“Aku hanya ingin orang itu jatuh karena perbuatannya sendiri. Karena itu, aku punya rencana ..." Alma bersandar di kursi kerjanya. Matanya tenang, namun terkesan dingin.“Rencana?” tanya Felix. Ia menatap Alma penuh rasa ingin tau.“Aku ingin mempermalukan mereka,” lanjut Alma. “Tapi bukan dengan cara yang murahan. Bukan seperti mereka mempermalukanku. Aku tidak akan menjatuhkan reputasi Arhan dengan tanganku sendiri. Biar dia yang jatuh karena perbuatannya sendiri.”Felix menatap lekat wajah Alma. Diam sejenak. “Dan Nadine?”Alma mengangkat bahu ringan. "Dia memang adikku satu-satunya. Meski hanya adik tiri, ibu telah menitipkannya padaku.“Akan tetapi, Jika dia ikut jatuh bersama Arhan, itu bukan urusanku. Aku tidak akan melindungi atau mendorongnya, tapi aku akan membuat semua orang melihat kebusukan mereka.”Felix mengangguk. “Kamu cerdas, Alma. Aku tahu kamu nggak akan gegabah. Dan ... apapun yang kamu rencanakan, aku siap di pihakmu. Kalau kamu butuh bantuan, bilang. Aku ada.”
"Kak Alma udah nggak bener ini, Mas. Aku nggak nyangka Kak Alma bisa jadi murahan gitu.” Nadine menggenggam dan meremas tangan Arhan. "Cukup, Nadine. Jangan bikin aku tambah pusing." Arhan makin gelisah. Menarik tangannya dari genggaman Nadine dan berjalan keluar. Nadine buru-buru mengikuti."Kita jadi liat mobil, kan?" tanya Nadine penuh harap.Arhan mengangguk, kebetulan sore ini tidak ada jadwal janji dengan pasien. Nadine nyaris memekik kegirangan hingga buru-buru menutup mulutnya. Ia bergegas memesan taksi online menuju ke satu tempat yang ia sudah incar sejak awal.Siang itu showroom mobil yang mereka datangi tidak terlalu ramai. Nadine berjalan anggun seolah sedang berada di karpet merah. Lengan Arhan digamit lembut, ekspresi wajahnya ceria dan sangat bersemangat.“Mas, yang ini cakep banget warnanya,” ujarnya sambil menunjuk mobil SUV hitam metalik dengan desain elegan.Arhan hanya mengangguk malas. Ia masih memikirkan perdebatannya dengan Alma tadi di rumah sakit. Ekspres
Langkah Alma mantap menyusuri koridor rumah sakit. Beberapa orang menyapanya dengan sopan, tapi ia masih memikirkan yang terjadi di ruang rapat direksi barusan. Dadanya masih berdebar, bukan karena gugup, melainkan karena keputusan besar yang baru saja ia ambil. Ia memutuskan untuk tampil ke depan, menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya.Mulai hari ini ia telah menjadi bagian penting dari rumah sakit ini, meski hanya orang-orang tertentu saja yang tau. Langkah Alma berhenti seketika ketika sosok Arhan muncul di depannya. Lelaki itu bersandar di dinding koridor dengan kedua tangan dilipat di depan dada, seolah sudah lama menunggu. Begitu mata mereka bertemu, wajah Arhan mengeras.“Kamu dari ruang rapat direksi barusan?” tanyanya, dingin.Alma tetap tenang, seolah tak menyadari nada curiga di balik pertanyaan itu. “Iya. Ada pertemuan penting dari pusat. Aku diundang langsung.”Arhan menyipitkan mata. “Diundang? Kamu kan cuma dokter baru di sini. Kenapa kamu bisa ikut rapat pentin
Alma melangkah memasuki ruang rapat bersama Pak Sukmawibowo. Wajahnya tenang, sikap dan gerakannya sangat profesional. Senyum penuh wibawa terpancar dari wajahnya, meski dalam hatinya ia masih menyusun strategi agar tujuannya berjalan lancar. Ini bukan sekadar rapat biasa, ini adalah titik balik dalam hidupnya. Di ruangan itu sudah duduk beberapa orang yang punya kedudukan penting di Rumah Sakit Nur Annisa, serta para direksi dari PT Permata Grup, induk perusahaan Rumah Sakit Nur Annisa.“Selamat pagi semuanya,” sapa Pak Sukma ramah sambil berdiri. “Sebelum kita mulai, Pak Hendrik akan memperkenalkan seseorang yang akan menjadi bagian penting dari masa depan rumah sakit ini. Silakan Pak Hendrik." Pak Sukma mengangguk sopan. Semua mata tertuju pada Pak Hendrik, yang mana di sebelahnya Alma duduk dengan tenang, tapi menjadi pusat perhatian sejak tadi. Pak Hendrik, Direktur Utama PT Permata Grup, ikut berdiri. “Perkenalkan, ini adalah dr. Alma Azzahra. Beliau adalah putri dari mendia
Pria paruh baya itu, Pak Sukmawibowo, salah satu dewan direksi dari pusat. Ia terkenal berpengaruh dan dihormati di antara petinggi rumah sakit. Namun yang membuat dada Arhan bergemuruh saat ini adalah cara Alma tertawa pada pria itu. Bukan tawa yang berlebihan, tapi tanpa disadarinya cukup untuk menyulut api cemburu di dada Arhan.Arhan terus melangkah dengan kedua tangan mengepal di samping tubuhnya. Jarak mereka semakin dekat. Saat keduanya berpapasan dengannya, Pak Sukma hanya mengangguk singkat, nyaris tanpa ekspresi. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia pernah mengenal atau bahkan berbicara dengan Arhan sebelumnya. Alma juga hanya melirik singkat, ekspresi wajahnya datar dengan sikap profesional.Rahang Arhan mengeras. Kepalan tangannya makin mengetat. “Sial! Ɓrengsek!" gumamnya, begitu mereka telah menjauh. Tak hanya merasa diabaikan, tapi ia juga direndahkan. “Berlagak sok elit,” desisnya."Istri kurang ajar! Berani merendahkan aku." Arhan terus mengumpat, wajahnya memerah.
Alma melangkah ke dapur, mengikuti Nadine yang terlihat pucat dan memegangi perutnya. Di dekat wastafel, Nadine kembali muntah-muntah meski Alma melihat tidak ada yang keluar dari mulutnya. “Nadine?” Alma bertanya pelan “Kamu kenapa? Sakit apa?”Nadine menoleh pelan, mengusap mulutnya dengan tisu. “Nggak tahu, Kak. Perutku mual dari tadi.” Nadine menjawab dengan suara lemah.Arhan tiba-tiba muncul dari arah ruang tengah. Ia ikut mendekat, lalu berdiri di antara mereka dengan ekspresi gelisah.“Dia dari tadi memang ngeluh soal lambungnya,” kata Arhan cepat, nadanya tegas seolah ingin menutup pembicaraan. “Mungkin karena belum makan dari siang.”Nadine melirik Arhan dengan sudut mata. Tatapan tajamnya seolah ingin berteriak ‘Kenapa kamu nutupin?’ Tapi ia menahan diri, lalu menunduk pelan, pura-pura lemas.“Oh …” Alma hanya mengangguk. Tetap terlihat tenang, padahal merasa ada yang tidak beres. Tapi ia memilih untuk tidak menunjukkan kecurigaannya.Ia menduga Nadine memang sengaja ingin