Setelah Alma pergi, Ferika masih terisak di ranjang observasi. Namun, saat suster keluar meninggalkan mereka, ia langsung duduk tegak dan menatap Arhan yang masih berdiri di dekat pintu dengan wajah kusut."Han," ucapnya pelan. "Kamu jangan diam aja. Kejar Alma. Bujuk dia supaya mau pulang. Katakan kamu nyesel, katakan kamu nggak akan ulangi semuanya."Arhan menghela napas panjang, lelah. "Bu, sekarang bukan waktunya. Alma nggak akan percaya, bukan dengan kondisi sekarang. Saya harus bereskan satu hal dulu."Ferika mengernyit. "Maksud kamu Nadine?"Arhan mengangguk. Ia menatap ibunya lekat-lekat. "Saya harus menyelesaikannya sendiri. Pelan-pelan, tanpa Alma tahu. Kalau Nadine tidak hamil, saya yakin Alma bisa dipulihkan hatinya."Ferika mengernyit. “Kamu serius?”“Dia masih cinta sama aku, Bu. Aku tahu itu dari cara dia lihat aku tadi. Tapi dia terlalu kecewa. Terlalu marah. Dan masalahnya ya … Nadine.” Arhan menyandarkan punggung di dinding, mendesah frustasi. “Aku nggak akan ceraika
Suster datang tergesa saat mendengar teriakan Alma. Dengan sigap, ia mendekati Ferika yang terbaring di sofa ruang tunggu. Alma mundur sedikit, memberi ruang. “Bantu saya angkat beliau ke ruang observasi,” ucap suster itu pada dua petugas lain yang kebetulan lewat. Alma tetap tenang. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Tatapannya tertuju pada Ferika yang masih terbaring, dengan satu tangan memegangi dada. Tapi Alma tahu. Ia tidak tertipu. Sebelum tubuh Ferika limbung tadi, ia sempat melihat lirikan cepat dari mata wanita paruh baya itu. Bukan lirikan panik, tapi lirikan licik—seperti seseorang yang sedang memainkan peran dengan sangat sadar. Alma hanya menghela napas pendek. Drama. Setelah Ferika dibaringkan di ranjang observasi, Alma berdiri di samping suster yang sedang memeriksa tekanan darah dan denyut jantungnya. Mata Ferika terpejam, napasnya diatur-atur agar terdengar berat. Tapi Alma tak tertipu. Tak lama kemudian, pintu ruang observasi terbuka dengan kasar. “Bu?!” A
Nadine tertegun sesaat saat melihat sosok wanita yang berdiri di hadapannya. Wajah itu tidak asing. Aura arogannya juga masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Ferika, ibu Arhan. Tatapan Ferika langsung turun ke arah perut Nadine yang mulai menonjol di balik seragamnya. Sorot matanya tajam, nyaris seperti pisau yang hendak menyayat. Senyum sinis muncul di sudut bibir wanita itu, dingin dan menusuk. “Jawab yang jujur,” desisnya tajam. “Apa kamu jadi menggugurkan kandunganmu?” Mata Nadine membulat. Ia langsung panik. Dengan cepat ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang mendengar. Beberapa langkah lagi dari tempat mereka berdiri, ada pintu masuk ke toilet umum rumah sakit—tempat orang bisa keluar masuk kapan saja. “Tante …” bisik Nadine tergesa, suaranya penuh kecemasan. Matanya gelisah, napasnya naik turun. “Tolong jangan bicarakan ini di sini. Ini rumah sakit, banyak orang. Bukan cuma saya yang akan jadi bahan omongan. Anak Tante juga.” “Kalau kamu nggak
Nadine menghampiri meja di pojok café dengan langkah penuh percaya diri. Ia menebar senyum terbaiknya sambil menyapa pria yang duduk sendirian dengan segelas kopi hitam. “Malam, Pak. Boleh duduk?” Nadine menarik kursi sebelum Leonard sempat menjawab. Leonard menoleh pelan, ekspresinya netral namun matanya menyipit, mencoba mengenali wajah yang tiba-tiba menyapanya. “Kamu siapa?” Nadine tersenyum manis, menyilangkan kaki dan menyandarkan punggung dengan gaya santai. “Nama saya Nadine. Dan wanita cantik yang Anda perhatikan sejak tadi itu … adalah kakak saya.” Leonard mengangkat alis. Matanya berpindah sejenak ke arah Alma dan Felix yang masih sibuk membahas sesuatu di meja mereka, lalu kembali menatap Nadine. “Kakakmu?” “Yup,” Nadine mengangguk ringan. “Namanya Alma. Cantik ya? Tapi … saya rasa Kak Alma lebih cocok sama Bapak daripada pria seperti dr. Felix itu.” Leonard mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Nadine mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya diturunkan seolah sedang b
Nadine duduk di kursi taman rumah sakit dengan ponsel di tangan, berselancar di media sosial sembari mencoba mencari tahu satu hal, Di mana biasanya dr.Felix nongkrong? Ia sudah menyerah jika harus mendekati Felix di rumah sakit. Terlalu banyak mata, terlalu banyak batasan. Tapi di luar, ketika suasana lebih santai, siapa tahu ia bisa lebih leluasa menggoda. Setelah mengulik beberapa akun karyawan rumah sakit dan stalking profil alumni kedokteran, akhirnya ia menemukan satu unggahan lama yang menunjukkan Felix sedang duduk di sebuah café rooftop yang cukup hits di tengah kota. Nadine tersenyum miring. Café ini cukup sering dikunjungi para dokter muda kayaknya. Mungkin dia rutin ke sana. Hari itu juga Nadine mencari tahu tentang kebiasaan Felix. Kapan pria itu biasanya pergi ke cafe? Sementara itu, Felix sedang berada di ruangan Alma. Mereka baru saja menuntaskan pembahasan tentang diagnosa pasien rawat inap yang cukup kompleks. Beberapa dokumen masih terbuka di laptop Felix, namu
Nadine termenung sendiri di atas ojek online yang membawanya pulang malam itu. Tangan kanannya masih dibalut perban tipis, padahal hanya lecet kecil karena sempat menyentuh aspal saat ia menjatuhkan diri secara dramatis di depan mobil Felix. Tapi bukan lukanya yang sakit, melainkan harga dirinya. Kenapa sih dia dingin banget?Apa aku kurang cantik? Kurang anggun? Kurang menarik? Nadine menggigit bibir. Matanya menatap kosong dari balik helm milik abang ojek. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa Felix menolak pesonanya begitu saja. Padahal ia sudah memainkan semua strategi yang biasanya berhasil, senyuman manis, tatapan sedih, bahkan kisah dramatis tentang Alma. Begitu sampai di kost, Nadine langsung masuk ke kamar dan membanting tasnya ke atas kasur. Ia menatap cermin lama-lama.Aku masih Cantik, kan? Masih oke banget, kok. Harusnya dia terpesona. Malam itu Nadine tidak bisa tidur. Ia menyusun rencana baru. Besok ia harus tampil maksimal. Ia akan tunjukkan pada semua orang bahwa di