menjauh. Ada sesal yang menyesakkan dada. Ia bersandar ke kursi, menepuk setir mobil dengan kesal pada dirinya sendiri. “Bodoh, Felix. Kamu harusnya bisa sabar,” gumamnya lirih. Ia menutup mata sejenak, menarik nap

  • Pelakor itu Adikku   Bab 189. Ingin Memelukmu

    Pak Hilmawan menoleh pada Alma dengan senyum ramah yang penuh wibawa. “Dokter Alma, saya sangat berterima kasih. Kalau bukan karena Anda, mungkin cucu saya tidak akan tertolong. Saya dengar, Anda yang pertama kali sigap menangani.” Alma menunduk sopan. “Itu memang sudah kewajiban saya sebagai dokter, Pak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya.” "Tapi saya lihat, Dokter Alma bukan hanya melakukan kewajiban,” sahut Hilmawan. “Tapi juga sebuah pengabdian. Tidak semua orang bisa bekerja dengan hati seperti itu.” Tatapannya penuh penghargaan, membuat Alma sedikit salah tingkah. Felix tersenyum lebar mendengar ucapan kakek Maharani. Ia menepuk tangan Alma dengan bangga. “Saya juga sangat beruntung, Pak. Alma selain dokter yang hebat, dia juga … calon istri saya.” Alma menoleh sekilas, pipinya memerah. Kata-kata itu keluar begitu alami dari mulut Felix, seakan sudah tak ada lagi jarak di antara mereka. “Oh, jadi benar kabar yang saya dengar. Selamat, ya.” Hilmawan menyalami Alma deng

  • Pelakor itu Adikku   Bab 188. Cucu Konglomerat

    Alma hanya tersenyum tipis. Matanya menatap Maharani tanpa menunjukkan emosi yang berlebihan. “Itu memang tugasku sebagai dokter,” ucapnya lembut. “Tanpa harus diminta siapa pun, aku akan mengobati pasienku dengan baik. Tidak ada alasan lain.” Maharani membuang wajah, matanya menyipit seolah tidak puas dengan jawaban Alma. Seakan ia menginginkan Alma merasa tersudut, namun yang ia dapat justru hanya sikap profesional yang membuatnya semakin kesal. Alma tidak ingin memperpanjang percakapan itu. Ia tahu betul, kata-kata Maharani penuh sindiran. Namun menanggapi hanya akan memperkeruh suasana. “Kalau begitu, aku pamit. Istirahatlah yang cukup, Maharani. Kesehatanmu lebih penting daripada memikirkan hal lain,” tutup Alma, tetap dengan suara tenang. Ia lalu melangkah keluar. Helaan napas samar terdengar, pertanda Alma melepaskan energi negatif yang sempat menyelimutinya saat berada di ruangan itu. Baginya, Maharani hanyalah pasien, tidak lebih. Tak lama setelah Alma pergi, p

  • Pelakor itu Adikku   Bab 187. Seperti Mimpi

    Alma membuka mata dengan perasaan berbeda, lebih ringan, lebih damai. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamarnya. Semua beban yang kemarin-kemarin menekan dadanya kini seakan lenyap, berganti semangat baru. Alma mengusap wajahnya, lalu tersenyum menatap cermin besar di kamarnya. “Hari pertama … jadi tunangannya Felix,” gumamnya pelan, seolah ingin meyakinkan diri sendiri bahwa semua yang terjadi semalam bukan mimpi. Suara ketukan pintu terdengar. “Non Alma, sarapan sudah disiapkan,” kata Bu Sarti dari luar. “Baik, Bu. Aku segera turun,” jawab Alma. Ia bangkit, merapikan rambut, lalu mengenakan blouse sederhana berwarna pastel dan celana kain hitam. Tidak ada aksesoris berlebihan, tidak ada riasan tebal. Meski kini semua orang tahu ia calon menantu keluarga Mahesa, Alma tetap ingin tampil seperti dirinya yang dulu, sederhana. Di meja makan, aroma nasi goreng hangat dan teh manis menyambut. Bu Sarti tersenyum, matanya masih berbinar haru sejak acara semalam. “Non keliha

  • Pelakor itu Adikku   Bab 186. Hari Bahagia

    Senja mulai turun perlahan di langit Jakarta ketika mobil-mobil mewah memasuki halaman hotel berbintang lima milik keluarga Mahesa. Gedung megah dengan lampu-lampu kristal yang menggantung di lobi seakan menyambut para tamu undangan dengan cahaya keemasan. Malam itu, hotel tersebut berubah menjadi saksi peristiwa besar, pertunangan Felix Alexander Mahesa dengan Alma Azzahra Kusuma. Sejak sore, Alma sudah tiba di rumah kediaman keluarga Mahesa yang letaknya tidak jauh dari rumahnya sendiri. Ia datang bersama beberapa kerabat yang turut mendampingi. Dari sana, rombongan bergerak bersama menuju hotel tempat acara berlangsung. Di kamar khusus yang disediakan untuk pengantin wanita, Alma sedang dirias. Rambutnya ditata anggun dalam sanggul modern yang dihiasi dengan bunga melati segar dan aksesori mutiara. Gaun kebaya modern berwarna putih gading melekat indah di tubuhnya, dipadukan dengan kain batik motif parang klasik bernuansa emas yang menjuntai anggun. Wajahnya dipulas dengan make-

  • Pelakor itu Adikku   Bab 185. Maaf yang tulus

    Kebahagiaan yang memenuhi dada Alma sejak menerima undangan pertunangannya dengan Felix semalam masih ia rasakan. Senyumnya masih sering terbit tanpa ia sadari, seakan hari-hari kelam yang ia lalui perlahan digantikan cahaya baru. Namun di sela rasa syukurnya, ada bayangan yang terus menghantui pikirannya, Nadine. Sehari sebelum pertunangan, Alma menepati niatnya untuk membesuk adiknya itu. Hati kecilnya mengatakan, apa pun yang sudah dilakukan Nadine, hubungan darah mereka tidak bisa diputus begitu saja. Walau rasa sakit akibat pengkhianatan Nadine masih membekas, Alma ingin memastikan adiknya tidak benar-benar sendirian. Ia berangkat ditemani seorang pria berjas abu-abu, pengacara Nadine, yang kini mengurus kasusnya. Di dalam mobil menuju penjara, Alma mendengarkan penjelasan dengan wajah serius. “Sidang terakhir sudah diputuskan, Bu Alma. Nadine divonis lima belas tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan yang kemarin,” ujar pengacara itu dengan nada berat.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status